Waktu sudah menunjukkan pukul 23.30, Arif -bukan nama sebenarnya- masih berada di kantor. Di hadapannya, seperangkat komputer masih menyala ditemani bertumpuk-tumpuk berkas perkara. Arif terus bekerja tanpa menghiraukan detak jam yang terus berjalan. Sesekali, ia mengangkat telepon dari istri atau anaknya yang baru berusia lima tahun. Perbincangan di telepon selalu diakhiri dengan janji, "Iya papa pulang sebentar lagi." Itu diucapkan Arif sejam yang lalu.
Kisah di atas adalah kejadian nyata, bukan penggalan drama sinetron. Arif berprofesi sebagai advokat. Izin praktek baru saja direngkuhnya dari Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) setelah melalui tahap pendidikan, ujian, dan magang. Nasib Arif adalah nasib sebagian besar advokat di Indonesia, senior ataupun junior. Pada profesi ini memang melekat stigma bekerja tak kenal waktu. Pantang pulang sebelum pekerjaan rampung.
Mirisnya, kerja keras itu tidak selalu diiringi dengan kompensasi yang layak. Tidak seperti halnya pekerja lain, sebagian advokat tidak menerima upah lembur. Padahal, Pasal 78 ayat (2) UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan eksplisit menyatakan "pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja wajib membayar upah kerja lembur." Tindak lanjut pasal ini kemudian diterbitkan Kepmenakertrans No. 102 Tahun 2004 tentang Waktu Kerja Lembur dan Upah Kerja Lembur.
Hasil penelusuran hukumonline menunjukkan bahwa praktek penerapan upah lembur pada advokat, khususnya advokat junior, bervariasi. Joko -bukan nama sebenarnya- mengaku tidak pernah mendapat upah lembur. Selama ini, jika terpaksa harus bekerja larut, kantor dimana Joko bekerja hanya menyediakan makan malam dan ongkos pulang naik taxi.
Joko yang kini berstatus Mid-Associates menjelaskan bahwa di kantornya suasana kerja yang dikembangkan bersifat kekeluargaan. Makanya, sejak awal bekerja pada 3,5 tahun lalu, ia pun tidak disodori kontrak kerja. "Kalau kita sih tidak ada kontrak. Kita pakai sistem kekeluargaan dan kepercayaan aja," ujarnya, "kita hire elo, kita percaya sama elo, elo kerja sama kita."
Karena tidak ada kontrak, maka Joko pun tidak pernah diinformasikan tentang jam kerja yang berlaku di kantornya. Namun begitu, seiring dengan berjalan waktu, Joko akhirnya menyadari bahwa dirinya dituntut harus standby 24 jam. "Minimal pulang jam 7 atau jam 8. Kecuali kalau sekretaris sih biasanya ada office hour," tambahnya.
Lain lagi apa yang dialami Dedi -bukan nama sebenarnya-. Associates pada sebuah kantor hukum di bilangan Sudirman Jakarta ini mengaku menandatangani kontrak ketika pertama kali mulai bekerja enam tahun lalu. Namun, di kontrak tersebut hanya disebutkan bahwa jam kerja yang berlaku adalah delapan jam. Soal lembur tidak disinggung sama sekali.
Prakteknya, di kantor Dedi bekerja upah lembur hanya diberlakukan pada level-level tertentu. Karyawan non-advokat seperti sekretaris berhak atas upah lembur. Sementara, karyawan yang advokat hanya pada jabatan tertentu yang berhak. "Tetapi karena saya belum ada di posisi itu maka saya tidak bisa cerita," ujar Dedi menolak menjelaskan lebih lanjut.
Kompensasi lain
Nasib Dedi dan Joko ternyata tidak "seberuntung" Arkie Tumbelaka. Junior Associates pada Pradjoto & Associates ini mengatakan penerapan jam kerja di kantornya sangat ketat. Masuk jam sembilan pagi, pulang jam lima sore. "Kecuali kalau memang lagi ada deadline, bisa sampai malam juga. Tapi lembur di Pradjoto paling cuma sampai jam 8," sergahnya.
Walaupun tidak ada kontrak, menurut Arkie, kantor memberikan kompensasi kepada karyawan yang bekerja di luar jam kerja normal. Bentuknya, professional fee yang diperoleh setiap menyelesaikan satu kasus. Di dalamnya sudah meliputi uang transport, uang lembur, dan biaya-biaya lainnya.
Berbeda bentuk, Tigor -bukan nama sebenarnya- juga menikmati kompensasi jika bekerja lembur. Selain penggantian biaya taxi, kompensasi lainnya berupa bonus setiap akhir tahun. Bonus tersebut sebenarnya tidak terkait langsung dengan lembur, karena yang dijadikan dasar perhitungan adalah timesheet yang berjalan secara elektronik. Jadi, jam kerja yang dijalankan diakumulasi sebagai bahan pertimbangan bonus.
Advokat unik
Cerita tentang penerapan upah lembur yang beragam sudah mengemuka dengan gamblang, sayang isu ini belum menjadi perhatian Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi). Terlepas dari masalah perpecahan yang terjadi, Peradi semestinya adalah lembaga yang bertanggungjawab mencermati sekaligus membenahi nasib para advokat.
Sekretaris Jenderal Peradi Harry Ponto menjelaskan bahwa advokat adalah profesi yang cukup unik. Dari sistem penggajian, misalnya, praktek yang terjadi sangat bervariasi mulai hitungan per jam sampai model success fee. Selain itu, kedudukan advokat juga independen. Walaupun memiliki atasan, dalam menjalankan profesinya, advokat harus bebas dan mandiri. Advokat hanya tunduk pada kode etik.
Karena keunikannya inilah, maka Harry menilai agak sulit mengatur upah lembur untuk profesi advokat. "Kalau misalnya, ada riset pendahuluan mungkin bisa kita kaji lebih lanjut," tukasnya.
Partner atau bukan?
Reytman Aruan mengatakan ketentuan upah lembur tidak sepenuhnya dapat diterapkan pada profesi advokat. Tergantung dari status advokat yang bersangkutan di kantornya. "Apakah sebagai partner atau sebagai karyawan?" tukasnya. Jika sebagai partner maka advokat tersebut tidak berhak atas upah lembur.
Kasubag Hukum dan Organisasi Ditjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jamsostek Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Depnakertrans) ini menjelaskan seorang partner tidak memiliki hubungan kerja layaknya pekerja dengan pengusaha. Mereka bekerja dalam skema hubungan kerja sama atau partnership (kemitraan). Gaji atau pendapatannya pun tergantung pada kasus yang ditangani. Oleh karenanya, advokat yang berstatus partner otomatis tidak tunduk pada UU Ketenagakerjaan.
"Untuk advokat yang partner itu, kalau tidak ada case, berarti tidak ada pekerjaan kan? Sehingga waktu kerja partner ini amat flexibel. Oleh karenanya tidak ada istilah lembur bagi mereka, sehingga tidak berhak atas upah lembur," paparnya.
Lain halnya dengan advokat yang murni berstatus karyawan, meskipun istilahnya beragam seperti associates atau junior lawyer. Reytman menegaskan advokat yang hanya berstatus karyawan selama memenuhi unsur adanya upah, perintah kerja, dan pekerjaan, maka tunduk pada UU Ketenagakerjaan dan aturan terkait. Tidak terkecuali soal upah lembur.
"Kalau advokat sebagai karyawan, maka dimungkinkan kepadanya diberikan upah lembur," pungkas Reytman yang juga tercatat sebagai pengajar pada Fakultas Hukum Universitas Mpu Tantular Jakarta.
Profesi boleh unik, praktek boleh beragam, tetapi satu hal yang tidak bisa dibantah adalah advokat juga manusia.
1 komentar:
gua mengamati persoalan ini udah beberapa waktu krn pacar gua skrg kerja sebagai advokat di lawfirm.
rasanya miris bgt denger dia kerja sampe jam 9, kadang2 sampe jam 12, TANPA mendapatkan kompensasi apa-apa (palingan dibayarin taksi).
tapi serba salah juga kalo seorang pekerja di law firm menanyakan hal ini ke atasannya. siapa yg berani? salah-salah dipecat kan. harusnya memang PERADI dan Departemen Tenaga Kerja yang lebih aktif memperjuangkan nasib lawyer-lawyer Indonesia.
Ga bakal kita denger complaint dari para lawyer itu. Istilah mereka, "udah bagus dapet kerja di lawfirm gede, why risk it?".
Suatu bentuk bully badan hukum (yg harusnya taat hukum) terhadap pekerjanya. Ironis.
Posting Komentar