25 Mei, 2012

Hak Anak atas Pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang

Pendidikan merupakan aset bangsa. Anak juga merupakan aset bangsa, namun dalam pengertian yang lain. Pendidikan yang berkualitas akan membawa sebuah bangsa semakin maju. Sama halnya dengan anak, semakin baik kualitas anak, akan membawa sebuah bangsa semakin maju. Hal inilah yang menjadikan pendidikan dan anak merupakan dua hal yang saling berkaitan satu sama lain. Anak merupakan generasi penerus masa depan bangsa dan negara. Oleh karena itu, pendidikan anak merupakan hal penting yang tidak bisa diabaikan karena didalamnya terdapat nasib masa depan bangsa dan negara.
Namun, pada realitasnya, pendidikan anak sampai saat ini, di negara Indonesia ini, belum merupakan sebuah prioritas bersama antara pemerintah, orang tua maupun si anak itu sendiri. Banyak faktor yang mempengaruhi, salah satunya adalah biaya pendidikan yang semakin tinggi. Sekarang ini, pendidikan yang berkualitas sangat erat dengan biaya yang tinggi, tidak ada yang salah dengan pernyataan tersebut karena memang seperti itu keterkaitan antara kualitas dengan biaya. Namun, akan menjadi salah jika pendidikan yang berkualitas hanya dapat dinikmati oleh masyarakat kelas atas saja yang mampu membayarnya. Jika seperti ini terus, di masa depan, jurang pemisah antara miskin dan kaya akan semakin jauh, karena masyarakat miskin tidak memiliki akses terhadap pendidikan yang berkualitas. Ingat bahwa pendidikan merupakan salah satu solusi untuk menaikkan kelas sosial. Bukti lain bahwa pendidikan belum menjadi prioritas bersama adalah pada setiap bergantinya rezim pemerintahan, utamanya dengan bergantinya menteri pendidikan, selalui diikuti dengan bergantinya kurikulum pendidikan. Dari sini tampak bahwa pemerintah masih belum menemukan bentuk pengelolaan pendidikan yang tepat bagi anak-anak kategori usia pendidikan dasar dan masih mencari-cari bentuk yang sesuai dengan kondisi masyarakat Indonesia sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, dan seni. Oleh karena itu, negara (pemerintah) memiliki peran yang sangat penting untuk mencegah kondisi diatas, untuk menjadikan pendidikan berkualitas milik siapa saja, bukan hanya si kaya.
Di berbagai negara, tidak hanya di Indonesia, penyelenggaraan pendidikan merupakan beban tanggung jawab negara. Negara merupakan penyelenggara pendidikan yang resmi. Negara kemudian menyerahkan beban tanggung jawab tersebut kepada pemerintah sesuai dengan konstitusi. Namun, hal ini bukan berarti beban tanggung jawab pendidikan semata-mata hanya ada di tangan negara. Walaupun pendidikan merupakan tanggung jawab negara, namun tidak tertutup kemungkinan adanya sektor privat yang turut serta melakukan penyelenggaraan pendidikan.
Negara Indonesia telah memiliki berbagai instrumen hukum untuk mendukung hak anak atas pendidikan. Mulai dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) pasal 28C, pasal 28E, pasal 31, dan pasal 34. Lalu, ada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maupun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Bahkan dibentuk komisi khusus untuk pemenuhan dan perlindungan hak anak yaitu Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) berdasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 77 Tahun 2003. Dan masih banyak lagi instrumen hukum mengenai hal tersebut.

  1. Pokok Permasalahan

Adapun pokok permasalahan yang akan dibahas pada makalah ini, yaitu:
    1. Bagaimanakah pengaturan mengenai hak anak atas pendidikan pada peraturan perundang-undangan?
    2. Bagaimanakah tanggung jawab negara terhadap pendidikan Warga Negara Indonesia khususnya anak-anak setelah Wajib Belajar 12 (dua belas) tahun?

  1. Metode Penelitian

Berdasarkan bentuk penelitian, penelitian ini termasuk kedalam bentuk penelitian Normatif, karena penelitian berdasarkan pada asas hukum, meneliti subyek hukum, hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, dan obyek hukum dengan mensinkronkan dengan peraturan perundangan yang ada, membandingkan hukum dan memeliti juga sejarah filosofi dari hukum tersebut.[1]
Jenis data pada penelitian ini adalah Data Sekunder karena data diperoleh dari penelusuran kepustakaan atau dokumentasi dan juga peraturan perundangan, bukan langsung dari masyarakat (responden) seperti melalui wawancara.[2] Namun, berdasarkan pada teori Manheim, data pada penelitian ini termasuk kedalam jenis Second Level Data karena data berasal dari pengamatan terhadap peraturan perundangan yang berlaku secara nasional dan tertulis.[3]
Bahan Hukum Primer adalah peraturan perundang-undangan, yang pada penelitian ini berupa Undang-Undang.[4] Sedangkan, Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan yang memberi penjelasan daripada Bahan Hukum Primer yaitu buku, artikel, jurnal, makalah, laporan penelitian, dsb yang pada penelitian ini berupa buku-buku pada tinjauan pustaka.[5] Sedangkan, Bahan Hukum Teriser yaitu yang isinya memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap Bahan Hukum Primer ataupun Sekunder seperti ensiklopedia, kamus, dsb yang pada penelitian berupa kamus dan juga buku-buku pada tinjauan pustaka.[6] Bahan Hukum Primer adalah peraturan perundang-undangan, yang pada penelitian ini berupa Undang-Undang.[7] Sedangkan, Bahan Hukum Sekunder yaitu bahan-bahan yang memberi penjelasan daripada Bahan Hukum Primer yaitu buku, artikel, jurnal, makalah, laporan penelitian, dsb yang pada penelitian ini berupa buku-buku pada tinjauan pustaka.[8] Sedangkan, Bahan Hukum Teriser yaitu yang isinya memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap Bahan Hukum Primer ataupun Sekunder seperti ensiklopedia, kamus, dsb yang pada penelitian berupa kamus dan juga buku-buku pada tinjauan pustaka.[9]
Metode Analisis Data dilakukan secara Kualitatif karena hal yang utama dalam penelitian bukan berupa data angka, melainkan pada normatif yuridis. Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Studi Dokumen dengan menggunakan peraturan perundangan dan juga buku-buku pada tinjauan pustaka. Bentuk Hasil Penelitian akan berupa Laporan Penelitian yang berbentuk Makalah yang didalamnya bersifat Deskripsi, berbentuk Diagnostik, bertujuan untuk mennyelesaikan masalah, yang diterapkan secara murni, dari sudut ilmu Mono Disipliner.




















BAB II
TEORI DAN DASAR HUKUM

  1. Teori

Ada empat butir pengakuan masyarakat internasional atas hak-hak yang dimiliki oleh anak, yakni:[10]
1.      Hak terhadap kelangsungan hidup (survival rights);
2.      Hak terhadap perlindungan (protection rights);
3.      Hak untuk tumbuh-kembang (development rights);
4.      Hak untuk berpartisipasi (participation rights).

Lalu ada juga empat prinsip dasar pada konvensi hak anak, yaitu:
1.      Non-diskriminasi;
2.      Kepentingan yang terbaik untuk anak;
3.      Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
4.      Penghargaan terhadap pendapat anak.

Beberapa jenjang pendidikan yang ada di berbagai sekolah di Indonesia yaitu:[11]
    1. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) - Usia: 0 - 6 tahun
Pendidikan Anak Usia Dini atau PAUD adalah jenjang pendidikan paling awal. Jenjang pendidikan ini memang tidak wajib diikuti seorang anak, mengingat orang-tua juga memiliki kemampuan penuh untuk melakukannya. Pada jenjang ini, anak akan dibina agar siap memasuki pendidikan umum. Karena itu, pada jenjang ini lebih ditekankan untuk merangsang pikiran anak dan perkembangan jasmani seorang anak.
·         Contoh: Kelompok bermain (play group) dan Taman Kanak-kanak (TK)
    1. Pendidikan Dasar - Usia: mulai usia 7 tahun
Pendidikan dasar adalah pendidikan yang wajib diikuti seorang anak selama dua belas tahun. Pendidikan ini merupakan awal dari pendidikan seorang anak karena melatih seorang anak untuk membaca dengan baik, mengasah kemampuan berhitung serta berpikir. Pendidikan dasar mempersiapkan seorang anak untuk memasuki jenjang pendidikan menengah. Pendidikan dasar umumnya dibagi menjadi 2 tahap, yaitu 6 tahun pertama di kelas 1 sampai 6. Kemudian dilanjutkan tahap berikutnya pada kelas 7 sampai 9 selama 3 tahun.
·         Contoh pendidikan dasar tahap pertama : Sekolah Dasar (SD), Madrasah Ibtidaiyah (MI)
·         Contoh pendidikan dasar tahap kedua : Sekolah Menengah Pertama (SMP), Madrasah Tsanawiyah (MT)
    1. Pendidikan Menengah
Pendidikan menengah merupakan lanjutan pendidikan dasar. Pendidikan menengah diselenggarakan selama 3 tahun. Beberapa jenis pendidikan menengah juga telah mempersiapkan seseorang memiliki keterampilan tertentu untuk dipersiapkan langsung ke lapangan kerja.
·         Contoh: Sekolah Menengah Atas (SMA), Madrasah Aliyah (MA)
·         Contoh sekolah kejuruan: Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), Madrasah Aliyah Kejuruan
    1. Pendidikan Tinggi
Pendidikan tinggi merupakan lanjutan dari pendidikan menengah. Pendidikan tinggi diselenggarakan bukan lagi di sekolah melainkan di perguruan tinggi.
·         Contoh: Akademi, Politeknik, Sekolah Tinggi, Institut, Universitas

  1. Dasar Hukum

Adapun dasar hukum yang berkaitan dengan pendidikan anak adalah sebagai berikut;
·         Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) pasal 28C, pasal 28E, pasal 31, dan pasal 34.
·         Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas)
·         Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
·         Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak


BAB III
ISI

Saat ini, pendidikan di sekolah telah dapat dinikmati oleh berbagai kalangan dan golongan. Berbagai sekolah didirikan untuk menjadi tempat atau sarana pendidikan bagi anak. Berbagai kurikulum juga dikembangkan untuk sekolah agar dapat membantu anak memiliki cara belajar yang baik dan bermutu. Bagi sebagian besar masyarakat, mereka bisa mendapatkan pendidikan umum di sekolah dengan mudah. Namun, ada sebagian masyarkaat kita yang juga belum bisa mendapatkan pendidikan dengan baik dan mudah. Masalah pendidikan anak tidak semata-mata bisa dipandang dari segi yuridis saja. Perlu juga pendekatan yang lebih luas yaitu dari segi ekonomi, sosial, dan budaya.[12]
Pada peraturan perundang-undangan di Indonesia, pendidikan belum menjadi prioritas bersama. Pendidikan pada peraturan perundang-undangan, terdapat pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) pasal 28C, pasal 28E, pasal 31, dan pasal 34. Lalu, ada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, maupun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. Dari seluruh peraturan perundangan diatas, pendidikan dijelaskan merupakan hak dari setiap Warga Negara Indonesia; termasuk anak terlantar, anak jalanan, anak kurang mampu, dsb. Namun, pada kenyataannya, kelompok tersebut belum mendapat akses pendidikan yang merata dan adil. Alasannya karena keterbatasan biaya dari pemerintah.
Jelas ini bertentangan dengan apa yang telah di amanahkan UUD 1945 mengenai hak setiap rakyat dalam mendapatkan pendidikan. Ditambah lagi, pendidikan sudah menjadi komodifikasi yang berorientasi keuntungan materi. Dampak dari komodifikasi pendidikan ini adalah semakin menjamurnya anak-anak putus sekolah, bahkan anak-anak yang tidak bisa sekolah karena terbentur masalah biaya.
Padahal kita ketahui, Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa. Amanah konstitusi itu juga menyatakan setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasar, yakni mendapatkan pendidikan dan manfaat dari ilmu pengetahuan, teknologi, seni, dan budaya, untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Namun nyatanya dalam kehidupan sehari-hari masalah pendidikan tetap menyisakan isu pelik. Angka anak putus sekolah masih tinggi dan menjadi momok menakutkan yang membayang-bayangi dunia pendidikan nasional. Di sinilah fungsi pemerintah sebagai pelaksana konstitusi dipertanyakan kinerjanya. Idealnya fungsi pemerintah sebagai pengayom masyarakat yang mampu memberikan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Padahal jika kita merujuk pendapatnya Plato, idealnya suatu negara adalah yang dapat memberikan keadilan bagi rakyatnya, termasuk pendidikan. Namun apa daya, tembok-tembok akses dunia pendidikan semakin tinggi. Dengan kata lain, hubungan masalah sosial dalam kasus ini disebabkan karena ketidakberfungsian lembaga pemerintah sebagai pelaksana konstitusi yang telah di amanahkan kepada lembaga pemerintah ini.
Berdasarkan konvensi hak anak, terdapat empat prinsip dasar hak anak yaitu:
1.      Non-diskriminasi;
2.      Kepentingan yang terbaik untuk anak;
3.      Hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan;
4.      Penghargaan terhadap pendapat anak.

Untuk memenuhi amanah dari konstitusi, pemerintah menyelenggarakan program Wajib Belajar. Dahulu program ini hanya sampai Sekolah Menengah Pertama (SMP) atau Wajib Belajar 9 Tahun. Namun, pada perkembangannya program ini telah berkembang menjadi Wajib Belajar 12 Tahun. Program ini belum akan diterapkan secara nasional karena beban anggaran pendidikan yang belum cukup. Pemerintah memilih untuk lebih bekonsentrasi meningkatkan kualitas pendidikan dasar dan menengah.[13] Lalu, bagaimana dengan nasib anak yang ingin melanjutkan pendidikan ke jenjang pendidikan Perguruan Tinggi? Belum ada kepastian hukum mengenai hal ini. Wajib Belajar 12 Tahun saja belum diterapkan secara nasional, apalagi ke Perguruan Tinggi. Pasca pembatalan Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan cukup memberikan angin segar untuk dunia pendidikan Indonesia. Pasalnya, pembatalan tersebut menjadi secercah harapan bagi masyarakat untuk dapat mengakses pendidikan dengan biaya yang terjangkau.
Sebenarnya, anggaran pendidikan sudah secara khusus tercantum pada Undang-Undang Dasar 1945 sebesar 20% (dua puluh persen) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Namun, wacana penganggaran ini harus bahwa hal itu bukanlah masalah substansial jika dibandingkan dengan kerja-kerja konkret memantapkan basis pembangunan nasional secara menyeluruh di bidang pendidikan.[14]


BAB IV
KASUS

Pada kasus, Muhamad Muar (19) merupakan siswa miskin yang bersekolah di Yayasan Bina Insan Mandiri Kota Depok. Ia terancam dicoret dari daftar mahasiswa yang lolos Ujian Masuk Bersama (UMB) di Universitas Negeri Jakarta (UNJ). Biaya untuk setiap calon mahasiswa baru adalah tujuh juta rupiah, uang yang sebenarnya cukup murah untuk sebuah pendidikan di Perguruan Tinggi di Jakarta. Namun, tidak untuk Muar. Ia tidak punya cukup uang untuk membayar uang masuk tersebut.
Sungguh sangat ironis karena setelah program Wajib Belajar dua belas tahun yang biayanya dijamin oleh pemerintah alias gratis, lalu tidak ada jaminan lagi kepada seorang anak atau seorang warga negara untuk melanjutkan pendidikan. Seolah-olah mereka dipaksa untuk bekerja, padahal lapangan pekerjaan tidak banyak, dan dengan bekal pendidikan yang hanya sampai Sekolah Menengah Umum (SMU) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) sulit sekali bagi Muar dan kawan-kawannya yang senasib untuk memperoleh bantuan pinjaman modal dari bank maupun lembaga lainnya. Harapan terakhir adalah beasiswa, namun nampaknya akan sulit bagi seorang mantan penjual kantong plastik yang lulus dari sekolah Yayasan Bina Insan Mandiri dengan predikat prestasi ’hanya’ memuaskan untuk mendapat beasiswa dari sebuah Yayasan maupun Lembaga pendidikan lainnya. Hanya tinggal menunggu belas kasihan atau keajaiban.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 34 sebagai dasar hukum bagi program Wajib Belajar dua belas tahun, tidak mengatur mekanisme penyelenggaraan pendidikan gratis setelah dua belas tahun atau setelah Sekolah Menengah Umum (SMU) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), walaupun pada pasal 31 UUD NRI 1945 dikatakan bahwa ”Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan” dan pada pasal 34 UUD NRI 1945 dikatakan juga bahwa ”Fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara”.
Berkaitan dengan kasus, pemerintah sebagai pelaksana konstitusi dan peraturan perundang-undangan perlu bekerja keras dan berusaha untuk menjamin masa depan pendidikan anak di Indonesia ini.

BAB V
PENUTUP

  1. Kesimpulan

Masalah pendidikan anak tidak semata-mata bisa dipandang dari segi yuridis saja. Perlu juga pendekatan yang lebih luas yaitu dari segi ekonomi, sosial, dan budaya. Seharusnya pendidikan adalah hak setiap rakyat Indonesia. Berdasarkan berbagai peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, termasuk konstitusi, pendidikan dijelaskan merupakan hak dari setiap Warga Negara Indonesia; termasuk anak terlantar, anak jalanan, anak kurang mampu, dsb. Namun, pada kenyataannya, kelompok tersebut belum mendapat akses pendidikan yang merata dan adil. Justru kenyataannya tidak semua dari mereka dapat mengakses hak mereka. Alasannya karena keterbatasan biaya dari pemerintah. Hal ini tentu kontradiktif dengan amanah yang tercantum dalam UUD 1945 mengenai hak setiap rakyat dalam mendapatkan pendidikan. Kasus putus sekolah memang menjadi masalah yang serius, padahal kita ketahui pendidikan sebagaimana Herbison dan Myers ungkapkan, jika suatu negara tidak dapat mengembangkan sumber daya manusianya melalui pendidikan, maka negara tersebut tidak dapat mengembangkan apa pun, baik sistem politik serta kesatuan bangsa dan kemakmuran rakyatnya. Artinya, kegagalan suatu bangsa dan hancurnya peradaban adalah kegagalan dunia pendidikannya. Nasib bangsa kita di masa depan, akan terlihat dari bagaimana mengembangkan pendidikan bagi generasi dan anak-anak bangsa itu sendiri.
Program Wajib Belajar 12 Tahun belum akan diterapkan secara nasional karena beban anggaran pendidikan yang belum cukup. Pemerintah memilih untuk lebih bekonsentrasi meningkatkan kualitas pendidikan dasar dan menengah. setelah program Wajib Belajar dua belas tahun yang biayanya dijamin oleh pemerintah alias gratis, lalu tidak ada jaminan lagi kepada seorang anak atau seorang warga negara untuk melanjutkan pendidikan. Seolah-olah mereka dipaksa untuk bekerja, padahal lapangan pekerjaan tidak banyak. Belum ada kepastian hukum mengenai hal ini. Wajib Belajar 12 Tahun saja belum diterapkan secara nasional, apalagi ke Perguruan Tinggi.

  1. Saran

Adapun saran yang diajukan adalah sebagai berikut:
·         Mewajibkan kepada Perguruan Tinggi Negeri untuk meringankan biaya bahkan membebaskan biaya kepada calon mahasiswa dari kalangan tidak mampu.
·         Memberikan sanksi tegas kepada Perguruan Tinggi yang tidak memberikan akses kepada para calon mahasiswanya yang tidak mampu.


























DAFTAR PUSTAKA


BUKU

Mamudji, Sri, et. al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit Hakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Muhtaj, Majda El. Dimensi-Dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonmi, Sosial dan Budaya. Ed. 1. Jakarta: Rajawali Pers. 2008.
Nusantara, Abdul Hakim. “Prospek Perlindungan Anak”, dalam Mulyana W. Kusumah (Peny.), Hukum dan Hak-hak Anak. Jakarta: YLBHI bekerja sama dengan CV Rajawali, 1986.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum. Cet. 3. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1986.
________________ dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif: Suatu tinjauan Singkat. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001.

PERUNDANG-UNDANGAN

Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945.
________, Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional,  UU No. 20 Tahun 2003
________, Undang-Undang Perlindungan Anak, UU No. 23 Tahun 2002,
________, Undang-Undang Kesejahteraan Anak, UU No. 4 Tahun 1979,

INTERNET



















LAMPIRAN



                [1] Sri Mamudji, et. al., Metode Penelitian dan Penulisan Hukum, (Jakarta: Badan Penerbit Hakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005), hal. 9-11.

                [2] Sri Mamudji, loc. cit., hal. 29.

                [3] Ibid.

                [4] Ibid., hal. 52.

                [5] Ibid.

                [6] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 33.

                [7] Ibid., hal. 52.

                [8] Ibid.

                [9] Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu tinjauan Singkat, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hal. 33.

[10] Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM: Mengurai Hak Ekonmi, Sosial dan Budaya, Ed. 1, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), hal. 226.

[12] Abdul Hakim Nusantara, “Prospek Perlindungan Anak”, dalam Mulyana W. Kusumah (Peny.), Hukum dan Hak-hak Anak, (Jakarta: YLBHI bekerja sama dengan CV Rajawali, 1986), hal. 22.

[14] Majda El Muhtaj, loc. cit.

21 Mei, 2012

Subsidi yang Dilarang dan Diperbolehkan sebuah Negara sesuai ketentuan WTO

Pasal 1 ayat 1 Agreements on Subsidies and Countervailing Measure memberikan definisi subsidi sebagai berikut

subsidi adalah kontribusi finansial yang diberikan oleh pemerintah atau badan pemerintah atau badan swasta yang ditunjuk oleh pemerintah yang melibatkan penyerahan dana secara langsung (misalnya hibah, pinjaman, dan penyertaan) kemungkinan pemindahan dan atau kewajiban secara langsung (misalkan jaminan utang) atau pendapatan pemerintah yang seharusnya sudah dibayarkan menjadi hapus atau tidak ditagih (misalkan insentif fiskal seperti keringanan pajak) atau penyediaan barang oleh pemerintah selain infrastruktur umum atau pembelian barang atau pembayaran oleh pemerintah pada mekanisme pendanaan, di samping semua bentuk income dan free support juga merupakan subsidi nila tindakan itu menguntungkan.

Subsidi yang diperbolehkan (Non Actionable Subsidies)
Subsidi yang termasuk di sini adalah subsidi non spesifik, subsidi yang khusus diberikan untuk riset dan kegiatan pengembangan, subsidi untuk daerah miskin yang terbelakang dan bantuan yang ditujukan untuk proses adaptasi terhadap peraturan mengenai lingkungan atau hukum baru. Subsidi jenis ini tidak dapat diajukan ke DSB WTO dan tidak dapat dikenakan imbalan.

Subsidi yang dilarang ( Prohibited Subsidies)
Yaitu subsidi-subsidi baik dalam peraturan perundang-undangan atau dalam kenyataan yang dikaitkan dengan kinerja ekspor, atau subsidi yang dikaitkan sebagai persyaratan tunggal atau sebab beberapa persyaratan lain, dengan maksud mendahulukan barang-barang dalam negeri di atas barang-barang impor. Singkatnya, anggota-anggota WTO dilarang untuk memberikan subsidi ataupun memberlakukan subsidi ekspor maupun subsidi impor terhadap barang subtitusi. Hal ini dilarang karena akan mengakibatkan distorsi perdangangan internasional dan mengganggu perdangan lain. Tindakan pemberian subsidi ini dapat dibawa ke Dispute Settlement Body WTO.