Warga Menteng Wadas meradang. Lingkungan sekolah anak mereka “tercemar” oleh Base Transceiver Station (BTS) buatan PT Mandrajasa Trimitra Indonesia (Matrindo). Lokasinya persis di halaman belakang sekolah. Mereka khawatir BTS itu akan membahayakan aktivitas belajar mengajar. Sementara murid SD Negeri 03, 04, 05 dan 06 itu harus berbagi waktu sekolah, pagi dan siang, agar semuanya bisa tertampung.
Belum lagi, jarak BTS yang dekat dengan pemukiman penduduk. Bahkan ada rumah penduduk yang letaknya bersebelahan. “Kalau (menara BTS, red) jatuh bagaimana?” ujar si pemilik rumah kepada hukumoline. Bisa dibayangkan jika menara BTS setinggi 36 meter plus antena setinggi 30 meter itu jatuh menimpa sekolah dan pemukiman penduduk.
Meski ada penolakan, Matrindo tetap membangun pondasi menara pada November 2006. Lantaran ada pro kontra, pembangunan menara dihentikan sementara. Pihak Matrindo lantas melakukan pendekatan kepada warga, dimulai dari ketua RT dan warga di radius 36. Arif Hidayat, wakil Matrindo, menegaskan Pemda DKI Jakarta sudah menyetujui pembangunan menara. Buktinya, Matrindo mengantongi izin resmi dari Pemda DKI. Arif juga memastikan pondasi dan bangunan BTS berkualitas lantaran dibangun oleh kontraktor Wijaya Karya.
Sekitar Maret 2007, ketua RT dan RW setempat berinisiatif mengundang warga dari 34 rumah untuk rapat. Tetap tidak menemukan titik temu sehinga keputusan diambil dengan voting. Hasilnya dari 30 suara, 20 orang menyatakan setuju, 1 abstain, dan 9 menolak. Persetujuan dari warga yang rumahnya jauh itu BTS itu berbuah manis. Matrindo memberikan kompensasi uang Rp1 juta.
Sementara warga yang tetap menolak menempuh upaya hukum. Melalui kuasa hukum Rona Murni, 12 orang warga mendaftarkan gugatan perbuatan melawan hukum ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Mei 2008. Selain menyasar Matrindo selaku tergugat I. Ikut digugat Gubernur DKI Jakarta, Sekretaris Kotamadya Jakarta Selatan, Camat Setiabudi dan Kepala Penataan dan Pengawasan Bangunan Kecamatan Setiabudi, Jakarta Selatan.
Penggugat menuntut agar Matrindo menghentikan pembangunan menara BTS di kawasan tempat tinggal mereka. Sebab, pembangunan menara menimbulkan keresahan di masyarakat. Mereka meminta hakim memerintahkan tergugat menghentikan pembangunan menara. Penggugat juga menuntut ganti rugi materiil sebesar Rp100 juta dan immateriil sebesar Rp500 juta.
Tali asih
Persidangan perkara itu kembali digelar Kamis (13/11) dengan agenda pemeriksaan saksi dari Matrindo. Ada dua orang saksi yang diajukan, yaitu Sumantri dan Sulaiman Fairi. Keduanya warga yang menyetujui pembangunan BTS dan menerima uang tali asih. “(Tali asih, red) Semacam hadiah karena menyetujui,” kata Kahar Nawir, kuasa hukum Matrindo.
Dalam persidangan (06/11) pekan lalu, majelis hakim sudah mendengar keterangan saksi-saksi dari penggugat. Saksi Nurhayati menegaskan bahwa sebelum menara dibangun tak ada sama sekali sosialisasi baik dari Matrindo maupun dari Pemda DKI Jakarta. Warga yang rumahnya berjarak sekitar tiga meter dari lokasi menara itu menyatakan tidak setuju ada menara tersebut.
Sikap senada ditunjukkan saksi lain, Herwandi Ahmad. Ketika Matrindo memulai pembangunan fondasi pada 2006, penolakan sudah mengemuka. Warga khawatir menara tersebut roboh dan menimbulkan bahaya. Selain itu, warga menganggap kehadiran menara tidak penting karena sinyal telepon genggam di kawasan itu tetap normal. "Warga tidak menyetujui," ujar saksi.
Menjawab pertanyaan tim pengacara tergugat, saksi Herwandi mengaku tak pernah diundang rapat oleh Ketua RT, dan tak pernah diberikan uang tali asih. Yang saksi dengar, mereka yang mendapat tali asih adalah yang menyetujui pembangunan menara. Sementara yang menolak, meskipun rumahnya dekat tower, diabaikan.
‘Hutan menara’
Sekedar informasi, gugatan ini merupakan salah satu ekses dari pembangunan menara BTS di Jakarta. Jakarta tak ubahnya seperti hutan menara karena lebih dari 3.400 menara kini berdiri. Jika dihitung di seluruh Indonesia, menara BTS sudah mencapai 35.000 unit. Terbanyak adalah Telkomsel sebanyak 14.500, disusul Indosat sekitar 11 ribuan, Excelcomindo Pratama sekitar 4.500. Matrindo sendiri tercatat memiliki tak kurang dari 271 menara. Sebagian besar dibangun di Pulau Jawa.
Pemda DKI Jakarta sendiri tidak tinggal diam. Pemda berusaha menata ulang pembangunan menara BTS. Hal itu tertuang dalam Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 89 Tahun 2006 tentang Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, dan Peraturan Gubernur DKI Jakarta No. 138 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembangunan dan Penataan Menara Telekomunikasi di Provinsi DKI Jakarta.
Kebijakan Pemda DKI Jakarta itu sempat dilaporkan perusahaan penyelenggara telekomunikasi ke Dirjen Postel. Pada 4 Juli lalu, Dirjen Postel Basuki Yusuf Iskandar memimpin pertemuan yang dihadiri antara lain perwakilan Pemda DKI Jakarta dan Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI).
diunduh dari : hukumonline.com
0 komentar:
Posting Komentar