karya Adi Febrianto Sudrajat
“Cukup makan buat istri dan anak-anakku, cukup tempat tinggal buat istri dan anak-anakku, cukup pendidikan buat anak-anakku, cukup waktuku buat istri dan anak-anakku, cukup sehat untuk menjalani kehidupan bersama istriku dan anak-anakku, cukup sepetak lahan untuk menguburkan jasadku ketikaku berpulang . Saya tidak mampu berharap jauh lebih banyak dan lebih tinggi dari itu, tidak terpikir yang besar-besar apalagi bisa punya rumah gedongan seperti orang kota, tidak sanggup walau hanya untuk memimpikannya.”
Sepenggal jawaban-jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang aku tanyakan…
Lanjutnya …
“Namun keadaan saat ini, semakin sulit saja untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dulu hasil sawah masih bisa menutupi kebutuhan untuk pendidikan anak-anakku, tapi sekarang untuk makan saja sulit. Dulu masih bisa makan dengan lauk pauk yang digoreng, namun sekarang lebih sering makan dengan rebus-rebusan. Dulu masih bisa beli susu untuk anaku yang berumur dua tahun, tapi sekarang malahan hanya bisa diberi air tajin (air cucian beras pertama yang dipercaya mereka kandungan gizinya hampir seperti susu). Sayapun saat ini semakin bingung darimana uang untuk bayar sekolah anak saya yang saat ini berumur dua tahun saat ini kelak, yah minimal bisa seperti kakaknya yang lulus SD (anaknya yang pertama sudah berumur empat belas tahun, tidak pernah mengenyam pendidikan SMP, bukan karena malas namun karena memang sudah tidak punya biayanya)”
Sekitar dua minggu saya hidup dikalangan petani di daerah Cidahu Sukabumi, saya mendapatkan bahwa kenyataan hidup disana terasa sangat pahit, bukan hanya karena saya seorang yang terbiasa hidup di Jakarta dengan segala fasilitas yang tersedia, namun sebuah kenyataan penindasan melalui sebuah sistem yang sangat terorganisir baik, sebuah kenyataan kaum tertindas yang benar-benar nyata. Sebuah gambaran di atas yang saya dapati di atas membuat saya amat terkejut, hati sangat tersayat. Padahal daerah tersebut tidak terlalu jauh dari Pusat Kota dan juga Ibukota NKRI Jakarta. Sungguh apakah sudah demikian kejamnya kondisi kehidupan masyarakat di NKRI. Bahkan kesejahteraannyapun yang sangat sederhana, bila dibandingkan kebanyakan orang kota, hanya mampu dilihat dalam mimpi.
Suaranya sungguh meruntuhkan segala egoku, suaranya sungguh mencabik-cabik gendang telingaku, suaranya sungguh meleburkan hatiku, suaranya telah menuntunku untuk membangun dan terus berusaha membesarkan GmnI, sebuah kepercayaan bahwa dengan mewujudkan cita-cita GmnI maka Cita-Cita Negara Kesatuan Republik Indonesia Tercapai
0 komentar:
Posting Komentar