BAB
I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang
Pendidikan merupakan aset bangsa. Anak juga merupakan aset
bangsa, namun dalam pengertian yang lain. Pendidikan yang berkualitas akan
membawa sebuah bangsa semakin maju. Sama halnya dengan anak, semakin baik
kualitas anak, akan membawa sebuah bangsa semakin maju. Hal inilah yang
menjadikan pendidikan dan anak merupakan dua hal yang saling berkaitan satu
sama lain. Anak merupakan generasi penerus masa depan bangsa dan negara. Oleh
karena itu, pendidikan anak merupakan hal penting yang tidak bisa diabaikan karena
didalamnya terdapat nasib masa depan bangsa dan negara.
Namun, pada realitasnya, pendidikan anak sampai saat ini, di
negara Indonesia ini, belum merupakan sebuah prioritas bersama antara
pemerintah, orang tua maupun si anak itu sendiri. Banyak faktor yang
mempengaruhi, salah satunya adalah biaya pendidikan yang semakin tinggi. Sekarang
ini, pendidikan yang berkualitas sangat erat dengan biaya yang tinggi, tidak
ada yang salah dengan pernyataan tersebut karena memang seperti itu keterkaitan
antara kualitas dengan biaya. Namun, akan menjadi salah jika pendidikan yang
berkualitas hanya dapat dinikmati oleh masyarakat kelas atas saja yang mampu
membayarnya. Jika seperti ini terus, di masa depan, jurang pemisah antara
miskin dan kaya akan semakin jauh, karena masyarakat miskin tidak memiliki
akses terhadap pendidikan yang berkualitas. Ingat bahwa pendidikan merupakan salah satu solusi untuk menaikkan kelas
sosial. Bukti lain bahwa pendidikan belum menjadi prioritas bersama adalah pada
setiap bergantinya rezim pemerintahan, utamanya dengan bergantinya menteri
pendidikan, selalui diikuti dengan bergantinya kurikulum pendidikan. Dari sini
tampak bahwa pemerintah masih belum menemukan bentuk pengelolaan pendidikan
yang tepat bagi anak-anak kategori usia pendidikan dasar dan masih mencari-cari
bentuk yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan seni. Oleh karena itu, negara
(pemerintah) memiliki peran yang sangat penting untuk mencegah kondisi diatas,
untuk menjadikan pendidikan berkualitas milik siapa saja, bukan hanya si kaya.
Di berbagai
negara, tidak hanya di Indonesia, penyelenggaraan pendidikan merupakan beban
tanggung jawab negara. Negara merupakan penyelenggara pendidikan yang resmi. Negara
kemudian menyerahkan beban tanggung jawab tersebut kepada pemerintah sesuai
dengan konstitusi. Namun, hal ini bukan berarti beban tanggung jawab pendidikan
semata-mata hanya ada di tangan negara. Walaupun pendidikan merupakan tanggung
jawab negara, namun tidak tertutup kemungkinan adanya sektor privat yang turut
serta melakukan penyelenggaraan pendidikan.
Negara Indonesia
telah memiliki berbagai instrumen hukum untuk mendukung hak anak atas
pendidikan. Mulai dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD
NRI 1945) pasal 28C, pasal 28E, pasal 31, dan pasal 34. Lalu, ada Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas),
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maupun
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Bahkan dibentuk komisi khusus untuk
pemenuhan dan perlindungan hak anak yaitu Komisi Perlindungan Anak Indonesia
(KPAI) berdasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 2003. Dan masih
banyak lagi instrumen hukum mengenai hal tersebut.
- Pokok Permasalahan
Adapun
pokok permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini, yaitu:
- Bagaimanakah
pengaturan mengenai hak anak atas pendidikan pada peraturan perundang-undangan?
- Bagaimanakah
tanggung jawab negara terhadap pendidikan Warga Negara Indonesia khususnya
anak-anak setelah Wajib Belajar 12 (dua belas) tahun?
- Metode Penelitian
Berdasarkan bentuk penelitian, penelitian ini termasuk
kedalam bentuk penelitian Normatif, karena penelitian berdasarkan pada asas
hukum, meneliti subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan
hukum, dan obyek hukum dengan mensinkronkan dengan peraturan perundangan yang
ada, membandingkan hukum dan memeliti juga sejarah filosofi dari hukum
tersebut.[1]
Jenis data pada penelitian ini adalah Data Sekunder karena
data diperoleh dari penelusuran kepustakaan atau dokumentasi dan juga peraturan
perundangan, bukan langsung dari masyarakat (responden) seperti melalui
wawancara.[2]
Namun, berdasarkan pada teori Manheim, data pada penelitian ini termasuk
kedalam jenis Second Level Data karena data berasal dari pengamatan
terhadap peraturan perundangan yang berlaku secara nasional dan tertulis.[3]
Bahan Hukum Primer
adalah peraturan perundang-undangan, yang pada penelitian ini berupa
Undang-Undang.[4]
Sedangkan, Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan yang memberi penjelasan
daripada Bahan Hukum Primer yaitu buku, artikel, jurnal, makalah, laporan
penelitian, dsb yang pada penelitian ini berupa buku-buku pada tinjauan
pustaka.[5]
Sedangkan, Bahan Hukum Teriser yaitu yang isinya memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap Bahan Hukum Primer ataupun Sekunder seperti ensiklopedia,
kamus, dsb yang pada penelitian berupa kamus dan juga buku-buku pada tinjauan
pustaka.[6]
Bahan Hukum Primer adalah peraturan perundang-undangan, yang pada penelitian
ini berupa Undang-Undang.[7]
Sedangkan, Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan yang memberi penjelasan
daripada Bahan Hukum Primer yaitu buku, artikel, jurnal, makalah, laporan
penelitian, dsb yang pada penelitian ini berupa buku-buku pada tinjauan
pustaka.[8]
Sedangkan, Bahan Hukum Teriser yaitu yang isinya memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap Bahan Hukum Primer ataupun Sekunder seperti ensiklopedia,
kamus, dsb yang pada penelitian berupa kamus dan juga buku-buku pada tinjauan
pustaka.[9]
Metode Analisis
Data dilakukan secara Kualitatif karena hal yang utama dalam penelitian bukan
berupa data angka, melainkan pada normatif yuridis. Alat pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Studi Dokumen dengan menggunakan
peraturan perundangan dan juga buku-buku pada tinjauan pustaka. Bentuk Hasil
Penelitian akan berupa Laporan Penelitian yang berbentuk Makalah yang
didalamnya bersifat Deskripsi, berbentuk Diagnostik, bertujuan untuk
mennyelesaikan masalah, yang diterapkan secara murni, dari sudut ilmu Mono
Disipliner.
BAB II
TEORI DAN DASAR HUKUM
- Teori
Ada empat butir
pengakuan masyarakat internasional atas hak-hak yang dimiliki oleh anak, yakni:[10]
1.
Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights);
2.
Hak terhadap perlindungan (protection rights);
3.
Hak untuk tumbuh-kembang (development rights);
4.
Hak untuk berpartisipasi (participation rights).
Lalu ada juga
empat prinsip dasar pada konvensi hak anak, yaitu:
1. Non-diskriminasi;
2. Kepentingan yang terbaik untuk anak;
3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan;
4. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Beberapa jenjang
pendidikan yang ada di berbagai sekolah di Indonesia yaitu:[11]
- Pendidikan
Anak Usia Dini (PAUD) - Usia: 0 - 6 tahun
Pendidikan Anak Usia Dini atau
PAUD adalah jenjang pendidikan paling awal. Jenjang pendidikan ini memang tidak
wajib diikuti seorang anak, mengingat orang-tua juga memiliki kemampuan penuh
untuk melakukannya. Pada jenjang ini, anak akan dibina agar siap memasuki
pendidikan umum. Karena itu, pada jenjang ini lebih ditekankan untuk merangsang
pikiran anak dan perkembangan jasmani seorang anak.
·
Contoh:
Kelompok bermain (play group) dan Taman Kanak-kanak (TK)
- Pendidikan
Dasar - Usia: mulai usia 7 tahun
Pendidikan dasar adalah
pendidikan yang wajib diikuti seorang anak selama dua belas tahun. Pendidikan
ini merupakan awal dari pendidikan seorang anak karena melatih seorang anak
untuk membaca dengan baik, mengasah kemampuan berhitung serta berpikir.
Pendidikan dasar mempersiapkan seorang anak untuk memasuki jenjang pendidikan
menengah. Pendidikan dasar umumnya dibagi menjadi 2 tahap, yaitu 6 tahun
pertama di kelas 1 sampai 6. Kemudian dilanjutkan tahap berikutnya pada kelas 7
sampai 9 selama 3 tahun.
·
Contoh
pendidikan dasar tahap pertama : Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI)
·
Contoh
pendidikan dasar tahap kedua : Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah
Tsanawiyah (MT)
- Pendidikan
Menengah
Pendidikan menengah merupakan lanjutan
pendidikan dasar. Pendidikan
menengah diselenggarakan selama 3 tahun. Beberapa jenis pendidikan menengah
juga telah mempersiapkan seseorang memiliki keterampilan tertentu untuk
dipersiapkan langsung ke lapangan kerja.
·
Contoh:
Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA)
·
Contoh
sekolah kejuruan: Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan
- Pendidikan
Tinggi
Pendidikan tinggi merupakan
lanjutan dari pendidikan menengah. Pendidikan tinggi diselenggarakan bukan lagi di sekolah melainkan di
perguruan tinggi.
·
Contoh:
Akademi, Politeknik, Sekolah Tinggi, Institut, Universitas
- Dasar
Hukum
Adapun dasar hukum yang berkaitan dengan
pendidikan anak adalah sebagai berikut;
·
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) pasal 28C, pasal 28E, pasal
31, dan pasal 34.
·
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas)
·
Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
·
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak
BAB III
ISI
Saat ini,
pendidikan di sekolah telah dapat dinikmati oleh berbagai kalangan dan
golongan. Berbagai sekolah didirikan untuk menjadi tempat atau sarana
pendidikan bagi anak. Berbagai kurikulum juga dikembangkan untuk sekolah agar
dapat membantu anak memiliki cara belajar yang baik dan bermutu. Bagi sebagian
besar masyarakat, mereka bisa mendapatkan pendidikan umum di sekolah dengan
mudah. Namun, ada sebagian masyarkaat kita yang juga belum bisa mendapatkan
pendidikan dengan baik dan mudah. Masalah pendidikan anak tidak semata-mata
bisa dipandang dari segi yuridis saja. Perlu juga pendekatan yang lebih luas
yaitu dari segi ekonomi, sosial, dan budaya.[12]
Pada peraturan
perundang-undangan di Indonesia, pendidikan belum menjadi prioritas bersama. Pendidikan
pada peraturan perundang-undangan, terdapat pada Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) pasal 28C, pasal 28E, pasal 31, dan
pasal 34. Lalu, ada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional (UU Sisdiknas), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan
Anak, maupun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Dari
seluruh peraturan perundangan diatas, pendidikan dijelaskan merupakan hak dari
setiap Warga Negara Indonesia; termasuk anak terlantar, anak jalanan, anak
kurang mampu, dsb. Namun, pada kenyataannya, kelompok tersebut belum mendapat
akses pendidikan yang merata dan adil. Alasannya karena keterbatasan biaya dari
pemerintah.
Jelas ini
bertentangan dengan apa yang telah di amanahkan UUD 1945 mengenai hak setiap
rakyat dalam mendapatkan pendidikan. Ditambah lagi, pendidikan sudah menjadi
komodifikasi yang berorientasi keuntungan materi. Dampak dari komodifikasi
pendidikan ini adalah semakin menjamurnya anak-anak putus sekolah, bahkan
anak-anak yang tidak bisa sekolah karena terbentur masalah biaya.
Padahal kita
ketahui, Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan negara berkewajiban
mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanah konstitusi itu juga menyatakan setiap
orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, yakni
mendapatkan pendidikan dan manfaat dari ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan
budaya, untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Namun nyatanya dalam kehidupan
sehari-hari masalah pendidikan tetap menyisakan isu pelik. Angka anak putus
sekolah masih tinggi dan menjadi momok menakutkan yang membayang-bayangi dunia
pendidikan nasional. Di sinilah fungsi pemerintah sebagai pelaksana konstitusi
dipertanyakan kinerjanya. Idealnya fungsi pemerintah sebagai pengayom
masyarakat yang mampu memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya.
Padahal jika kita merujuk pendapatnya Plato, idealnya suatu negara adalah yang
dapat memberikan keadilan bagi rakyatnya, termasuk pendidikan. Namun apa daya,
tembok-tembok akses dunia pendidikan semakin tinggi. Dengan kata lain, hubungan
masalah sosial dalam kasus ini disebabkan karena ketidakberfungsian lembaga
pemerintah sebagai pelaksana konstitusi yang telah di amanahkan kepada lembaga
pemerintah ini.
Berdasarkan
konvensi hak anak, terdapat empat prinsip dasar hak anak yaitu:
1. Non-diskriminasi;
2. Kepentingan yang terbaik untuk anak;
3. Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan
perkembangan;
4. Penghargaan terhadap pendapat anak.
Untuk memenuhi
amanah dari konstitusi, pemerintah menyelenggarakan program Wajib Belajar.
Dahulu program ini hanya sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Wajib
Belajar 9 Tahun. Namun, pada perkembangannya program ini telah berkembang
menjadi Wajib Belajar 12 Tahun. Program ini belum akan diterapkan secara
nasional karena beban anggaran pendidikan yang belum cukup. Pemerintah memilih
untuk lebih bekonsentrasi meningkatkan kualitas pendidikan dasar dan menengah.[13] Lalu, bagaimana dengan nasib anak yang ingin melanjutkan pendidikan ke
jenjang pendidikan Perguruan Tinggi? Belum ada kepastian hukum mengenai hal
ini. Wajib Belajar 12 Tahun saja belum diterapkan secara nasional, apalagi ke
Perguruan Tinggi. Pasca pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan cukup
memberikan angin segar untuk dunia pendidikan Indonesia. Pasalnya, pembatalan
tersebut menjadi secercah harapan bagi masyarakat untuk dapat mengakses
pendidikan dengan biaya yang terjangkau.
Sebenarnya,
anggaran pendidikan sudah secara khusus tercantum pada Undang-Undang Dasar 1945
sebesar 20% (dua puluh persen) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). Namun, wacana penganggaran ini harus bahwa hal itu bukanlah masalah
substansial jika dibandingkan dengan kerja-kerja konkret memantapkan basis
pembangunan nasional secara menyeluruh di bidang pendidikan.[14]
BAB IV
KASUS
Pada kasus,
Muhamad Muar (19) merupakan siswa miskin yang bersekolah di Yayasan Bina Insan
Mandiri Kota Depok. Ia terancam dicoret dari daftar mahasiswa yang lolos Ujian
Masuk Bersama (UMB) di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Biaya untuk setiap
calon mahasiswa baru adalah tujuh juta rupiah, uang yang sebenarnya cukup murah
untuk sebuah pendidikan di Perguruan Tinggi di Jakarta. Namun, tidak untuk
Muar. Ia tidak punya cukup uang untuk membayar uang masuk tersebut.
Sungguh sangat
ironis karena setelah program Wajib Belajar dua belas tahun yang biayanya
dijamin oleh pemerintah alias gratis, lalu tidak ada jaminan lagi kepada
seorang anak atau seorang warga negara untuk melanjutkan pendidikan.
Seolah-olah mereka dipaksa untuk bekerja, padahal lapangan pekerjaan tidak
banyak, dan dengan bekal pendidikan yang hanya sampai Sekolah Menengah Umum (SMU)
atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sulit sekali bagi Muar dan kawan-kawannya
yang senasib untuk memperoleh bantuan pinjaman modal dari bank maupun lembaga
lainnya. Harapan terakhir adalah beasiswa, namun nampaknya akan sulit bagi
seorang mantan penjual kantong plastik yang lulus dari sekolah Yayasan Bina
Insan Mandiri dengan predikat prestasi ’hanya’ memuaskan untuk mendapat
beasiswa dari sebuah Yayasan maupun Lembaga pendidikan lainnya. Hanya tinggal
menunggu belas kasihan atau keajaiban.
Undang-Undang
Nomor 30 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 34 sebagai dasar
hukum bagi program Wajib Belajar dua belas tahun, tidak mengatur mekanisme
penyelenggaraan pendidikan gratis setelah dua belas tahun atau setelah Sekolah
Menengah Umum (SMU) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), walaupun pada pasal
31 UUD NRI 1945 dikatakan bahwa ”Setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan” dan pada pasal 34 UUD NRI 1945 dikatakan juga bahwa ”Fakir miskin
dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Berkaitan dengan
kasus, pemerintah sebagai pelaksana konstitusi dan peraturan perundang-undangan
perlu bekerja keras dan berusaha untuk menjamin masa depan pendidikan anak di
Indonesia ini.
BAB V
PENUTUP
- Kesimpulan
Masalah pendidikan
anak tidak semata-mata bisa dipandang dari segi yuridis saja. Perlu juga
pendekatan yang lebih luas yaitu dari segi ekonomi, sosial, dan budaya. Seharusnya
pendidikan adalah hak setiap rakyat Indonesia. Berdasarkan berbagai peraturan
perundangan yang berlaku di Indonesia, termasuk konstitusi, pendidikan
dijelaskan merupakan hak dari setiap Warga Negara Indonesia; termasuk anak
terlantar, anak jalanan, anak kurang mampu, dsb. Namun, pada kenyataannya,
kelompok tersebut belum mendapat akses pendidikan yang merata dan adil. Justru
kenyataannya tidak semua dari mereka dapat mengakses hak mereka. Alasannya
karena keterbatasan biaya dari pemerintah. Hal ini tentu kontradiktif dengan
amanah yang tercantum dalam UUD 1945 mengenai hak setiap rakyat dalam
mendapatkan pendidikan. Kasus putus sekolah memang menjadi masalah yang serius,
padahal kita ketahui pendidikan sebagaimana Herbison dan Myers ungkapkan, jika
suatu negara tidak dapat mengembangkan sumber daya manusianya melalui
pendidikan, maka negara tersebut tidak dapat mengembangkan apa pun, baik sistem
politik serta kesatuan bangsa dan kemakmuran rakyatnya. Artinya, kegagalan
suatu bangsa dan hancurnya peradaban adalah kegagalan dunia pendidikannya.
Nasib bangsa kita di masa depan, akan terlihat dari bagaimana mengembangkan
pendidikan bagi generasi dan anak-anak bangsa itu sendiri.
Program Wajib
Belajar 12 Tahun belum akan diterapkan secara nasional karena beban anggaran
pendidikan yang belum cukup. Pemerintah memilih untuk lebih bekonsentrasi
meningkatkan kualitas pendidikan dasar dan menengah. setelah program Wajib
Belajar dua belas tahun yang biayanya dijamin oleh pemerintah alias gratis,
lalu tidak ada jaminan lagi kepada seorang anak atau seorang warga negara untuk
melanjutkan pendidikan. Seolah-olah mereka dipaksa untuk bekerja, padahal
lapangan pekerjaan tidak banyak. Belum ada kepastian hukum mengenai hal ini.
Wajib Belajar 12 Tahun saja belum diterapkan secara nasional, apalagi ke
Perguruan Tinggi.
- Saran
Adapun saran yang diajukan adalah sebagai
berikut:
·
Mewajibkan
kepada Perguruan Tinggi Negeri untuk meringankan biaya bahkan membebaskan biaya
kepada calon mahasiswa dari kalangan tidak mampu.
·
Memberikan
sanksi tegas kepada Perguruan Tinggi yang tidak memberikan akses kepada para
calon mahasiswanya yang tidak mampu.
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Mamudji, Sri, et.
al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit
Hakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Muhtaj, Majda El. Dimensi-Dimensi
HAM: Mengurai Hak Ekonmi, Sosial dan Budaya. Ed. 1. Jakarta: Rajawali Pers.
2008.
Nusantara, Abdul
Hakim. “Prospek Perlindungan Anak”, dalam Mulyana W. Kusumah (Peny.), Hukum
dan Hak-hak Anak. Jakarta:
YLBHI bekerja sama dengan CV Rajawali, 1986.
Soekanto,
Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia (UI-Press), 1986.
________________
dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu tinjauan Singkat.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.
PERUNDANG-UNDANGAN
Indonesia, Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
________, Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional, UU No.
20 Tahun 2003
________, Undang-Undang Perlindungan Anak,
UU No. 23 Tahun 2002,
________, Undang-Undang Kesejahteraan Anak,
UU No. 4 Tahun 1979,
INTERNET
LAMPIRAN
[1] Sri
Mamudji, et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum,
(Jakarta: Badan Penerbit Hakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal.
9-11.
[2] Sri Mamudji, loc. cit., hal. 29.
[3] Ibid.
[4] Ibid.,
hal. 52.
[5] Ibid.
[6]
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu tinjauan
Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 33.
[7] Ibid.,
hal. 52.
[8] Ibid.
[9]
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu tinjauan
Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 33.
[10] Majda
El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonmi, Sosial dan Budaya,
Ed. 1, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hal. 226.
[12] Abdul
Hakim Nusantara, “Prospek Perlindungan Anak”, dalam Mulyana W. Kusumah (Peny.),
Hukum dan Hak-hak Anak, (Jakarta: YLBHI bekerja sama dengan CV Rajawali,
1986), hal. 22.
[14] Majda El Muhtaj, loc. cit.