Memori van Toelichting

Tidak semua karya disini itu saya salin, ada pula yang murni dari analisis pribadi, sehingga tidak memerlukan lagi catatan kaki ataupun daftar pustaka Sedangkan apabila anda tidak senang dengan blog ini karena mungkin anda merasa ada karya anda yang saya terbitkan tidak menyertakan sumber, saya mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya; semua semata-mata hanya kekhilafan, karena motivasi utama saya dalam membuat blog ini adalah "demi kemajuan bangsa Indonesia untuk lebih peka terhadap hukum sebagaimana yang dicita-citakan oleh Bung Karno". Serta yang terpenting ialah adagium, "Ignorantia iuris nocet" yang artinya Ketidaktahuan akan hukum, mencelakakan, semoga blog bermanfaat untuk semua orang untuk sadar hukum.

Disclaimer


Blog ini bukanlah blog ilmiah, dan Informasi yang tersedia di www.raja1987.blogspot.com tidak ditujukan sebagai suatu nasehat hukum,
namun hanya memberikan gambaran umum terhadap suatu informasi atau permasalahan hukum yang sedang dihadapi.

------------------------------

nomor telepon : 0811 9 1111 57
surat elektronik : raja.saor@gmail.com
laman : www.rikifernandes.com

Sekilas mengenai pengertian pembuktian dalam Hukum Acara Perdata

5 komentar

Pengertian pembuktian sangat beragam, setiap ahli hukum memiliki definisi masing-masing mengenai pembuktian. Banyak ahli hukum yang mendefinisikan pembuktian ini melalui makna kata membuktikan. Membuktikan menurut Sudikno Mertokusumo disebut dalam arti yuridis yaitu memberi dasar-dasar yang cukup kepada hakim yang memeriksa perkara yang bersangkutan guna memberi kepastian tentang kebenaran peristiwa yang diajukan.[1] Lain halnya dengan definisi membuktikan yang diungkapkan oleh Subekti. Subekti menyatakan bahwa membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan.[2] Berdasarkan definisi para ahli hukum tersebut, membuktikan dapat dinyatakan sebagai proses menjelaskan kedudukan hukum para pihak yang sebenarnya dan didasarkan pada dalil-dalil yang dikemukakan para pihak, sehingga pada akhirnya hakim akan mengambil kesimpulan siapa yang benar dan siapa yang salah.

Apabila sebelumnya telah diuraikan mengenai definisi membuktikan, maka selanjutnya yang disebut sebagai pembuktian adalah usaha para pihak yang berkepentingan untuk mengemukakan kepada hakim sebanyak mungkin hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara. Hal ini bertujuan agar hal-hal tersebut dapat digunakan oleh hakim sebagai bahan pertimbangan untuk memberi keputusan mengenai perkara tersebut.[3] Para pihak mengemukakan hal-hal yang berkenaan dengan suatu perkara yang disengketakan agar dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut melalui bukti-bukti dan alat-alat bukti yang diajukan dimuka persidangan. Bukti adalah sesuatu yang dapat meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian, sedangkan alat bukti adalah segala sesuatu yang menurut undang-undang dapat dipakai untuk membuktikan.[4] Proses pembuktian ini juga sangat terkait dengan hal apa yang harus dibuktikan dan hal apa saja yang tidak harus dibuktikan. Dahulu ada ajaran hukum yang mengatakan bahwa yang dibuktikan itu hanyalah kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa saja. Dengan terbuktinya kejadian-kejadian atau peristiwa-peristiwa tersebut dapat diambil kesimpulan adanya hak milik, piutang, hak waris, dan sebagainya.[5] Dengan demikian di muka persidangan yang harus dibuktikan adalah fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa untuk membenarkan adanya suatu hak. Namun demikian sekarang ini anggapan tersebut telah ditinggalkan, karena tidak hanya peristiwa atau fakta-fakta yang dapat dilihat oleh panca indera saja yang harus dibuktikan tetapi juga peristiwa yang tidak dapat dilihat oleh panca indera juga harus dibuktikan seperti hak milik, piutang, perikatan, dan sebagainya. Hal ini disebutkan dalam Pasal 163 HIR yang menyebutkan bahwa:[6]

Barangsiapa, yang mengatakan ia mempunyai hak, atau ia menyebutkan suatu perbuatan untuk menguatkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau adanya kejadian itu.

dan ketentuan Pasal 1865 KUHPerdata yang menyebutkan bahwa:[7]

Setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau, guna meneguhkan haknya sendiri maupun membantah suatu hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut.

Ketentuan ini mengisyaratkan bahwa yang harus dibuktikan dimuka sidang tidak hanya peristiwa-peristiwa atau kejadian-kejadian saja, tetapi juga suatu hak. Dengan demikian dapat dikatakan pula bahwa yang harus dibuktikan itu merupakan suatu hak dan peristiwa, dan/atau kebenaran hak dan/atau peristiwa yang disangkal kebenarannya oleh pihak lain. Apabila seseorang mengemukakan haknya sedangkan pihak lainnya tidak menyangkalnya, maka orang yang mengemukakan hak tersebut tidak perlu membuktikan haknya tersebut.

Pada proses pembuktian ini, selain harus membuktikan sesuatu hal tetapi ada pula hal-hal yang tidak perlu dibuktikan. Menurut Sudikno Mertokusumo, dalam beberapa hal ada peristiwa yang tidak perlu dibuktikan atau diketahui oleh hakim, yang disebabkan karena:[8]

a. peristiwanya memang dianggap tidak perlu diketahui atau dianggap tidak mungkin diketahui oleh hakim, yaitu:

  • dalam hal jatuhnya putusan verstek. Putusan verstek dapat dijatuhkan dalam hal tergugat atau para tergugat dan/atau kuasanya tidak datang pada hari sidang pertama yang telah ditentukan, petitum gugatan tidak melawan hak, dan petitum gugatan beralasan. Keadaan ini yang disyaratkan oleh Pasal 125 ayat (1) HIR.
  • dalam hal tergugat mengakui gugatan penggugat, maka peristiwa yang menjadi sengketa yang diakui itu dianggap telah terbukti, karena pengakuan merupakan alat bukti sehingga tidak memerlukan pembuktian lebih lanjut.
  • dengan telah dilakukannya sumpah decisioir, sumpah yang bersifat menentukan, maka peristiwa yang menjadi sengketa, yang dimintakan sumpah dianggap terbukti dan tidak memerlukan pembuktian lebih lanjut.
  • telah menjadi pendapat umum, bahwa dalam hal bantahan kurang cukup atau dalam hal diajukan referte, maka pembuktian tidak diperlukan dan hakim tidak boleh membebani para pihak dengan pembuktian.

b. hakim secara ex officio dianggap mengenal peristiwanya, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut, yaitu;

· peristiwa notoir, yaitu kejadian atau keadaan yang dianggap harus diketahui oleh orang orang berpendidikan dan mengenal jamannya, tanpa mengadakan penelitian lebih lanjut atau peristiwa yang diketahui oleh umum dan tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Contohnya tanggal 17 Agustus 1945 adalah tanggal diproklamirkan Negara Republik Indonesia.

· peristiwa-peristiwa yang terjadi di persidangan di muka hakim yang memeriksa perkara. Kejadian prosesuil ini dianggap diketahui oleh hakim, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut. Contohnya tergugat tidak datang, tergugat mengakui gugatan, dan sebagainya.

c. pengetahuan tentang pengalaman, yang berarti bahwa pengetahuan tentang pengalaman ini merupakan kesimpulan berdasarkan pada pengetahuan umum. Pengetahuan tentang pengalaman ini tidak termasuk hukum, karena tidak bersifat normatif, tetapi merupakan pengalaman semata. Contohnya kapal terbang lebih cepat jalannya daripada sepeda motor, api itu panas, benda yang berat apabila dilemparkan ke atas akan jatuh ke bawah, dan lain sebagainya.

Dengan demikian, berdasarkan uraian-uraian sebelumnya dapat dinyatakan bahwa proses pembuktian merupakan upaya yang sangat penting dalam proses penyelesaian suatu sengketa dan sebagai bahan pertimbangan hakim dalam memutus perkara tersebut. Sebagai upaya untuk membuktikan dalil-dalil para pihak, tentunya diperlukan bukti-bukti dan alat-alat bukti yang dapat memperkuat dalil-dalil tersebut. Selain itu pada proses pembuktian tidak semua hal harus dibuktikan karena ada beberapa hal yang tidak perlu dibuktikan lebih lanjut oleh para pihak.



[1] Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hal.135.

[2] Subekti (b), Hukum Acara Perdata, (Bandung: Binacipta, 1977), hal. 78.

[3] Izaac S Leihitu dan Fatimah Achmad, Intisari Hukum Acara Perdata, Cet. I, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1985), hal.70

[4] Subekti (c), Kamus Hukum, Cet. XII, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1996), hal. 8.

[5] Teguh Samudera, Op. Cit., hal. 16.

[6] Reglemen Indonesia Yang Dibaharui S. 1941 No. 44 RIB (HIR), diterjemahkan oleh M. Karjadi, (Bogor: Politeia, 1992), Pasal 163.

[7] Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Op. Cit., Pasal 1865.

[8] Sudikno Mertokusumo, Op. Cit., hal. 132-135.