KASUS POSISI
Dalam Perkara Perdata P.T. (PERSERO) PERUSAHAAN PENERBANGAN GARUDA INDONESIA, beralamat di Jalan Merdeka Selatan No.13 Jakarta 10110 dan turut berkantor di Jalan Monginsidi No.34 A Medan ; MELAWAN P.T. TROPHY TOUR, beralamat di Jalan Brigjend. Katamso No.33 D-E Medan;
a. Ticket Nomor Seri 6371870773 2 untuk dari Medan ke Jakarta dengan carrier GA, flight 185, class D, date 20 May, time 10.50, status OKDEOW, dengan harga yang tercantum dalam ticket tersebut sebesar Rp.1.705.500,- (satu juta tujuh ratus lima ribu lima ratus rupiah) ;
b. Ticket Nomor Seri 6371870775 4 untuk dari Jakarta pulang ke Medan dengan carrier GA, flight 184, class V, date 21 May, time 17.40, status OKVEOWPR, dengan harga yang tercantum dalam ticket tersebut sebesar Rp.583.500,- (lima ratus delapan puluh tiga ribu lima ratus rupiah) ; yang pada saat dibayar, Tergugat II memberi diskon sehingga Penggugat hanya bayar Rp.2.240.000,- (dua juta dua ratus empat puluh ribu rupiah) sebagaimana ternyata dari Debet Invoice No.01001055 bertanggal 20 Mei 2003 ; bahwa selanjutnya Tergugat I melalui Tergugat II menyatakan ticket yang dibeli Penggugat tersebut di atas, berdasarkan *QPGQ14 < GA RESPONSE, adalah dalam keadaan status sebagai berikut :
1. GA 185 D 20 MAY MESCGK RR1 1050-2 1300-2 C ;
2. GA 194 V 20 MAY CGKMES HL1 1740-2 1950-2 Y ;
3. GA 194 V 21 MAY CGKMES HK1 1740-3 1950-2 Y ;
bahwa Penggugat terpaksa membeli ticket pesawat terbang dari Tergugat I untuk penerbangan GA 185 class D (business) (atau identik dengan Class C dalam Boarding Pass) karena mendapat penjelasan dari pihak Tergugat II bahwa ticket class V (identik dengan class ekonomi) telah habis terjual, walaupun harga ticket class D tersebut hampir 3 (tiga) kali lipat dari harga ticket class V, dengan harapan Penggugat dapat melakukan penerbangan secara nyaman dan lebih terjamin sesuai dengan jadwal yang ditentukan olehTergugat I ;
bahwa akan tetapi ternyata jadwal keberangkatan pesawat terbang GA 185 pada tanggal 20 Mei 2003 yang ditetapkan Tergugat I adalah 10.50 WIB tersebut mengalami keterlambatan (delayed) penerbangan, sehingga pesawat terbang Tergugat I baru boarding pada pukul 11.35 WIB ;
bahwa atas keterlambatan penerbangan tersebut, Penggugat sebagai calon pengguna jasa angkutan udara tersebut belum dan tidak mendapat pelayanan yang layak dan atau ganti kerugian dari Tergugat I sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Peraturan Pemerintah R.I. No.40 Tahun 1995 jo Peraturan Pemerintah R.I. No.3 Tahun 2000 tentang Angkutan Udara, khususnya Pasal 40 jis Pasal 41 ayat (2), Pasal 42 huruf c dan Pasal 43 ayat (4)
bahwa selanjutnya di atas pesawat terbang tersebut ternyata masih ada tempat duduk yang kosong di class ekonomi tidak seperti penjelasan yang diberikan oleh Tergugat II kepada Penggugat pada saat Penggugat membeli ticket pesawat terbang tersebut dari Tergugat I melalui Tergugat II, sehingga dengan demikian jelas Tergugat I melalui agen resminya di Medan Tergugat II sebagai para pelaku usaha secara itikad tidak baik dalam melakukan kegiatan usaha mereka, sebab telah memberi informasi yang menyesatkan, tidak benar dan tidak jujur mengenai kondisi jasa yang diperdagangkan sebagaimana yang diwajibkan dalam ketentuan Pasal 7 huruf a, b, c,d, f dan g dari Undang-Undang R.I. No.9 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ;
bahwa disamping itu karena keterlambatan penerbangan tersebut, pesawat terbang Tergugat I tersebut baru tiba di Bandara Udara Soekarno Hatta sekitar pukul 13.35 WIB, sehingga telah mengakibatkan Penggugat terlambat dan tidak dapat menjalankan pekerjaan Penggugat sebagai pengacara guna mewakili clien Megatina Sadeli untuk menghadiri persidangan di Pengadilan Tata
Usaha Negara di Jakarta dalam perkara Reg.No.10/G.TUN/2003/ PTUN.Jkt., yang beralamat di Jalan A. Sentra Primer Baru Timur, Pulo Gebang, Jakarta Timur, walaupun Penggugat telah berusaha mencarter taksi Golden Bird Limousine di dalam Bandara Soekarno Hatta sebagaimana terbukti dari Invoice No.5365966 MA bertanggal 20 Mei 2003, dengan harga yang jauh lebih mahal dari tarif taksi biasa ;
bahwa selanjutnya pada hari yang sama Penggugat mencarter taksi kembali dan sampai ke Bandara Udara Soekarno Hatta sekitar pukul 16.05 WIB serta langsung ke Counter bagian Boarding Tergugat I dengan maksud untuk check in, akan tetapi Penggugat diberitahukan oleh petugas bandara bahwa ticket Penggugat untuk jurusan Jakarta ke Medan yang dibeli Penggugat dari Tergugat I melalui Tergugat II tersebut adalah dalam keadaan status waiting list, dan Penggugat disuruh lapor kembali di Counter Boarding Tergugat I tersebut pada pukul 17.15 WIB ;
bahwa pada saat Penggugat melapor kembali kepada petugas di Counter Boarding Tergugat I di Bandara Soekarno – Hatta sekitar jam 17.10 WIB, Penggugat baru diberitahukan oleh petugas tersebut
bahwa Penggugat bisa dapat tempat duduk (seat) guna penerbangan GA 194 untuk tanggal 20 Mei 2003 pada jam 17.40 WIB asal Penggugat bersedia dibebani biaya tambahan yang harus Penggugat setor ke kasir Tergugat I yang ada di Bandara Soekarno – Hatta, namun petugas tersebut tidak menjelaskan dan menerangkan bahwa penerbangan GA 194 untuk tanggal 20 Mei 2003 dengan jadwal jam 17.40 WIB akan mengalami keterlambatan ;
bahwa karena Penggugat dalam keadaan terjepit tidak ada pilihan lain, selain terpaksa harus mengikuti kemauan petugas di Counter Boarding Tergugat I tersebut, maka Penggugat diberi Boarding Pass oleh petugas tersebut sebagai alat bukti untuk dibawadan ditunjukkan kepada kasir Tergugat I yang ada di Bandara Soekarno – Hatta tersebut ;
bahwa selanjutnya oleh kasir Tergugat I yang ada di Bandara Soekarno – Hatta, Penggugat diberitahukan harus membayar uang tambahan sebesar Rp.580.000,- (lima ratus delapan puluh ribu rupiah) lagi baru bisa mendapat atau membeli tempat duduk (seat) dengan class yang sama untuk penerbangan GA 194 tanggal 20 Mei 2003 jam 17.40 WIB, sebagaimana ternyata dari ticket baru yang diberikan oleh kasir Tergugat I dengan Nomor Seri 126 4010 674757 5 untuk penerbangan GA 194 tanggal 20 Mei 2003 jam 17.40 WIB, walaupun dalam ticket tersebut hanya tercantum harga sebesar Rp.576.400,- (lima ratus tujuh puluh enam ribu empat ratus rupiah) ;
bahwa para Tergugat dalam iklan promosinya setiap hari di Harian Realitas terbitan Medan, juga tidak pernah dan tidak ada mencantumkan bahwa harga ticket yang dipromosikan para Tergugat dengan harga sebesar Rp.583.500,- (lima ratus delapan puluh tiga ribu lima ratus rupiah) seperti yang dibeli oleh Penggugat Tersebut, apabila hendak dipergunakan tidak sesuai jadwal atau waktu yang tercantum dalam ticket tersebut, atau status ticket yang dalam keadaan waiting list apabila dalam penerbangan tersebut masih mempunyai tempat duduk (seat) maka pemegang ticket dengan status waiting list tersebut harus menambah biaya sebesar Rp.580.000,- (lima ratus delapan puluh ribu rupiah) sebagaimana yang dibebankan kasir Tergugat I kepada Penggugat baru boleh ikut dalam penerbangan yang dimaksud dalam ticket waiting list tersebut ;
bahwa adalah sangat tidak dapat diterima oleh logika yang sehat, bahwa Penggugat yang memegang ticket Tergugat I dengan status waiting list untuk penerbangan GA 194 tanggal 20 Mei 2003 jam 17.40 WIB, tidak bisa mendapat tempat duduk (seat) untuk penerbangan GA 194 pada tanggal 20 Mei 2003, sementara ternyata di atas pesawat terbang Tergugat I tersebut masih ada tempat duduk yang kosong untuk class yang sama, dan lebih tidak masuk akal lagi Penggugat baru bisa ikut terbang dalam penerbangan tersebut apabila Penggugat membayar biaya tambahan sebesar Rp.580.000,- (lima ratus delapan puluh ribu rupiah) dengan mendapat ticket yang baru, sementara persyaratan tersebut tidak diberlakukan terhadap calon penumpang yang lain secara umum juga berstatus waiting list, melainkan hanya diberlakukan terhadap Penggugat secara diskriminatif yang mungkin karena nama Penggugat adalah seorang Warga Negara Indonesia Keturunan Cina yang dianggap mempunyai kelebihan uang di saku dan dengan mudah dapat “dikerjain” dan “dikibuli” secara sesuka hati ;
bahwa dengan demikian jelas para Tergugat sebagai para pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usaha mereka telah beritikad tidak baik, karena tidak memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi jasa (ticket) serta memberi penjelasan penggunaan jasa (ticket) tersebut dan tidak memperlakukan atau melayani Penggugat sebagai konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, serta tidak sesuai dengan keterangan, iklan atau promosi penjualan jasa yang ditawarkan dEngan harga promosi yang ternyata mengandung janji yang belum pasti, sebagaimana yang diwajibkan dalam ketentuan Pasal 7 huruf a, b dan c jis Pasal 8 ayat (1) huruf f dan j dan Pasal 9 ayat (1) huruf k Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ;
bahwa selanjutnya jadwal keberangkatan pesawat terbang GA 194 yang dikelola Tergugat I pada tanggal 20 Mei 2003 adalah jam 17.40 WIB tersebut juga mengalami keterlambatan (delayed) penerbangan, yang pada mulanya diundurkan sampai pukul 18.15 WIB, kemudian dimundurkan lagi sampai pukul 18.45 WIB dan akhirnya diundurkan lagi serta ganti pesawat, dan baru Boarding pada pukul 19.30 WIB, sebagaimana terbukti dari pemberitahuan kepada penumpang yang dilakukan manajemen Tergugat I melalui Branch Office Manager Soekarno Hatta Airport, yang bertindak atas nama Teguh Subandrio ;
ANALISA YURIDIS
Dari kasus yang telah diuraikan diatas maka akan sangat mudah untuk mengidentifikasi menggunakan dasar hukum yakni : Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Lahirnya Undang-undang ini memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia, untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas transaksi suatu barang dan jasa. UUPK menjamin adanya kepastian hukum bagi konsumen.
Sedangkan ketentuan mengenai sangksi pidana dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang hanya diatur dalam 3 pasal yakni Pasal 61, 62 dan 63. Hal ini menurut saya sengaja ditambahkan sebagai unsure kepastian hukum bagi yang melanggar agar mematuhi karena ada sangksi pidananya. Namun sanksi pidana ini tidak digarap dengan serius oleh pembuat Undang-undang yang menyamaratakan segala perbuatan pada pasal Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dengan memberikan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) sebagaimana dijelaskan pada pasal 62 Undang-Undang Nomo 8 Tahun 1999.
Perlindunan konsumen sebagaimana pasal 1 ayat (1) menyebutkan arti dari perlindungan konsumen yakni : segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi kepada konsumen. Sedangkan arti yang tidak kalah penting ialah Konsumen, yakni setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Kata tidak diperdagangkan ini berarti konsumen yang dilindungi ialah konsumen tingkat akhir dan bukanlah konsumen yang berkesempatan untuk menjual kembali atau reseller consumer.
Asas yang terkandung dalam UU Perlindungan Konsumen dapat dibagi menjadi menjadi 5 asas utama yakni : Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan, Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil, Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual, Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan; Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Perlindungan konsumen sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, bertujuan untuk Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa, Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi, Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha, Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen bukanlah Undang-Undang mengenai tindak pidana saja, namun UU Perlindungan Konsumen mengatur juga mengenai hukum administrasi, hukum perdata, hukum pidana serta yang tidak kalah penting yakni alternative penyelesaian sengketa. Sangat terlihat dari kasus diatas bahwa PT TROPHY TOUR sudah melakukan upaya administrasi, dan hukum perdata. Karena Sangksi Pidana merupakan Ultimum Remedium maka seyogyanya memang tepat apabila diupayakan secara perdata terlebih dahulu.
Jika dihubungkan uraian kasus posisi menggunakan Undang-Undang perlindungan konsumen dengan Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi( Undang-undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955) maka jika mencermati Pasal 1 ayat 3e sangat jelas memungkinkannya hubungan antar Tindak Pidana Ekonomi dengan sangksi Pidana dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Hubungan yang terjadi diantara keduanya ialah bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen harus menyebutkan pelanggaran tersebut (61, 62, 63 UU Perlindungan Konsumen) sebagai tindak pidana ekonomi. Namun apabila sekilas dilihat memang tidak ada yang menunjukan secara langsung bahwa tindakan pada pasal 62 merupakan tindak pidana ekonomi. Dalam hal ini saya mencoba menghubung-hubungkan keterkaitan diantara keduanya yang secara nyata-nyata saya temukan pada Pasal 61 jo. Pasal 1 ayat (3) dimana sangat jelas bahwa pelaku usaha merupakan harus menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Sedangkan pelaku usaha dalam UU Perlindungan Konsumen merupakan salah satu pihak yang harus bertanggungjawab apabila melakukan salah satu perbuatan sebagaimana dimuat pada pasal 62 UU Perlindungan Konsumen.
Pasal 1 ayat 3e termasuk dalam golongan ketiga dari tiga kaidah yang ada dalam UU Tindak Pidana Ekonomi. Kaidah ini memberikan kaidah-kaidah yang akan datang (dalam Undang-Undang ataupun Perpu), dimana ditentukan bahwa pelanggaran atas Undang-Undang atau Perpu tersebut merupakan delik ekonomi. Hal yang paling penting untuk ancaman pidana terhadap golongan masing-masing delik, maka terhadap golongan ketiga ancaman pidananya hanya 2 tahun penjara jika dilakukan dengan sengaja sesuai dengan pasal 6 b jo. Pasal 1 sub 2e 3e UU Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan kaidah ketiga ini hanya berlaku hanya apabila dilakukan dengan sengaja.
Dalam Pasal 1 ayat 3e, “unsur pasal dalam atau berdasar” merupakan suatu pembahasan yang menarik, yang menjadi titik terkuat perpotongan antara UU Tindak Pidana Ekonomi dengan UU Perlindungan Konsumen. Bahwa yang dimaksud dengan “dalam” ialah UU Perlindungan Konsumen di dalam bagian Menimbang serta Mengingat (konsideran) UU Perlindungan Konsumen harus menunjuk UU Tindak Pidana Ekonomi sebagai acuannya. Sedangkan unsure “berdasar” tidak diharuskan dicantumkan dalam konsiderans tetapi dalam pembahasan uraian unsur pasal setidak-tidaknya harus tindak pidana yang diatur ialah tindak pidana ekonomi.
Apabila upaya perdata yang dilakukan oleh PT TROPHY TOUR gagal, menurut saya sudah selayaknya untuk melaporkan kepada pihak kepolisian untuk diproses dengan menggunakan upaya hukum pidana sebagai ultimum remedium.
Sedangkan saya yakin dan percaya apabila Jaksa cukup cerdas untuk memahami bahwa UU Tindak Pidana Ekonomi masih bisa berlaku efektif, maka bisa saja didakwakan kepada PT Garuda Indonesia dakwaan yang mendalilkan pada UU Tindak Pidana Ekonomi atau pun UU Perlindungan Konsumen.