Memori van Toelichting

Tidak semua karya disini itu saya salin, ada pula yang murni dari analisis pribadi, sehingga tidak memerlukan lagi catatan kaki ataupun daftar pustaka Sedangkan apabila anda tidak senang dengan blog ini karena mungkin anda merasa ada karya anda yang saya terbitkan tidak menyertakan sumber, saya mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya; semua semata-mata hanya kekhilafan, karena motivasi utama saya dalam membuat blog ini adalah "demi kemajuan bangsa Indonesia untuk lebih peka terhadap hukum sebagaimana yang dicita-citakan oleh Bung Karno". Serta yang terpenting ialah adagium, "Ignorantia iuris nocet" yang artinya Ketidaktahuan akan hukum, mencelakakan, semoga blog bermanfaat untuk semua orang untuk sadar hukum.

Disclaimer


Blog ini bukanlah blog ilmiah, dan Informasi yang tersedia di www.raja1987.blogspot.com tidak ditujukan sebagai suatu nasehat hukum,
namun hanya memberikan gambaran umum terhadap suatu informasi atau permasalahan hukum yang sedang dihadapi.

------------------------------

nomor telepon : 0811 9 1111 57
surat elektronik : raja.saor@gmail.com
laman : www.rikifernandes.com

Contoh Aplication Letter to Lawfirm

0 komentar
To:
JAMASLIN JAMES PURBA, SH.
Managing Partner
Wisma Nugra Santana, 12th Floor, Suite 1205
Jalan Jenderal Sudirman Kav. 7-8
Jakarta 10220 – INDONESIA


Dear Sir,

Based on information from http://www.jpplawyer.com that you Law Firm has so many client so I assume you would had intership program to cover the growing client. I trust you have some wisdom to recruit a fresh graduate like me for an internship program.

I am Fernandes Raja Saor already interest in legal practice since entering Faculty of Law Universitas Indonesia. The opportunity presented in your lawfirm is very interesting, and i believe that my strong technical experience and education will make me a very competitive candidate for this position. The key strengths that I possess for success in this position include:
  • • I am a hard worker and diligent kind of person with full dedication, have strong will and motivation to learn.
  • • I have an experience to handle a client interview, pledoi drafting, and online consultation.
  • • I have only a few A Credit Term Left.
Please see my resume for additional information on my experience.

I can be reached anytime via my cell phone, 021 98948771 Thank you for your time and consideration. I look forward to speaking with you about this employment opportunity.

Thank you very much for your great attention.


Your Faithfully,


Fernandes Raja Saor

Contoh Timbangan Buku

1 komentar
JUDUL BUKU               : Pengantar Hukum Telematika Suatu Kompilasi Kajian
PENGARANG               : Edmon Makarim, S.Kom., S.H., LL.M.
IMPRESUM                  : Jakarta: Rajagrafindo Persada, 2005
JUMLAH HALAMAN  : 702

Buku ini merupakan suatu pengantar umum bagi orang-orang yang hendak mempelajari hukum telematika. Dalam buku ini diulas mulai dari penggunaan teknologi dari tinjauan hukum dan membahas keterkaitan antara teknologi dengan tindak pidana. Buku ini akan banyak bermanfaat bagi peneliti dan staf pengajar yang hendak mengetahui secara mendasar kegiatan telematika dengan berbagai cabang ilmu dan bidang kajian hukum. Adapun cabang ilmu hukum yang menyoroti kegiatan telematika yang dilakukan, antara lain hukum perdata, hukum administrasi negara, hukum tata negara dan hukum internasional. Selain itu, buku ini menekankan pada perluasan alat bukti dalam perkara pidana, terutama bagi tindak pidana yang yang sulit pembuktiannya, seperti tindak pidana terorisme, tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat, dan tindak pidana korupsi.
Beberapa kelebihan dalam buku ini adalah analisis hukum yang digunakan oleh penulis beralaskan dasar hukum, hal ini menandakan bahwa buku ini sengaja dikupas dari pemahaman teknologi yang berbasis hukum. Selain itu, yang menarik dari buku ini adalah selain mendapatkan suatu pengetahuan baru mengenai hukum telematika, buku ini dapat mengakomodasi perkembangan teknologi yang begitu cepat sehingga buku ini tidak ketinggalan jaman, serta pembahasan dari alat bukti yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak terbatas pada apa yang telah tertuang secara nyata dalam bentuk yang berwujud, tetapi lebih dari itu yaitu data elektronik baik yang masih berada dalam komputer maupun yang berupa hasil print-out dari data tersebut.
Walaupun demikian, buku ini memiliki beberapa kelemahan antara lain adanya pembatasan dari pembahasan terbatas pada tindak pidana tertentu dan tidak membahas lebih mendalam mengenai alasan alat bukti yang diatur dalam KUHAP cenderung lebih lemah karena tidak mengikuti perkembangan jaman. Selain itu, buku ini dilengkapi oleh rancangan undang-undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sedangkan rancangan undang-undang tersebut sudah menjadi Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, sehingga diperlukan cetakan revisi terhadap buku ini.
Akan tetapi, dari segi bahasanya buku ini menampilkan gaya bahasa yang ringan dan mudah dimengerti oleh semua kalangan, karena buku ini tidak hanya dibuat bagi pembaca yang mengerti hukum, tetapi juga bagi pembaca yang belum paham dengan hukum khususnya terkait dengan hukum telematika. Sementara itu, buku ini dikemas dengan kualitas kertas dan cetakan yang baik sehingga akan semakin memotivasi bagi pembacanya selalu bersemangat dalam membaca buku ini, tanpa melihat kekurangan-kekurangan yang ada di dalamnya. Cover buku ini juga dibuat untuk menarik para pembaca karena di desain sederhana akan tetapi dapat mewakili isi yang akan dibaca oleh pembaca. Kesimpulannya buku ini sangat menarik untuk dibaca dan begitu banyak norma-norma hukum mengenai perlunya pengaturan alat bukti elektronik yang menuntut perkembangan teknologi yang semakin pesat.

=========================


Judul                       : Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial Indonesia
Pengarang              : Muh. Busyro Muqoddas
Impresum              : Jakarta: Komisi Yudisial Republik Indonesia. 2006.
Jumlah Halaman   : 537

Buku ini berisikan seluk beluk mengenai Komisi Yudisial seperti kedudukan wewenang dan fungsi Komisi Yudusial. Buku ini juga membuka wacana bagi penulis mengenai keterkaitan antara Komisi Yudisial terhadap Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Karena di dalam buku ini juga banyak membahas mengenai kehakiman di Indonesia. Buku ini memberikan informasi yang sangat akurat karena buku ini diterbitkan langsung oleh Komisi Yudisial. Buku ini merupakan media jejaring Komisi Yudisial yang memiliki visi, misi, program dan perhatian yang analog dengan visi, misi, program dan perhatian yang dimiliki Komisi Yudisial. Persamaan visi, misi, program dan perhatian tersebut diwujudkan dalam bentuk buku yang selanjutnya dikonkritkan dalam bentuk resume program riset putusan hakim. Riset putusan hakim bukanlah untuk mencampuri urusan teknis yudisial pengadilan. Mekanisme kontrol terhadap teknis yudisial telah baku di seluruh dunia dan sudah menjadi asas dalam sistem peradilan modern yaitu melalui banding, kasasi atau Peninjauan Kembali (PK). Lembaga yang berada di luar mekanisme tersebut tidak boleh ikut campur dalam mekanisme kontrol tersebut. Jika terjadi adanya lembaga turut campur dalam teknis yudisial tersebut, itu berarti telah terjadi intervensi terhadap kemandirian lembaga peradilan.
Beberapa kelebihan yang patut diakui dalam buku ini ialah kecermatan dalam setiap analisis hukum yang digunakan selalu beralaskan dasar hukum, hal ini menandakan bahwa buku ini sengaja dikupas dari pemahaman lebih lanjut mengenai telaah hukum yang dikaji sebelumnya. Sesuatu yang membanggakan bahwa buku ini tidak membahas suatu masalah secara berbelit-belit, buku ini dirancang sangat sistemik dan metodik terdiri dari langkah-langkah positif dalam mendorong peradilan yang akuntabel, jujur dan adil. Dengan demikian beberapa putusan hakim dapat dinilai oleh publik dan sekaligus juga menjadi pembanding antara beberapa putusan pengadilan dalam menangani perkara yang sejenis. Dalam memutus perkara yang sejenis, sering terjadi disparitas dalam putusan. Ada putusan yang dinilai wajar dan juga ada yang tidak wajar. Bagian yang menarik yang jarang dikupas dari buku-buku serupa ialah adanya biodata singkat dari setiap penulis di bagian akhir buku ini yang bisa dicermati oleh setiap pembaca. Biodata ini secara singkat dapat mengambarkan suatu kompetensi penulis dalam setiap halaman tulisannya.
Namun, setiap buku pasti memiliki kelemahan. Salah satu kelemahan buku ini adalah, bagian awal, ada bagian yang terlalu banyak ditekankan sebagai buku keluaran Komis Yudisial yakni mengenai definisi, tujuan, visi, misi Komisi Yudisial yang dikupas terlalu dalam hingga tiga halaman dengan terlalu banyaknya gambar dan pengunaan jenis maupun ukuran huruf yang sangat besar. Namun, secara keseluruhan buku ini sudah sangat baik. Apalagi ditambah dengan penggantian buku langsung ke Komisi Yudisial apabila buku ini ada kesalahan pada saat percetakan.
Kepengarangan buku ini, gaya bahasa yang digunakan tidak rumit dan mudah dimengerti sehingga sesuai untuk umur remaja ataupun yang lebih tua, padahal buku ini dikeluarkan oleh sebuah intitusi hukum yang secara kasat mata seharusnya menggunakan bahasa yang menonjolkan sisi hukum. Kesimpulan, buku ini sangat menarik untuk dibaca dan begitu banyak norma-norma hukum mengenai perlunya Komisi Yudisial dalam tatanan hukum. Tidak lupa, dengan membaca buku ini, kita akan semakin bangga dengan Indonesia dan sistem hukum yang telah ada setelah perubahan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia setelah hadirnya Komisi Yudisial setahun setelah buku ini diterbitkan.

Contoh Abstrak Peraturan Perundang-Undangan

0 komentar
ABSTRAK PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia. UU No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman. LN NO. 8 Tahun 2004 TLN NO. 4358.

Dasar Hukum :
1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999.

Konsiderans :
Bahwa kekuasaan kehakiman menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 merupakan kekuasaan yang merdeka yang dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan dibawahnya, dan oleh SebuahMahkamah Konstitusi, untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukumdan keadilan, perlu dilakukan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945telah membawa perubahan penting terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakimansehingga Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 1999 perlu dilakukan penyesuaian dengan Undang-Undang Dasar NegaraRepublik Indonesia Tahun 1945.

Isi Singkat :
Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Perubahan secara komprehensif dalam Undang-Undang ini mengatur mengenai badan-badan peradilan penyelenggara kekuasaan kehakiman, asas-asas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman, jaminan kedudukan dan perlakuan yang sama bagi setiap orang dalam hukum dan dalam mencari keadilan. Selain itu dalam Undang-Undang ini diatur pula ketentuan yang menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman serta panitera, panitera pengganti, dan juru sita sebagai pejabat peradilan, pelaksanaan putusan pengadilan, bantuan hukum, dan badan-badan lain yang fungsinya berkaitan dengan kekuasaan kehakiman. (Fernandes Raja Saor)

Pembagian Warisan Berdasarkan Hukum Perdata Barat

4 komentar

  BAB I

PENDAHULUAN

 

 

I.       Kasus Posisi

 

Seorang pria, La Daru, menikah dengan seorang wanita bernama Ino Upe, yang kemudian mempunyai anak: I Sube. Namun perkawinan ini berakhir dengan perceraian. La Daru kemudian menikah lagi dengan seorang wanita asal Jambi, I Bengnga, (istri kedua), yang melahirkan tiga orang anak yaitu: (1) Siti, (2) Jaya, dan (3) Alimudin. Beberapa tahun kemudian, La Daru menikah lagi dengan wanita lainnya yaitu Besse Rawe, yang melahirkan anak bernama Baso. Selama itu La Daru, hidup bersama dua orang istrinya yaitu:

Istri tua: I Bengnga, beserta 3 orang anaknya: Siti, Jaya, dan Alimudin. Istri muda: Besse Rawe, beserta 1 orang anaknya: Baso. Disamping ia juga memelihara I Sube, anak dari istri pertama yang dicerainya.

 

Dalam perkawinannya dengan istrinya I Benganga di Jambi, La Daru juga memperoleh sejumlah harta berupa rumah dan tanah yang berada di Jambi. Pada tahun 1968, pria La Daru yang hidup beristri dua orang wanita tersebut di atas meninggal dunia. Almarhum La Daru meninggalkan:

l  Satu anak dari istri pertama yang dicerainya, I Sube.

l  Istri kedua, I Bengnga, beserta tiga orang anaknya: Siti, Jaya, dan Alimudin.

l  Istri ketiga, Besse Rawe, beserta seorang anaknya: Baso. Disamping meninggalkan anak dan kedua istri yang sah tersebut, La Daru juga meninggalkan harta warisan, berupa sejumlah tanah pertanian, tanah kebun, perumahan dan pabrik beras di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.

 

Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, janda La Daru yang bernama Besse Rawe, menjual pabrik beras harta peninggalan almarhum La Daru kepada seorang pedagang bernama Kadir.

 

Mendengar jual-beli pabrik beras antara Besse Rawe dengan Kadir, I Benganga tidak dapat menerima penjualan harta warisan tersebut. Karena setelah melalui musyawarah, masalah harta warisan Almarhum La Daru masih tidak dapat diselesaikan, maka melalui penasihat hukumnya, I Benganga, sebagai penggugat, mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Sengkang, terhadap para Tergugat:

l  Besse Rawe (istri ketiga dari La Daru alm)

l  Kadir (orang yang membeli pabrik beras dari Besse Rawe)

l  Baso (anak Besse Rawe)

l  I Sube (anak istri pertama)

l  Siti, VI. Jaya, VII. Alimudin (anak I Bengnga untuk patuh pada putusan Hakim)

 

                        Dalam gugatan perdata ini, penggugat I Bengnga menuntut:

l  Harta sengketa merupakan harta warisan dari Almarhum La Daru.

l  Penggugat, I Bengnga adalah janda dari almarhum La Daru berhak mewaris harta warisan dari almarhum La Daru, seperti ahli waris lainnya.

l  Menyatakan batal demi hukum jual-beli pabrik beras yang merupakan harta warisan La Daru antara penjual Besse Rawe dengan pembeli Kadir.

l  Menghukum Tergugat II (Kadir) atau siapa saja yang memperoleh hak darinya, untuk menyerahka npabrik beras kepada penggugat yang selanjutnya dibagi kepada ahli waris La Daru.

l  Menghukum tergugat I (Besse Rawe) atau siapa saja yang memperoleh hak darinya, untuk menyerahkan pabrik beras kepada penggugat yang selanjutnya dibagi kepada ahli waris La Daru.

l  Subsidair, mohon putusan lain yang adil dan patut sesuai dengan hukum yang berlaku.

 

Menghadapi gugatan konsepsi dari penggugat I Bengnga tersebut diatas, maka tergugat I Besse Rawe mengajukan gugatan balasan mengenai harta peningalan Almarhum La Daru dengan I Bengnga yang berada dan terletak di Provinsi Jambi yang dituntut agar harta warisan Almarhum La Daru yang berada di dalam wilayah Provinsi Jambi ini juga dibagikan kepada semua ahli waris Almarhum La Daru.

 

PENGADILAN NEGERI

 

            Hakim pertama yang mengadili perkara ini dalam putusannya memberikan pertimbangan hukum yang pokoknya sebagai berikut:

1.             Bahwa terbukti dalam persidangan bahwa Penggugat (I Bengnga) merupakan janda dari Almarhum La Daru dan harta berupa pabrik beras dan tanahnya 3 Ha adalah harta peninggalan Almarhum La Daru yang telah dijual kepada Tergugat II (Kadir) oleh Tergugat I (Besse Rawe).

2.             Jual-beli sengketa antara Tergugat I dan Tergugat II harus dibatalkan dan objek sengketa ini harus dikembalikan kepada Tergugat I (Besse Rawe). Dan selanjutnya harta ini dibagi-bagikan dengan masing-masing (Tergugat I dan Tergugat II mendapat bagiannya).

 

                        Persoalannya siapa saja yang berhak menikmati objek sengketa yang tersebut diatas?

            Tergugat terbukti berstatus janda dari istri ke-dua dari La Daru pada waktu dibelinya harta sengketa tersebut. Jadi harta warisan objek sengketa ini merupakan harta bersama antara Almarhum La Daru dengan para istrinya tersebut yakni Penggugat (I Bengnga) dan Tergugat I (Basse Rawe).

                       

                        Menurut hukum dan asas kepatutan dalam masyarakat maka pembagian “harta bersama” itu adalah sebagai berikut:

1.    Penggugat mendapat ¼ bagian dan Tergugat I mendapat ¼ bagian yang seluruhnya adalah ½ bagian.

2.    Sisanya yang ½ bagian jatuh kepada jandanya Cq. Penggugat dan Tergugat ke III (Baso, anak dari Besse Rawe) serta Tergugat IV (I Sube, anak dari Ino Upe) dan Tergugat V, VI dan VII (anak-anak dari I Bengnga).

 

                        Dalam dasar pertimbangan di atas ini, Tergugat I (Besse Rawe) harus menyerahkan ¾ bagian dari harta sengketa yaitu:

1.    Seperempat (¼) bagian jatuh kepada Penggugat sebagai bagian dari harta bersama.

2.    Setengah (½) bagian sebagai warisan dan dibagi bersama antara Penggugat dan Tergugat III-IV-V-VI-VII (anak-anak dari Almarhum La Daru) yang masing – masing memperoleh: 1/6 x ½ = 1/12 bagian dari keseluruhan objek harta sengketa.

Karena objek harta sengketa sulit dibagikan maka akan diperhitungkan nilainya barang baru dibagi – bagi.

Karena tergugat III s.d VII tidak menguasai harta sengketa, maka mereka harus mentaati putusan ini.

 

            Mengenai Gugatan Balasan, karena objek harta sengketa terletak diluar Kompetensi Relatif Pengadilan Negeri di Sengkang, maka tuntutan Penggugat pekompensi atas objek sengketa tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.

 

            Berdasarkan atas pertimbangan yang pokoknya dikutip di atas, akhirnya hakim pengadilan Negeri Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan memberikan putusan yang intinya diktum sebagai berikut:

            A. Dalam Gugatan Konpensi

1.    Menolak eksepsi Tergugat; dan

2.    Mengabulkan gugatan pokoknya:

      Menyatakan objek sengketa adalah harta peninggalan Almarhum La Daru;

      Menyatakan Penggugat adalah janda dari Almarhum La Daru dan Tergugat III s.d. Tergugat VII adalah anak – anak dari Almarhum La Daru yang berhak mewarisi harta peningalan Almarhum La Daru;

       Membatalkan jual-beli objek sengketa (pabrik beras) antara Tergugat I dengan Tergugat II dan menyerahkan kembali kepada Tergugat I untuk dibagi waris.

       Menghukum Tergugat I atau siapa saja yang memperoleh hak darinya harta sengketa, untuk menyerahkan:

1.      tiga per empat ¾ bagian atau nilainya kepada penggugat dan selanjutnya penggugat lalu membagi sebagai berikut:

2.      setengah ½ bagian untuk dirinya penggugat dan anak-anak (tergugat III s.d. Tergugat VII) selaku ahli waris almarhum La Daru

       Menghukum Tergugat III s.d. VII untuk mentaati putusan ini.

            B. Dalam Gugatan Rekonvensi: menolak gugatan rekonvensi ini.

 

            PENGADILAN TINGGI

 

                        Hakim Banding pada Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan yang mengadili perkara ini dalam tingkat Banding dalam putusannya berpendapat bahwa pertimbangan dan putusan Hakim Pertama dinilai sudah benar dan diambil alih sebagai pertimbangan dari Pengadilan Tinggi sendiri. Karena itu Hakim Banding memberi putusan berupa: Menguatkan putusan Hakim Pengadilan Negri di Sengkang tersebut diatas.

 

            MAHKAMAH AGUNG

           

            Putusan Pengadilan Tinggi tersebut di atas ditolak oleh Tergugat I dan kemudian mengajukan pemeriksaan kasasi.

 

            Makamah Agung yang mengadili perkara ini di dalam putusannya berpendirian bahwa putusan judex facti Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan Hakim Pengadilan Negeri dinilai salah menerapkan hukum, sehingga harus dibatalkan dan selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini.

 

            Pendirian Makamah Agung ini dilandasi oleh pertimbangan hukum yang intisarinya sebagai berkut:

Putusan judex facti pertimbangan hukumnya saling bertentangan satu sama lain. Pada satu segi Hakim Pertama membenarkan bahwa harta sengketa adalah merupakan harta bersama yang diperoleh bersama antara Almarhum La Daru dengan istri ke-3 (Tergugat I). Namun di pihak lain, judex facti mengikuti Penggugat (istri ke-2, I Bengnga) untuk ikut berhak atas harta bersama istri ke III dengan La Daru Alm.

Harta sengketa terbukti merupakan harta bersama antara La Daru dengan istri ke II, Besse Rawe, Tergugat I.

Sesuai dengan ketentuan Pasal 35 jo. 37 Undang – Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dikaitkan dengan Jurisprudensi Tetap Makamah Agung, telah ditentukan bahwa dalam perkawinan poligami, maka masing – masing harta bersama antara si suami dan masing – masing istrinya itu harus dipisah dan berdiri sendiri – sendiri.

Harta bersama yang diperoleh si suami La Daru dengan istri ke-2, I Bengnga, harus dipisahkan dengan harta bersama yang diperoleh oleh si suami La Daru denga istri ke-3, Besse Rawe. Masing – masing harta bersama menjadi hak masing – masing istri dengan anak – anaknya.

 

                        Cara menerapkan ketentuan adalah sebagai berikut:

Apabila suami meninggal dunia, maka herta bersama antara si suami dengan masing – masing istrinya dibagi dua bagian yaitu:

  Setengah (½) bagian menjadi hak istri

  Setengah (½) bagian lainnya menjadi hak suami (yang karena meninggal) jatuh pada “harta warisan” bagian seluruh warisan (termasuk janda – janda dan seluruh anak – anaknya)

 

            Dalam kasus ini, harta sengketa telah terbukti merupakan harta bersama antara Almarhum La Daru dengan istri ke-3 (Tergugat I) Besse Rawe. Dengan demikian penyelesaian kasus sengketa ini menurut hukum dan keadilan sebagai berikut:

                        Harta bersama dibagi menjadi dua bagian:

1.         Setengah (½) bagian menjadi hak Tergugat

2.         Setengah (½) bagian menjadi hak bagian Almarhum La Daru, mejadi Harta Tirkah La Daru yang dibagi waris antara Penggugat (I Bengnga) dengan seluruh ahli waris

 

                        Mengenai gugatan balasan, karena gugatan tidak memenuhi syarat formil kompetensi relatif Pengadilan Negri, maka harus dinyatakan tidak dapat diterima.

 

                        Berdasarkan pertimbangan yang intisarinya dikutib diatas, akhirnya Makamah Agung memberikan putusan:

            Mengadili:

            Membatalkan putusan pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri di Sengkang

             Mengadili sendiri:

1.    Mengabulkan gugatan Penggugat pada bagian Petitum Subsidair.

2.    Menyatakan objek sengketa adalah harta bersama antara La Daru dengan Tergugat I (Besse Rawe), sehingga ½ bagian menjadi hak Tergugat I, sedangkan ½ bagian lainnya menjadi haknya seluruh ahli waris dari Almarhum La Daru.

3.    Menyatakan batal demi hukum perikatan jual-beli objek sengketa antara Tergugat I dengan Tergugat II.

4.    Menolak gugatan selebihnya.

5.    Menolak gugatan rekompensi.

 

II. Gambar Garis Keturunan Kasus Posisi

 

 

 

III.  Ringkasan Putusan Ditinjau dari Aspek Hukum Waris Perdata

 

Ringkasan Putusan Pengadilan Negeri jika ditinjau dari aspek hukum waris Perdata Barat

Hakim dalam membuat keputusan pada tingkat Pengadilan Negeri sebelum memutuskan mengenai harta warisan ternyata menekankan pada pembagian harta bersama yang timbul langsung setelah kematian. Hal ini dikarenakan pasal 126 BW yang menyatakan :

“ Harta-bersama bubar demi hukum:

1.    karena kematian;

2.    karena perkawinan atas izin hakim setelah suami atau istri tidak ada; (KUHPerd. 493 dst.)

3.    karena perceraian; (KUHPerd. 207 dst.)

4.    karena pisah meja dan ranjang; (KUHPerd. 233 dst.)

5.    karena pemisahan harta. (KUHPerd. 186 dst.) “

Harta bersama ini nantinya akan bagi harta bagian pewaris yang akan menjadi harta warisan. Harta bersama dalam putusan di tingkat pengadilan negeri ini sangat unik dalam penentuan dasar hukum yakni mengunakan Hukum dan Asas Kepatutan.

 

Sehingga dari seluruh harta pewaris, Pengugat mendapat ¼ bagian dan tergugat I mendapatkan ¼ bagian, yang seluruhnya adalah ½ bagian jatuh kepada janda I. Sedangkan sisanya diberikan kepada Penggugat dan Tergugat III, IV, V, VI, VII

Selanjutnya Tergugat I harus menyerahkan ¾ bagian dari harta sengketa yaitu :

·         ¼ menjadi bagian penguggat sebagai harta bersama.

·         1/12  jatuh kepada Penggugat sebagai warisan

·         1/12  jatuh kepada Tergugat III sebagai warisan

·         1/12  jatuh kepada Tergugat IV sebagai warisan

·         1/12  jatuh kepada Tergugat V sebagai warisan

·         1/12  jatuh kepada Tergugat VI sebagai warisan

·         1/12  jatuh kepada Tergugat VII sebagai warisan

 

Ringkasan Putusan Pengadilan Tinggi jika ditinjau dari aspek hukum waris Perdata Barat

 

Pada putusan pengadilan tinggi, tidak jauh berbeda karena hanya menguatkan putusan pengadilan Negri Sengkang tanggal 21 November 1988 No. 2/Pdt/G/PN. Sengkang.

 

Ringkasan Putusan Mahkamah Agung jika ditinjau dari aspek hukum waris Perdata Barat

 

Putusan Mahkamah Agung pada kasus ini menerapkan ketentuan sebagai berikut yakni :

Apabila suami meninggal dunia, maka Harta Bersama antara si suami dan masing-masing istri dibagi menjadi dua bagian yaitu :

  • ½ bagian menjadi hak istri
  • ½ bagian menjadi hak suami yang karena telah meninggal jatuh menjadi Harta Warisan

Sedangkan sebagaimana dalam kasus yang telah dibahas pembagian seluruh harta dalam perkawinan mereka ialah :

  • ½ hak tergugat I.
  • ½ hak pewaris yang akan diberikan kepada masing-masing ahli waris.

 

 

 

IV. Dasar Hukum yang Dipakai

 

Di Indonesia pengaturan mengenai bagian warisan istri atau suami kedua dan seterusnya diatur dalam Pasal 852a KUHPerdata[1] yaitu:

Dalam halnya mengenai warisan seorang suami atau istri yang meninggal lebih dahulu, si istri atau suami yang hidup terlama, dalam melakukan ketentuan-ketentuan dalam bab ini dipersamakan dengan seorang anak yang sah dari si meninggal, dengan pengertian, bahwa jika perkawinan itu adalah untuk kedua kalinya atau selanjutnya, dan dari perkawinan yang dulu ada anak-anak atau keturunan anak-anak itu,  si istri atau suami yang baru tak akan mendapat bagian warisan yang lebih besar daripada bagian terkecil yang akan diterima oleh salah seorang anak tadi atau dalam hal bilamana anak itu telah meninggal oleh sekalian keturunan penggantinya, sedangkan dalam hal bagaimanapun juga tak bolehlah bagian istri atau suami itu lebih dari seperempat harta peninggalan si meninggal.

 

Apabila atas kebahagiaan si istri atau suami dari perkawinan ke dua kali atau selanjutnya, sebagaimana di atas, dengan wasiat telah dihibahkan sesuatu, maka jika jumlah harga dari apa yang diperolehnya sebagai warisan dan sebagai hibah wasiat melampaui batas harga termaksud alam ayat ke satu, bagian warisannya harus dikurangi sedemikian, sehingga jumlah tadi tetap berada dalam batas. Jika hibah wasiat tadi seluruhya, atau sebagian terdiri atas hak pakai hasil sesuatu, maka harga hak yang demikian harus ditaksir, setelah mana jumlah tadi harus dihitung menurut harga taksiran itu.

 

Contoh kasus:

1. Pewaris melalui perkawinan pertama dengan A memiliki anak B dan C. Melalui perkawinan kedua dengan D memiliki anak  E, F, G.

 

 

 

 

 

Besar porsi B, C, E, F, dan G masing-masing 1/6  harta pewaris.

Porsi D tidak boleh melebihi anak-anak Pewaris, maka Porsi D adalah 1/6  harta pewaris

 

2.      Pewaris melalui perkawinan pertama dengan A memiliki anak B. Melalui perkawinan kedua dengan C memiliki anak D.

 

 

 

 

 

 


Besar porsi B dan D adalah 1/3 dari harta pewaris.

Porsi C tidak boleh lebih besar dari anak-anak pewaris, maka porsi C maksimal seharusnya 1/3 harta pewaris.

Namun dikatakan bagian dari C tidak boleh lebih dari ¼ bagian harta pewaris, maka harta yang dapat diperoleh C hanya ¼.

Besar porsi B dan D setelah itu adalah: ½ x ¾ = 3/8

 

3. Pewaris melalui perkawinan pertama dengan A memiliki anak B. Melalui perkawinan kedua dengan C memiliki anak D.

Harta pewaris berjumlah Rp. 10.000.000,-. C menerima hibah wasiat sebesar Rp. 1.000.000,-. Sisa harta pewaris sebesar Rp. 9.000.000,-.

 

 

 

 

 

Bagian C maksimal ¼ dari warisan, maka bagian C =

¼ x Rp.9.000.000,- = Rp. 2.250.000,-

 

Bila bagian C ditambah dengan jumlah hibah, maka perolehan C =

Rp. 2.250.000,- + Rp.1.000.000,- =Rp. 3.250.000,-

 

Bagian yang diperoleh C tidak boleh melebihi ¼ harta warisan yaitu

¼ x Rp.10.000.000,- = Rp.2.500.000,-

 

Maka warisan yang diberikan kepada C harus dikurangi sedemikian rupa sehingga jumlahnya tidak melebihi Rp.2.500.000,-.

Warisan yang dapat diterima C sebesar

Rp2.250.000 – (Rp.3.250.000 – Rp.2.500.000) = Rp.1.500.000,-

 

 

 

 

 

 

 

BAB II

PEMBAHASAN

 

 

I. Analisa Putusan

 

Analisa Putusan Pengadilan Negeri No.2/Pts.Pdt.G/1988/PN. Sgkg.

 

Hakim dalam pengadilan negeri memutus :

      1.   Penggugat ( I Bengnga) adalah janda dari dari La Daru.

2.   Terbukti bahwa Tergugat I (Besse Rawe) telah menjual harta peningglan berupa pabrik beras dan tanah seluas 3 ha kepada Tergugat 2 (Kadir).

3.   Jual beli antara Tergugat I dan Tergugat II harus dibatalkan dan Kadir harus mengembalikan objek sengketa kepada Besse Rawe. Dan selanjutnya harat ini dibagi-bagikan kepada masing-masing ahli waris. 

4.   Objek sengketa merupakan harta bersama antara La Daru dengan para istrinya, yaitu Penggugat (I Bengnga) dan Tergugat I (Besse Rawe).

5.   Penggugat mendapat 1/4 bagian, Tergugat I mendapat 1/4 bagian Sisanya yang 1/2 bagian dibagikan kepada penggugat, Tergugat III - Tergugat VII.

 

Pada dasarnya KUHPerdata tidak mengenal adanya perkawinan poligami. Dimana KUHPerdata sendiri secara tegas mengakui asas monogami yang diatur dalam pasal 27 KUHPerdata “Dalam yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya.

 

Sehingga dalam hal ini apabila kita melihat ketentuan yang berlaku dalam KUHPerdata (dimana UU no.1 Tahun 1974 belum berlaku pada saat itu), maka seharusnya Tergugat 1 (Besse Rawe) sebagai istri kedua dari La Daru dan tergugat 3 (Baso) sebagai anak dari Besse Rawe, seharusnya tidak berhak mendapat warisan atas harta peninggalan La Daru. Hal ini karena KUHPerdata menganut asas monogami, dan perkawinan antara La Daru dengan Besse Rawe dianggap tidak sah,  karena Besse Rawe masih terikat perkawinan dengan I Bengnga, yang menjadi istri pertamanya. Demikian juga anaknya Baso yang dilahirkan dari perkawinan dengan Besse Rawe. Karena perkawinan itu dianggap tidak sah, maka anak dari perkawinan tersebut (Baso) bukanlah merupakan anak yang sah. Baso dapat dianggap sebagai anak luar kawin. Namun konteks dalam kasus ini tidaklah demikian, karena Baso tidak dianggap sebagai anak luar kawin sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata dan bagian sistem pewarisannya. Maka Baso juga tidak berhak mendapat bagian warisan, kecuali bila Baso dianggap dimasukkan sebagai anak luar kawin dari La Daru tanpa memandang statusnya sebagai anak dari hasil perkawinan poligami.

 

Maka yang berhak menjadi ahli waris adalah istri I Bengnga beserta 3 anaknya yaitu : Siti, Jaya, Alimudin. Bagian untuk masing-masing ahli waris adalah masing-masing mendapat 1/4 bagian. Sedangkan dalam gugatan rekompensi, keputusuan pengadilan negeri Sengkang sudah tepat, yaitu tidak menerima gugatan rekonpensi dari Tergugat I, karena tanah objek sengketa yang berada di Jambi tidak termasuk dalam kompetensi relatif pengadilan negeri Sengkang, Sulawesi Selatan melainkan kompetensi pengadilan negeri di daerah Jambi, dimana harta peninggalan tersebut berada.

 

Analisa Putusan Pengadilan Tinggi No.408/Pdt/1989/PT.Uj Pdg.

 

Bahwa putusan Pengadilan Negeri Sengkang tanggal 21 November 1988 No.2/Pdt/G/88/Pn.Sengkang yang dimohonkan pemeriksaan dalam tingkat banding telah didasarkan atas alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi sendiri. Sehingga oleh Pengadilan Tinggi dapat disetujui dan dijadikan alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi sendiri dalam menjatuhkan putusan dalam tingkat banding ini.

 

 

 

Putusan Pengadilan Tinggi :

-          Menerima permohonan untuk pemeriksaan dalam tingkat banding dari Tergugat I, II, dan III Pembanding tersebut.

-          Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Sengkang tanggal 21 November 1988 No.2/Pdt/G/PN. Sengkang

-          Menghukum Tergugat I, II dan III/Pembanding membayar biaya perkara dalam tingkat banding sebesar Rp.15.000,00

 

Kalau dilihat maka keputusan hakim pengadilan tingkat banding ini sama dengan keputusan hakim dalam pengadilan negeri, yaitu mengabulkan gugatan penggugat yaitu :

1.   Jual beli antara Tergugat I dan Tergugat II harus dibatalkan dan Kadir harus mengembalikan objek sengketa kepada Besse Rawe. Dan selanjutnya harat ini dibagi-bagikan kepada masing-masing ahli waris.

2.   Objek sengketa merupakan harta bersama antara La Daru dengan para istrinya, yaitu penggugat (I Bengnga) dan Tergugat I (Besse Rawe).

3.   Penggugat mendapat 1/4 bagian, Tergugat I mendapat 1/4 bagian Sisanya yang 1/2 bagian dibagikan kepada penggugat, Tergugat III - Tergugat VII.

 

Maka, sama seperti dalam pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri), pada dasarnya KUHPerdata tidak mengenal adanya perkawinan poligami. Dimana KUHPerdata sendiri secara tegas mengakui asas monogami yang diatur dalam pasal 27 KUHPerdata “Dalam yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya.

 

Sehingga dalam hal ini apabila kita melihat ketentuan yang berlaku dalam KUHPerdata (dimana UU no.1 Tahun 1974 belum berlaku pada saat itu), maka seharusnya Tergugat I (Besse Rawe) sebagai istri kedua dari La Daru dan Tergugat III (Baso) sebagai anak dari Besse Rawe, seharusnya tidak berhak mendapat warisan atas harta peninggalan La Daru. Hal ini karena KUHPerdata menganut asas monogami, dan perkawinan antara La Daru dengan Besse Rawe dianggap tidak sah,  karena Besse Rawe masih terikat perkawinan dengan I Bengnga, yang menjadi istri pertamanya. Demikian juga anaknya Baso yang dilahirkan dari perkawinan dengan Besse Rawe. Karena perkawinan itu dianggap tidak sah, maka anak dari perkawinan tersebut (Baso) bukanlah merupakan anak yang sah. Baso dapat dianggap sebagai anak luar kawin. Namun konteks dalam kasus ini tidaklah demikian, karena Baso tidak dianggap sebagai anak luar kawin sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata dan bagian sistem pewarisannya. Maka Baso juga tidak berhak mendapat bagian warisan, kecuali bila Baso dianggap dimasukkan sebagai anak luar kawin dari La Daru tanpa memandang statusnya sebagai anak dari hasil perkawinan poligami.

 

Maka yang berhak menjadi ahli waris adalah istri I Bengnga beserta 3 anaknya yaitu : Siti, Jaya, Alimudin. Bagian untuk masing-masing ahli waris adalah masing-masing mendapat 1/4 bagian. Sedangkan mengenai gugatan rekompensi yang ditolak, keputusuan pengadilan negeri Sengkang yang diperkuat dengan keputusan pengadilan tinggi Sulawesi Selatan ini sudah tepat, yaitu tidak menerima gugatan rekonpensi dari Tergugat I, karena tanah objek sengketa yang berada di Jambi tidak termasuk dalam kompetensi relatif pengadilan negeri Sengkang - Sulawesi Selatan, melainkan kompetensi pengadilan negeri di daerah Jambi, dimana harta peninggalan tersebut berada.

 

Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 1112 K/Pdt/1990

 

Dari permasalahan dalam kasus tersebut, menurut kelompok kami Putusan dan pertimbangan Mahkamah Agung dalam perkara pembagian harta warisan sudah tepat. Adapun alasan kami adalah sebagai berikut:

  1. Dalam konsep perkawinan Indonesia, maka hukum perkawinan akan mengacu pada pengaturan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan.[2] Dalam konsep UU No. 1 Tahun 1974 dikenal dengan asas monogami akan tetapi tidak menutup kemungkinan untuk poligami jika agama yang bersangkutan mengizinkan untuk itu dan pengaturannya melalui beberapa ketentuan sebagai persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.[3] Pengaturan tersebut berbeda dengan konsep hukum perdata barat, dimana pengaturannya sangat kaku (rigid) yang terbatas pada asas monogami dan tidak ada pengecualiannya sebagaimana diatur dalam pasa 27 KUHPerdata.[4]
  2. Terdapat persinggungan dalam hal terjadinya perkawinan poligami dengan harta warisan yang mengacu pada pengaturan harta bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, dimana pembagian harta warisan didasarkan pada harta yang didapatkan selama perkawinan berlangsung hingga si pewaris meninggal dunia.

 

Dari uraian diatas jelas permasalahan dalam kasus ini mengacu pada pengaturan poligami yang berdampak pada persinggungan pembatasan harta bersama dan pembagian harta warisan. Mengingat pengaturan hukum perkawinan di Indonesia sudah di unifikasi, maka adanya penyeragaman penggunaan permasalahan perkawinan menggunakan UU No. 1 Tahun 1974 dan bukanlah menggunakan konsep dari KUHPerdata selama UU No 1 Tahun 1974 masih mengatur mengenai perkawinan. Akan tetapi, mengenai pengaturan hukum kewarisan maka dalam konsep hukum di Indonesia masih menganut konsep dari pengaturan KUHPerdata, karena belum ada pengaturan yang lex spesialis dari ketentuan perundang-undangan di Indonesia.

 

Akan tetapi, sebelum masuk ke dalam substansi dari pembagian harta warisan, dapat dilihat pengaturan mengenai putusan kasasi dalam hal perbedaan pembagian harta warisan, dimana Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh semua pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah agung.[5] Berdasarkan kewenangannya artinya Mahkamah Agung juga mempunyai andil dalam memutus dan mengadili kasus persengketaan harta warisan dalam perkara aquo.

 

Dalam kasus tersebut terdapat perbedaan hasil putusan dari tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dengan Mahkamah Agung. Kasus ini didasarkan pada putusan Pengadilan Negeri yang memutus:

1.      Penggugat (I BENGNGA) mendapatkan ¼ bagian dan Tergugat I (BESSE RAWE) mendapatkan ½ bagian, dan sisanya ½ bagian diberikan kepada jandanya cq. Penggugat dan Tergugat III (anaknya Besse Rawe) serta Tergugat IV (anaknya Ino Upe/Istri I yang sudah meninggal) dan Tergugat V, VI, dan VII (anaknya Penggugat).

2.      Menghukum Tergugat I (BESSE RAWE) untuk menyerahkan ¾ bagian harta sengketa kepada:

a.       Penggugat sebesar ¼ bagian dari harta bersama.

b.      Penggugat dan Tergugat III, IV, V, VI, VII dengan memperoleh 1/6 x ½ bagian harta sengketa.

Sedangkan dalam putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan juga menguatkan judex factie yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Sengkang, akan tetapi kembali Mahkamah Agung harus mengadili sendiri putusan pengadilan dibawahnya dengan alasan yaitu salah menerapkan hukum sehingga haruslah dibatalkan, dimana Pengadilan Negeri membenarkan harta sengketa adalah harta bersama antara pewaris dengan Istrinya ke III (Tergugat I, BESSE RAWE). Namun, di pihak lain, Penggugat (I BENGNGA) berhak atas harta bersama antara Istri ke III dengan pewaris.

 

Berdasarkan ketentuan Pasal 35 jo. Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 dan mengingat salah satu sumber hukum yaitu yurisprudensi Mahkamah Agung No. 561 K/Sip/1968 yang menyatakan bahwa “Harta warisan yang bersifat gono-gini. Barang sengketa sebagai peninggalan almarhum diputuskan harus dibagi antara penggugat dan tergugat masing-masing separoh.”

           

Dalam kasus ini terjadi kekosongan hukum, dimana dalam KUHPerdata tidak mengatur mengenai poligami dan pembagian harta warisan dalam keadaan poligami, maka sesuai dengan Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung diatas, maka pembagian harta warisan yang seharusnya adalah sesuai dengan putusan Mahkamah Agung bahwa pewaris yang mempunyai istri lebih dar seorang (poligami), maka harta bersama pewaris harus dipisahkan satu sama lain, artinya harta bersama yang diperoleh dengan istri yang terdahulu harus dipisahkan dengan harta bersama yang diperoleh dengan istri kedua, dan seterusnya. Selain itu, dari fakta-fakta yang terungkap dinyatakan bahwa harta yang disengketakan telah terbukti merupakan harta bersama antara pewaris dengan istri ke-III yaitu Besse Rawe (Tergugat I). Bilamana pewaris meninggal dunia, maka pembagian harta bersamanya menjadi dua bagian:

1.      setengah (½) bagian menjadi hak istri yang mempunyai harta bersama.

2.      setengah (½) bagian menjadi hak pewaris yang kemudian jatuh kepada semua ahli waris yaitu para janda dan anak-anak pewaris.

 

Dengan demikian, dapat disimpulkan perolehan harta warisan dari masing-masing ahli warisnya adalah:

Tergugat I (BESSE RAWE) = ½ bagian harta bersama

Penggugat (I BENGNGA) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12

Tergugat III (BASO) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12

Tergugat IV (I SUBE) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12

Tergugat V (SITI) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12

Tergugat VI (JAYA) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12

Tergugat VII (ALIMUDIN) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12

 

 

           

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

BAB III

    PENUTUP

Tambahan Analisis

Keputusan majelis Hakim atas kasus diatas bisa dikatakan juga tidak tepat dikarenakan beberpa hal yakni Hakim tidak mempertimbangkan dengan seksama mengenai asas monogami tertutup. Trlihat jelas penundukan para pihak yang menginginkan pembagian warisan ini mengunakan hukum perdata barat sebagaimana tercantum dalam BW, dari keinginan para pihak yang mengajukan gugatan ini di Pengadilan Negeri dan bukan di Pengadilan Agama.

Hal ini berkaitan dengan ketidak-konsistenan majelis hakim dalam melihat secara jelas ketentuan yang ada di dalam BW sebagaimana tercantum dalam Buku I BW yang hanya memperbolehkan perkawinan monogami secara tertutup. Apabila dicermati dari kasus yang ada, maka kedudukan istri ketiga dimana ia menikah pada saat masih hidupnya istri kedua seharusnya dipertimbangkan secara berbeda oleh majelis hakim. Majelis hakim menganggap keadaan tersebut seolah sah-sah saja. Hal ini padahal sangat bertentangan, dan seharusnya dianggap perkawinan antara pewaris dan istri ketiga tidak sah yang berlanjut pada tidak mewarisnya harta warisan pada istri ketiga serta keturunannya.

 

 

I.         Kesimpulan

 

Berdasarkan pembahasan analisis diatas yang telah dipaparkan, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :

            Dari putusan tersebut diatas dapat diangkat “abstrak hukum” yaitu seseorang pria yang mempunyai istri lebih dari seorang wanita, maka “harta bersama” yang diperoleh suami dengan masing – masing istri itu harus dipisahkan satu sama lain, dalam arti harta bersama yang diperoleh denga istri pertama, harus dipisahkan dengan harta bersama yang diperoleh denga istri kedua, demikian  yang diperoleh dengan istri tiga, dst. Bilamana sisuami meninggal dunia, maka harta bersama dengan istri pertama dibagi menjadi dua bagian yaitu:

1.      setengah ½ bagian menjadi hak istri pertama

2.      Setengah ½ bagian lainnya menjadi hak suami almarhum yang kemudian jatuh kepada ahli warisnya  (para janda – janda dan seluruh anak – anaknya).

Cara pembagian semacam ini berlaku pula pada harta bersama dengan istri kedua – istri ketiga, dst.

           

            Selain itu penulis mengambil kesimpulan dalam tahapan persidangan, bahwa dalam Gugatan rekonpensi yang tidak memenuhi syarat formil kompetensi relatif Pengadilan Negri, maka gugatan ini harus dinyatakan tidak dapat diterima.

 

 

 

DAFTAR PUSTAKA

 

 

Imam Subekti, Wienarsih dan Sri Soesilowati Mahdi. Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat. Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005.

 

Indonesia (a). Undang-Undang tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN Nomor 1 Tahun 1974, TLN Nomor 3019 Tahun 1974.

 

Indonesia (b). Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman. UU No. 4 Tahun 2004, LN Nomor 8 Tahun 2004, TLN Nomor 3019 Tahun 2004.

 

Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata


[1] Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pasal 852a.

[2] Indonesia (a), Undang-Undang tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN Nomor 1 Tahun 1974, TLN Nomor 3019 Tahun 1974.

[3] Dr. Wienarsih Imam Subekti, SH., MH. dan Sri Soesilowati Mahdi, SH., Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat, (Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005), hlm 44.

[4] Ibid., hlm. 35.

[5] Indonesia (b), Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 4 Tahun 2004, LN Nomor 8 Tahun 2004, TLN Nomor 3019 Tahun 2004.