Inilah permasalahannya, biasanya klien yang terkena tuntutan pidana akan kalang kabut jikalau pasal-pasal yang menimpanya diberlakukan dan nantinya masuk dalam pertimbangan hakim. Sehingga pengacara klien diberi instruksi untuk mendaftarkan pasal yang menimpa kliennya di Mahkamah Konstitusi. Hal ini menurut saya logis, ketika konsentrasi pengacara anda akan tepecah antara mengurus persona standi di MK yang berbelit-belit, dan juga mengantisipasi upaya hukum berikutnya (banding/ kasasi). Lalu apa ujungnya, tentu saja penolakan secara tegas oleh Mahkamah Konstitusi.
Menurut saya berita dapat dijadikan suatu pelajaran. Saya sangat mendukung ide dari kawan-kawan ini yang terlihat sangat masuk akal apalagi di bidang kesertaraan gendernya yang seharusnya bisa menang di MK nanti. Selanjutnya putusan Mahkamah Konstitusi mengenai sidang pengujian Pasal 356 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap UUD 1945. Perkara yang diregistrasi pada 17 November 2008 dengan nomor perkara 42/PUU-VI/2008 ini dimohonkan oleh Bambang Sugeng Irianto, 46 tahun. Pemohon yang tinggal di Kota Kediri, Jawa Timur ini, merupakan tersangka yang didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum berdasarkan ketentuan Pasal 352 dan Pasal 356 ayat (1) KUHP sebagai dakwaan alternatif atas perbuatannya melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pasal 356 Ayat (1) KUHP berbunyi sebagai berikut.
Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga:
1. bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istrinya atau anaknya;
Pemohon menyampaikan bahwa pemberlakuan pasal a quo telah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Akibat pemberlakuan pasal a quo, Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya, yakni hak atas persamaan dan kewajiban bersama menjunjung hukum, hak atas jaminan kepastian hukum yang adil, dan hak untuk bebas dari siksa atas dasar hukum yang berlaku surut, telah dilanggar oleh penyidik dan jaksa.
Padahal menurut Pemohon, tindakan yang dilakukannya telah diatur dalam peraturan yang lebih khusus, yakni UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT). Oleh karenanya, berdasarkan Pasal 63 Ayat (2) KUHP), Pemohon beranggapan apabila ada ketentuan pidana khusus maka ketentuan pidana khusus itu sajalah yang digunakan. Dalam hal ini, Pemohon menilai UU KDRT merupakan lex specialis dari KUHP.
Selain itu menurut Pemohon, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 telah menjamin kesamaan hak warga negara di dalam hukum. Sedangkan menurut penilaian Pemohon, Pasal 356 ayat (1) telah membedakan hukuman bagi tindak penganiayan terhadap orang lain dengan penganiayaan terhadap keluarga sendiri yang hukumannya ditambah sepertiga.
Pemohon juga menganggap Pasal 356 ayat (1) telah mendiskriminasi dirinya sebagai suami. Menurut Pemohon, ketentuan tersebut tidak memasukkan perbuatan penganiayaan istri terhadap suami sebagai tindak pidana yang hukumannya ditambah sepertiga. “Jadi berat sebelah,” ujar Bambang.
Menanggapi permohonan tersebut, anggota majelis panel Hakim Konstitusi, M. Arsyad Sanusi meminta Pemohon mempertimbangkan kembali permohonannya. Menurut Arsyad, Pasal 356 ayat (1) yang dimohonkan Pemohon untuk diuji merupakan ketentuan yang ditujukan untuk mewujudkan ketentraman dan kerukunan dalam rumah tangga. Harapannya, dengan hukuman pidana yang diperberat, tindak kekerasan dan pertentangan dalam rumah tangga dapat dicegah. “Apakah Saudara minta pidana khusus (bagi pelaku KDRT) dihapuskan?”tanyanya kepada Pemohon.
Arsyad juga menilai Pasal 356 ayat (1) KUHP tidak hanya mengikat suami. Menurutnya, pasal tersebut juga berlaku bagi istri yang melakukan penganiayaan terhadap suami.
Bambang Sugeng Irianto mengajukan pengujian Pasal 356 ayat (1) KUHP karena merasa diperlakukan tidak adil oleh hakim Pengadilan Negeri Kediri yang memvonisnya satu bulan luar tahanan. Bambang divonis akibat a melakukan pemukulan terhadap istrinya karena tidak terima sang istri memasukkan pria yang dianggap bukan muhrim ke salon kecantikan yang dikelolanya.
Vonis hakim dengan menggunakan Pasal 356 ayat (1) KUHP itulah yang dianggapnya menyalahi aturan. Menurut dia, ada aturan lain yang lebih khusus bagi perbuatan yang dilakukannya, yakni UU KDRT. Sebenarnya, kata Bambang, jaksa telah mendakwanya juga dengan dakwaan primer menggunakan Pasal 44 UU KDRT. Akan tetapi hakim memvonisnya dengan KUHP. Dalil inilah yang digunakan Bambang untuk mengajukan uji materiil ke MK.
Dalil tersebut menurut Hakim Konstitusi M. Arsyad Sanusi tidak tepat diajukan ke MK. Menurut Arsyad, hal tersebut lebih merupakan penerapan hukum, bukan pengujian norma hukum. Penerapan hukum yang keliru, menurut Arsyad, merupakan bentuk dari constitutional complain atau pengaduan konstitusional. “MK tidak memiliki kewenangan untuk itu,” jelas Arsyad pada sidang sebelumnya (3/12).
Ketua Majelis Panel, Hakim Konstitusi Muhammad Alim, juga menilai apa yang dialami Pemohon dalam proses persidangan di peradilan umum merupakan wilayah hukum Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya. “MK tidak bisa mencampuri proses peradilan di MA,” kata Alim.
Sumber : http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=2057
0 komentar:
Posting Komentar