Memori van Toelichting

Tidak semua karya disini itu saya salin, ada pula yang murni dari analisis pribadi, sehingga tidak memerlukan lagi catatan kaki ataupun daftar pustaka Sedangkan apabila anda tidak senang dengan blog ini karena mungkin anda merasa ada karya anda yang saya terbitkan tidak menyertakan sumber, saya mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya; semua semata-mata hanya kekhilafan, karena motivasi utama saya dalam membuat blog ini adalah "demi kemajuan bangsa Indonesia untuk lebih peka terhadap hukum sebagaimana yang dicita-citakan oleh Bung Karno". Serta yang terpenting ialah adagium, "Ignorantia iuris nocet" yang artinya Ketidaktahuan akan hukum, mencelakakan, semoga blog bermanfaat untuk semua orang untuk sadar hukum.

Disclaimer


Blog ini bukanlah blog ilmiah, dan Informasi yang tersedia di www.raja1987.blogspot.com tidak ditujukan sebagai suatu nasehat hukum,
namun hanya memberikan gambaran umum terhadap suatu informasi atau permasalahan hukum yang sedang dihadapi.

------------------------------

nomor telepon : 0811 9 1111 57
surat elektronik : raja.saor@gmail.com
laman : www.rikifernandes.com

Asas Hukum Acara Pidana

2 komentar
1. Asas Legalitas
Yaitu adanya persamaan kedudukan, perlindungan, dan keadilan di hadapan hukum.

2. Asas Keseimbangan
Yaitu proses hukum yang ada haruslah menegakkan hak asasi manusia dan melindungi ketertiban umum.

3. Asas Praduga Tak Bersalah
Yaitu tidak menetapkan seseorang bersalah atau tidak sebelum adanya putusan pengadilan yang tetap.

4. Asas Unifikasi
Yaitu penyamaan keberlakuan hukum acara pidana di seluruh wilayah Indonesia

5. Asas Ganti rugi dan Rehabilitasi.
Yaitu adanya ganti rugi dan rehabilitasi bagi pihak yang dirugikan karena kesalahan dalam proses hukum.

6. Asas Peradilan Sederhana, Cepat dan Biaya Ringan
Yaitu pelaksanaan peradilan secara tidak berbelit-belit dan dengan biaya yang seminim mungkin guna menjaga kestabilan terdakwa.

7. Asas Oportunitas
Yaitu hak seorang Jaksa untuk menuntut atau tidak demi kepentingan umum.

8. Asas akusator
Yaitu penempatan tersangka sebagai subjek yang memiliki hak yang sama di depan hukum.

9. Prinsip Pembatasan Penahanan
Yaitu menjamin hak-hak asasi manusia dengan membatasi waktu penahanan dalam melalui proses hukum.

10. Prinsip Diferensiasi Fungsional
Yaitu penegasan batas-batas kewenangan dari aparat penegak hukum secara instansional.

11. Prinsip Saling Koordinasi
Yaitu adanya hubungan kerja sama di antara aparat penegak hukum untuk menjamin adanya kelancaran proses hukum.

12. Prinsip Penggabungan Pidana dengan Tuntutan Ganti Rugi
Yaitu dipakainya gugatan ganti rugi secara perdata untuk menyelesaikan kasus pidana yang berhubungan dengan harta kekayaan.

13. Peradilan tebuka Untuk Umum
Yaitu hak dari publik untuk menyaksikan jalannya peradilan (kecuali dalam hal-hal tertentu).

14. Kekuasaan Hakim yang Tetap
Yaitu peradilan harus dipimpim oleh eorang/sekelompk hakim yang memiliki kewenangan yang sah dari pemerintah.

15. Pemeriksaan Hakim Yang langsung dan lisan
Yaitu peradilan dilakukan oleh hakim secara langsung dan lisan (tidak menggunakan tulisan seperti dalam hukum acara perdata.

16. Bantuan hukum bagi terdakwa
Yaitu adanya bantuan hukum yang diberikan bagi terdakwa.


Daftar Pustaka:
Hamzah, Andy. 2005. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Harahap, Yahya. 2004. Pembahasan Permasalah dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.
Prinst, Darwin. 1989. Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar. Jakarta: Djambatan.
Prodjodikoro, Wiryono. 1985. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta: Sumur Bandung.




Sejarah Hukum Acara Pidana

0 komentar
I. Sejarah perkembangan Hukum Acara Pidana di Indonesia

1. sebelum masa kolonial (sebelum abad 16)

- sebelum masuknya agama Islam
Pada masa awal, penduduk nusantara tidak membedakan antara hukum acara pidana dan hukum acara perdata. Penduduk nusantara menggunakan hukum adat untuk menyelesaikan masalah pidana maupun perdata di kalangan mereka. Cara pembuktian yang digunakan sering kali menggunakan kekuatan kekuatan gaib.

- saat masuknya agama Islam
Setelah masuknya agama Islam, mulailah diberlakukannya hukum Islam untuk menyelesaikan masalah hukum di antara penduduk. Pada masa ini, mulai diadakan pembedaan antara masalah pidana dan masalah perdata. Cara penyelesaian sengketa selalu berpedoman kepada Al Quran, hadits dan hasil ijtihad.

2. pada masa kolonial (abad 16-17 Agustus 1945)
- Belanda
Hukum yang berlaku di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh Belanda yang datang ke Indonesia di mana mulai diberlakukannya hukum tertulis di Indonesia.
- Prancis
Pada saat Belanda dijajah Perancis, diberlakukanlah hukum Perancis di Belanda yang berdampak pada keberlakuan hukum tersebut di Indonesia sebagai negara jajahan Belanda
- Belanda
Setelah lepas dari jajahan Perancis, dikeluarkanlah firman raja untuk membentuk peraturan perundang-undangan baru yang diberlakukan di Indonesia dengan adanya asas konkordansi. Hukum acara pidana saat itu disebut hukum acara kriminil (HIR dan IR). Maka dibentuklah HIR yang diberlakukan di kota-kota besar dan IR di kota-kota lainnya). Ada pembedaan peradilan bagi kaum Eropa dan golongan Bumi Putera.
- Jepang
Tidak ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan kecuali dalam hal dihapusnya peradilan bagi golongan Eropa.

3. pada masa kemerdekaan (17 Agustus 1945-sekarang)
- orde lama
Pada masa ini, peraturan Belanda masih dipakai dengan berlakunya pasal II aturan peralihan UUD 1945.
- orde baru
Dalam sejarahnya HIR buatan Belanda tidak memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat Indonesia maka mulai diadakanlah perancangan Hukum Acara Pidana yang baru.

II. Sejarah pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia

Pada masa orde baru, terbukalah kesempatan untuk membuat peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu, dibentuklah di departemen kehakiman suatu panitia untuk menyusun RUU Hukum Acara Pidana. Ada 13 pokok masalah yang dituangkan dalam materi undang-undang. Dalam perancangannya, hukum acara pidana Indonesia didasarkan pada HIR.

Hal-hal signifikan yang perlu diperhatikan dalam RUU KUHAP tahap akhir, ialah:
- hilangnya kewenangan Kejaksaan (seperti yang tercantum dalam HIR) untuk menyidik.
- diadakannya perubahan KUHAP dalam kurun waktu dua tahun setelah pengesahan KUHAP (pasal 284 ayat (2)).

RUU KUHAP disahkan oleh sidang paripurna DPR pada tanggal 23 September 1981, dan kemudian disahkan oleh presiden menjadi undang-undang pada tanggal 31 Desember 1981.

Daftar Pustaka:

Hamzah, Andy. 2005. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Harahap, Yahya. 2004. Pembahasan Permasalah dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.

Prinst, Darwin. 1989. Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar. Jakarta: Djambatan.

Prodjodikoro, Wiryono. 1985. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta: Sumur Bandung.

Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional

2 komentar

Dasar hukum ‘otentifikasi’ :

· Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 1990 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing Mahkamah Agung Republik Indonesia. Peraturan Mahkamah Agung tersebut merupakan perwujudan dari ketentuan New York Convention.

· Pasal 67 ayat (2) UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Definisi “otentifikasi” adalah menerima atau tahap penerimaan naskah perjanjian yang telah dirumuskan dan disepakati para pihak. Tahap otentifikasi merupakan tahap atau proses pengeasahn terhadap suatu dokumen, contohnya adalah sebuat Putusan Arbitrase Internasional untuk dibenarkan keasliannya.

Prosedur permohonan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional :

1. Lembar asli atau salinan otentik Putusan Arbitrase Internasional, sesuai dengan ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, dan naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia;

2. Lembar asli atau salinan otentik perjanjian yang menjadi dasar Putusan Arbitrase Internasional sesuai ketentuan perihal otentifikasi dokumen asing, naskah terjemahan resminya dalam bahasa Indonesia; dan

3. Keterangan dari perawkilan diplomatik Republik Indonesia di negara tempat Putusan Arbitrase Internasional tersebut ditetapkan, yan menyatakan bahwa negara pemohon terikat pada perjanjian, baik secara bilateral maupun multilateral dengan negara Republik Indonesia perihal pengakuan dan pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional.

Yang diberi wewenang menangani masalah-masalah yang berhubungan dengan Pengakuan serta Pelaksanaan Putusan Arbitase Asing adalah Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Putusan Arbitrase Asing hanya diakui serta dapat dilaksanakan di dalam wilayah hukum Republik Indonesia apabila memenuhi syarat sebagai berikut:

1. Putusan itu dijatuhkan oleh suatu Badan Arbitrase ataupun Arbiter perorangan di suatu Negara yang dengan Negara Indonesia ataupun bersama-sama dengan Negara Indonesia terikat dalam suatu konvensi Internasional perihal pengakuan serta Pelaksanaan Putusan Arbitrase Asing. Pelaksanaan didasarkan atas asas timbal balik (resiprositas).

2. Putusan-putusan Arbitrase Asing tersebut dalam angka 1 hanya terbatas pada putusan-putusan yang menurut ketentuan hukum Indonesia termasuk dalam ruang lingkup Hukum Dagang.

3. Putusan-putusan Arbitrasse Asing tersebut dalam angka 1 hanya dapat dilaksanakan di Indonesia terbatas pada putusan-putusan yang tidak bertentangan dengan ketertiban umum.

4. Suatu putusan Arbitrase Asing dapat dilaksanakan di Indonesia setelah memperoleh Exequatur dari Mahkamah Agung Republik Indonesia.

Exequatur tidak akan diberikan apabila putusan Arbitrase Asing itu nyata-nyata bertentangan dengan sendi-sendi asasi dari seluruh sistem hukum dan masyarakat di Indonesia (ketertiban umum).

Hukum dan HAM terhadap hak perempuan yang menjadi Tenaga Kerja Wanita

0 komentar

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Adanya kasus-kasus penganiayaan terhadap Tenaga Kerja Perempuan (TKW) dari Indonesia di negara-negara tujuan telah menunjukkan adanya pelanggaran hak-hak perempuan sebagai salah satu bagian dari hak asasi manusia. Kasus-kasus penganiayaan terhadap TKW Indonesia telah terjadi sejak dulu. Pada tahun 2007, TKW asal Desa Ngrangkah Pawon, Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri, Jatim, Endah Sugiarti (24) disiram air keras oleh majikannya di Hongkong.[1] Selain itu terdapat pula kasus-kasus penganiayaan lain yang terjadi dan dialami oleh para TKW khususnya di Arab Saudi. Jumlah kasus penganiayaan terhadap TKW di Arab Saudi tertinggi di seluruh negara penempatan TKI. Berdasarkan data Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI, sepanjang Januari-Juni 2007 saja tercatat 118 kasus. 20 kali lipat lebih tinggi bila dibandingkan kasus serupa di Malaysia yang hanya 6 kasus. Selain penganiayaan, juga tercatat 118 kasus pelecehan seksual. Padahal di negara-negara Asia Pasifik seperti Malaysia, Hongkong, Singapura dan Taiwan jumlah kasus pelecehan seksual hanya 9.Bahkan jumlah kasus pemutusan hubungan kerja secara sepihak di negara itu mencapai 1.127 kasus. Dua kali lipat dibandingkan kasus yang terjadi di seluruh negara Asia Pasifik.[2]

Salah satu kasus penganiayaan terhadap TKW yang baru-baru ini terjadi adalah kasus penganiayaan terhadap Siti Hajar. TKW asal Garut,Jawa Barat akhir-akhir ini ramai diperbincangkan terkait penyiksaan terhadap dirinya oleh majikannya di malaysia.Kasus Siti hajar ini bukanlah yang pertama yang diterima oleh para TKW Indonesia di Malaysia, sebelumnya sudah banyak kasus-kasus yang seperti ini. Kali ini Kasus Siti hajar yang menyita banyak perhatian masyarakat.Betapa kejamnya warga negara malaysia dan tak henti-hentinya membuat masalah dengan negara ini. Siti Hajar mengalami penyiksaan berat oleh majikannya Hau Yuang Tyng alias Michele. Selama bekerja 34 bulan di rumah majikannya, Siti juga tidak pernah mendapatkan gaji. Karena tak tahan dengan perlakuan majikannya, Siti Hajar kabur dari rumah majikannya dan menumpang taksi yang kemudian membawanya ke KBRI Kuala Lumpur.[3]

Adanya tindakan penganiayaan yang dilakukan terhadap TKW Indonesia tersebut menimbulkan permasalahan-permasalahan terkait dengan hak asasi manusia.[4] HAM sejatinya adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh Tuhan Yang Maha Pencipta (hak-hak yang bersifat kodrati). Oleh karenanya tidak ada kekuasaan apapun di dunia yang dapat mencabutnya. Meskipun demikian, bukan berarti dengan hak-haknya itu manusia dapat berbuat sesuatu yang dikategorikan melanggar hak asasi orang lain, maka ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya.[5] Oleh karena itulah hak asasi manusia yang dimiliki oleh setiap orang ini harus diikuti juga dengan sikap dan perilaku manusia lainnya untuk menghormati keberadaan hak asasi manusia yang dimiliki setiap orang. Penghormatan tersebut tentunya dilakukan dengan tidak melakukan pelanggaran HAM [6] oleh pihak lain terhadap diri seseorang. Penghormatan atas HAM yang diharapkan pada pribadi seseorang tentunya tidak dapat kita temukan dalam kasus-kasus penganiayaan yang terjadi pada TKW-TKW asal Indonesia di luar negeri.

Salah satu jenis dan ranah hak asasi manusia yang terlanggar dengan adanya kasus-kasus penganiayaan TKW asal Indonesia adalah hak-hak perempuan. Setiap perempuan mempunyai hak-hak khusus yang berkaitan dengan hak asasi manusia yang diakui dan dilindungi oleh undang-undang. Dalam undang-undang HAM, hak-hak perempuan dilindungi dalam beberapa macam, antara lain :[7]

1. Hak-hak perempuan di bidang politik dan pemerintahan

2. Hak-hak perempuan di bidang kewarganegaraan

3. Hak-hak perempuan di bidang pendidikan dan pengajaran

4. Hak-hak perempuan di bidang ketenagakerjaan

5. Hak-hak perempuan di bidang kesehatan

6. Hak-hak perempuan untuk melakukan perbuatan hukum

7. Hak-hak perempuan dalam ikatan/ putusnya perkawinan

Terkait dengan adanya kasus-kasus penganiyaan terhadap TKW di luar negeri maka hak perempuan yang telah dilanggar adalah hak-hak perempuan di bidang ketenagakerjaan dan di bidang kesehatan. Adanya kasus-kasus tersebut telah menyadarkan kita bahwa di samping perbuatan-perbuatan dari pelaku yang bersifat kriminal atau tindak pidana, perbuatan pelaku juga merupakan perbuatan yang telah melanggar hak asasi manusia khususnya hak-hak perempuan.

Karena itulah pada penulisan makalah kali ini penulis akan berusaha menjelaskan hak-hak perempuan apa saja yang telah dilanggar atas kasus-kasus TKW yang telah terjadi, khususnya pada kasus penganiayaan yang dialami oleh Siti Hajar yang bekerja di Malaysia sebagai pembantu rumah tangga. Penulisan dilakukan dengan melakukan analisa terhadap kasus dengan menggunakan peraturan perundang-undangan yang terkait. Peraturan-peraturan yang terkait antara lain; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Dasar 1945, Convention On the Elimination of All Forms of Discrimination Againts Women (1979)/ CEDAW dan Undang-Undang Nomor 7 tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan, Universal Declaration of Human Rights /Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (1947), Internasional Covenant on Civil and Political Rights / ICCPR, Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Politik Wanita, Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya / ECOSOC, Konvensi tentang Kewarganegaraan Wanita Kawin, Konvensi tentang Kewarganegaraan Wanita, Konvensi Melawan Diskriminasi Dalam Pendidikan, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan.

Atas dasar analisa itulah maka penulis akan membuat makalah dengan judul “Pelanggaran Hak-Hak Perempuan Atas Penganiayaan yang Dilakukan Terhadap Tenaga Kerja Wanita Asal Indonesia di Luar Negeri”.

B. Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang yang telah disusun sebelumnya penulis akan mengangkat pokok permasalahan yang terkait dengan kasus-kasus penganiayaan TKW dan hak-hak perempuan yang telah dilanggar. Pokok permasalahan dalam penulisan makalah kali ini yaitu ; Bagaimanakah pelanggaran yang terjadi atas hak-hak perempuan berdasarkan instrumen internasional dan nasional dikaitkan dengan kenyataan adanya penganiayaan yang terjadi terhadap TKW?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Hak-Hak Perempuan

Dalam kehidupan bermasyarakat, seorang perempuan terkadang mendapatkan diskriminasi dan anggapan sebelah mata atas dirinya. Diskriminasi dapat terjadi baik dalam kehidupan pekerjaan, keluarga (antara suami dan istri), hingga kehidupan yang dilaluinya dalam masyarakat. Dengan adanya diskriminasi inilah maka kemudian banyak pihak terutama perempuan sendiri menyadari pentingnya mengangkat isu hak perempuan sebagai salah satu jenis hak asasi manusia yang harus dapat diakui dan dijamin perlindungannya. Adanya kesadaran ini maka kemudian perlu diketahui terlebih dahulu dengan apa yang dimaksud dengan hak asasi perempuan.

Hak asasi perempuan, adalah hak yang dimiliki oleh seorang perempuan, baik karena ia seorang manusia maupun sebagai seorang perempuan, dalam khasanah hukum hak asasi manusia dapat ditemui pengaturannya dalam berbagai sistem hukum tentang hak asasi manusia.[8] Dalam pengertian tersebut dijelaskan bahwa pengaturan mengenai pengakuan atas hak seorang perempuan terdapat dalam berbagai sistem hukum tentang hak asasi manusia. System hukum tentang hak asasi manusia yang dimaksud adalah system hukum hak asasi manusia baik yang terdapat dalam ranah internasional maupun nasional. Khusus mengenai hak-hak perempuan yang terdapat dalam system hukum tentang hak asasi manusia dapat ditemukan baik secara eksplisit maupun implisit. Dengan penggunaan kata-kata yang umum terkadang membuat pengaturan tersebut menjadi berlaku pula untuk kepentingan perempuan. Dalam hal ini dapat dijadikan dasar sebagai perlindungan dan pengakuan atas hak-hak perempuan.

Dari seluruh sistem hukum tentang hak asasi manusia, kita dapat menemukan jenis-jenis hak-hak perempuan yang terdapat dalam system hukum tersebut. Jenis hak-hak perempuan yang ada, antara lain:

1. Hak-Hak Perempuan di Bidang Politik

Sama halnya dengan seorang pria, seorang perempuan juga mempunyai hak yang sama untuk turut serta dalam pemerintahan. Hak-hak perempuan yang diakui dan dilakukan perlindungan terhadapnya terkait dengan hak-hak perempuan di bidang politik, antara lain :

a. Hak untuk berpartisipasi dalam pemerintahan dengan ikut serta dalam perumusan kebijakan pemerintah dan pelaksanaan kebijakan.

b. Hak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan berkala yang bebas untuk menentukan wakil rakyat di pemerintahan

c. Hak untuk ambil bagian dalam organisasi-organisasi pemerintah dan non-pemerintah dan himpunan-himpunan yang berkaitan dengan kehidupan pemerintah dan politik negara tersebut.

Dasar hukum atas hak-hak perempuan di bidang politik tersebut dapat ditemukan dalam instrumen internasional. Dimana hak-hak tersebut dapat ditemukan dalam bahasa yang umum dalam Pasal 21 DUHAM butir 1 dan 2, Pasal 25 ICCPR,. Sedangkan dasar hukum yang lebih khusus menyebutkan hak-hak perempuan tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 7 dan 8 CEDAW, Pasal 1, 2 dan 3 Konvensi Hak-Hak Politik Perempuan.

Sedangkan dasar hukum hak-hak perempuan tersebut dapat pula ditemukan dalam instrumen nasional kita. Dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dapat ditemukan dalam Pasal 46 yang berbunyi sebagai berikut : “sistem pemilihan umum, kepartaian, pemilihan anggota badan legislatif, dan sistem pengangkatan di bidang eksekutif, yudikatif, harus menjamin keterwakilan wanita sesuai persyaratan yang ditentukan”.

2. Hak-hak perempuan di bidang kewarganegaraan

Setiap manusia yang hidup dalam suatu negara mempunyai hak untuk mendapatkan kewarganegaraan yang sesuai dengan negara dimana dia tinggal. Misalnya seseorang yang hidup dan tinggal di negara Indonesia, sesuai dengan Undang-Undang Kewarganegaraan maka terdapat syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi seseorang untuk mendapatkan kewarganegaraan Indonesia. Apabila syarat-syarat tersebut dapat dipenuhi maka setiap orang tersebut mempunyai hak untuk mendapatkan kewarganegaraannya. Hal inilah yang menjai salah satu hak yang harus dipenuhi terhadap perempuan. Setiap perempuan mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan kewarganegaraan suatu negara ketika mereka dapat memenuhi syarat-syarat yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan di negara terkait.

Dasar hukum atas hak-hak perempuan di bidang kewarganegaraan tersebut dapat ditemukan dalam instrumen internasional. Dimana hak-hak tersebut dapat ditemukan dalam bahasa yang umum dalam Pasal 15 DUHAM yang berbunyi :

1. “Setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan

2. Tidak seorangpun dengan semena-mena dapat dikeluarkan dari kewarganegaraannya atau ditolak haknya untuk mengganti kewarganegaraannya”.

Sedangkan dasar hukum dalam ranah internasional yang menggunakan bahasa yang lebih khusus dan spesifik dapat ditemukan dalam Pasal 9 CEDAW, Pasal 1, 2 dan 3 Konvensi tentang Kewarganegaraan Wanita Kawin, Pasal 1 Konvensi tentang Kewarganegaraan Perempuan. Dimana dari dasar hukum tersebut dapat diketahui bahwa seorang perempuan mempunyai hak untuk memperoleh, mengganti atau mempertahankan kewarganegaraanya akibat perkawinannya dengan seorang pria. Dan setiap negara dari asal perempuan tersebut harus dapat menjamin keberadaan haknya tersebut.

Dalam ranah nasional, dasar hukum mengenai hak perempuan di bidang kewarganegaraan dapat ditemukan dalam Pasal 47 UU HAM yaitu “seorang wanita yang menikah dengan seorang pria berkewarganegaraan asing tidak secara otomatis mengikuti status kewarganegaraan suaminya tetapi mempunyai hak untuk mempertahankan, mengganti, atau memperoleh kembali status kewarganegaraannya.” Isi pasal tersebut jika dibandingkan dengan pengaturan internasional terkait yang ada mempunyai pengaturan yang hampir sama. Dengan kata lain pengaturan hak-hak perempuan di Indonesia merupakan adaptasi dari pengaturan yang ada dalam ranah internasional. Dengan demikian jaminan atas hak perempuan tersebut tentunya selain diakui di Indonesia namun juga diakui dalam tingkat internasional.

3. Hak-hak perempuan di bidang pendidikan dan pengajaran

Pendidikan adalah dasar yang paling penting bagi kehidupan manusia. Dengan pendidikan seseorang dapat meningkatkan kualitas hidupnya, baik dari kualitas akal, pemikiran, perilaku hingga ekonomi. Dan pendidikan tersebut tentunya didapatkan dengan pengajaran. Pengajaran harus diberikan pada setiap orang untuk mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas. Oleh karena itulah maka kemudian setiap manusia di dunia ini berhak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran, tidak terkecuali untuk semua perempuan. Setiap perempuan sama halnya dengan setiap pria mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan dan pengajaran.

Atas dasar itulah maka kemudian dalam instrumen internasional dapat kita temukan pengaturan-pengaturan yang menjamin hal tersebut. Pengaturan tersebut dapat bersifat umum untuk semua orang, maupun bersifat khusus untuk setiap perempuan. Instrumen internasional yang bersifat umum antara lain dapat ditemukan dalam Pasal 26 (1) DUHAM. Sedangkan yang bersifat lebih khusus dapat ditemukan dalam Pasal 10 CEDAW, Pasal 13 ayat (2) Kovenan tentang Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, Pasal 4 (d) Konvensi Melawan Diskriminasi dalam Pendidikan.

Selain itu pengaturan mengenai hak tersebut dapat juga kita temukan dalam instrumen nasional kita. Pengaturan yang bersifat lebih umum dapat kita temukan pada Pasal 31 (1) Undang-Undang Dasar 1945. Dan yang bersifat lebih khusus melindungi hak perempuan dapat ditemukan dalam Pasal 48 UU HAM yang menyebutkan bahwa “Wanita berhak untuk memperoleh pendidikan dan pengajaran di semua jenis, jenjang dan jalur pendidikan sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan”.

4. Hak-hak perempuan di bidang profesi dan ketenagakerjaan

Berkaitan dengan hak perempuan di bidang profesi dan ketenagakerjaan, terdapat hak-hak yang harus didapatkan perempuan baik sebelum, saat, maupun sesudah melakukan pekerjaan. Sebelum mendapat pekerjaan, seorang perempuan mempunyai hak untuk diberikan kesempatan yang sama dengan pria untuk mendapatkan pekerjaan yang seseuai dengan kemampuannya, sehingga mereka perempuan harus dapat dilakukan seleksi terhadapnya tanpa ada diskriminasi apapun. Saat mendapat pekerjaan, seorang perempuan juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi, yaitu mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaannya, mendapatkan kondisi kerja yag aman dan sehat, kesempatan yang sama untuk dapat meningkatkan pekerjaannya ke tingkat yang lebih tinggi, termasuk juga hak untuk mendapatkan pelatihan untuk meningkatkan kualitas pekerjaannya. Setelah mendapat pekerjaan, tentunya ada saatnya ketika perempuan harus berhenti dan meninggalkan pekerjaannya. Maka ketika pekerjaan itu berakhir, seorang perempuan juga mempunyai hak untuk mendapatkan pesangon yang adil dan sesuai dengan kinerja dan kualitas pekerjaan yang dilakukannya.

Dasar hukum atas hak tersebut dalam instrumen internasional dapat ditemukan dalam Pasal 23 DUHAM, Pasal 6 ayat (1), 7 dan Pasal 8 ayat 1 butir (a) dan (b) Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi Sosial dan Budaya, dimana didalamnya diatur hak-hak seseorang atas suatu profesi dan pekerjaan yang berlaku bagi semua orang. Dan pada Pasal 11 CEDAW, Pasal 3 Konvensi tentang Hak-Hak Politik Perempuan, dapat ditemukan adanya perlindungan hak tersebut yang diberlakukan lebih khusus kepada semua perempuan.

Dalam instrumen nasional mengenai hal ini dapat ditemukan dalam Pasal 76 Undang-Undang Nomor 76 tentang Ketenagakerjaan dan Pasal 49 (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM. Dalam Pasal 49 (1) UU HAM disebutkan bahwa ”Wanita berhak untuk memilih, dipilih, diangkat dalam pekerjaan, jabatan, dan profesi sesuai dengan persyaratan dan peraturan perundang-undangan”.

5. Hak-hak perempuan di bidang kesehatan

Perlu diketahui lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan hak-hak perempuan di bidang kesehatan adalah penjaminan kepada para perempuan untuk mendapatkan perlindungan yang lebih dan khusus. Hal ini terutama akibat rentannya kesehatan wanita berkaitan dengan fungsi reproduksinya. Seorang wanita telah mempunyai kodrat dari Tuhan Yang Maha Esa untuk mengalami kehamilan, menstruasi setiap bulan dan juga kekuatan fisik yang lebih lemah dibandingkan pria. Adanya hal-hal tersebut inilah maka kemudian dirasakan perlu untuk melakukan perlindungan yang lebih khusus kepada mereka perempuan.

Dalam instrumen internasional mengenai hal tersebut dapat ditemukan dalam Pasal 25 (2) DUHAM yang berbunyi “ibu dan anak berhak mendapat perhatian dan bantuan khusus. Semua anak baik yang dilahirkan di dalam maupun di luar perkawinan, harus menikmati perlindungan sosial yang sama”. Dan pada Pasal 12 ayat (1) Konvensi Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya, serta dalam Pasal 11 butir (f), Pasal 12 dan Pasal 14 CEDAW. Sedangkan untuk instrumen nasional dapat ditemukan dalam Pasal 28 H UUD 1945 yaitu “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang sehat serta berhak memperoleh kesehatan”. Adanya dasar pengaturan ini menunjukkan bahwa negara kita menjamin setiap warganya untuk mendapatkan jaminan kesehatan dari negara. Khusus untuk setiap wanita perlindungan kesehatan dijaminkan lebih lagi dalam Pasal 49 (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang menyebutkan bahwa “perempuan berhak untuk mendapatkan perlindungan khusus dalam pelaksanaan pekerjaan atau profesinya terhadap hal-hal yang dapat mengancam keselamatan dan atau kesehatannya berkenaan dengan fungsi reproduksi wanita”.

6. Hak-hak perempuan untuk melakukan perbuatan hukum

Sebelum dikenalnya hak-hak atas perempuan dan keberadaan perempuan yang sederajat dengan pria, perempuan selalu berada di bawah kedudukan pria. Hal ini seringkali terlihat terutama pada keadaan dimana perempuan untuk melakukan perbuatan hukum tertentu harus mendapatkan persetujuan atau di bawah kekuasaan pria. Keadaan inilah yang kemudian menimbulkan kesadaran bagi para perempuan bahwa setiap perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki di mata hukum, sehingga kemudian muncul salah satu hak perempuan lainnya yang diakui baik di tingkat internasional maupun nasional.

Dasar hukum dalam instrumen internasional atas hak-hak perempuan ini secara umum dapat ditemukan dalam Pasal 7 DUHAM, Pasal 14 ayat (1) dan Pasal 26 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik dan secara khusus dalam Pasal 2 dan 15 CEDAW. Dalam instrument nasional dasar hukum atas hak-hak ini dapat ditemukan dalam Pasal 50 UU HAM yang berbunyi “wanita yang telah dewasa dan atau telah menikah berhak untuk melakukan perbuatan hukum sendiri, kecuali ditentukan lain oleh hukum agamanya”.

Sehubungan dengan jaminan atas hak-hak perempuan yang berhubungan dengan hukum dan masyarakat, terdapat beberapa permasalahan yang menimpa perempuan di Indonesia diantaranya :[9]

1. Kekerasan terhadap perempuan

2. Perempuan sebagai korban perkosaan

3. Perempuan sebagai pekerja seks komersial dalam praktek prostitusi

4. Perempuan dan aborsi

5. Perempuan dan pornografi dan pornoaksi

6. Perdagangan perempuan

7. Hak-hak perempuan dalam ikatan /putusnya perkawinan

Dalam sebuah perkawinan adakalanya dimana pasangan suami istri terpaksa harus melakukan perceraian atau yang disebut dengan putusnya perkawinan. Atas putusnya perkawinan ini setiap pihak dari perkawinan mempunyai hak dan kewajiban yang sama terutama jika atas perkawinannya menghasilkan anak-anak. Selain itu kedua belah pihak juga mempunyai hak yang sama untuk mendapat bagian harta bersama dengan persentase yang adil.

Dasar hukum atas hak tersebut dalam instrumen internasional dapat ditemukan dalam Pasal 9 ayat (2) dan Pasal 16 butir (c) sampai dengan butir (g) CEDAW. Dan dalam instrumen nasional dapat ditemukan dalam Pasal 51 ayat (1) dan (2) UU HAM yang berbunyi sebagai berikut :

(2) “Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak dan tanggungjawab yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan anak-anaknya, dengan memperhatikan kepentingan terbaik bagi anak”.

(3) “Setelah putusnya perkawinan, seorang wanita mempunyai hak yang sama dengan mantan suaminya atas semua hal yang berkenaan dengan harta bersama tanpa mengurangi hak anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

B. Kronologis Kasus

Untuk mengetahui bagaimana pelanggaran yang terjadi atas hak-hak perempuan berdasarkan instrumen internasional dan nasional dikaitkan dengan kenyataan adanya penganiayaan yang terjadi terhadap TKW, maka pada penulisan kali ini penulis akan memaparkan salah satu kasus penganiyaan TKW yang baru-baru ini terjadi dan menjadi perhatian publik dan pemerintah. Kasus yang dimaksudkan adalah kasus penganiayaan yang terjadi pada Siti Hajar yaitu TKW yang bekerja di Malaysia. Berikut akan dipaparkan bagaimana kronologis terjadinya kasus hingga bagaimana dia bisa lolos dan ditolong oleh pihak pemerintah Indonesia. Kasus Siti Hajar seorang TKI yang disiksa oleh majikannya Hau Yuan Tyng (Michele):[10]

Pada hari Senin tanggal 8 Juni 2009 pukul 08.30 seorang TKI a.n. Siti Hajar datang ke KBRI Kuala Lumpur untuk meminta perlindungan atas penyiksaan fisik (disiram air panas) yang dialaminya dari majikannya.

KBRI Kuala Lumpur, pada hari Senin 8 Juni 2009 memanggil majikan a.n. Hau Yuan Tyng (Michele), Mr. Mark Neo dari Agensi Pekerja Venture Provision dan Sdri. Tanti, Wakil dari PT. Mangga Dua Mahkota di Kuala Lumpur. KBRI Kuala Lumpur menyampaikan 2 hal kepada majikan, yaitu akan meneruskan kasus ini melalui jalur hukum dan meminta pembayaran gaji Siti Hajar selama 34 bulan sebesar RM. 17.000 (gaji: RM. 500/bulan).

KBRI Kuala Lumpur, telah membawa Siti Hajar membuat laporan Polisi di Balai Polis Mont Kiara, Sri Hartamas. Selanjutnya kasus Siti Hajar ditangani oleh Investigation Officer/IO Inspektur Zul dari Ibu Pejabat Polis Daerah/IPD (setingkat Polres) Brickfields.

Setelah membawa Siti Hajar membuat laporan polisi, KBRI Kuala Lumpur kemudian telah membawa Siti Hajar ke Pusat Perubatan Universitas Malaya (PPUM) untuk dilakukan visum et repertum dengan didampingi IO dan saat ini Siti Hajar dirawat/diopname di PPUM guna mendapatkan rawatan lebih lanjut.

Majikan Siti Hajar pada hari Senin, 8 Juni 2009 pukul 19.00 telah diserahkan oleh KBRI Kuala Lumpur kepada Polisi Malaysia untuk proses penahanan.

Pada tanggal 9 Juni 2009, Duta Besar RI menjenguk Siti Hajar di Pusat Perubatan Universiti Malaya (PPUM). Dalam kesempatan tersebut, Siti Hajar dihubungkan secara langsung melalui telepon untuk berbicara dengan keponakannya bernama Asep. Duta Besar RI juga berbicara langsung dengan keluarga Siti Hajar di Indonesia untuk menginformasikan keadaan Siti Hajar saat ini, dan langkah-langkah yang dilakukan KBRI Kuala Lumpur untuk melakukan pendampingan terhadap Siti Hajar.

Pada hari Rabu, 10 Juni 2009 kakak dari majikan Siti Hajar telah menyerahkan hak Siti Hajar melalui KBRI yaitu berupa pembayaran gaji selama 34 bulan sebesar RM 17.000.

Pada saat Duta Besar Da’i Bachtiar mengunjungi Siti Hajar (TKI korban penganiayaan) tanggal 11 Juni 2009 jam 11.45, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menelefon dan kemudian berbicara langsung dengan Siti Hajar. Siang hari tanggal 12 Juni 2009, KBRI Kuala Lum­pur telah mempertemukan Siti Hajar dengan kel­uarganya yaitu Sdri Nani Suryani (kakak kandung Siti Hajar) dan Sdr. Samsul Rizal (keponakan Siti Hajar). Pertemuan Siti Hajar dengan keluarganya setelah lebih kurang 3 tahun tidak berjumpa, berlangsungdalam suasana yang mengharukan di lobby KBRI Kuala Lumpur.

Sementara menunggu proses penyelidikan lebih lanjut dari pihak Kepolisian dan proses penyembuhannya, Siti Hajar ditempatkan di penampungan sementara KBRI Kuala Lumpur. Klinik kesehatan di penampungan sementara KBRI Kuala Lumpur, telah dirubah menjadi ruangan khusus dengan fasilitasi yang cukup memadai bagi Siti Hajar.

D. Analisa Kasus

Dari kasus tersebut dapat diketahui bahwa Siti Hajar telah mendapat perlakuan yang tidak adil terutama dari pihak majikannya. Ketidakadilan ini terjadi dalam ranah hak asasi manusia khususnya hak perempuan. Dalam kasus tersebut dapat diketahui bahwa Siti Hajar telah dilanggar hak-haknya dalam bentuk :

1. Telah dilakukan penganiayaan terhadap Siti Hajar dalam bentuk pemukulan dan penyiraman air panas ke tubuh dan mukanya.

2. Selama 34 bulan bekerja, Siti Hajar tidak mendapatkan haknya berupa gaji atau imbalan atas kerja kerasnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga.

Apabila melihat kasus tersebut maka dapat diketahui bahwa Siti Hajar telah dilanggar hak-hak asasinya terutama hak-hak perempuan karena kodratnya sebagai perempuan. Hal ini dapat diketahui dengan melihat pengaturan yang ada mengenai hak-hak perempuan baik dalam instrumen internasional maupun nasional. Hak-hak perempuan yang telah dilanggar oleh majikannya antara lain adalah :

1. Hak perempuan di bidang profesi dan ketenagakerjaan

Hak perempuan dalam bidang ini adalah terkait dengan adanya hak-hak perempuan sebelum, sesaat dan sesudah bekerja. Terkait dengan kasus yang terjadi pada Siti Hajar, maka pelanggaran atas haknya dilakukan oleh majikannya di saat ia bekerja. Pelanggaran hak yang dilakukan majikannya terkait dengan hak perempuan di bidang profesi dan ketenagakerjaan adalah tidak adanya pembayaran gaji terhadap Siti Hajar setelah 34 bulan bekerja kepada majikannya.

Hal ini tentunya bertentangan dengan dasar hukum atas hak perempuan tersebut, yaitu pada Pasal 11 butir (d) CEDAW yang menyebutkan bahwa “setiap wanita dan pria mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan pengupahan yang sama, termasuk semua kemanfaatan dan atas perlakuan yang sama, dalam hal pekerjaan yang bernilai sama, seperti halnya persamaan perlakuan di dalam penilaian mengenai kualitas pekerjaan”. Dengan demikian seharusnya majikan dari Siti Hajar dapat membayarkan upah yang seharusnya menjadi hak darinya. Karena atas haknya tersebut Siti Hajar telah dijamin dan diakui oleh peraturan dalam lingkup internasional.

Selain itu bila melihat instrumen hukum nasional kita, maka terkait dengan kasus Siti Hajar tersebut peraturan perundang-undangan yang terkait adalah Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dimana pada Pasal 88 ayat (1) disebutkan bahwa ”setiap pekerja/ buruh berhak memperoleh penghasilan yang memenuhi penghidupan yang layak bagi kemanusiaan”. Dengan kata lain setiap pekerja baik itu laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan imbalan atas pekerjaannya dalam bentuk gaji. Pembayaran upah atau gaji ini tentunya merupakan kewajiban dari pengusaha/ majikan sebagai pihak yang memperkerjakan mereka dan mendapatkan keuntungan dari keberadaan mereka. Sehingga sudah seharusnyalah majikan dari Siti Hajar tersebut membayar gajinya selain karena itu merupakan kewajiban yang harus dipenuhinya hal tersebut juga merupakan hak dari pekerja yang harus dihormati dan dijaminkan oleh mereka.

2. Hak perempuan di bidang kesehatan

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa terdapat penjaminan yang lebih khusus diberikan kepada seorang perempuan terkait dengan kesehatan yang dimilikinya. Hal ini dikarenakan kodrat wanita yang berbeda dengan pria dalam hal-hal tertentu seperti perempuan harus mengalami menstruasi, mengalami kehamilan hingga kekuatan fisik yang lebih lemah dari seorang pria. Hak atas kesehatan ini dijaminkan kepada setiap perempuan bukan hanya dalam kehidupannya sehari-hari di masyarakat namun juga ketika mereka sedang melakukan pekerjaan. Atas seorang pekerja harus dilakukan perlindungan atas kesehatan dan keselamatan kerjanya. Hal ini dapat diketahui dengan adanya pengaturan dalam Pasal 86 (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berbunyi “setiap pekerja / buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas :

a. Keselamatan dan kesehatan kerja

b. Moral dan kesusilaan

c. Perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama”.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa seorang pekerja harus mendapatkan perlindungan atas kesehatan dan keselamatan ketika melakukan pekerjaan. Terkait dengan kasus yang terjadi pada Siti Hajar maka dapat diketahui bahwa Siti Hajar tidak mendapatkan perlindungan atas kesehatan dan keselamatannya ketika bekerja. Dengan dilakukannya penganiayaan dan penyiksaan terhadapnya maka keselamatan Siti Hajar ketika melakukan pekerjaan tidaklah terlindungi. Selain itu dengan adanya penyiksaan tersebut maka perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia juga tidak terlindungi. Seseorang yang dipukul dan disiram air panas karena kesalahan kecil merupakan hal yang tidak sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Siti Hajar diperlakukan seperti bukan manusia yang bermartabat dan berbudi. Ketika perlindungan tidak terjadi maka salah satu dampak yang terjadi adalah adanya penganiayaan yang dialami oleh Siti Hajar yang berakibat pada keadaan Siti Hajar yang harus dirawat di rumah sakit dengan tubuh yang babak belur dan tidak lagi sehat. Dengan demikian maka hak atas kesehatan yang seharusnya didapatkan oleh menjadi terlanggar.

Perlindungan atas hak kesehatan seseorang juga dapat ditemukan dalam instrument hukum nasional kita yaitu pada Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan yang menyebutkan bahwa “setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal.” Pada pasal tersebut dapat diketahui bahwa secara umum setiap manusia baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak untuk mendapatkan kesehatan, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun ketika bekerja. Hal inilah yang seharusnya dialami oleh Siti Hajar, sebagai seorang warga Negara Indonesia Siti Hajar harus mendapatkan hak yang sama untuk memperoleh kesehatan. Karena itulah sudah seharusnya ketika akibat dari perlindungan yang tidak dapat dilakukan terhadapnya terjadi dan pelanggaran atas hak terjadi, pemerintah langsung bertindak untuk mengobati dan mengurus Siti Hajar untuk mendapatkan kesehatannya kembali.

3. Hak perempuan untuk melakukan perbuatan hukum

Seperti yang telah disebutkan sebelumnya bahwa dalam hal hak-hak permpuan untuk melakukan perbuatan hukum terdapat permasalahan yang dapat menimpa perempuan ketika berhubungan dengan hukum dan masyarakat. Salah satu permasalahan yang terkait dengan kasus yang terjadi pada Siti Hajar adalah kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan terhadap kaum perempuan adalah suatu penghambat bagi tercapainya sasaran-sasaran persamaan, pembangunan dan perdamaian. Kekerasan terhadap kaum perempuan melanggar dan merugikan atau membatalkan penikmatan kaum perempuan akan hak-hak asasi dan kebebasan dasarnya. Di semua masyarakat baik di tingkat luas atau yang lebih kecil, perempuan dan anak-anak perempuan telah menjadi penyalahgunaan fisik, seksual, psikologi, yang tidak pandang tingkat pendapatan, kelas sosial, dan kebudayaan. Rendahnya status sosial dan ekonomi para perempuan dapat menjadi sebab maupun akibat dari kekerasan yang dilakukan terhadap kaum perempuan.[11]

Salah satu sebab yang mengakibatkan adanya kekerasan terhadap perempuan adalah adanya pandangan bahwa status sosial dan ekonomi para perempuan mempunyai derajat yang lebih rendah dibandingkan pria. Adanya pandangan ini bertentangan dengan hak perempuan untuk melakukan perbuatan hukum. Hak untuk melakukan perbuatan hukum dapat diartikan bahwa setiap perempuan mempunyai derajat yang sama di mata hukum. Karena itulah kekerasan yang terjadi pada perempuan merupakan pelanggaran atas hak perempuan dalam melakukan perbuatan hukum.

Kekerasan yang dilakukan dalam terhadap perempuan dapat berupa penyiksaan, penyalahgunaan fisik dan mental dan lain sebagainya. Terkait dengan kasus yang terjadi pada Siti Hajar, dapat diketahui bahwa telah terjadi penganiayaan terhadapnya. Penganiayaan yang terjadi pada Siti Hajar dilakukan majikannya dalam bentuk pemukulan dan penyiraman air panas kepada muka dan tubuh Siti Hajar.

Atas kekerasan yang dialami oleh Siti Hajar perlu diketahui bahwa hal tersebut menandakan adanya pandangan dari majikannya bahwa status sosial perempuan khususnya Siti Hajar mempunyai derajat yang berbeda dengannya. Karena itulah maka kemudian dia merasa bahwa tindakan kekerasan yang dilakukannya adalah hal yang wajar diterima oleh Siti Hajar sebagai seorang pembantu rumah tangga. Adanya pandangan tersebut menimbulkan pertentangan dengan hak perempuan yang mempunyai derajat yang sama di mata hukum dengan pihak manapun. Persamaan derajat seseorang di mata hukum tersebut diatur dalam Pasal 15 ayat (1) CEDAW yang berbunyi bahwa “negara peserta akan memberikan kepada perempuan persamaan dengan pria di depan hukum”.

Dengan melihat analisa kasus tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa dengan adanya penyiksaan yang dilakukan terhadap tenaga kerja wanita Indonesia di luar negeri telah terjadi pelanggaran atas hak-hak perempuan yang terkait dengan hak asasi manusia. Pelanggaran tersebut dapat terjadi akibat factor-faktor terkait yang memperbesar kemungkinan dilakukannya pelanggaran. Faktor-faktor tersebut antara lain:

1. Kurangnya pengetahuan dari TKW sendiri mengenai hak asasi manusia khususnya hak-hak perempuan. Dimana jika TKW mengetahui hal tersebut mereka dapat berusaha mendapatkan dan mempertahankan hak-haknya.

2. Kurangnya perlindungan hukum bagi TKW saat berada di luar negeri. Sehingga jikalaupun terjadi pelanggaran, akan sulit melakukan penegakkan hukum terhadapnya.

3. Kurangnya perhatian dari pemerintah untuk menjamin hak-hak perempuan dari TKW untuk tidak dilanggar oleh pihak lain terutama majikan dimana mereka bekerja.

Adanya faktor-faktor tersebut maka diharapkan baik dari pihak pemerintah, penyalur TKW maupun calon-calon TKW sendiri untuk memberikan perhatian yang lebih kepada permasalahan mengenai hak-hak asasi manusia khususnya hak-hak perempuan terhadap calon TKW. Hal ini diharapkan agar kejadian seperti yang ditimpa oleh Siti Hajar tidak akan terulang kembali di lain waktu.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dengan melihat pembahasan dalam bab sebelumnya dapat diketahui bahwa dengan adanya penganiayaan yang terjadi pada Tenaga Kerja Wanita Indonesia di luar negeri telah mengakibatkan adanya pelanggaran hak asasi manusia khususnya hak-hak perempuan. Khusus untuk kasus penganiayaan yang terjadi pada TKW Indonesia di Malaysia yaitu Siti Hajar dapat diketahui bahwa telah terdapat pelanggaran hak-hak perempuan khususnya hak-hak perempuan yang dimiliki oleh Siti Hajar. Hak-hak perempuan tersebut antara lain adalah hak perempuan di bidang profesi dan ketenagakerjaan, yang diakibatkan tidak dibayarnya Siti Hajar oleh majikannya selama 34 bulan bekerja. Selain itu hak perempuan di bidang kesehatan telah dilanggar pula dengan adanya pemukulan dan tindakan yang tidak bermartabat karena dilakukannya penyiraman air panas terhadap Siti Hajar. Dan juga telah dilanggar pula hak perempuan untuk melakukan perbuatan hukum terkait dilakukannya kekerasan terhadapnya.

B. Saran

Dengan adanya fakta-fakta dan pembahasan yang telah ditemukan dalam penulisan kali ini, maka penulis dalam kesempatan ini akan berusaha untuk memberikan saran terutama kepada pemerintah. Adanya faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penganiayaan terhadap TKW tersebut, dapat diketahui bahwa pihak pemerintah adalah pihak yang paling terkait dengan adanya kejadian tersebut. Oleh karena itu saran dari penulis akan ditujukan kepada pemerintah agar dilakukan kembali sosialisasi yang lebih baik dan tajam kepada para calon TKW maupun TKW mengenai hak asasi manusia khususnya hak-hak perempuan yang merupakan pihak yang menjadi obyek yang harus dilindungi. Selain itu diharapkan pula pemerintah dapat melakukan kerjasama yang baik dengan negara-negara tujuan TKW agar perlindungan hukum atasnya dapat dilakukan dengan maksimal, baik perlindungan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia maupun pemerintah dari negara tujuan.

DAFTAR PUSTAKA

A. Peraturan Perundang-Undangan

Indonesia. Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia. UU No. 39 Tahun 1999. LN No.165. TLN No. 3886.

Indonesia. Undang-Undang tentang Kesehatan. UU No. 23 Tahun 1992. LN No. 100. TLN No. 3495

Indonesia. Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan. UU No. 13 Tahun 2003. LN No. 39. TLN No.4279.

B. BUKU

Yazid, Abdullah, dkk. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. 2008. Malang: Averroes Press.

Eddyono, Sri Wiyanti. Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW (Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X). 2004. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat.

Hikmah, Mutiara. Hak-hak Perempuan sebagai Modul Mata Kuliah Hukum dan HAM.

C. WEBSITE

Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur. Perlindungan Terhadap WNI di Indonesia. http://www.kbrikualalumpur.org/pameran/booklet-perlindungan-wni.pdf.

TKW Asal Kediri Disiram Air Keras di Hongkong. http://www.antara.co.id/view. Selasa, 21 Agustus 2007.

Kasus Penganiayaan TKW di Arab Saudi Tertinggi. http://www.tempointeraktif.com. Jumat, 17 Agustus 2007.

Kasus Penganiayaan Siti Hajar. http://masrois.com/kasus-penganiayaan-siti-hajar.


[1] TKW Asal Kediri Disiram Air Keras di Hongkong, http://www.antara.co.id/view, Selasa, 21 Agustus 2007.

[2] Kasus Penganiayaan TKW di Arab Saudi Tertinggi, http://www.tempointeraktif.com, Jumat, 17 Agustus 2007.

[3] Kasus Penganiayaan Siti Hajar, http://masrois.com/kasus-penganiayaan-siti-hajar.

[4] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang dimaksud dengan hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhlukTuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.

[5] Abdullah Yazid, dkk, Demokrasi dan Hak Asasi Manusia, (Malang: Averroes Press, 2008), hal.1.

[6] Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh Undang-undang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar, berdasarkan mekanisme hukum yang berlaku.

[7] Pasal 45-51 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.

[8] Sri Wiyanti Eddyono, Hak Asasi Perempuan dan Konvensi CEDAW (Seri Bahan Bacaan Kursus HAM untuk Pengacara X), (Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat, 2004), hal. 1.

[9] Mutiara Hikmah, Hak-hak Perempuan sebagai Modul Mata Kuliah Hukum dan HAM.

[10] Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur, Perlindungan Terhadap WNI di Indonesia, http://www.kbrikualalumpur.org/pameran/booklet-perlindungan-wni.pdf.

[11] Mutiara Hikmah, Hak-Hak Perempuan Sebagai Modul Hukum dan HAM.