Acara yang dimulai dengan makan siang yang mengenyangkan ini lagi-lagi mengangkat masalah data-data hasil rekaman selama 2008, laporan ini dibahas dengan sistematis. Namun tetap saja, bang ucok sebagai salah satui pembicara representasi dari Setara Institut mengungkapkan bahwa data-data ini tidak bias mewakili data yang sebenarnya dan ada kemungkinan diatas dari angka-angka yang disodorkan.
Berbagai Instrumen hukum yang sangat jelas menjamin kebebasan beragama/berkeyakinan sebagaimana diatur dalam UUD 1945, Kovenan Internasional tentang hak Sipil dan Politik (ICCPR, 1966), dan telah diratifikasi dalam UU 12/2005. Dengan dasar tersebut, hak asasi yang bersifat negatif ini haruslah melindungi warga negaranya dari segala tindakan intoleransi. Tetapi disisi lain, berbagai produk hukum tersebut (das solen) sangat berbeda dengan kenyataan (das sein), berbagai penyimpangan terjadi dengan ditemukannya berbagai pelanggaran beragama/ berkeyakinan. Sedangkan definisi Agama dalam perspektif hak asasi manusia tidak dapat diartikan sempit dan tertutup, namun harus dipahami secara luas. Hal ini juga ditegaskan, karena baik penganut theistik (Islam, Kristen), poly-theistik (Hindu), non-theistik (Budha), bahkan atheis sekalipun, sama-sama memiliki hak asasi beragama dan berkeyakinan dan pantas mendapatkan perlindungan Kebebasan beragama./berkeyakinan.
Laporan publikasi yang dilakukan oleh Setara Institute, terhadap seberapa besar kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia pada Tahun 2008 yang diadakan Hotel Atlet memperlihatkan beberapa fakta baru mengenai kebebasan beragama. Setara Institute dalam visinya untuk mewujudkan perlakuan yang setara, plural, dan bermatabat, menjunjung nilai-nilai organisasinya seperti kesetaraan, kemanusian, plural, serta demokrasi dalam membuat laporan. Selama tahun 2008 misalnya berdasarkan peristiwa yang terjadi dan dip[antau oleh 10 tim pemantau yang disebar diberbagai daerah, maka bulan Juni merupakan bulan dengan temuan pelanggaran yang terbanyak. Hal ini berbarengan dengan adanya Surat Keputusan Bersama Tiga Mentri Nomor Kep-033/A/JA/6/2008 tentang peringatan kepada Jamaah Ahmadiah.
Kemudian dari laporan tersebut juga mengungkapkan dari 188 tindakan pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan, maka institusi kepolisian RI menempati ranking pertama (121) dan jauh dibelakang kepolisian seperti Bupati/walikota (28), Pengadilan (28), serta DPRD (16). Penyegelan serta pengerusakan tempat ibadah dan pusat keagamaan merupakan temuan terbanyak dari pelanggaran yang dilakukan oleh Masyarakat. Dari sisi korban yang menjadi korban tindakan pelanggaran paling banyak dialami oleh Ahmadiah, individu, serta aliran Keagamaan. Setara Institut dalam laporannya juga menyertakan beberapa daftar peraturan perundang-undangan yang yang restriktif terhadap kebebasan beragama, mulai dari UU 5/1959 tentang Pencegahan dan/atau Penodaan Agama hingga SK Jaksa Agung No. Kep-108/JA/1984.
Terobosan yang terjadi pada tahun 2008 dinilai tidak signifikan untuk memberikan suatu jaminan kebebasan beragama/berkeyakinan, karena jika dibandingkan dengan tahun 2007 terjadi kecenderungan yang semakin memburuk. Pernyataan SBY sebelum tragedi monas tidak selaras dengan SKB pemberantasan Ahmadiah, merupakan salah satu parameter tidak adanya perbaikan kebebasan yang bisa dikatakan sebagai terobosan. Setara Institut dalam laporannya tidak lupa memberikan rekomendasi kepada pemerintah yakni dengan: mempertimbangkan perlunya amandemen konstitusi, mencabut SKB Pemberantasan Ahmadiah, perubahan berbagai peraturan perundang-undangan, adanya UU Anti Intoleransi Agama, Kepolisian yang memberikan perlindungan, dan lain sebagainya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar