Memori van Toelichting

Tidak semua karya disini itu saya salin, ada pula yang murni dari analisis pribadi, sehingga tidak memerlukan lagi catatan kaki ataupun daftar pustaka Sedangkan apabila anda tidak senang dengan blog ini karena mungkin anda merasa ada karya anda yang saya terbitkan tidak menyertakan sumber, saya mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya; semua semata-mata hanya kekhilafan, karena motivasi utama saya dalam membuat blog ini adalah "demi kemajuan bangsa Indonesia untuk lebih peka terhadap hukum sebagaimana yang dicita-citakan oleh Bung Karno". Serta yang terpenting ialah adagium, "Ignorantia iuris nocet" yang artinya Ketidaktahuan akan hukum, mencelakakan, semoga blog bermanfaat untuk semua orang untuk sadar hukum.

Disclaimer


Blog ini bukanlah blog ilmiah, dan Informasi yang tersedia di www.raja1987.blogspot.com tidak ditujukan sebagai suatu nasehat hukum,
namun hanya memberikan gambaran umum terhadap suatu informasi atau permasalahan hukum yang sedang dihadapi.

------------------------------

nomor telepon : 0811 9 1111 57
surat elektronik : raja.saor@gmail.com
laman : www.rikifernandes.com

Sekilas mengenai pengertian pembuktian dalam Hukum Acara Perdata

5 komentar

Pengertian pembuktian sangat beragam, setiap ahli hukum memiliki definisi masing-masing mengenai pembuktian. Banyak ahli hukum yang mendefinisikan pembuktian ini melalui makna kata membuktikan. Membuktikan menurut Sudikno Mertokusumo disebut dalam arti yuridis yaitu memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.[1] Lain halnya dengan definisi membuktikan yang diungkapkan oleh Subekti. Subekti menyatakan bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.[2] Berdasarkan definisi para ahli hukum tersebut, membuktikan dapat dinyatakan sebagai proses menjelaskan kedudukan hukum para pihak yang sebenarnya dan didasarkan pada dalil-dalil yang dikemukakan para pihak, sehingga pada akhirnya hakim akan mengambil kesimpulan siapa yang benar dan siapa yang salah.

Apabila sebelumnya telah diuraikan mengenai definisi membuktikan, maka selanjutnya yang disebut sebagai pembuktian adalah usaha para pihak yang berkepentingan untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara. Hal ini bertujuan agar hal-hal tersebut dapat digunakan oleh hakim sebagai bahan pertimbangan untuk memberi keputusan mengenai perkara tersebut.[3] Para pihak mengemukakan hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara yang disengketakan agar dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut melalui bukti-bukti dan alat-alat bukti yang diajukan dimuka persidangan. Bukti adalah sesuatu yang dapat meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian, sedangkan alat bukti adalah segala sesuatu yang menurut undang-undang dapat dipakai untuk membuktikan.[4] Proses pembuktian ini juga sangat terkait dengan hal apa yang harus dibuktikan dan hal apa saja yang tidak harus dibuktikan. Dahulu ada ajaran hukum yang mengatakan bahwa yang dibuktikan itu hanyalah kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa saja. Dengan terbuktinya kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa tersebut dapat diambil kesimpulan adanya hak milik, piutang, hak waris, dan sebagainya.[5] Dengan demikian di muka persidangan yang harus dibuktikan adalah fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa untuk membenarkan adanya suatu hak. Namun demikian sekarang ini anggapan tersebut telah ditinggalkan, karena tidak hanya peristiwa atau fakta-fakta yang dapat dilihat oleh panca indera saja yang harus dibuktikan tetapi juga peristiwa yang tidak dapat dilihat oleh panca indera juga harus dibuktikan seperti hak milik, piutang, perikatan, dan sebagainya. Hal ini disebutkan dalam Pasal 163 HIR yang menyebutkan bahwa:[6]

Barangsiapa, yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.

dan ketentuan Pasal 1865 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa:[7]

Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.

Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa yang harus dibuktikan dimuka sidang tidak hanya peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian saja, tetapi juga suatu hak. Dengan demikian dapat dikatakan pula bahwa yang harus dibuktikan itu merupakan suatu hak dan peristiwa, dan/atau kebenaran hak dan/atau peristiwa yang disangkal kebenarannya oleh pihak lain. Apabila seseorang mengemukakan haknya sedangkan pihak lainnya tidak menyangkalnya, maka orang yang mengemukakan hak tersebut tidak perlu membuktikan haknya tersebut.

Pada proses pembuktian ini, selain harus membuktikan sesuatu hal tetapi ada pula hal-hal yang tidak perlu dibuktikan. Menurut Sudikno Mertokusumo, dalam beberapa hal ada peristiwa yang tidak perlu dibuktikan atau diketahui oleh hakim, yang disebabkan karena:[8]

a. peristiwanya memang dianggap tidak perlu diketahui atau dianggap tidak mungkin diketahui oleh hakim, yaitu:

  • dalam hal jatuhnya putusan verstek. Putusan verstek dapat dijatuhkan dalam hal tergugat atau para tergugat dan/atau kuasanya tidak datang pada hari sidang pertama yang telah ditentukan, petitum gugatan tidak melawan hak, dan petitum gugatan beralasan. Keadaan ini yang disyaratkan oleh Pasal 125 ayat (1) HIR.
  • dalam hal tergugat mengakui gugatan penggugat, maka peristiwa yang menjadi sengketa yang diakui itu dianggap telah terbukti, karena pengakuan merupakan alat bukti sehingga tidak memerlukan pembuktian lebih lanjut.
  • dengan telah dilakukannya sumpah decisioir, sumpah yang bersifat menentukan, maka peristiwa yang menjadi sengketa, yang dimintakan sumpah dianggap terbukti dan tidak memerlukan pembuktian lebih lanjut.
  • telah menjadi pendapat umum, bahwa dalam hal bantahan kurang cukup atau dalam hal diajukan referte, maka pembuktian tidak diperlukan dan hakim tidak boleh membebani para pihak dengan pembuktian.

b. hakim secara ex officio dianggap mengenal peristiwanya, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut, yaitu;

· peristiwa notoir, yaitu kejadian atau keadaan yang dianggap harus diketahui oleh orang orang berpendidikan dan mengenal jamannya, tanpa mengadakan penelitian lebih lanjut atau peristiwa yang diketahui oleh umum dan tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Contohnya tanggal 17 Agustus 1945 adalah tanggal diproklamirkan Negara Republik Indonesia.

· peristiwa-peristiwa yang terjadi di persidangan di muka hakim yang memeriksa perkara. Kejadian prosesuil ini dianggap diketahui oleh hakim, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Contohnya tergugat tidak datang, tergugat mengakui gugatan, dan sebagainya.

c. pengetahuan tentang pengalaman, yang berarti bahwa pengetahuan tentang pengalaman ini merupakan kesimpulan berdasarkan pada pengetahuan umum. Pengetahuan tentang pengalaman ini tidak termasuk hukum, karena tidak bersifat normatif, tetapi merupakan pengalaman semata. Contohnya kapal terbang lebih cepat jalannya daripada sepeda motor, api itu panas, benda yang berat apabila dilemparkan ke atas akan jatuh ke bawah, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, berdasarkan uraian-uraian sebelumnya dapat dinyatakan bahwa proses pembuktian merupakan upaya yang sangat penting dalam proses penyelesaian suatu sengketa dan sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut. Sebagai upaya untuk membuktikan dalil-dalil para pihak, tentunya diperlukan bukti-bukti dan alat-alat bukti yang dapat memperkuat dalil-dalil tersebut. Selain itu pada proses pembuktian tidak semua hal harus dibuktikan karena ada beberapa hal yang tidak perlu dibuktikan lebih lanjut oleh para pihak.



[1] Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hal.135.

[2] Subekti (b), Hukum Acara Perdata, (Bandung: Binacipta, 1977), hal. 78.

[3] Izaac S Leihitu dan Fatimah Achmad, Intisari Hukum Acara Perdata, Cet. I, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal.70

[4] Subekti (c), Kamus Hukum, Cet. XII, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996), hal. 8.

[5] Teguh Samudera, Op. Cit., hal. 16.

[6] Reglemen Indonesia Yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (HIR), diterjemahkan oleh M. Karjadi, (Bogor: Politeia, 1992), Pasal 163.

[7] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Op. Cit., Pasal 1865.

[8] Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hal. 132-135.




Surat sebagai Alat Bukti dalam Hukum Acara Pidana

1 komentar

Jenis-Jenis Alat Bukti Surat

Pasal 187 KUHAP membagi surat sebagai alat bukti menjadi :

1. Surat resmi

Yang dimaksud dengan surat resmi adalah surat yang dibuat oleh pejabat yang berwenang atau berdasar ketentuan atau surat keterangan ahli yang bersifat khusus mengenai keadaan tertentu yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Syarat dari surat resmi yang dikeluarkan oleh pejabat harus memuat :

a. keterangan tentang kejadian atau keadaan yang di dengar, dilihat, atau yang dialami pejabat itu sendiri.

b. Disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu.

Bentuk surat resmi adalah seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 187 KUHAP huruf (a), (b), (c). Surat-surat yang dimaksud dalam Pasal 187 huruf (a) KUHAP adalah akta-akta resmi berupa akta-akta otentik atau akta-akta jabatan, misalnya akta notariat yang dibuat oleh notaris atau berita acara pemeriksaan surat. Sedangkan contoh surat yang dimaksud dalam Pasal 187 huruf (b) KUHAP adalah Izin Mendirikan Bangunan (IMB), surat izin ekspor atau impor, paspor, Surat Izin Mengemudi (SIM), Kartu Tanda Penduduk (KTP), surat akta kelahiran dan sebagainya.

Surat yang dimaksud dalam Pasal 187 huruf (c) KUHAP berbeda dengan surat dalam Penjelasan Pasal 186 KUHAP. Penjelasan Pasal 186 alinea pertama menyatakan bahwa keterangan ahli ialah keterangan yang dimintakan penyidik kepada seorang ahli pada taraf pemeriksaan penyidikan dan dituangkan dalam bentuk laporan dan dinilai sebagai alat bukti “laporan”. Sedangkan surat yang disebut dalam Pasal 187 huruf (c) adalah “surat keterangan ahli” yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai suatu hal atau keadaan yang dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan surat. Contoh surat keterangan ahli yang dapat dinilai sebagai alat bukti surat adalah Visum Et Repertum dari Ahli Kedokteran Kehakiman. Jadi disini dapat terlihat adanya dualisme mengenai keterangan ahli yang dituangkan dalam bentuk laporan atau dalam bentuk surat keterangan ahli.

Meskipun berbeda penyebutannya, tetapi keduanya mempunyai pengertian yang sama dan serupa nilai pembuktiannya. Sama-sama sekaligus menyentuh dua sisi alat bukti yang sah menurut undang-undang. Hal ini terserah kepada hakim untuk mempergunakan alat bukti apa yang akan diberikan.

2. Surat tidak resmi

Yang dimaksud dengan surat tidak resmi adalah surat yang dimaksud dalam Pasal 187 huruf (d) KUHAP. Surat yang dimaksud di dalam ketentuan tersebut adalah “surat pada umumnya”, bukan surat berita acara atau surat keterangan resmi yang dibuat pejabat yang berwenang, juga bukan surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan dan tidak pula surat keterangan ahli yang dibuat oleh seorang ahli. Hal ini menunjukkan bahwa Pasal 187 tidak konsisten mendukung isi ketentuan KUHAP, dimana bunyi kalimat pertama Pasal 187 menegaskan bahwa surat yang dianggap sah adalah surat yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Secara nyata, terdapat beberapa perbedaan antara surat yang disebut pada Pasal 187 huruf (a), (b), dan (c) dengan surat yang disebut pada Pasal 187 huruf (d).

Beberapa perbedaan tersebut adalah :

a. Bentuk surat yang disebut pada huruf (a), (b), dan (c) adalah “surat resmi” yang dibuat pejabat yang berwenang atau dibuat berdasar ketentuan atau surat keterangan ahli yang bersifat khusus mengenai keadaan tertentu yang dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah.

b. Bentuk surat yang disebut pada huruf (a), (b), (c) bernilai sebagai alat bukti yang sah sejak surat itu dibuat.

c. Sedangkan surat yang dimaksud pada huruf (d) dengan sendirinya merupakan :

1) Bentuk surat pada umumnya, seperti surat yang lebih bersifat pribadi, surat petisi, pengumuman, surat cinta, surat selebaran gelap, tulisan berupa karangan baik berupa novel, petisi, dan sebgainya.

2) Tidak dibuat oleh pejabat yang berwenang dan dengan sendirinya dibuat tanpa sumpah.

3) Dan surat huruf (d) tidak dengan sendirinya merupakan alat bukti yang sah menurut undang-undang, karena surat ini baru mempunyai nilai sebagai alat bukti atau pada dirinya melekat nilai pembuktian, apabila isi surat yang bersangkutan “mempunyai hubungan” dengan alat bukti yang lain. Kalau isinya tidak ada hubungan dengan alat pembuktian yang lain, maka surat bentuk “yang lain” tidak mempunyai nilai pembuktian.

B. Alat Bukti Surat dan Pengaturannya dalam Peraturan Perundang-undangan di Indonesia.

Dalam makalah ini kami akan membahas beberapa undang-undang yang didalamnya terdapat beberapa ketentuan yang mengatur tentang surat, antara lain :

1. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1997 tentang Dokumen Perusahaan

Dokumen Perusahaan adalah data, catatan, dan atau keterangan yang dibuat dan atau diterima oleh perusahaan dalam rangka pelaksanaan kegiatannya baik tertulis di atas kertas atau sarana lain maupun merekam dalam bentuk apapun yang dapat dilihat, dibaca atau didengar.

2. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan Pokok-pokok Kearsipan

Disamping menentukan pengertian mengenai dokumen, diatur juga tentang arsip yang diartikan sebagai sesuatu yang tertulis, dapat dilihat, dan didengar seperti kumpulan naskah atau kumpulan dokumen yang berupa tulisan.

3. Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang

Dokumen adalah data, rekaman atau informasi yang dapat dilihat, dibaca atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik tertuang diatas kertas, benda disik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada :

a. Tulisan, suara, atau gambar,

b. Peta rancangan foto atau sejenisnya.

c. Dalam Pasal 38 ayat 2 Undang-undang No. 25 tahun 2003 disebutkan bahwa alat bukti dalam Undang-undang ini adalah :

1) Alat bukti pemeriksaan tindak pidana pencucian uang berupa alat bukti sebagaimana yang dimaksudkan dalam Hukum Acara Pidana.

2) Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optic atau yang serupa dengan itu.

3) Dokumen sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 7.

4. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme

Alat bukti dalam tindak pidana terorisme meliputi :

a. alat bukti sebagaimana dimaksud dalam KUHAP (surat termasuk di dalamnya)

b. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.

c. data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tapi tidak terbatas pada:

1) Tulisan,suara, atau gambar, rancangan foto atau sejenisnya.

2) Huruf, tanda, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh perang yang mampu membaca atau memahaminya.

5. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi

Alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat 2 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana, khusus untuk Tindak Pidana Korupsi juga dapat diperoleh dari :

a. Alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik.

b. Dokumen yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau;

c. Didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa suatu sarana, baik yang tertuang diatas kertas, benda fisik selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, huruf, tanda, angka atau perforasi yang memiliki makna.

Dalam undang-undang ini dokumen dan alat bukti surat digital dimasukkan ke dalam alat bukti petunjuk yang merupakan alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP.

Jadi dapat kita simpulkan bahwa dalam praktek pengadilan di Indonesia, alat bukti surat yang tidak tertulis diatas kertas seperti email dan arsip elektronik lainnya masih belum mempunyai kekuatan pembuktian yang cukup. Namun dalam tindak pidana khusus yang telah diatur dalam undang-undang tersendiri yang disebutkan di atas, data elektronik sudah diakui secara sah sebagai alat bukti. Penyebutan data-data elektronik sebagai alat bukti dalam undang-undang tersebut tidaklah jelas sebagai alat bukti apa, kecuali dalam Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang disebutkan tambahan alat bukti selain yang terdapat di KUHAP (termasuk data-data elektronik) adalah termasuk alat bukti petunjuk.

Mengapa bahasan mengenai alat bukti selain yang terdapat dalam Pasal 184 KUHAP kami bahas dalam makalah mengenai alat bukti surat? Karena data-data elektronik tersebut dapat di print out di atas kertas, sehingga perlu dibedakan dengan alat bukti surat yang dalam bentuk kertas sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 184 KUHAP.



Tinjauan Umum Pembuktian Pidana terhadap Alat Bukti Surat

0 komentar

Paton dalam bukunya A Textbook Jurisprudence menyatakan bahwa, “alat bukti dapat bersifat oral, documentary, atau material.” Alat bukti yang bersifat oral merupakan kata yang diucapkan seorang dalam pengadilan (keterangan saksi, keterangan ahli dan keterangan terdakwa), artinya kesaksian tentang suatu peristiwa merupakan alat bukti yang bersifat oral. Alat bukti yang bersifat documentary adalah alat bukti surat atau alat bukti tertulis, sedang alat bukti yang bersifat material adalah alat bukti barang fisik yang tampak atau dapat dilihat selain dokumen/ alat bukti yang bersifat material (demonstrative evidence).

Hukum acara pidana di bidang pembuktian mengenal adanya Alat Bukti dan Barang Bukti, dimana keduanya dipergunakan di dalam persidangan untuk membuktikan tindak pidana yang didakwakan terhadap terdakwa. Alat bukti yang sah untuk diajukan di depan persidangan adalah alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yaitu[1]:

1. Keterangan saksi

2. Keterangan ahli

3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa

Definisi Surat Menurut Ahli dan KUHAP

Sebelum masuk dalam pembatasan pemahaman alat bukti surat, perlu diketahui terlebih dahulu apa itu surat. Menurut Kamus Bahasa Indonesia, surat adalah “kertas yang tertulis (dengan berbagai isi maksudnya) [2].” Selanjutnya beberapa ahli memberikan definisi surat sebagai berikut.

Menurut Sudikno Mertokusumo:

”Surat ialah segala sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan isi hati atau untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian.”

Menurut Asser-Anema yang dikutip oleh Andi Hamzah, “surat-surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan pikiran[3].” Selanjutnya menurut Pitlo, yang termasuk surat adalah segala sesuatu yang mengandung buah pikiran atau isi hati seseorang. Dengan demikian potret atau gambar tidak dapat dikatakan sebagai surat karena tidak memuat tanda-tanda bacaan atau buah pikiran[4].

Pengertian surat menurut KUHAP adalah surat sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 187 KUHAP, yaitu yang dibuat atas sumpah jabatan atau yang dikuatkan dengan sumpah, yaitu:

1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu. Jadi pada dasarnya surat yang termasuk dalam alat bukti surat yang disebut disini ialah “surat resmi” yang dibuat oleh “pejabat umum” yang berwenang membuatnya. Surat resmi dapat bernilai sebagai alat bukti dalam suatu perkara pidana apabila:

  1. Memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau dialami oleh pejabat itu sendiri.

b. Disertai dengan alasan yang jelas dan tegas mengenai keterangannya itu.[5]

2. Surat yang dibuat menurut ketentuan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan. Jenis surat ini dapat dikatakan hampir meliputi segala jenis surat yang dibuat oleh pengelola administrasi dan kebijakan eksekutif. Contoh: Kartu Tanda Penduduk, Akta Keluarga, Akta Tanda Lahir, dan sebagainya.

3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahlian mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya. Contoh: Visum Et Repertum dari Ahli Kedokteran Kehakiman.

4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari surat alat pembuktian lain (surat pada umumnya). Contoh: buku harian seorang pembunuh yang berisi catatan mengenai pembunuhan yang pernah ia lakukan.



[1] Indonesia, Undang-Undang Tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), UU No. 8, LN. No. 76, TLN. 3209 Tahun 1981, ps.184

[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1990), hal. 1108

[3] Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Edisi Revisi, cet.3, (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hal. 271.

[4] Martiman Prodjohamdjo, Sistem Pembuktian Dan Alat-Alat Bukti, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), hal. 24.

[5] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP : Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, cet.6, (Jakarta : Sinar Grafika, 2005), hal 306.