Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 066/PUU-II/2004 tanggal 12 April 2005 dalam perkara pengujian pasal 50 UU MK dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1987 tentang Kamar Dagang dan Industri Terhadap UUD 1945, Mahkamah berwenang menguji Kitab Undang-Undang Hukum Pidana walaupun telah diundangkan jauh sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
Sejak Putusan Nomor 006/PUU-III/2005, Mahkamah Konstitusi telah menentukan 5 syarat mengenai kerugian hak konstitusional yaitu:
1. Harus ada hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945;
2. Hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut dianggap telah dirugikan oleh berlakunya undang-undang yang dimohonkan pengujian;
3. Kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional tersebut bersifat spesifik dan aktual, setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi;
4. Ada hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian hak/dan atau kewenangan konstitusional dengan undang-undang yang dimohonkan pengujian; dan
5. Ada kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak lagi terjadi.
Para Pemohon terbukti memenuhi syarat sebagai pemohon pengujian KUHPidana, yakni sebagai perorangan warga negara Indonesia yang hak-hak konstitusionalnya yang diberikan oleh UUD 1945 dianggap dirugikan oleh berlakunya pasal-pasal KUHPidana yaitu pasal 134, 136 bis, dan 137. Para pemohon sedang menjalani pemeriksaan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dengan dakwaan pelanggaran pasal 134, 136 bis, dan 137. Kerugian para pemohon bersifat spesifik dan aktual serta merupakan hubungan kausalitas antara kerugian hak konstitusional dengan berlakunya pasal-pasal KUHPidana, yaitu pasak 134, 136 bis, dan 137, dalam hal mana kerugian tidak akan terjadi apabila permohonan dikabulkan.
Menurut sejarah, Pasal 134 KUHPidana secara konkordan berasal dari artikel 111 Nederlands Wetboek van Strafrecht (WvS Nederland, 1881) yang mengatur tentang opzettelijke beleediging den Koning of der Koningin dengan ancaman hukuman penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak 300 gulden. Berdasarkan Koninklijk Besluit (KB) bertanggal 15 Oktober 1915 Nomor 33, diberlakukan Wetboek van Strafrecht voor Nederlands – Indie (WvS Nederlands – Indie), namun dinyatakan mulai berlaku mengikat sejak tanggal 1 Januari 1918, dimuat dalam Staatsblad 1915 Nomor 732. Pasal 134 WvS Nederlands - Indie berbunyi, “Opzettelijke beleediging den Koning of der Koningin aangedaan, wordt gestraf van ten hoogste zes jaren of geldboete van ten hoogste driehonderd gulden“. Dalam pada itu, menurut Pasal 7 Oendang-Oendang 1946 Nomor 1 tentang Peratoeran Hoekoem Pidana, nama Wetboek van Strafrecht voor Nederlandch – Indie diubah menjadi Wetboek van Strafrecht atau dapat disebut Kitab Oendang-Oendang Hoekoem Pidana. Pasal 8 Angka 24 Oendang-Oendang 1946 Nomor 1 menetapkan bahwa perkataan Koning of der Koningin pada Pasal 134 KUHPidana diganti dengan kata President of den Vice – President, kini disebut Presiden atau Wakil Presiden. Tatkala Wetboek van Strafrecht voor Nederlands – Indie (1915) diberlakukan di wilayah Hindia Belanda, Hindia Belanda di kala itu berstatus negeri jajahan Het Koninkrijk der Nederlanden. Artikel 1 Grondwet van Koninkrijk der Nederlanden (sejak Grondwet 1813, terakhir 1938) berbunyi, “Het Koninkrijk der Nederlanden omvat het grondgebied van Nederland, Nederlands – Indie, Suriname en Curacao“. Puncak pemerintahan tertinggi (oppergezag, opperbewind) berada pada de Kroon der Nederlanden, yakni pada de Koning (of der Koningin) van het Rijk. Raja (atau Ratu) Kerajaan Belanda diangkat secara turun-temurun (erfopvolging). Grondwet regelt de troonopvolging, waarbij is uitgegaan van Koning Willem I.
Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHPidana tidak merupakan delik aduan dan pasal 134 KUHPidana merupakan pasal perlakuan pidana khusus sehubungan dengan penghinaan terhadap Raja (atau Ratu) Belanda, yang tidak ditemukan rujukan apakah alasan serupa dapat diterima di Indonesia, yang mengganti Raja dengan Presiden dan Wakil Presiden. Ancaman hukuman penjara dalam Pasal 134 KUHPidana (dahulu Pasal 134 WvS Nederlands – Indie) lebih berat dari ancaman hukuman penjara yang termaktub dalam Artikel 111 WvS Nederland, yakni ancaman hukuman penjara paling lama enam tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah dalam Pasal 134 KUHPidana sedangkan ancaman hukuman penjara yang termaktub dalam Artikel 111 WvS Nederland adalah paling lama lima tahun atau denda paling banyak tiga ratus gulden. Ancaman hukuman dikenakan lebih berat bagi kaula negeri jajahan ketimbang ancaman hukuman yang diberlakukan bagi burger di negeri Belanda. Para kaula lebih dituntut menjaga martabat de persoonlijke macht des Konings guna memelihara ketertiban umum di negeri-negeri jajahan.
Menurut Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A., dan Prof. Dr. J.E. Sahetapy, S.H., M.A., memandang bahwa pasal-pasal pidana dimaksud (134, 136 bis, 137) tidak perlu diberlakukan lagi karena perlu mengikuti perkembangan masyarakat dan berdasarkan UU Nomor 1 Tahun 1946, peraturan hukum pidana yang seluruhnya atau sebagian sekarang tidak dapat dijalankan, atau bertentangan dengan kedudukan Republik Indonesia sebagai negara merdeka, atau tidak mempunyai arti lagi, harus dianggap seluruhnya atau sebagian sementara tidak berlaku. Ahli berpandangan bahwa Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHPidana dalam era demokrasi reformasi tidak lagi relevan dan hilang raison d’etre-nya. Ahli menyatakan, “Perlu dibedakan antara kritik dan pencemaran nama baik, fitnah serta penghinaan. Demokrasi bisa berfungsi manakala diimbangi reformasi. Tanpa reformasi, demokrasi akan menjadi ‘huruf mati’”.
Menurut Prof. Dr. Andi Hamzah, S.H., KUHPidana adalah cermin peradaban suatu bangsa, maka apakah suatu bangsa mengizinkan adanya penghinaan terhadap kepala negaranya dapat dilihat dari ada tidaknya ketentuan norma dalam KUHPidana. Persoalannya bukan pada normanya, tetapi lebih pada penerapan norma tersebut oleh Jaksa. Dalam KUHPidana kita dianut asas oportunitas, sehingga apakah mau dituntut atau tidak terserah jaksa, juga apakah yang dilakukan seseorang itu merupakan penghinaan atau kritik adalah wewenang Jaksa atau Hakim peradilan pidana.
Permohonan pengujian para Pemohon terhadap Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 KUHPidana diajukan, telah terjadi perubahan ketiga UUD 1945. Pasal 1 ayat (2) berbunyi, “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Kedaulatan atau sovereignity berada pada rakyat dan bahwasanya Presiden dan/atau Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, sehingga karena itu bertanggung jawab kepada rakyat. Martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden berhak dihormati secara protokoler, namun kedua pimpinan pilihan rakyat tersebut tidak dapat diberikan privilege yang menyebabkan memperoleh kedudukan dan perlakuan sebagai manusia secara substantif martabatnya berbeda di hadapan hukum dengan warga negara lainnya. Terlebih-lebih, Presiden dan Wakil Presiden tidaklah boleh mendapatkan perlakuan privilege hukum secara diskriminatif berbeda dengan kedaulatan rakyat banyak selaku pemegang kedaulatan tertinggi, kecuali secara prosedural dalam rangka mendukung fungsinya privilege tertentu dapat diberikan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pasal 134, 136 bis, dan 137 KUHPidana bisa menimbulkan ketidakpastian hukum karena amat rentan pada tafsir apakah suatu protes, pernyataan pendapat atau pikiran merupakan kritik atau penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden yang bertentangan dengan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 dan pada suatu saat dapat menghambat upaya komunikasi dan perolehan informasi yang dijamin Pasal 28F UUD 1945. Pasal ini juga berpeluang pula menghambat hak atas kebebasan menyatakan pikiran dengan lisan, tulisan dan ekspresi sikap tatkala ketiga pasal pidana dimaksud selalu digunakan aparat hukum terhadap momentum-momentum unjuk rasa di lapangan yang bertentangan dengan Pasal 28, Pasal 28E ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945. Keberadaan Pasal 134, 136 bis, 137 KUHPidana juga akan dapat menjadi ganjalan dan/atau hambatan bagi kemungkinan untuk menglarifikasi apakah Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7A UUD 1945 karena upaya-upaya melakukan klarifikasi tersebut dapat ditafsirkan sebagai penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden.
Menurut Mahkamah Konstitusi, Indonesia sebagai suatu negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945, tidak relevan lagi jika dalam KUHPidananya masih memuat pasal-pasal tersebut yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum. Terlebih lagi, ancaman pidana terhadap pelanggaran pasal 134 paling lama enam tahun penjara dapat dipergunakan untuk menghambat proses demokrasi khususnya akses bagi jabatan-jabatan publik yang mensyaratkan seseorang tidak pernah dihukum karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara lima tahun atau lebih.
0 komentar:
Posting Komentar