Sebelum
memberikan kredit, maka Bank Wajib mempertimbangkan Nasabah Pemohon Kredit
dengan cara melakukan Analisa Kredit. Analisa kredit merupakan kewajiban yang
diamanahkan oleh Pasal 8 ayat (1) UU Perbankan yang menyatakan sebagai berikut
:
”Dalam memberikan kredit atau pembiayaan
berasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan
kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau
mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.”
Adapun ”Analisis”
sebagai bahan pertimbangan Bank dalam memberikan Kredit dapat dikhususkan lagi
menjadi beberapa faktor pertimbangan yaitu sebagaimana diatur dalam
Penjelasan terhadap Pasal 8 ayat (1) UU Perbankan yang menyebutkan
sebagai berikut:
”Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip
Syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam
pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau
pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan
kesanggupan Nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang
diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut,
sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap
watak, kemampuan, modal, agunan, dana prospek usaha dari Nasabah debitur.
Mengingat bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila
berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan
Nasabah debitur mengembalikan utangnya, agunan hanya dapat berupa barang,
proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah
yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat, yaitu tanah yang bukti
kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis dapat digunakan
sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak
berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan
tambahan. Di samping itu, bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan
berdasarkan Prinsip Syariah harus pula memperhatikan hasil Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau risiko
tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan.”
Dalam praktek, “watak, kemampuan, modal, agunan, dana prospek usaha dari Nasabah
debitur” lebih dikenal dengan Prinsip ”5 C” untuk Bank Umum. Sedangkan
untuk Bank Syariha yang menerapkan Prinsip Syariah tetap mempertimbangkan “watak,
kemampuan, modal, agunan, dana prospek usaha dari Nasabah debitur” ditambah
dengan ”Prinsip Syariah”, atau yang lebih dikenal dengan ”5 C + 1 S ”.
Adapun Prinsip 5 C ini adalah sebagai berikut :
- 1. Character (watak).
- 2. Capacity (kemapuan).
- 3. Capital (modal).
- 4. Condition of economic (kondisi ekonomi).
- 5. Collateral (jaminan/agunan).
- S. Syariah (Prinsip Syariah)
Lembaga Kredit
yang diberikan bank kepada Nasabahnya, merupakan salah satu bentuk perjanjian.
Sehingga dengan demikian patut
dipertimbangkan bahwa syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal
1320 – Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut
sebagai ”KUH Perdata”) merupakan
syarat sah Bank dalam memberikan Kredit. Adapun syarat sahnya perjanjian pada
intinya adalah:
- Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya
kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau
kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama
mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan
perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 KUH Perdata); adanya penipuan yang
tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 KUH
Perdata). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan
alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.
- Cakap
untuk membuat perikatan;
Pasal 1330 KUH Perdata menentukan yang tidak cakap
untuk membuat perikatan : Orang-orang yang belum dewasa, Mereka yang ditaruh
dibawah pengampuan, Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah
melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa
Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September
1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap,
serta Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin
suaminya.
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang
diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 KUH
Perdata menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat
menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 KUH Perdata barang-barang
yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika
dilarang oleh undang-undang secara tegas.
- Suatu
sebab atau causa yang halal.
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan
pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal
demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.