1. Sebutkan jenis-jenis kejahatan yang diatur dalam ICC dan UU no 26 Tahun 2000. Apakah ada perbedaan pengaturan dalam ICC dan UU no 26 Tahun 2000 dan jika ada perbedaan, dimana letak perbedaannya serta implikasinya?
Jawab :
Pada tahun 2002 di kota Hague di Belanda dibentuklah suatu pengadilan kriminal internasional yang dalam bahasa Inggris disebut International Criminal Court (ICC) dan Statuta Roma. Statuta ICC mengatur kewenangan mengadili kejahatan paling serius yang mendapatkan perhatian internasional yang dilakukan secara individu. Kejahatan yang dimaksud terdiri dari empat jenis, yaitu the crime of genocide (pemusnahan etnis/suku bangsa), crimes against humanity (kejahatan terhadap kemanusiaan), war crimes (kejahatan perang), dan the crime of aggression (agresi). Dengan berbagai bcatatan diantaranya catatan bahwa untuk kejahatan agresi masih dipandang perlu dirumuskan kembali dengan jelas tentang lingkup pengertian dan definisinya selama 7(tujuh) tahun sejak berlaku efektif Statuta Roma,1998.
Kejahatan-kejahatan terhadap perikemanusiaan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 7 Statuta Roma tersebut adalah serangan yang meluas atau sistematik yang ditujukan secara langsung terdapat penduduk sipil dengan tujuan:
• Pembunuhan;
• Pembasmian;
• Perbudakan;
• Deportasi atau pemindahan paksa terhadap populasi penduduk
• Memenjarakan ataupun tindakan lain berupa merampas kebebasan seseorang
secara bertentangan dengan aturan dasar dari Hukum Internasional;
• Menganiaya;
• Memperkosa, perbudakan seksual, memaksa seorang menjadi pelacur, menghamili
secara paksa, melakukan sterilisasi secara paksa, ataupun bentuk kejahatan
seksual lainnya ;
• Penyiksaan terhadap kelompok berdasarkan alasan politik, ras, kebangsaan,
etnis, kebudayaan, agama, jenis kelamin (gender) sebagaimana diatur dalam
artikel 3 ICC ataupun adengan alasan-alasan lainnya yang secara umum
diketahui sebagai suatu alasan yang dilarang oleh hukum internasional
• Penghilangan seseorang secara paksa;
• Kejahatan apartheid;
• Perbuatan lainnya yang tak berperikemanusiaan yang dilakukan secara sengaja
sehingga mengakibatkan penderitaan, luka parah baik tubuh maupun mental
ataupun kesehatan fisiknya.
Sedangkan dalam UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, sekalipun Indonesia hanya mengatur Pelanggaran HAN Berat yang meliputi genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. Penyerapan parsial, “partial harmonization” yang telah dilakukan melalui UU No. 26 Tahun 2000, tentang Pengadilan HAM ini menyebabkan berbagai kekurangan.
Khusus mengenai Kejahatan Terhadap Kemanusiaan masih perlu dilakukan penyemprnaan, antara lain mengenai perlu dimasukkannya kejahatan yang ke-11 pada Article 7(1)(k) Statuta Roma 1998 berupa “Other inhumane acts of a similar character intentionally causing great suffering, or serious injury to body or to mental or physical health”;
Demikian pula penjelasan pasal tersebut harus dicantumkan lengkap dalam penjelasan pasal demi pasal, yang diambil langsung dari Statuta Roma, karena terjemahan dalam UU No. 26 Tahun 2000 tidak lengkap. Contohnya adalah hilangnya kata-kata “to commit such attack” dalam mengartikan serangan, yang mempunyai dampak signifikan dalam praktek.
2. Apa yang dimaksud dengan serangan sistematis dan meluas? Jelaskan dengan menggunakan beberapa yurisprudensi seperti putusan kunarac, kovac, dan Vocovic. Kaitkan dengan kasus yang diberikan.
Jawab :
SERANGAN YANG SISTIMATIK
Yang dimaksud dengan serangan sistematik adalah berkaitan dengan ada atau tidaknya suatu kebijakan atau rencana yang mendasari terjadinya serangan tersebut. Serangan sistematik juga tercakup dalam pengertian sistematik itu adalah persiapan penggunaan atau pengerahan sumber-sumber fasilitas negara, baik militer maupun lainnya dalam melakukan penyerangan.
Berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dalam penyelidikan, unsur sistematik dari penyerangan pada ketiga rangkaian peristiwa itu sangat nyata terpenuhi pada kontak fisik kedua. Secara formil dan materil bahwa telah tersusun rapih memang ditujukan secara untuk memusnahkan jemaat.
SERANGAN MELUAS
Selain terpenuhinya unsur sistematik pada ketiga rangkaian peristiwa tersebut juga memenuhi unsur meluas (widespread). Dari berbagai praktik selama ini dan mengacu pada hukum hak asasi manusia internasional, yang dimaksud dengan ‘meluas’ mengacu kepada frekuensi penyerangan yang terus berulang (frequent), skala dari suatu perbuatan, baik dari segi sebaran tempat maupun jumlah korban. Kendati demikian, pengertian meluas, tidak selalu menunjuk pada adanya rententan tindakan kejahatan yang berlangsung secara kumulatif dan terjadi di berbagai tempat secara bersamaan. Tetapi besaran (magnitude) yang luar biasa dari sebuah tindakan kejahatan yang terjadi sudah cukup (sufficient) mengatakan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Berdasarkan hasil penyelidikan pada ketiga rangkaian peristiwa itu, unsur meluas terpenuhi dengan nyata dari frekuensi serangan yang terus-menerus dilakukan dan skala perbuatan yang terjadi di sana. Pada peristiwa kontak fisik pertama dan kedua, penyerangan ke pusat jemaat, penyerangan penguangsi, serta penyerangan kereta api, penyerangan yang dilakukan berlangsung berulang-ulang, dengan melakukan penembakan secara membabi buta (indiscriminate shooting) dan pemukulan terhadap warga sipil (yang sebagian jemaat). Tindakan yang berulang ini tidak pernah dikoreksi, tetapi justru dibenarkan dengan alasan pengamanan.
Skala perbuatan yang ditemukan di sana dapat dikatakan sangat luas, yakni bukan hanya tindakan pembunuhan dan penganiayaan yang terjadi, tetapi juga mencakup perbuatan-perbuatan kejam dan tidak manusiawi lainnya berlangsung pada kelima rangkaian peristiwa tersebut. Selain itu, terpenuhinya unsur meluas juga terlihat pada besarnya jumlah warga sipil yang menjadi korban dari rangkaian perbuatan pada lima peristiwa tersebut, yang bukan hanya terbatas pada jemaat tetapi masyarakat pada umumnya (directed against a multiciplity of victim).
Kasus The three accused participated in a campaign by Bosnian Serb forces in the wider area of the municipality of Foča, south eastern Bosnia, from early 1992 up to about mid 1993. The campaign was part of an armed conflict between the Serb and Muslim forces in the wider region of Foča, which existed at all times material to the indictments against the accused. Bahwa kasus ini dituduhkan kepada ketiganya lebih banyak terhadap pelecehan seksual terhadap umat muslim di bosnia serb, karena hal ini sangat terencana secara sistematis dengana adanya perencanaan terlebih dahulu dan juga meluas dari yang tadinya hanya ditujukan bagi para pendemo namun malah meluas pada umat muslim pada umumnya dan perempuan pada khususnya.
Kasus-kasus serupa yakni:
JANKOVIĆ et al. (IT-96-23/2) “FOČA”
KARADŽIĆ & MLADIĆ (IT-95-5/18) “BOSNIA AND HERZEGOVINA” & “SREBRENICA”
KRAJISNIK (IT-00-39 & 40) “BOSNIA AND HERZEGOVINA”
KRNOJELAC (IT-97-25) “FOČA”
MILOŠEVIĆ (IT-02-54) “KOSOVO, CROATIA & BOSNIA”
PLAVŠIĆ (IT-00-39 AND 40/1) “BOSNIA AND HERZEGOVINA”
TODOVIĆ & RAŠEVIĆ (IT-97-25/1) “FOČA
3. Apakah yang dimaksud dengan pertanggungjawaban komando dan jelaskan ruang lingkup yurisprudensinya?
Jawab :
Sedangkan di dalam pasal 42 UU No 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM, telah diatur mengenai pertanggungjawaban komando. Pasal tersebut secara jelas menyatakan bahwa komandan bertanggung jawab terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh bawahan di lapangan.Tindakan itu baik sepengetahuan komandan militer atas dasar keadaan saat itu, maupun komandan mengetahui anak buahnya melakukan pelanggaran tapi membiarkannya.
Sedangkan apabila melihat pada pasal 1 Protokol Tambahan II 1977 menegaskan bahwa Protokol ini akan berlaku pada semua sengketa yang tidak tercakup oleh Protokol I dan yang terjadi di wilayah negara pihak antara angkatan bersenjatanya dan angkatan bersenjata pembrontak (dissident armed forces) atau kelompok-kelompok bersenjata terorganisasi lainnya yang berada di bawah komando yang bertanggung jawab, melaksanakan pengawasan atas sebagian wilayahnya sehingga memungkikan mereka melaksanakan operasi militer yang berkelanjutan dan serentak dan melaksanakan Protokol ini.
Dari ketentuan ini sekedar informasi saja, maka dapat dikatakan bahwa agar dapat memiliki status pemberontak harus dipenuhi syarat struktural, yaitu adanya komando yang bertanggung jawab, dan syarat intensitas berupa penguasaan suatu wilayah yang memungkinkan mereka melaksanakan operasi militer secara berkelanjutan dan serentak.
Jendral Arne Willy Dahl (Hakim dari Norwegia) (2001) memberikan basis filosofi dari tanggungjawab komandan, bahwa kagagalan komandan untuk mengendalikan anak buahnya berkaitan erat dengan nama baik dan reputasi serta kehormatan pasukannya atau bahkan dari negaranya serta berkaitan dengan keprihatinan mendalam dari semua orang yang memiliki kehendak baik. Hal ini juga berkaitan erat dengan kodrat organisasi militer sendiri yang membedakan antara kesatuan militer yang sah dan sekumpulan individu dalam bentuk pasukan liar atau gerilyawan (franc-tireurs). Di dalam “The US Army Field Manual” antara lain disebutkan bahwa : “Command is a specific and legal position unique to the military. It is where the buck stops... Command is a sacred trust. The legal and moral responsibilities of commanders exceed those of any other leader of similar position and authority”.
Pertanggungjawaban komando tidak hanya diterapkan terhadap “Formal Commanders”, tetapi jugaterhadap orang-orang yang memperoleh suatu posisi informal dalam hal mana dia bisa menggunakan kekuasaaannya sebagai seorang komandan. Hal ini bisa terjadi dalam perang saudara (civil war). DalamTribunal ad hoc Former Yugoslavia, seorang yang bertindak sebagai komandan penjara (camp) diBosnia/Herzegowina sekalipun secara formal tidak pernah ditunjuk dalam jabatan tersebut, tetapi defacto dia adalah komandan (de facto commander), yang tidak melakukan pencegahan pembunuhan-pembunuhan dan penyiksaan yang dilakukan oleh para penjaga penjara
4. Apakah yang dimaksud dengan delik penyertaan di Indonesia dan Joint Criminal Enterprise di ICC? Dan apakah ada perbedaan antara dua konsep ini?
Jawab :
Konvensi tentang Penyiksaan secara jelas mewajibkan negara-negara untuk menjamin agar penyiksaan, percobaan untuk melakukannya dan penyertaan (complicity) untuk melakukan penyiksaan merupakan tindak pidana (dikriminalisasikan) dan memidananya secara patut sesuai dengan beratnya. Jadi dalam ICC yang lebih lanjut diatur dalam konvensi-konvensi tersendiri maka kata patut ini sesuai dengan tingkat pembantuannya.
Sementara dalam UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM maka yang dimaksud dengan penyertaan pada pasal 41 Percobaan, permufakatan jahat, atau pembantuan untuk melakukan pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 atau Pasal 9 dipidana dengan pidana yang sama dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36, Pasal 37, Pasal 38, Pasal 39, dan Pasal 40. Dalam hal ini sangat jelas bahwa mwmbantu melakukan tindak pidana akan dihukum sama dengan pelaku tindak pidna. Hal ini sangat berbeda dengan yang ketentuan umum yang terdapat dalam KUHP yang seharusnya bahwa tuntutan pidana maksimal dikurangi sepertiga untuk pembantuan.
5. Bagaimana perkembangan yurisprudensi gender based crime dalam praktek pengadilan Internasional dan ICC? Dan bandingkan dengan elemen perkosaan dalam Hukum Pidana Indonesia!
Jawab :
Para pelaku dan pernanggung jawab komando tindak kejahatan terhadap kemanusiaan, menyangkut kekerasan seksual dalam konflik internal dan internasional, tidak akan bisa lagi melenggang. Selama 15 tahun terakhir terjadi perkembangan yang revolusioner dan multifaset dalam hukum internasional terkait dengan persoalan itu. Yurisprudensi dari Pengadilan Internasional Kejahatan Perang untuk Rwanda (ICTR) dan Yugoslavia (ICTY) telah menguak terjadinya kekerasan seksual dalam perang, serta memperjelas keterkaitan antara pemerkosaan, penyiksaan, dan genosida.
Pengadilan Akayesu dalam ICTR telah membuka jalan untuk mengenali pemerkosaan sistematis terhadap perempuan dalam perang sebagai genosida. Pengadilan itu juga memperlihatkan proses pengadilan untuk tanggung jawab komando. "Perubahan pendekatan itu merupakan revolusi dalam sejarah kemanusiaan," ujar Rhonda Copelon, salah satu hakim pada International Criminal Court (ICC) di Den Haag, Belanda. Ia menyatakan hal itu dalam dialog publik yang mengawali pendidikan tentang Kejahatan terhadap Kemanusiaan Berbasis Jender berdasarkan standar yurisprudensi internasional.
Pada tahun 1985, kekerasan terhadap perempuan sudah menjadi isu signifikan dalam Konferensi Perempuan Internasional di Nairobi. Namun, pendekatannya adalah pendekatan kebijakan, bukan hak asasi manusia. Para aktivis dari segenap penjuru dunia yang dikumpulkan oleh Center for Women’s Global Leadership di Rutgers, New Jersey, AS, kemudian memutuskan kekerasan terhadap perempuan dalam semua konteks perang, konteks pemerintah yang diktator, dan di dalam komunitas adalah penghalang fundamental bagi penegakan hak-hak asasi perempuan dan harus dijadikan agenda internasional.
Persoalan itu dipandang sangat serius dan tidak dapat diselesaikan hanya dengan pendekatan hak sosial dan ekonomi. Gerakan yang dimotori para penyintas (survivor), didukung oleh gerakan perempuan, menurut Rhonda, memberi landasan bagi pengakuan tindak kekerasan seksual termasuk perbudakan seksual sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Maka, ketika kekerasan seksual dan perbudakan seksual mengedepan di bekas Yugoslavia, sebuah gerakan yang kuat sudah siap mendukung.
Menurut Rhonda, kekerasan seksual yang masif pada saat perang dan konflik merupakan pengembangan maskulinitas oleh militerisme. Dalam situasi itu, terdapat kesempatan luas untuk melakukannya tanpa khawatir adanya sanksi. "Bahkan didukung dan diperbolehkan sebagai senjata dan alat perang," ujarnya. Ini berarti kekerasan seksual dalam situasi itu bukan merupakan suatu kejahatan yang bersifat insidental. Tindak kejahatan kekerasan seksual mempunyai fungsi strategis untuk menghukum dan meneror masyarakat sipil guna mencapai tujuan perang; yaitu "kemenangan" menghancurkan, termasuk menghancurkan kapasitas suatu komunitas untuk melanjutkan hidupnya.
Namun, memasukkan kekerasan seksual dalam masa perang dan konflik sebagai kategori kejahatan terhadap kemanusiaan adalah perjuangan yang sangat panjang. "Pengadilan kejahatan perang di Nuremberg dan Tokyo pada pertengahan tahun 1940-an belum mengakui, meski menyediakan pranata untuk langkah selanjutnya," ujar Sureta. Rhonda menambahkan, bahkan Piagam London dan Piagam Tokyo tak menyebut pemerkosaan, meskipun banyak ahli mengatakan, hal itu secara implisit telah dimasukkan ke dalam kategori "kejahatan atas perlakuan yang tidak manusiawi". Proses pengadilan ICTY dan ICTR pun tidak menerima begitu saja kekerasan seksual sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. Bahkan hukum acara ICTY yang didasarkan pada Statuta Roma itu terus berubah. Di luar persidangan, para aktivis hak-hak asasi manusia terus mengawal ICTY dan ICTR, serta berupaya keras agar kasus-kasus kekerasan seksual (dan perbudakan seksual) diadili. Namun sekarang perjuangan mereka telah berhasil dengan telah dimasukkannya elemen kekerasan seksual terhadap wanita dalam ICC.
6. Jelaskan perbedaan antara delik komisi dan delik omisi dalam ICC, apakah hal ini juga termasuk dalam ketentuan UU no 26 Tahun 2000? Apakah delik komisi maupun delik omisi masuk dalam pertanggung jawaban komando? Dan jelaskan pula elemen-elemen yang termasuk dalam pertanggungjawaban komando.
Jawab :
Menurut pakar hukum HAM Todung Mulya Lubis, di dalam doktrin internasional HAM diatur dua jenis pelanggaran yang melibatkan pertanggungjawaban komando. Kedua hal itu adalah adanya tindakan tertentu dari atasan yang mengakibatkan adanya pelanggaran HAM (commision) dan atasan tidak berbuat sesuatu namun mengetahui kejadian itu (omision).Kedua faktor tersebut sangat mungkin terjadi di dalam kasus pelanggaran HAM. Sedangkan pelanggaran yang membutuhkan pertanggungjawaban komando dalam kasus Tanah Pura tersebut dapat dilihat dari konteks pembiaran yang dilakukan oleh atasan.
pertanggungjawaban pidana ini bisa bersumber dari “actus reus”, baik berupa perbuatan positif dari komandan atau superior (kadang-kadang disebut sebagai “direct command responsibility”) maupun atas dasar kelalaian yang bersifat omisionis (“culpable omissions”, “indirect command responsibility” atau “command responsibility strictu sensu”). Dengan demikian seorang komandan atau superior tidak hanya bisa dipertanggungjawabkan dalam hukum pidana karena “ordering, instigating, planning, aiding or abetting” tindak pidana yang dilakukan oleh bawahannya, tetapi juga karena kegagalan untuk mengambil tindakan-tindakan untuk mencegah atau menghentikan atau berusaha menghukum perbuatan melawan hukum bawahan.
Dalam hal ini dapat diidentifikasikan beberapa elemen utama dari pertanggungjawaban komando yaitu :
• Adanya hubungan antara bawahan-atasan; dalam hal ini harus ada hubungan jabatan yang sifatnya vertikal tidak horizontal maupun menyilang.
• Atasan mengetahui atau beralasan untuk mengetahui bahwa telah terjadi kejahatan atau sedang dilakukan kejahatan, bahwa baik pelaku maupun pemberi komando mengetahui dan menyadari bahwa yang dilakukannya merupakan sebuah tindak pidana; dan
• Atasan gagal untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan dan beralasan untuk mencegah atau menghentikan tindak pidana atau berupaya untuk menghukum pelaku. Hubungan atasan-bawahan bisa de jure, de facto atau kombinasi antara keduanya.
7. Bagaimana kaitan hukum acara pidana dalam KUHAP dengan hukum acara dalam UU no. 26 tahun 2000? Apakah ada perbedaannya? Bandingkan pula dengan dengan hukum acara dalam ICC!
Jawab :
Hukum Acara dalam ICC, The Prosecutor may start an investigation upon referral of situations in which there is a reasonable basis to believe that crimes have been or are being committed. Such referrals must be made by a State Party or the Security Council of the United Nations, acting to address a threat to international peace and security. In accordance with the Statute and the Rules of Procedure and Evidence, the Prosecutor must evaluate the material submitted to him before making the decision on whether to proceed.
In addition to State Party and Security Council referrals, the Prosecutor may also receive information on crimes within the jurisdiction of the Court provided by other sources, such as individuals or non-governmental organisations. The Prosecutor conducts a preliminary examination of this information in every case. If the Prosecutor then decides that there is a reasonable basis to proceed with an investigation, he will request the Pre-Trial Chamber to authorise an investigation.
As a consequence of its mandate, the Office of the Prosecutor comprises three divisions. The Investigation Division is responsible for the conduct of investigations (such as collecting and examining evidence, questioning persons being investigated as well as victims and witnesses). In this respect, the Statute requires the Office to extend the investigation to cover both incriminating and exonerating facts in order to establish the truth. The Prosecution Division has a role in the investigative process, but will have principal responsibility for the litigation of cases before the various Chambers of the Court. The Jurisdiction, Complementarity and Cooperation Division (JCCD) analyses referrals and communications, with support from the Investigation Division, and helps secure the cooperation needed for the activities of the Office. The JCCD is led by Mrs. Silvia Fernandez de Gurmendi.
Sedangkan Hukum Acara Indonesia dalam hal ranah hukum pidana diatur dalam UU Nomor 18 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Sedangkan dalam Pengadilan HAM ini murni menggunakan hukum acara pidana sebagaimana pada pasal 10 UU no 26 Tahun 2000 yang artinya menggunakan Hukum Acara Pidana. UU No. 26/2000 mengatur secara sumir mengenai hukum acara ini.Hanya terbatas mengatur soal kewenangan Kejaksaan Agung, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), dan Hakim. Jaksa Agung diberikan kewenangan untuk melakukan penangkapan dan penahanan terhadap tersangka, dan juga diberi kewenangan untuk meneruskan atau tidak suatu penyelidikan yang dilakukan oleh Komnas HAM. Selain diberikan kewenangan mengangkat penyidik ad hoc. Sedangkan kepada Komnas HAM diberikan kewenangan penyelidikan. Mengenai hakim, Undang-undang memberi kewenangan kepadanya untuk melakukan pemeriksaan dalam suatu majelis (terdiri dari lima hakim) dalam jangka waktu 180 hari sudah harus memutuskan perkara yang diajukan kepadanya (terhitung sejak perkara dilimpahkan). Tentang alat bukti dan cara bagaimana mendapatkannya dengan demikian aturannya mengacu kepada KUHAP. Itu artinya sangat tidak mungkin alat-alat bukti yang berupa rekaman video, kaset atau fotokopi dan pernyataan-pernyataan (statement) dipergunakan di dalam proses persidangan. Padahal dalam kasus persidangan Rwanda dan bekas Yugoslavia, alat-alat bukti seperti itu dibenarkan. Termasuk mendengarkan kesaksian dari para saksi di hadapan televisi pengamat terbatas (closed circuit television). KUHAP masih sangat konvensional dalam mengatur tentang alat bukti dan pembuktian, yang karena itu sangat tidak memadai untuk diterapkan pada perkara-perakara yang diperiksa di pengadilan HAM yang memiliki kerumitan tersendiri
8. Jelaskan apa yang dimaksud dengan hak kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi korban, apakah hal ini pernah dipraktekan di Indonesia? Dan bagaimana penerapannya di nasional dan Interanasional?
Jawab :
Secara Internasional, sebagaimana yang diatur dalam ICC.
Secara nasional, ada beberapa kelemahan regulasi mengenai kompensasi, restitusi (ganti kerugian kepada korban atau keluarganya) dan rehabilitasi (pemulihan) bagi korban pelanggaran HAM berat. Pertama, pengaturan mengenai kompensasi, restitusi dan rehabilitasi bagi para korban dan ahli warisnya, mensyaratkan, kompensasi, restitusi dan rehabilitasi tercantum dalam amar putusan pengadilan HAM. Dari ketentuan ini, kompensasi selalu didasarkan pada aspek bersalahnya pelaku dan bukan karena terjadinya peristiwa.
Seharusnya, ketika suatu peristiwa telah diakui oleh pengadilan sebagai pelanggaran HAM yang berat, sehingga ada korban, maka harus ada keputusan mengenai kompensasi kepada korban. Sejak saat itu, keputusan kompensasi tersebut harus dilaksanakan tanpa menunggu keputusan yang berkekuatan hukum tetap karena korban telah nyata ada. Kedua, besaran kompensasi yang tidak jelas. Pengaturan mengenai kompensasi dan rehabilitasi juga tidak mempunyai indikator yang jelas dan bagaimana hakim menentukan kompensasi, restitusi dan rehabilitasinya.
Ketentuan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 3 Tahun 2002 tentang Kompensasi, Restitusi dan Rehabilitasi terhadap Korban Pelanggaran HAM yang Berat, seharusnya juga mengatur tentang bentuk-bentuk kompensasi dan restitusi, yang bukan saja berupa ganti kerugian berupa uang. Khusus ganti kerugian berupa uang, harus ada panduan untuk menentukan besaran kerugian kepada korban pelanggaran HAM berat. Bentuk-bentuk kompensasi, restitusi dan rehabilitasi ini dapat mengacu pada prinsip, norma, yurisprudensi dan pengalaman pengadilan internasional.
Ketiga, prosedur pengajuan yang tidak jelas. PP 3/2002 tidak mengatur tentang mekanisme pengajuan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi. Tidak adanya pengaturan itu menimbulkan kesulitan tentang siapa yang berhak mengajukan tuntutan dan bagaimana tuntutan kompensasi, restitusi dan rehabilitasi, diajukan ke pengadilan.
9. Jelaskan mengenai perlindungan saksi dalam ICC, bandingkan dengan UU no 26 tahun 2000 dan UU nomor 13 tahun 2006
Jawab :
Dari ketiga produk hukum terhadap perlindungan bagi saksi maupun korban, ketiganya tidak ada yang berbeda mendasar, karena baik ketentuan ketiganya berdasar pada suatu sumber yang sama yakni doktrin dasar yakni adanya kemungkinan yang besar dari pengalaman yang ada bahwa saksi dan korban acapkali terancam dala memberikan kesaksiannya di dalam persidangan sehingga mereka dalam beberapa ekstra-ordiary crime, wajib dilindungi. Dan hal ini harus dijamin dalam ketentuan hukum formil suatu hukum terapan. Sehingga ketentuan dari ICC yang diserap langsung menjadi pasal 34 UU no 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM ini yang dalan UU tersebut melihat pengaturan lebih lanjut pada PP no. 2 Tahun 2002 tentang tata cara perlindungan saksi dan korban dalam Pelanggaran HAM Berat. Sedangkan Indonesia baru-baru saja memiliki UU yang kedudukannya di atas PP yang lebih matang secara struktur yakni yang dikuatkan dengan UU no 13 Tahun 2006 tentang perlindungan saksi dan korban. Jadi perbedaannya yang lebih terlihat nyata adalah dari segi kelengkapan pengaturan dimana UU no 13 Tahun 2006 lebih lengkap dibandingkan produk hukum lainnya.
10. Jelaskan apa yang dimaksud dengan penyiksaan dan persekusi dalam ICC? Bagaimana kejahatan ini diatur dalam UU no 26 tahun 2000 dan jelaskan juga praktek pengadilan atas kejahatan ini dalam pengadilan HAM di Indonesia!
Jawab :
Pengaturan dalam ICC yakni pada Tindak Pidana Penyiksaan atas dasar ratifikasi terhadap “Convention Against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment or Punishment” (1984). Di bawah Piagam Nuremberg, pembedaan antara kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan hanyalah bahwa yang pertama dilakukan terhadap warga negara lain, sementara yang kedua dilakukan terhadap warga negara yang sama dengan para pelakunya.Keduanya dilakukan berkaitan dengan perang. Sementara Pengadilan Nuremberg menyatakan bahwa ia tidak memiliki yurisdiksi atas tindakan persekusi bagi para warga Yahudi Jerman sebelum tahun 1939, keputusan akhimya tidak jelas apakah Pengadilan tersebut mengangap bahwa keterkaitan dengan perang tersebut merupakan bagian dari hukum internasional atau hanya dari piagam pembentukannya saja. Statuta Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda, yang merupakan kodifikasi terbaru kejahatan terhadap kemanusiaan, memberikan kepada pengadilan tersebut “kekuasaan untuk mengadili orang-orang yang bertanggung jawab untuk kejahatan berikut ini bila dilakukan sebagai bagian serangan luas atau sistematis terhadap penduduk sipil apa pun atas dasar nasional, politis, etnis, rasial atau religius: (a)Pembunuhan; (b) pembantaian; (c) perbudakan; (d) deportasi; (e) pemenjaraan; (f)penyiksaan; (g) pemerkosaan; (h) persekusi atas dasar politis, rasial dan agama; dan (i)tindakan tidak manusiawi lainnya.” Definisi kejahatan terhadap kemanusiaan ini memiliki empat kriteria umum, yaitu: tindakan tersebut harus tidak manusiawi, tersebar luas atau sistematis, diarahkan terhadap penduduk sipil dan dilakukan atas dasar nasional, politis, etnis, rasial atau agama
Pemerintah Indonesia pada saat melegislasi konvensi HAM, ditujukan untuk menghadapi pelanggaran HAM, hal ini dimulai dengan upaya pemerintah untuk meratifikasi konvensi-konvensi HAM (antara lain Konvensi Menentang Penyiksaan dan Konvensi Anti Ras Diskriminasi), yang kemudian dilanjutkan dengan penyusunan peraturan perundang-undangan yang melindungi HAM, dengan diundangkannya UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM dam Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Sementara konstitusi dan UU terkait HAM tidak memiliki atau mensyaratkan adanya sebuah operasional effective remedy. Contohnya adalah ratifikasi Kovenan Anti Penyiksaan oleh UU No. 5/1998 gagal di tingkat operasional karena jenis tindakan penyiksaan sebagaimana yang dimaksud oleh Kovenan Anti Penyiksaan tidak memiliki cantolan ke sistem pidana (KUHP). Di dalam KUHP tidak dikenal kategori penyiksaan sesuai maksud kovenan tetapi yang digunakan adalah tindakan pidana penganiayaan, yang substansinya sama sekali berbeda.
11. Apakah yang dimaksud dengan mes rea, mental state, actus reus dalam ICC dan praktek Pengadilan Internasional? Dan apakah hal ini berlaku dalam UU no 26 Tahun 2000? Jelaskan!
Jawab :
Actus reus — kadang-kadang dipanggil elemen luar sebuah individu — adalah isitilah bahasa Latin untuk "tindakan bersalah" yang, ketika dibuktikan tidak dapat diragukan lagi dalam kombinasi dengan mens rea, iaitu, "fikiran bersalah", menghasilkan liabiliti individu dalam asas-common law bidang kuasa undang-undang jenayah seperti Australia, Kanada, New Zealand, United Kingdom dan Amerika Syarikat. Dalam Amerika Syarikat, sesetengah jenayah juga memerlukan bukti pada seorang keadaan penghadir. Lalu yang dimaksud dengan mental state adalah prilaku sebuah negara, sebagai contoh bahwa sebuah negara yang dianggap sebagai orang dalam kaitannya pada setiap kebijaknnya diandaikan sebagai sebuah prilaku.
Istilah-istilah actus reus dan mens rea berasal daripada prinsip yang dinyatakan oleh Edward Coke, yiaitu actus non facit reum nisi mens sit rea, 1 yang membawa maksud: "sesuatu perbuatan tidak menyebabkan seseorang bersalah kecuali akalnya juga bersalah", yiaitu ujian amnya memerlukan bukti kesalahan, kebersalahan, atau keadaan yang patut disalahkan, baik dari segi kelakuan maupun dari segi akal. Dalam hal ini, peranan automatisme adalah sangat berkaitan dengan pemberian penjelasan positif untuk menunjukkan kesukarelaan sebelum seseorang boleh dinyatakan bersalah. Apabila actus reus telah diasaskan dalam sesuatu kesalahan biasa, persetujuan antara kedua-dua actus reus dan mens rea (dan untuk sebilangan individu di Amerika Syarikat, keadaan berkait) harus diperoleh untuk memberikan alasan yang kuat terhadapnya
Sedangkan prasyarat “mens rea” (elemen mental) nampak dari hal-hal sebagai berikut :
• Actual knowledge established through direct evidence; or
• Actual knowledge established through circumstancial evidence, with a presumption of knowledge where the crimes of subordinates are a matter of public notoriety, are numerous, occur over a prolonged period, or in a wide geographical area; or
• Wanton disregard of, or failure to obtain information of a general nature within the reasonable access of a commander indicating the likelihood of actual or prospective criminal conduct on the part of his subordinates.
Hubungan sebab akibat (causation) antara “commander’s or superior’s omission” dengan kejahatan yang terjadi tidak perlu dibuktikan sebagai unsur terpisah dari pertanggungjawaban komando sebagaimana dalam pasal 42 UU Pengadilan HAM. Hal ini dianggap sudah melekat (inherent) dalam persyaratan atas kejahatan yang dilakukan oleh bawahan dan kegagalan atasan untuk mengambil tindakan dalam rangka kekuasaannya untuk mencegah. Namun demikian harus difahami bahwa pertanggungjawaban komando baru bisa dilakukan apabila telah dibuktikan telah terjadinya “core or principal crimes”, baik dalam bentuk kejahatan perang, kejahatan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Dalam hal “core crimes” ini, sepanjang mengenaielemen material (actus reus) dan elemen mental (mens rea) perlu dikaji ketentuan yang berlaku secara universal (misalnya apa yang diatur dalam dokumen “the Elements of Crimes”, Statuta Roma tentangICC, 1998). Sekalipun demikian pemahaman mengenai syarat pemidanaan yang berlaku dalam hukum nasional akan sangat membantu, baik yang berkaitan dengan unsur perbuatan maupun unsur kesalahan
12. Apakah yang dimaksud dengan kelompok rasial, etnis nasional dalam kejahatan genosida? Jelaskan!
Jawab :
Pelaku dalam tindak pidana genosida harus bertujuan untuk memusnahkan kelompok tersebut. Dalam perdebatan yang terjadi sebelum Genocide Convention diadopsi, jenis pemusnahan diindikasikan mengandung 3 kategori kemungkinan : fisik, biologis dan kultural. Genosidakultural merupakan hal yang tersulit di antara ketiga kategori, sebab dapat diinterpretasikan meliputi pula penindasan (suppression) terhadap bahasa nasional atau ukuran yang lain. Hal ini akhirnya dikeluarkan dari konvensi. Namun demikian pelbagai saran mengusulkan agar saat iniketiga bentuk pemusnahan (fisik, biologis dan kultural) tersebut bisa diterima sebagai konstruksi progresif.Sebagai contoh dapat dikatakan bahwa genosida kultural (cultural genocide) terbukti merupakan indikatorpenting dari “physical genocide”.
Sehingga melihat dari konbensi tersebut maka akan kita tarik keterkaitan diantara rasial dengan fisik dan biologis, serta etnis nasional dengan kultural. Maka di dalam kejahatan genosida bahwa jika tujuan dari pelaku tindak pidana adalah untuk memusnahkan suatu ras, maka ras tersebut harus memiliki kesamaan fisik maupun biologis, sedangkan jika tujuan dari pelaku tindak pidana bertujuan untuk memusnahkan suatu kultur tertentu termasuk agama yang dianut oleh suatu kelompok maka sebenarnya pelaku tindak pidana telah melakukan genosida terhadap etnis nasional.
Genosida dipandang sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan yang mempunyai unsur pemberatan (aggravated). Tribunal Internasional untuk Rwanda menyebutnya sebagai “the crime of crimes”. Tidak mengherankan apabila hal ini mengakibatkan disebutnya “the crime of genocide” sebagai kejahatan pertama dalam Statuta Roma yang menjadi jurisdiksi ICC (International Criminal Court) tanpa adanya kontroversi. Perumusan ini sebenarnya mengambil dari Article II Konvensi tahun 1948. Article 6 dari Statuta Roma tentang ICC dan Article II Genocide Convention 1948 mendefinisikan “genocide” sebagai 5 (lima) perbuatan tertentu atau khusus (specific acts) yang dilakukan dengan maksud untuk memusnahkan (intent to destroy) suatu kelompok nasional, etnis, rasial atau agama. Lima perbuatan
tersebut adalah :
• Pembunuhan anggota-anggota kelompok;
• Mengakibatkan penderitaan berat baik terhadap badan atau mental;
• Menerapkan kondisi terhadap kelompok yang diperkirakan dapat memusnahkan kelompok;
• Mencegah kelahiran di dalam kelompok; dan
Secara paksa memindahkan anak-anak dari suatu kelompok ke kelompok. Sedangkan menurut UU no 26 Tahun 2000 Pasal 8 maka genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama, dengan cara: membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota-anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik baik seluruh atau sebagiannya; memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran di dalam kelompok; atau memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
13. Bagaimana terminologi dari konflik bersenjata didefinisikan dalam hukum humaniter? Bagaimana perlindungan kelompok sipil dan bersenjata?
Jawab :
Hukum humaniter tidak dimaksudkan untuk melarang perang, atau untuk mengadakan undang-undang yang menentukan permainan “perang”, tetapi karena alasan-alasan perikemanusiaan untuk mengurangi atau membatasi penderitaan individu-individu dan untuk membatasi wilayah dimana kebuasan konflik bersenjata diperbolehkan. Dengan alasan-alasan ini, kadang-kadang hukum humaniter disebut sebagai ”peraturan tentang perang berperikemanusiaan”. Hukum humaniter mencoba untuk mengatur agar suatu perang dapat dilakukan dengan lebih memperhatikan prinsip-prinsip kemanusiaan. Mohammed Bedjaoui mengatakan bahwa tujuan hukum humaniter adalah untuk memanusiawikan perang. Oleh karena itu, perkembangan hukum perang menjadi hukum sengketa bersenjata dan kemudian menjadi hukum humaniter sebenarnya tidak terlepas dari tujuan yang hendak dicapai oleh hukum humaniter tersebut, yaitu :
• Memberikan perlindungan terhadap kombatan maupun penduduk sipil dari penderitaan yang tidak perlu (unnecessary suffering).
• Menjamin hak asasi manusia yang sangat fundamental bagi mereka yang jatuh ke tangan musuh. Kombatan yang jatuh ke tangan musuh harus dilindungi dan dirawat serta berhak diperlakukan sebagai tawanan perang.
• Mencegah dilakukannya perang secara kejam tanpa mengenal batas. Disini yang terpenting adalah asas kemanusiaan
Perlindungan kepada terdakwa juga diberikan sebagai bagian dari kelompok sipil dan bersenjata. Kewajiban untuk melakukan proses peradilan yang bebas dan tidak memihak merupakan suatu ketentuan internasional yang telah dirumuskan dalam berba-gai konvensi internasional. Hak-hak yang wajib diberikan pada seorang tersangka/terdakwa telah jelas dalam ketentuan Internasional Covenant on Civil and Political Rights, terutama pasal 9 sampai dengan Pasal 15, yang pada dasarnya berisikan asas-asas antara lain:
• Praduga tak bersalah (pre-sumption of innocence)
• Persamaan di muka hukum (equality before the law)
• Asas legalitas (principle of legality)
• Ne bis in idem (double jeopardy)
• Asas tidak berlaku surut (non retroactivity), kecuali apabila ada perubahan UU yang meringankannya.
14. Bagaiman persinggungan hukum humaniter, Hukum HAM, dan Hukum Pidana Internasional dalam situasi konflik?
Jawab :
Istilah Hukum Humaniter atau lengkapnya disebut International Humanitarian Law Applicable in Armed Conflict, pada awalnya dikenal sebagai hukum perang (laws of war),yang kemudian berkembang menjadi hukum sengketa bersenjata (laws of arms conflict), dan pada akhirnya dikenal dengan istilah hukum humaniter. Istilah hukum humaniter sendiri dalam kepustakaan hukum internasional merupakan istilah yang relatif baru. Istilah ini lahir sekitar tahun1970-an dengan diadakannya Conference of Government Expert on the Reaffirmation and Development in Armed Conflict pada tahun 1971. Sebagai bidang baru dalam hukum internasional, maka terdapat rumusan atau definisi mengenai hukum humaniter.
Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja: “Bagian dari hukum yang mengatur ketentuan-ketentuan perlindungan korban perang, berlainan dengan hukum perang yang mengatur perang iu sendiri dan segala sesuatu yang menyangkut cara melakukan perang itu sendiri.”
Dalam kepustakaan ada 3 (tiga) aliran berkaitan dengan hubungan hukum humaniter internasional dengan Hukum Hak Asasi Manusia:
a. Aliran Integrationis
Aliran integrationis berpendapat bahwa sistem hukum yang satu berasal dari hukum yang lain. Dalam hal ini, maka ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu: 1. Hak asasi manusia menjadi dasar bagi hukum humaniter internasional, dalam arti bahwa hukum humaniter merupakan cabang dari hak asasi manusia.Pendapat ini antara lain dianut oleh Robertson, yang menyatakan bahwa hak asasi manusia merupakan hakdasar bagi setiap orang, setiapwaktu dan berlaku di segala tempat.Jadi hak asasi manusia merupakan genus dan hukum humaniter merupakan species-nya,karena hanya berlaku untuk golongan tertentu dan dalam keadaan tertentu pula. 2. Hukum Humaniter Internasional merupakan dasar dari Hak Asasi Manusia, dalam arti bahwa hak asasi manusia merupakan bagian dari hukum humaniter. Pendapat ini didasarkan pada alasan bahwahukumhumaniterlahirlebihdahulu daripada hak-hak asasi manusia. Jadi secara kronologis, hak asasi manusia dikembangkansetelah hukumhumaniter internasional.
b. Aliran Separatis
Aliran separatis melihat Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional sebagai sistem hukum yang sama sekali tidak berkaitan, karena keduanya berbeda. Perbedaan kedua sistem tersebut terletak pada :
1. Obyeknya Hukum Humaniter Internasional mengatur sengketa bersenjata antara negara dengan kesatuan (entity) lainnya; sebaliknya hak asasi manusia mengatur hubungan antara pemerintah dengan warganegaranya di dalam negara tersebut.
2. Sifatnya Hukum Humaniter Internasional bersifat mandatory a political serta peremptory.
3. Saat berlakunya Hukum Humaniter Internasional berlaku pada saat perang atau masa sengketa bersenjata, sedangkan hak asasi manusia berlaku pada saat damai
Salah seorang dari penganut teori ini adalah Mushkat, yang menyatakan bahwa secara umum dapat dikatakan bahwa hukum humaniter itu berhubungan dengan akibat dari sengketa bersenjata antar negara, sedangkan hak asasi manusia berkaitan dengan pertentangan antara pemerintah dengan individu di dalam negara yang bersangkutan. Hukum humaniter mulai berlaku pada saat hak asasi manusia sudah tidak berlaku lagi; hukum humaniter melindungi mereka yang tidak mampu terus berperang atau mereka yang sama sekali tidak turut bertempur, yaitu penduduk sipil. Hak asai manusia tidak ada dalam sengketa bersenjata karena fungsinya diambil oleh hukum humaniter, tetapi terbatas pada golongan tertentu saja.
c. Aliran Komplementaris
Aliran Komplementaris melihat Hukum Hak Asasi Manusia dan Hukum Humaniter Internasional melalui proses yang bertahap, berkembang sejajar dan saling melengkapi. Salah seorang dari penganut teori ini adalah Cologeropoulus, dimana Ia menentang pendapat aliran separatis yang dianggapnya menentang kenyataan bahwa kedua sistem hukum tersebut memiliki tujuan yang sama, yakni perlindungan pribadi orang. Hak asasi manusia melindungi pribadi orang pada masa damai, sedangkan hukum humaniter memberikan perlindungan pada masa perang atau sengketa bersenjata.
Sedangkan menurut pendapat saya bahwa Hukum Humaniter merupakan bagian dari Hukum Hak Asasi Manusia, sedangkan selanjutnya bahwa hukum Hak Asasi Manusia merupakan Bagian Dari Hukum Pidana Internasional. Sebagaimana kita ketahui bahwa Hukum Pidana Internasional terdiri dari berbagai jenis kejahatan yakni mulai dari kejahatan di bidang ekonomi, pidana umum, hingga pidana di bidang HAM, sedangkan Hukum Humaniter yang dahulu dikenal dengan istilah hukum perang merupakan salah satu bagian dalam hukum HAM disamping elemen lainnya dalam hukum HAM yang sejajar dengan hukum humaniter yakni hukum agresi militer, dan hukum di bidang kemanusiaan.
15. Jelaskan lebih lanjut mengenai Alasan Pemaaf maupun Alasan Pembenar dari Pasal 31 ICC. Apakah ada dari alasan-alasan tersebut yang dapat diterapkan dalam kasus ini? Bandingkan dengan UU no 26 Tahun 2000!
Jawab :
Bahwa ada dasar pemaf dan pembenar yang dungkapkan pada pasal 31 ICC yang pada intinya memuat beberapa hal yakni antara lain memuat mengenai hal dasar pemaaf dan pembenar umum sebagaimana yang diatur dalam KUHP. Saya melihat ayat satu hampir mirip dengan pasal 44 KUHP, ada pula dasar pemaaf belum dewasa yang hampir sama dengan pasal 45 sedangkan ada pula bela paksa, daya paksa, perintah jabatan yang salah, perintah jabatan dsb, yang hampir mirip pengaturannya dalam KUHP.
Menurut saya yang akan menjadi dasar pemaaf terhadap peristiwa kontak fisik pertma bagi Dahlan Batuud adalah bahwa hal ini merpakan perintah sah yang dibuktikan melalui dokumen operasi, sedangkan apabila menjadi pembela dari masyarakat maka dipastikan akan menggunakan keadaan bela paksa.
Sedangkan untuk kontak fisik kedua apabila menjadi pengacara dari Mayor Ravij serta mayor ravij, maka dasar pembelaannya adalah bahwa delik HAM tersebut merupakan delik formil apabila terjadi penembakan tanpa adanya korban maka tidak ada keberbahayaan hanya pelanggaran administratif, kemudian di bunuh dengan panah, maka sudah adanya ancaman bagi pihak aparat keamanan sehingga serangan balasan merupakan bela paksa lampau batas. Lalu bila menjadi pengacara jemaat maka juga memakai bela paksa lampau batas terhadap tembakan pertama ke arah pos.
Kemudian dalam penyerangan ke pusat jemaat maka dasar pembelaannya bervariasi terhantung kepada pihak siapa kita melakukan pembelaan dengan menggunakan dasar pembenar maupun pemaaf sebagaimana yang diatur dalam pasal 31 ICC yang hampir mirip dengan pengaturan dalam Bab Ketentuan Umum KUHP.
16. Jelaskan mekanisme berkerjanya pengadilan ICC? Apakah yang membedakan dengan pengadilan Adhoc dan Pengadilan Campuran? Bandingkan dengan pengadilan tingkat Internasional berdasarkan UU no 26 tahun 2000
Jawab :
Statuta Roma 1998 menerapkan ketentuan yangdisebut “issue of admissibility” (Article 17), yaitu bahwa PPI dapatmenetapkan bahwa kasus pelanggaran HAM tidak dapat diadili oleh PPI atas pertimbangan sebagai berikut:
• kasus tersebut sedang dalam penyidikan atau penuntutan olehnegara yang berwenang untuk melakukannya, kecuali jika negara ybs tidakberkeinginan atau tidak mampu untuk melakukan tugasnya tersebut;
• kasus tersebut sudah disidik oleh suatu negara yang memilikiyurisdiksi atas kasusnya dan negara tersebut sudah memutuskan untuk tidakmelakukan penuntutan terhadap orang yang bersangkutan kecuali putusan tersebutberasal dari ketidakinginan atau ketidakmampuan negara ybs untuk menuntut;
• Orang yang bersangkutan telah diadili untuk pelanggaran HAM yangtelah dilakukannya, dan peradilannya oleh PPI tidak diperbolehkan berdasarkanPasal 20 ayat (3) ; dan
• kasus tersebut tidak cukup serius untuk digolongkan ke dalamPelanggaran HAM.
Yang menjadi perbedaan antara Pengadilan Ad hoc dengan pengadilan campuran dapat dilihat dari struktr hakimnya, dalam pengadilan ad hoc maka seluruh hakim merupakan hakim ad hoc, sedangkan yang dimaksud dengan pengadilan campuran adalah pengadilan yang jika dilihat dari struktur hakimnya, mencampur antara hakim ad hoc dan hakim karir biasa pada Pengadilan HAM yang berada dalam ruang lingkup pengadilan Umum. Semakin besar jumlah hakim Adhoc dalam pengadilan HAM maka akan terlihat bahwa intervensi eksekutif dalam yudikatif semakin besar, hal ini patut dicurigai sebagai usaha eksekutif dalam mengendalikan ataupun menguasai kekuasaan yudikatif yang bebas dan mandiri. Sehingga hal ini tidaklah begitu baik untuk iklim keadilan di Indonesia apabila dilihat oleh publik internasional.
17. Jelaskan mengenai ejusdem generis yang dilindungi dalam kejahatan genosida? Bagaimana kelompok tersebut dijelaskan dalam Pengadilan Rwanda?
Jawab :
Dokumen tentang elemen Kejahatan ICC mensyaratkan bahwa perbuatan genosida terjadi dalam konteks sebuah bentuk nyata atau “manifest pattern” dari perbuatan yang serupa ditujukan terhadap kelompok atau merupakan perbuatan yang dapat mengakibatkan pemusnahan. Kata-kata seluruhnya atau sebagian mengindikasikan dimensi kuantitatif yang signifikan. Kesengajaan untuk membunuh hanya sedikit anggotakelompok bukan merupakan genosida. “Part”, it must be “substantial part”. Tetapi sekali lagi harus dicatatbahwa yang penting adalah bukan jumlah aktual dari korban, tetapi kesengajaan dari pelaku untukmemusnahkan sejumlah besar anggota kelompok. Semakin besar korban semakin logis kesimpulan tentangadanya kesengajaan untuk melakukan pemusnahan tersebut (seluruhnya atau sebagian).Ukuran kelompok atas dasar ikatan politik dan sosial ditolak pada tahun 1948, begitu pula dalam ICC,sebab keempat kategori kelompok tersebut pada kejahatan genosida mengacu pada minoritas etnis dannasional sebagaimana diatur dalam hukum atau dokumen HAM yang juga terkesan menghindari definisiyang tepat. Kata-kata “as such” merupakan kompromi bahwa di samping “intentional element” terdapat juga“motive”. Motif antara lain bisa berupa kecemburuan, kebencian atau kerakusan. Hal ini sebenarnyamempersulit pembuktian, sehingga banyak ditolak adanya penafsiran definisi. Jadi saya mengartikan bahwa esjudem generis adalah seberapa besar cakupan kelompok yang harus terpenuhi dengan ada kata sebagian ataupun seluruhnya. Sedangkan dalam kasus Rwanda bahwa dalam ICJ saja salah satu mentri kabinet mereka secara tegas ingin melenyapkan etnis tutsi. Sehingga ejusdem generisnya adalah etnis tutsi dalam kasus rwanda.
18. Bagaimana penafsiran Mahkamah Konstitusi terhadap pasal 43 UU no 26 Tahun 2000? Jelaskan
Jawab :
Penafsiran Mahkamah Konstitusi menyangkut kategori pelanggaran HAM berat masa lalu, istilah ”masa lalu” sebenarnya hanya terkait pelanggaran HAM berat yang terjadi sebelum diundangkannya UU Pengadilan HAM atau sebelum tahun 2000. Kewenangan membuka kasus itu tidak bertentangan dengan konstitusi karena pengenyampingan asas nonretroaktif pun telah ditegaskan dalam Putusan MK No 065/PUU-II/ 2004. Sebelum Putusan MK No 18/PUU-V/2007, pengaturan kasus-kasus kategori ”masa lalu” harus ditempuh melalui DPR berdasarkan peristiwa tertentu dengan keputusan presiden, khususnya atas ”dugaan pelanggaran HAM yang berat”.
Kontrol kekuasaan nonyudisial yang terjadi di Indonesia saat itu bisa dipahami karena suasana transisi politik pascarezim otoritarian yang kekuatan politiknya masih terlampau kuat di eksekutif dan legislatif. Namun, setelah putusan itu, tak lagi memerlukan ”persetujuan politik” DPR dalam mengupayakan penyelidikan Komnas HAM maupun penyidikan Kejaksaan Agung. ”Persetujuan politik” memang sudah seharusnya dihapus karena dinilai mencampuri kewenangan yudisial dalam mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu dan tidak sesuai dengan upaya mendorong integrated justice system. Sehingga, terkatung-katungnya penyelesaian tragedi Trisakti, Semanggi I dan Semanggi II adalah salah satu contoh korban ”persetujuan politik” DPR, sekaligus korban lempar tanggung jawab lembaga kejaksaan yang mengembalikan berkas-berkas penyelidikan kepada Komnas HAM.
Dengan mekanisme hukum penyelesaian yang secara bertahap maju, posisi Komnas HAM adalah sangat menentukan sebagai ujung tombak penegakan HAM di Indonesia, khususnya dalam membuka kasus-kasus masa lalu yang selama ini sengaja dikubur dalam-dalam atas nama kepentingan nasional. Memang, menjalankan mandat mekanisme penyelesaian ini tidak mudah karena jenisnya yang extra-ordinary crimes, yang memiliki hukum acara tersendiri. Dalam konteks demikian, kontroversi wewenang ini sesungguhnya bukan masalah dalam ranah yuridis, melainkan masalah politik kepentingan tertentu untuk melanggengkan sirkuit impunitas.
19. Bagaimana penerapan subpoena dalam penyelidikan pelanggaran HAM Berat di Indonesia?
Jawab :
Wewenang Komnas HAM dalam melakukan fungsi pemantauan terhadap kasus pelanggaran hak asasi manusia diperluas dengan adanya kewenangan untuk memanggil saksi secara paksa (subpoena) . Kewenangan untuk memanggil saksi secara paksa, menurut Asmara Nababan, kewenangan subpoena ini kerwenangan yangmelekat pada Komnas HAM sehingga apa punkegiatannya kewenangan ini tetap dimilikiKomnas HAM termasuk dalam penyelidikan Pro Justicia.
20. Bagaimana jangka waktu penyelidikan dan penyidikan dalam pengadilan HAM berat di Indonesia?
Jawab :
Penyelidikan tidak memiliki jangka waktu namun harus tetap melihat pada jangka waktu daluarsa suatu peristiwa agar tidak hangus sampai sebelum penuntutan sebagaimana diatur dalam KUHAP. Penyidikan memiliki jangka waktu tersendiri namun sebelum kepada penyidikan maka hendaknya melihat adanya unsur upaya paksa yang bisa dilakukan oleh aparat penegak hukum untuk menangkap pelaku tindak pidana diantaranya yakni : Penangkapan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 11 ayat (5): dilakukan untuk paling lama 1 (satu) hari. Penahanan berdasarkan pasal Pasal 13 (1) Penahanan untuk kepentingan penyidikan dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari.(2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, maka penahanan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Pasal 15 (1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan di sidang Pengadilan HAM dapat dilakukan paling lama 90 (sembilan puluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. Pasal 16 (1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan banding di Pengadilan Tinggi dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Pengadilan Tinggi sesuai dengan daerah hukumnya. Pasal 17 (1) Penahanan untuk kepentingan pemeriksaan kasasi di Mahkamah Agung dapat dilakukan paling lama 60 (enam puluh) hari. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari oleh Ketua Mahkamah Agung. Sementara itu untuk jangka waktu kesuluhan pada penyidikan maka melihat pada Pasal 22 (1) Penyidikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) dan (3) wajib diselesaikan paling lambat 90 (sembilan puluh) hari terhitung sejak tanggal hasil penyelidikan diterima dan dinyatakan lengkap oleh penyidik. (2) Jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat diperpanjang untuk waktu paling lama 90 (sembilan puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya. (3) Dalam hal jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) habis dan penyidikan belum dapat diselesaikan, penyidikan dapat diperpanjang paling lama 60 (enam puluh) hari oleh Ketua Pengadilan HAM sesuai dengan daerah hukumnya.
21. Bagaimana penerapan prinsip non retroaktif dalam kasus pelanggaran HAM berat dalam Pengadilan Ad Hoc dan bagaimana penerapannya?
Jawab :
Bentuk pengadilan HAM Ad hoc Pasal 43 UU No. 26 Tahun 2000 yang berlaku untuk locus dan tempos delicti tertentu mengacu pada bentuk pengadilan internasional ad hoc, yang antara lain memungkinkan berlakunya prinsip retroaktivitas (sip. hal ini masih perlu diperdebatkan);
Dari pasal ini jelas sesungguhnya penerapan asas retroaktif diperbolehkan khususnya untuk penanganan kejahatan terhadap kemanusiaan. Selain itu Bagir Manan Ketua Mahkamah Agung berpendapat bahwa ”Penyimpangan terhadap prinsip non-retroaktif ini diperkenankan apabila dibenarkan oleh hukum internasional”.
22. Adakah relevansi pembagian hak Sipol dan Eksob terhadap kejahatan yang diatur dalam ICC?
Jawab :
Jika dibandingkan dengan implementasi hak-hak sipil dan politik, maka implementasi hak-hak sosial dan ekonomi jauh lebih sulit. Aspek inilah yang banyak terabaikan di Indonesia baik diakibatkan karena masalah kemampuan ekonomi negara maupun karena kesadaran warga negara atas haknya yang dijamin konstitusi.
Berbeda dengan hak-hak sipil dan politik yang dengan mudah bisa dilihat dan dirasakan adanya pelanggaran hak itu melalui legislasi yaitu adanya pembatasn dan pelarangan atas peleksanaan hak, yang dapat segera direhabilitasi dengan mengajukan pengujian terhadap undang tersebut kepada Mahkamah Konstitusi atau peradilan lainnya. Sedangkan untuk penggaran terhadap hak-hak sosial-ekonomi melalui legislasi lebih sulit terdeteksi adanya pembatasan-pembatasn yang secara tegas dilakukan yang melanggar hak-hak sosial eknomi. Hak-hak sosial ekonomi lebih banyak meminta perhatian dan tanggung jawab negara terutma pemerintah untuk implemntasinya. Misalnya hak memperoleh pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, hak membentuk keluarga, hak kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, hak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat, adalah hak-hak yang implementasinnya meminta perhatian dan tanggung jawab pemerintah. Disinilah peranan masyarakat sipil dan sosialisasi pemahaman dan kesadaran atas hak-hak tersebut menjadi sangat penting. Pendidikan dan edukasi terhadap hak-hak sosial dan ekonomi tidak mungkin diharapkan dari pemerintah, karena pemerintah selalu mencari alasan untuk menghindari tanggung jawab karena komplesitas masalah yang dihadapi.
23. Jelaskan penerapan dari yurisdiksi universal berdasarkan ICC. Apakah dapat diterapkan di Indonesia?
Jawab :
Asas universalitas (the universality principle) berdasarkan ICC yang sangat penting untuk mengadili pelanggaran HAM berat dan kejahatan-kejahatan lain yang diakui oleh masyarakat negara-negara sebagai kejahatan yang menarik perhatian internasional seperti pembajakan di laut dan di udara serta mungkin terorisme dan perdagangan budak. Asas ini memungkinkan suatu negara untuk menerapkan jurisdiksi terhadap pelaku kejahatan tertentu yang sangat berat dan berbahaya terhadap umat manusia, tanpa memperhatikan apakah negara tersebut ada kaitannya (nexus) dengan kejahatan, pelaku atau korban. Dalam hal ini setiap negara dianggap mempunyai kepentingan untuk menerapkan jurisdiksi ini atas kejahatan seperti pembajakan, perdagangan budak, kejahatan perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, penyiksaan, sabotase dan genosida. Pengalaman menunjukkan bahwa dasar hukum - apakah traktat atau kebiasaan - bervariasi dari kejahatan yang satu ke kejahatan yang lain. Apabila kejahatan tersebut berkaitan dengan suatu ‘erga omnes obligation’ atau suatu ‘jus cogens norm’ (peremptory norms) maka alasan setiap negara untuk menerapkan jurisdiksinya lebih kuat. Namun demikian apabila negara yang memiliki territorial memang berkehendak (willing) dan mampu (able) untuk mengadili, negara lain pada umumnya menangguhkannya. Perjanjian (treaty) yang mengijinkan (permit) negara untuk menerapkan hukum atas dasar jurisdiksi universal termasuk Konvensi Jenewa 1949 dan Konvensi Penyiksaan (Torture Convention) 1984. Kemudian yang mewajibkan (require) adalah 1956 Slavery Convention dan Apartheid Convention. Apabila tidak diatur dalam treaty, maka yang berlaku adalah hukum kebiasaan internasional. Dalam hal ini sifatnya mengijinkan (permissive) dan tidak memerintahkan (mandatory). (‘States may, but are not required’). Saat ini dalam beberapa hal diterapkan kewajiban negara untuk mengekstradisikan atau menuntut pelaku (aut dedere aut judicare).
Keberlakuannya hanya akan dapat terjadi jika pengadilan domestik tidak dapat mengadakan pengadilan terhadap pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan.ICC dan UU Pengadilan HAM Indonesia. Jika kita hubungkan masalah yurisdiksi ICC ini dengan UU Pengadilan HAM Indonesia (UU No. 26/ 2000) maka dalam laporan Amnesty Internasional bulan Februari 2001 disebutkan bahwa pada pasal 5 UU No. 26/ 2000 mengatur bahwa Pengadilan HAM mempunyai lingkup wewenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran berat HAM yang dilakukan oleh warga negara Indonesia di luar batas territorial wilayah negara RI. Aturan ini mengundang kekhawatiran bagi Amnesty International bahwa pembatasan wilayah territorial tersebut tidak konsisten dengan hukum internasional karena tidak memberikan kesempatan bagi penggunaan yurisdiksi universal terhadap mereka yang dicurigai melakukan tindakan pidana menurut hukum internasional dan berada di wilayah territorial Indonesia, atau bagi tersangka perkara-perkara semacam itu untuk diekstradisi ke negara lain yang mampu serta bersedia untuk menuntut mereka yang dituduh sebagai pelakunya
Selain masalah yurisdiksi tempat, ICC juga tidak memiliki yurisdiksi terhadap kejahatan yang terjadi sebelum 1 Juli 2002. ICC tidak memiliki yurisdiksi untuk mengadili delik yang terjadi (ratione temporis) sebelum 1 Juli 2002. Indonesia, jika suatu hari nanti meratifikasi ICC, maka jurisdiksi ICC hanya pada delik-delik yang terjadi setelah tanggal ratifikasi. Namun, Indonesia tanpa meratifikasi dapat meminta pelaksanaan yurisdiksi ICC dengan terlebih dahulu menyampaikan deklarasi penerimaan kepada Panitera ICC di Den Haag Belanda (Artikel 11,12 ICC).[7]
24. Misalkan kasus ini terjadi di Indonesia, bagaiamana kasus ini dapat diadili dalam pengadilan HAM, apa saja yang harus dilakukan untuk sampai pada pengadilan HAM? Jelaskan!
Jawab :
Pengadilan HAM oleh suatu negara di luar tempat dimana pelanggaran HAM berat terjadi juga merupakan salah satu opsi. Negara yang berusaha mengadili kejahatan yang dilakukan di luar negeri dapat menerapkan jurisdiksi atas dasar nasionalitas pelaku atau nasionalitas korban. Apabila negara tersebut tidak ada kaitannya dengan kejahatan tersebut, asas yang digunakan adalah asas universalitas dengan memberlakukan jurisdiksi universal. Dalam hal ini negara yang bersangkutan harus membuat ketentuan HAM yang mengijinkan penuntutan atas perbuatan extra-territorial atau mengijinkan penuntutan langsung atas dasar hukum internasional.
Dalam kerangka ini seharusnya kejahatan internasional yang dilakukan di luar negeri mungkin dituntut atas dasar ketentuan khusus yang diumumkan bahwa negara tersebut mentaati kewajiban hukum internasional. Bisa juga konvensi internasional itu sendiri menentukan bahwa negara tersebut menetapkan hukum yang mengatur tentang perbuatan extra-territorial. kedua hal ini negara-negara harus memiliki suatu perundang-undangan yang diperlukan untuk mengkriminalisasikannya tanpa memperhatikan tempat di mana perbuatan dilakukan.
Beberapa negara juga mengatur kejahatan internasional di samping yang ditentukan dalam Konvensi. Belgia, Spanyol, Swedia dan AS dalam mengatur kejahatan perang mencakup kejahatan-kejahatan lain di luarnya. Konvensi Jenewa termasuk pelanggaran Protocol II. Pengaturan tentang genosida di Perancis tahun 1992 mencakup pula tentang kejahatan terhadap kemanusiaan. Ketentuan di Canada yang mengatur tentang kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan mengijinkan penuntutan terhadap seorang asing atas perbuatannya di luar Canada terhadap orang asing lain. Syaratnya adalah atas dasar kehadirannya di Canada .
Praktek di pelbagai negara menunjukkan bahwa sampai pertengahan 1990-an terungkap bahwa ada kecenderungan negara-negara tidak menghendaki (unwillingness) untuk memidana pelaku kekejaman yang dilakukan di luar negeri, lebih-lebih bilamana kejahatan tidak dilakukan oleh atau diarahkan kepada warganegaranya. Perkembangan yang menarik terjadi setelah ICTR dan ICTY digelar, dalam hal mana sejumlah negara Eropa mulai menuntut pelaku kejahatan yang berada dalam wilayahnya, atas dasar ketentuan domestik yang melaksanakan Konvensi Jenewa atau Konvensi lain. Tersangka dalam konflik Yugoslavia dapat dituntut di Belanda, Jerman dan Denmark serta Austria dan Swiss. Demikian pula tersangka kasus Rwanda yang dapat dituntut di Swiss, Perancis dan Belgia. Demikian pula yang terjadi di Spanyol dan negara lain, yang menerapkan asas jurisdiksi universal untuk mengadili mantan-mantan pejabat di Chili, Argentina dan Guatemala dalam rezim militer tahun 1970 dan 1980-an seperti Jendral Augusto Pinochet. Januari tahun 2000 Senegal mengadili diktator Chad Hissene Habre yang
diasingkan ke Senegal sejak 1990.
Complementarity Principle merupakan prinsip yang menjiwai bekerjanya International Criminal Court (“ICC”), International Criminal Tribunal for the Former Yugoslavia (“ICTY”), dan International Criminal Tribunal for Rwanda (“ICTR”) berkerja tanpa mengabaikan kedaulatan negara dan pengadilan nasional yang bersangkutan. Mekanisme kerja berdasarkan prinsip tersebut menciptakan yurisdiksi yang berjalan secara bersamaan;
Pengadilan HAM Indonesia tidak mengenal Complementarity Principle mengingat Statuta Roma 1998 yang menjadi dasar berlakunya ICC tidak diratifikasi oleh Indonesia.Namun sesuai dengan Statuta Roma 1998 melalui usulan Dewan Keamanan PBB, Pengadilan HAM Indonesia harus tunduk kepada yurisdiksi ICC walaupun Indonesia bukan merupakan Negara Peserta, apabila dianggap tidak memenuhi persyaratan-persyaratan diatas.
25. Apakah kasus ini masuk dalam ruang lingkup hukum perang?
Jawab :
Hukum humaniter internasional yang dahulu disebut sebagai hukum perang dan hukum hak asasi manusia keduanya didasarkan atas perlindungan orang, terdapat perbedan khas dalam lingkup, tujuan dan penerapan diantara keduanya. Hukum humaniter internasional berlaku dalam kasus-kasus sengketa bersenjata, baik internasional maupun non internasional atau perang saudara (civil war). Di satu pihak, hukum humaniter internasional terdiri atas standar-standar perlindungan bagi para korban sengketa, disebut hukum Jenewa, dan di lain pihak peraturan-peraturan yang berkaitan dengan alat dan cara berperang dan tindakan permusuhan, juga dikenal sebagai hukum Den Haag. Dewasa ini, dua perangkat perturan itu telah digabung dan muncul dalam Protokol-protokol Tambahan pada Konvensi Jenewa yang diterima tahun 1977. Hukum hak asasi manusia, sebaliknya bertujuan untuk memberikan jaminan bahwa hak-hak dan kebebasan -- sipil, politik, ekonomi dan budaya -- dan setiap orang perorangan dihormati pada segala waktu, untuk menjamin bahwa dia dapat berkembang sepenuhnya dalam masyarakatnya dan melindunginya jika perlu terhadap penyalahgunaan dari para penguasa yang bertanggung jwab. Hak-hak ini tergantung pada hukum nasional dan sifatnya yang sangat fundamental dijumpaidalam konstitusi negara-negara. Namun hukum hak asasi manusia juga berkaitan dengan perlindungan internasional hak asasi manusia, yakni aturan-aturan yang disetujui untuk dipatuhi oleh negara-negara dalam kaitannya dengan hak dan kebebasan orang perorangan dan bangsa.
Hukum humaniter internasional secara khusus dapat dianggap dimaksudkan untuk menjamin dan memelihara hak-hak dasar(untuk hidup, keamanan, kesehatan, dsb)dari korban dan non-kombatan dalam peristiwa sengketa bersenjata. Ada hukum darurat yang diperintahkan karena keadaan-keadaan khusus, sedangkan hak asasi manusia, yang berjalan dengan sangat baik di masa damai, terutama berkaitan dengan perkembangan yang harmonis dari setiap orang. Dengan demikian,walaupun hukum humaniter berlaku pada waktu sengketa bersenjata dan hak asasi manusia berlakupada waktu damai. Namun inti dari hak-hak asasi atau “hard core rights” tetap berlaku sekalipun pada waktu sengketa bersenjata. Keduanya saling melengkapi. Selain itu, ada keterpaduan dan keserasian kaidah-kaidah yang berasal dari instrumen-instrumen hak asasi manusia dengan kaidah-kaidah yang berasal dari instrumen-instrumen hukum humaniter internasional. Keduanya tidak hanya mengatur hubungan diantara negara dengan negara dengan menetapkan hak-hak dan kewajiban mereka secara timbal balik. Sehingga kasus Peristiwa Tanahpura di Negara Kshirsagar dapat dimasukkan dalam kerangka Hukum Perang.