Sebuah pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia rupanya telah membawa rasa penasaran dari berbagai organisasi yang salah satunya adalah IMPARSIAL untuk membuat suatu laporan. Laporan setebal 2 halaman yang berisi banyak grafik-grafik tersebut, menunjukan tingginya tingkat pelanggaran HAM di Indonesia. Kemudian Fernandes Raja Saor dan Riki Susanto berusaha memahami kerangka berfikir Imparsial dalam membuat sebuah laporan yang dikumandangkan pada
Senin, 12 Januari 2008 langsung di markas Imparsial Jalan Diponegoro No.8 Menteng Jakarta Pusat.
Adanya serangkaian serangan kekerasan yang dilakukan di beberapa daerah membuat LSM yang bergerak dalam bidang HAM yaitu Imparsial bersama Institut Titian Perdamaian dan Fasilitator Perdamaian 9 Propinsi mengawali langkah di tahun 2009 ini dengan mencegah insiden di beberapa kota seperti Propinsi Sulawesi Tengah, DKI Jakarta, Jawa Barat, Lampung, Sumatera Utara, dan NAD, karena dinilai memiliki resiko kekerasan dengan intensitas yang tinggi. Setidaknya ada 3 (tiga) agenda besar yang diperjuangkan Imparsial di tahun 2009 ini yaitu perdamaian dan Hak Asasi Manusia, momentum demokrasi terkait dengan pemilu 2009, dan lemahnya penegakan hukum di Indonesia.
Walaupun demikian, Imparsial mencatat bahwa selama tahun 2008 terjadi 1.136 insiden kekerasan di Indonesia, dengan rata-rata 3 insiden per hari. Kekerasan tersebut adalah Penghakiman Massa 338 insiden (30%), diikuti Tawuran 240 insiden (21%), Konflik Politik 180 insiden (16%), Konflik Sumber Daya Ekonomi 123 insiden (11%), Konflik Sumber Daya Alam 109 insiden (10%), Pengeroyokan 47 insiden (4%), Konflik Agama/Etnis 28 insiden (2%), lain-lain 56 insiden (5%). Dari hasil tersebut mengakibatkan 112 orang meninggal dunia dan 1.736 orang luka-luka. Tingginya angka kekerasan tersebut tidak seimbang dengan upaya penegakan hukum, “Ini masalah keadilan”, ujar Rusdi Marpaung Direktur Imparsial.
Insiden yang dilakukan bermula dari motif yang bermacam-macam, mulai dari adanya momen-momen penting yang menyangkut masalah masyarakat dan kepentingan umum, momen politik juga ikut mewarnai kekerasan di sejumlah daerah, rendahnya tingkat kepercayaan masyarakat akan sistem penegakan hukum di Indonesia, tidak maksimalnya aparatur dalam menjalankan tugasnya, hingga tingginya budaya kekerasan di Indonesia. Dampak dari kekerasan ini terjadi di Sulawesi Selatan seperti tawuran yang mengatasnamakan Universitas 45, “isu gerakan buruh yang memboikot perusahan juga terjadi”, tandas Isdar perwakilan perdamaian dari Sulawesi Selatan. Lain yang terjadi di Nusa Tenggara Timur, kekerasan di alami oleh masyarakat menyangkut tidak adanya kompensasi yang sesuai untuk mengganti tanah-tanah lingkar tambang masyarakat adat,”adanya konflik pemerintah dengan masyarakat tentang sumber daya alam”, Esti perwakilan perdamaian dari NTT. Berberda dengan yang dialami oleh sejumlah masyarakat di Maluku Utara, “kekerasan bernuansa SARA”, ucap Isran perwakilan perdamaian dari Maluku. Isran juga menambahkan agar pemerintah Indonesia lebih serius untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Dari konflik-konflik yang mengarahkan disintegrasi rakyat, terdapat lobi-lobi yang disambut baik oleh NGO (Non Government Organization) dalam perdamaian melalui MoU di Helsinki silam, oleh karena itu Imparsial melakukan langkah-langkah strategis, diantaranya kerja sama dengan elemen polisi, KPU. “Membuat protap dan operasi khusus sudah teruji efektivitasnya”, ujar Mohamad Miqdad Fasilitator Perdamaian. Menghindari pergesekan yang terjadi menjadi pilihan yang tepat untuk mencegah konflik yang terjadi selama tahun 2009 ini. Miqdad menambahkan perlu ketegasan dalam memangkas praktek diskriminasi. Langkah strategis juga dilakukan untuk mencegah para elit politik untuk memanfaatkan momen politik untuk saling menjatuhkan lawan-lawan politik, dan akan melakukan konsolidasi terhadap visi kepada para calon presiden mendatang.
Oleh Riki Susanto dan Fernandes Raja Saor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar