30 Desember, 2008

Surat Keputusan Pembiayaan Finansial Mahkamah Agung


Bagaimana proses pembiayaan Lingkungan Peradilan di Tanah Air?

Bagaimana cara mendapatkan anggaran APBN ke MA?

Bagaimana penyaluran biaya tersebut ke PN PN di daerahmu?

Bagaimana transparansi Keuangan APBN tersebut dipertanggung jawabkan?
---------------------------------------------------
Berikut adalah Surat Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung dalam Membiayai seluruh Lingkungan Peradilan dibahaw Mahkamah Agung

MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN SEKRETARIS MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR : 002/Sek/SK/I/2009
TENTANG
PETUNJUK PELAKSANAAN PEMBAYARAN
ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA
DI LINGKUNGAN MAHKAMAH AGUNG – RI
DAN SEMUA LINGKUNGAN PERADILAN DI SELURUH INDONESIA
TAHUN ANGGARAN 2009


SEKRETARIS MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa dalam rangka melaksanakan Anggaran Berbasis Kinerja, dimana dari penyusunan, pelaksanaan dan pertanggung jawaban anggaran Mahkamah Agung adalah merupakan satu kesatuan anggaran (Unified Budgetting), Sekretaris Mahkamah Agung perlu menetapkan aturan dalam Pelaksanaan Anggaran di lingkungan Mahkamah Agung Republik Indonesia;
b.bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas dan untuk pengawasan preventif dan represif perlu menetapkan Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembayaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara di lingkungan Mahkamah Agung – RI dan Semua Lingkungan Peradilan di Seluruh Indonesia Tahun Anggaran 2009;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang Penerimaaan Negara bukan Pajak (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 43, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3687)
2.Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4286);
3.Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4355);
4.Undang – Undang Nomor : 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor : 4358);
5.Undang – Undang Nomor : 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung RI ( Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor : 9, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor : 4359 ) sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor : 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang – undang Nomor : 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
6.Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4400);
7.Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2004 tentang Penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 75, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4406);
8.Keputusan Presiden Nomor 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 73 Tahun 2002, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4214), sebagaimana telah diubah terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 72 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 92 Tahun 2004. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4418);
9.Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2005, Tentang Sekretariat Mahkamah Agung – RI;
10.Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2005, Tentang Kepaniteraan Mahkamah Agung – RI;
11.Peraturan Presiden Nomor : 95 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketujuh Atas Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah ( Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003 Nomor 120, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4330 );
12.Keputusan Ketua Mahkamah Agung – RI Nomor : 001/KMA/SK/I/ 2009, Tentang Penunjukan Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang di Lingkungan Mahkamah Agung – RI;
13.Keputusan Menteri Keuangan Nomor 134/KMK.06/2005 Tanggal 27 Desember 2005 tentang Pedoman Pembayaran Dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Dan Belanja Negara;
14.Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 105/PMK.02/2008 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Pelaksanaan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran Tahun Anggaran 2009;
15.Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung – RI Nomor : 002/Sek/SK/I/2008 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembayaran Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2008 di Lingkungan Mahkamah Agung;
16.Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung – RI Nomor : 001/Sek/SK/I/2009 Tentang Penunjukan Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran di lingkungan Mahkamah Agung RI dan semua lingkungan Peradilan di seluruh Indonesia;
17.Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Nomor Per-66/PB/2005 Tanggal 28 Desember 2005 tentang Mekanisme Pelaksanaan Pembayaran Atas Beban Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : KEPUTUSAN SEKRETARIS MAHKAMAH AGUNG TENTANG PETUNJUK PELAKSANAAN PEMBAYARAN ANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA DI LINGKUNGAN MAHKAMAH AGUNG – RI DAN SEMUA LINGKUNGAN PERADILAN DI SELURUH INDONESIA TAHUN 2009.

Bagian Pertama
PENGERTIAN UMUM
Pasal 1

Dalam Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung, yang dimaksud dengan:
(1).Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) adalah suatu dokumen pelaksanaan anggaran yang dibuat oleh Sekretaris Mahkamah Agung atas nama Ketua Mahkamah Agung dan disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan dan berfungsi sebagai dokumen pelaksanaan pembiayaan kegiatan serta dokumen pendukung kegiatan akuntansi pemerintah.
(2).Pengguna Anggaran / Pengguna Barang adalah Ketua Mahkamah Agung dan atau Pejabat yang ditunjuk untuk bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran di lingkungan Mahkamah Agung.
(3).Kuasa Pengguna Anggaran / Pengguna Barang adalah Pejabat yang ditunjuk oleh Ketua Mahkamah Agung selaku Pengguna Anggaran untuk bertanggung jawab atas pengelolaan anggaran di lingkungan Mahkamah Agung.
(4).Penanggung jawab kegiatan / Pejabat Pembuat Komitmen adalah Pejabat yang melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja.
(5).Pejabat Penguji Surat Permintaan Pembayaran dan Penanda Tangan Surat Perintah Membayar adalah Pejabat yang bertugas melakukan Pengujian terhadap Surat Permintaan Pembayaran (SPP) dan menanda tangani Surat Perintah Membayar ( SPM ).
(6).Bendahara Penerimaan adalah setiap orang atau Badan yang melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
(7).Bendahara Pengeluaran (khusus dalam lingkungan Peradilan Militer disebut Juru Bayar) adalah orang atau Badan yang ditunjuk melaksanakan kebendaharaan dalam pelaksanaan anggaran belanja.
(8).Bagian anggaran adalah bentuk pengalokasian anggaran negara yang didasarkan atas unit organisasi atau fungsi tertentu.
(9).Dokumen pelaksanaan anggaran lainnya adalah suatu dokumen pelaksanaan anggaran yang dipersamakan dengan DIPA dan disahkan oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan sebagai Bendahara Umum Negara antara lain Daftar Isian Proyek Pembangunan (DIPP) dan Surat Keputusan Otorisasi (SKO).
(10).Surat Perintah Membayar (SPM) adalah dokumen yang digunakan/diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran untuk mencairkan alokasi dana yang sumber dananya dari DIPA.
(11).Surat Perintah Membayar Langsung (SPM-LS) adalah Surat Perintah Membayar langsung yang dikeluarkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran kepada pihak ketiga (rekanan) atas dasar perjanjian kontrak kerja (Surat Perintah Kerja) atau yang sejenisnya.
(12).Uang persediaan adalah sejumlah uang yang disediakan untuk satuan kerja dalam melaksanakan kegiatan operasional sehari-hari.
(13).Surat Perintah Membayar Uang Persediaan (SPM-UP) adalah Surat Perintah Membayar yang diterbitkan oleh pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran yang dananya dipergunakan sebagai Uang Persediaan untuk membiayai kegiatan operasional kantor sehari-hari.
(14).Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan (SPM-GU) adalah Surat Perintah Membayar yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dengan membebani DIPA yang dananya dipergunakan untuk menggantikan Uang Persediaan yang telah dipakai.
(15).Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan (SPM—TU) adalah Surat Perintah Membayar yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran karena kebutuhan dananya melebihi dari pagu Uang Persediaan yang ditetapkan.

Bagian Kedua
PROSEDUR PENETAPAN PENGELOLA KEUANGAN

Pasal 2

(1)Tahun Anggaran berlaku sebagaimana ditetapkan oleh Undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
(2)Pelaksanaan pengeluaran atas beban APBN oleh Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) dilakukan berdasarkan Surat Perintah Membayar ( SPM ) yang diterbitkan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran.
(3) Pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan penerbitan Surat Perintah Pencairan Dana ( SP2D) oleh KPPN selaku Kuasa Bendahara Umum Negara .




Pasal 3

(1) Pejabat yang ditunjuk menguasai Bagian Anggaran mempunyai kewenangan atas penggunaan anggaran di lingkungan unit organisasinya.
(2) Pejabat yang ditunjuk sebagai :
a. Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang adalah Sekretaris Mahkamah Agung – RI, kemudian Sekretaris Mahkamah Agung – RI menunjuk dan mengangkat : Panitera Mahkamah Agung – RI, Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum, Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama, Direktur Jenderal Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara, Kepala Badan Urusan Administrasi, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan, Kepala Badan Pengawasan, Ketua/Kepala Pengadilan Tingkat Banding, Ketua/Kepala Pengadilan Tingkat Pertama sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang yang kemudian Pejabat dimaksud mendelegasikan kepada pejabat satu tingkat dibawahnya sebagai berikut :
a.1. Sekretaris Mahkamah Agung menunjuk Panitera Mahkamah Agung sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang di lingkungan Kepaniteraan, Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang di lingkungan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum, Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang di lingkungan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Direktur Jenderal Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang di lingkungan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara, Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan, sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang di lingkungan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan, Kepala Badan Pengawasan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang di lingkungan Badan Pengawasan Mahkamah Agung, Kepala Badan Urusan Administrasi sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang di lingkungan Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung.
a.2. Panitera Mahkamah Agung menunjuk Sekretaris Kepaniteraan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang di lingkungan Kepaniteraan.
a.3. Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum menunjuk Sekretaris Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang di lingkungan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum.
a.4. Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama menunjuk Sekretaris Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang di lingkungan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama.
a.5. Direktur Jenderal Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara menunjuk Sekretaris Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang di lingkungan Direkktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara.
a.6. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan, menunjuk Sekretaris Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan, sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang di Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan.
a.7. Kepala Badan Pengawasan menunjuk Sekretaris Badan Pengawasan sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang di lingkungan Badan Pengawasan.
a.8. Kepala Badan Urusan Administrasi menunjuk Kepala Biro Keuangan Mahkamah Agung sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang di lingkungan Badan Urusan Administrasi dan menunjuk Ketua Pengadilan Tingkat Banding sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang di lingkungan Pengadilan Tingkat Banding.
a.9. Ketua Pengadilan Tingkat Banding menunjuk Ketua Pengadilan Tingkat Pertama sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang di lingkungan Pengadilan Tingkat Pertama.
a.10. Ketua Pengadilan Tingkat Banding menunjuk Panitera/ Sekretaris Pengadilan Tingkat Banding sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang di lingkungan Pengadilan Tingkat Banding; khusus Kepala Pengadilan Militer Utama dan Kepala Pengadilan Militer Tinggi menunjuk Kepala Kepaniteraan ( Katera ) sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang.
a.11. Ketua Pengadilan Tingkat Pertama menunjuk Panitera/Sekretaris Pengadilan Tingkat Pertama sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang di lingkungan Pengadilan Tingkat Pertama; khusus Kepala Pengadilan Militer menunjuk Kepala Kepaniteraan ( Katera ) sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang di lingkungan Pengadilan Militer.
b. Pejabat yang melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja atau Penanggungjawab Kegiatan/Pejabat Pembuat Komitmen di lingkungan unit organisasi Mahkamah Agung adalah sebagai berikut :
b.1. Di lingkungan Kepaniteraan, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara, Badan Urusan Administrasi, Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan, Badan Pengawasan adalah adalah Pejabat yang mempunyai Sertifikat Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Apabila pada Satuan Kerja tidak ada yang memiliki Sertifikat Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, maka kegiatan dilaksanakan oleh Kuasa Pengguna Anggaran.
b.2. Di lingkungan Pengadilan Tingkat Banding adalah Pejabat yang mempunyai Sertifikat Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, khusus untuk pengadilan di lingkungan Peradilan Militer adalah pejabat yang mempunyai Sertifikat Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Apabila pada Satuan Kerja tidak ada yang memiliki Sertifikat Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, maka kegiatan dilaksanakan oleh Kuasa Pengguna Anggaran.
b.3. Di lingkungan Pengadilan Tingkat Pertama adalah Pejabat yang mempunyai Sertifikat Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, khusus untuk pengadilan di lingkungan peradilan militer adalah pejabat yang mempunyai Sertifikat Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Apabila pada Satuan Kerja tidak ada yang memiliki Sertifikat Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, maka kegiatan dilaksanakan oleh Kuasa Pengguna Anggaran.
c. Pejabat Penguji Surat Permintaan Pembayaran (SPP) dan Penanda Tangan Surat Perintah Membayar ( SPM ) adalah :
c.1. Di lingkungan Kepaniteraan, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, Direktorat Jenderal Badan Peradilan Militer dan Tata Usaha Negara, Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan, Badan Pengawasan adalah Kepala Bagian Keuangan masing-masing tingkat eselon I dan wajib mengirimkan tembusan SPP dan SPM serta mengirimkan Laporan Realisasi Anggaran baik yang manual maupun dengan Sistem Akuntansi Pemerintah setiap bulan kepada Badan Urusan Administrasi C.q. Biro Keuangan Mahkamah Agung, sedangkan Badan Urusan Administrasi adalah Kepala Bagian Pelaksana Anggaran, Biro Keuangan Mahkamah Agung;
c.2. Di lingkungan Pengadilan Tingkat Banding adalah Kepala Sub Bagian Keuangan atau Pejabat lain yang ditunjuk, khusus untuk pengadilan di lingkungan Peradilan Militer adalah pejabat lain yang ditunjuk.
c.3. Di lingkungan Pengadilan Tingkat Pertama adalah Kepala Sub Bagian/Kepala Urusan Keuangan atau Pejabat lain yang ditunjuk, khusus untuk pengadilan di lingkungan peradilan militer adalah pejabat lain yang ditunjuk.
d. Bendahara penerima melaksanakan tugas perbendaharaan yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan ;
e. Bendahara pengeluaran melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ;
f. Bendahara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e dan f dapat diangkat dari staf unit organisasi yang menangani masalah keuangan.
(3) Pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b tidak boleh merangkap sebagai pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, huruf d dan huruf e ;
(4) Sekretaris Mahkamah Agung menetapkan Keputusan Penunjukan dan Pengangkatan Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang.
(5) Untuk membantu pengelolaan uang persediaan pada kantor/satuan kerja, Kuasa Pengguna Anggaran dapat menetapkan pengangkatan satu orang atau lebih sesuai kebutuhan, pemegang uang persediaan / Bendahara uang muka cabang dan staf pengelola keuangan serta menyampaikan tembusan kepada Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk kantor pusat, sedangkan untuk UPT menyampaikan kepada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan setempat.
(6) Tembusan Surat Keputusan penetapan para pejabat sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib disampaikan kepada Kepala Badan Pengawasan, BPK dan KPPN diwilayah masing-masing.
(7) Ketua Pengadilan Tingkat Banding dan Ketua Pengadilan Tingkat Pertama berkewajiban untuk mengawasi apakah pelaksanaan dan pertanggung jawaban anggaran serta pelaporan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, tanpa mencampuri pelaksanaan pengelolaan anggaran.
Pasal 4

Tugas dan kewajiban sebagaimana tersebut pada pasal 3 ayat (2) huruf a, b, c, d, dan e dalam keputusan ini adalah sebagai berikut :
1.Tugas dan kewajiban Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang adalah menguasai bagian anggaran dan berkewajiban mengetahui semua penerimaan dan pengeluaran yang berkaitan dengan APBN, serta berkewajiban membuat evaluasi dan pelaporan kepada Sekretaris Mahkamah Agung, khusus Pengadilan Tingkat Banding wajib mengadakan evaluasi dan monitoring Pengadilan Tingkat Pertama,Pengadilan Tingkat Pertama wajib melaporkan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding kemudian melaporkan kepada Sekretaris Mahkamah Agung. Sekretaris Mahkamah Agung melaporkan kepada Ketua Mahkamah Agung dan Instansi terkait.


2.Tugas Pejabat Pembuat Komitmen/Penanggung jawab Kegiatan adalah :
a). Membuat Rencana Kerja dan Jadwal Pelaksanaan Kegiatan pada tahun yang bersangkutan/tahun berjalan dengan persetujuan Kuasa Pengguna Anggaran dan Pimpinan Satuan Kerja
b). Membuat dan menanda tangani kontrak/Surat Perintah Kerja ( SPK ), Berita Acara Penelitian Penawaran, Berita Acara Serah Terima dan surat – surat lain yang berhubungan dengan pengadaan barang/jasa;
c). Membuat dan menanda tangani Surat Permintaan Pembayaran ( SPP ) yang dikirimkan kepada Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang, kemudian diteruskan kepada Pejabat Penguji Surat Permintaan Pembayaran ( SPP ) dan Penanda tangan Surat Perintah Membayar ( SPM ).
d). Membuat dan menanda tangani Surat Keputusan yang mengakibatkan pengeluaran uang, termasuk Surat Perintah Perjalanan Dinas, Khusus Perjalanan Dinas Pejabat Eselon II ditanda tangani oleh Pejabat Eselon I, sedangkan untuk Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, Hakim Agung dan Eselon I, ditanda tangani Sekretaris Mahkamah Agung sebagai Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang. Sedangkan
untuk Pengadilan Tingkat Banding dan Pengadilan Tingkat Pertama Surat Perintah Perjalanan Dinas ditanda tangani oleh Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang.
3.Kewajiban Pejabat Pembuat Komitmen/Penanggung jawab Kegiatan adalah :
a). Membuat evaluasi dan pelaporan seluruh kegiatan yang dikuasainya yang meliputi prosentase pelaksanaan kegiatan baik mencakup sasaran, keluaran maupun dampak kegiatan tersebut kepada Kuasa Pengguna Anggaran/Pengguna Barang secara periodik ( Bulanan, Triwulanan, Semesteran dan Tahunan ) yang kemudian diteruskan kepada Sekretaris Mahkamah Agung, Khusus Pengadilan Tingkat Pertama melaporkan kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding, kemudian diteruskan kepada Sekretaris Mahkamah Agung.
b). Membuat Rencana Kerja dan Anggaran yang dilengkapi Rincian Anggaran Biaya ( RAB ) serta Kerangka Acuan serta data pendukung lainya untuk anggaran tahun berikutnya.

4.Tugas dan Kewajiban Pejabat Penguji SPP dan Penerbit SPM :
a). Petugas penerima setelah menerima SPP memeriksa kelengkapan berkas SPP, mengisi check list kelengkapan berkas SPP dan membuat/menanda tangani tanda terima SPP berkenan, selanjutnya penerima SPP menyampaikan SPP dimaksud kepada pejabat penerbit SPM.
b). Pejabat penerbit SPM melakukan pengujian atas SPP sebagai berikut:
Memeriksa secara rinci dokumen pendukung SPP sesuai ketentuan yang berlaku;
Memeriksa ketersediaan pagu anggaran dalam DIPA untuk memperoleh keyakinan bahwa tagihan tidak melampaui batas pagu anggaran;
Memeriksa kesesuaian rencana kerja dan/atau kelayakan hasil kerja yang dicapai dengan indikator keluaran;
Memeriksa kebenaran atas hak tagih yang menyangkut antara lain:
a). Pihak yang ditunjuk untuk menerima pembayaran ( nama orang/perusahaan, alamat, nomor rekening dan nama bank );
b). Nilai tagihan yang harus dibayar (kesesuaian dan/atau kelayakannya dengan prestasi kerja yang dicapai sesuai spesifikasi teknis yang tercantum dalam kontrak);
c). Jadual waktu pembayaran.
5.Tugas dan Kewajiban Bendahara Penerima adalah :
a. Melaksanakan tugas perbendaharaan yang bersumber dari Penerimaan Negara Bukan Pajak dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan.
b. Menyiapkan bahan laporan bulanan, triwulanan, semesteran dan tahunan.
6.Tugas dan Kewajiban Bendahara Pengeluaran adalah melaksanakan tugas perbendaharaan yang bersumber dari pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
Pasal 5

Penerimaan Negara Bukan Pajak wajib disetorkan segera ke Rekening Kas Umum Negara.



Bagian Ketiga
PROSEDUR PENERBITAN SPM

Pasal 6

(1) Jumlah dana yang dimuat dalam DIPA dan atau dokumen pelaksanaan anggaran lainnya yang disamakan dengan DIPA merupakan batas tertinggi untuk tiap-tiap pengeluaran;
(2) Pengeluaran atas beban APBN dilakukan berdasarkan atas hak dan bukti-­bukti yang sah untuk memperoleh pembayaran.

Pasal 7

(1)DIPA atau dokumen pelaksanaan anggaran lainnya yang dipersamakan dengan DIPA berlaku sebagai dasar pelaksanaan pengeluaran setelah mendapat pengesahan dari Direktur Jenderal Perbendahanaan atas nama Menteri Keuangan;
(2)Setiap Pengguna/Kuasa Pengguna Anggaran wajib menyampaikan satu copy DIPA atau dokumen pelaksanaan anggaran lainnya yang dipersamakan dengan DIPA yang telah mendapat pengesahan dari Direktur Jenderal Perbendaharaan kepada :
a. Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI.
b. Biro Keuangan untuk bahan penyusunan Laporan Keuangan Mahkamah Agung dalam rangka memenuhi Sistem Akuntansi Indonesia (SAI).
Pasal 8

(1) Penerbitan SPM oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran didasarkan pada alokasi dana yang tersedia dalam DIPA atau dokumen pelaksanaan anggaran lainnya yang dipersamakan dengan DIPA;
(2) Pelaksanaan pembayaran tagihan atas beban belanja negara melalui Surat Perintah Membayar Langsung (SPM-LS) yang disampaikan ke KPPN, harus dilengkapi dengan bukti asli:
a.Untuk belanja pegawai dilengkapi dengan
1. Daftar Gaji/Gaji Susulan /Kekurangan Gaji/Lembur/Honor dan Vakasi ; dan
2. Surat Setoran Pajak (SSP) untuk Pajak Penghasilan ( PPh)
Pasal 21.
b. Untuk belanja lainnya selain belanja pegawai dilengkapi dengan:
1. Kontrak/Surat Perintah Kerja (SPK) pengadaan barang dan jasa;
2. Berita Acara Prestasi pekerjaan/penyerahan barang;
3. Kwitansi yang disetujui oleh Kepala Kantor/Satuan Kerja sebagai Kuasa Pengguna Anggaran atau pejabat lain yang ditunjuk;
4. Faktur pajak beserta SSPnya; dan
5. Surat pernyataan Pejabat yang melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja mengenai penetapan rekanan pemenang.

Pasal 9

(1)Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dapat mengajukan permintaan Uang Persediaan dengan menerbitkan Surat Perintah Membayar Uang Persediaan (SPM-UP) untuk pengeluaran-pengeluaran belanja barang dengan perincian sebagai berikut :
setinggi-tingginya 1/12 ( Satu per duabelas ) dari Pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang diijinkan unatuk diberikan UP, maksimal Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah), untuk pagu sampai dengan Rp. 900.000.000,- ( sembilan ratus juta rupiah );
1/18 ( satu per delapanbelas ) dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang diijinkan untuk diberikan UP maksimal Rp. 100.000.000,- ( seratus juta rupiah ) untuk pagu diatas Rp. 900.000.000,- ( sembilan ratus juta rupiah ) sampai dengan Rp. 2.400.000.000,- ( dua miliar empat ratus juta rupiah );
1/24 (satu per duapuluh empat) dari pagu DIPA menurut klasifikasi belanja yang diijinkan untuk diberikan UP maksimal 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) untuk pagu diatas Rp. 2.400.000.000,- (dua miliar empat ratus juta rupiah);
Untuk mendapatkan SPM-UP yang melebihi dari nilai tersebut dapat dilaksanakan setelah mendapat persetujuan :
a.Direktur Jenderal Perbendaharaan untuk instansi pusat ;
b.Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan untuk instansi vertikal.
(2)Untuk memperoleh penggantian Uang Persediaan yang telah digunakan, Satuan Kerja yang bersangkutan menerbitkan Surat Perintah Membayar Penggantian Uang Persediaan (SPM-GU);
(3)Pengisian kembali UP sebagaimana tersebut pada butir (1) dapat diberikan apabila dana UP telah digunakan sekurang-kurangnya 75% dari dana UP yang diterima;
(4)Dalam hal Uang Persediaan tidak mencukupi kebutuhan, Satuan Kerja dapat mengajukan tambahan dengan menerbitkan Surat Perintah Membayar Tambahan Uang Persediaan (SPM-TU);
(5) Pengajuan Tambahan Uang Persediaan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur oleh Direktur Jenderal Perbendaharaan sebagai berikut :
Kepala KPPN dapat memberikan TUP sampai dengan jumlah Rp. 200.000.000,- ( dua ratus juta rupiah ) untuk klasifikasi belanja yang diperbolehkan diberi UP bagi instansi dalam wilayah pembayaran KPPN bersangkutan;
Permintaan TUP di atas Rp. 200.000.000,- ( dua ratus juta rupiah ) untuk klasifikasi belanja yang diperbolehkan diberi UP harus mendapat dispensasi dari Kepala Kanwil Ditjen Perbendaharaan.
(5)Pembayaran dengan menggunakan Uang Pesediaan untuk keperluan selain keperluan sehari-hari perkantoran sebagaimana diatur pada ayat (1) dapat dilakukan setelah memperoleh persetujuan Direktur Jenderal Perbendaharaan atau Kanwil Ditjen Perbendaharaan.

Pasal 10

(1) Pelaksanaan pembayaran dengan Uang Persediaan dapat dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran sepanjang pembayaran dimaksud tidak dapat dilakukan melalui pembayaran langsung (SPM-LS);
(2) Pembayaran yang dilakukan oleh Bendahara Pengeluaran tidak boleh melebihi Rp. 10.000.000,- (Sepuluh juta rupiah) kepada satu rekanan;
(3) Pembayaran kepada rekanan harus memperhatikan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
(4) Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dapat mengajukan penggantian Uang Persediaan yang telah digunakan kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) dengan menyampaikan SPM-GU yang dilampiri bukti asli pembayaran yang sah sesuai ketentuan yang berlaku;
(5) Pejabat yang menandatangani dan/atau mengesahkan dokumen yang berkaitan dengan surat bukti yang menjadi dasar pengeluaran atas beban APBN bertanggung jawab atas kebenaran material dan akibat yang timbul dari penggunaan surat bukti dimaksud;
(6)Bukti asli pembayaran yang dilampirkan dalam SPM-GU sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan bukti pengeluaran dalam pelaksanaan anggaran belanja negara.

Pasal 11

(1) Berdasarkan SPM yang disampaikan oleh Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran, KPPN menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D) yang ditujukan kepada bank operasional mitra kerjanya;
(2)KPPN dapat menolak permintaan pembayaran yang diajukan Pengguna Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran dalam hal :
a. Pengeluaran untuk MAK yang melampaui pagu dan/atau
b. Tidak didukung oleh bukti pengeluaran yang sah sesuai ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 ayat ( 2 );
(3) Penerbitan SP2D sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atau penolakan permintaan pembayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) akan diselesaikan KPPN dalam batas waktu sebagai berikut :
a.Penerbitan SP2D Uang Persediaan / Tambahan Uang Persediaan / Pengganti Uang Pcrsediaan (SPM-UP/SPM-TU/SPM-GU) dan SPM Pembayaran Langsung ( SPM-LS) paling lambat dalam waktu 1 (satu) hari kerja sejak diterimanya SPM secara lengkap;
b. Untuk pembayaran Gaji Induk (Gaji bulanan) PNS Pusat :
1. SPM sudah harus diterima paling lambat tanggal 15 bulan sebelumnya;
2. SP2D diterbitkan paling lambat 5 (lima) hari kerja sebelum awal bulan pembayaran gaji;
c. Untuk pembayaran non gaji induk (non gaji bulanan) SP2D diterbitkan paling lambat 6 (enam) hari kerja sejak diterimanya SPM;
d. Pengembalian SPM dilakukan paling lambat hari kerja berikutnya sejak diterimanya SPM berkenaan




Pasal 12

(1) Dalam melaksanakan penerbitan SPM/SP2D digunakan formulir-formulir sebagaimana ditetapkan dalam lampiran I dan Lampiran II Peraturan Menteri Keuangan Nomor : 606/PMK.06/2004;
(2) Perubahan terhadap formulir-formulir sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur oleh Direktorat Jenderal Perbendaharaan;

Pasal 13

Pembayaran kegiatan yang dananya berasal dan pinjaman dan/atau hibah luar negeri dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku dalam pelaksanaan pinjaman dan/hibah luar negeri;

Bagian Keempat
PROSEDUR PENGAJUAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN TUNJANGAN KHUSUS KINERJA
Pasal 14

Anggaran Belanja Tunjangan Khusus Kinerja dialokasikan dalam Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran ( DIPA ) Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung – RI untuk seluruh Satuan Kerja di lingkungan Mahkamah Agung – RI dan Badan Peradilan yang berada dibawahnya.

Pasal 15

Prosedur permintaan pembayaran dan pertanggung jawaban Tunjangan Khusus Kinerja diatur sebagai berikut :
(1)Permintaan pembayaran bulan pertama disampaikan oleh Penerbit Surat Perintah Membayar ( SPM ) pada Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung – RI kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara ( KPPN ) Jakarta I, berdasarkan pagu yang tersedia dan Surat Pernyataan Tanggungjawab Belanja ( SPTB ) serta Daftar Penerimaan masing-masing Satuan Kerja;
(2)Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara ( KPPN ) Jakarta I menerbitkan Surat Perintah Pencairan Dana ( SP2D ) yang disampaikan kepada Bendahara Pengeluaran Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung – RI dan Bank Persepsi ( BRI Cabang Veteran Jakarta );
(3) Bendahara Pengeluaran Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung – RI mengajukan permintaan transfer uang kepada BRI Cabang Veteran Jakarta yang ditujukan bagi seluruh Satuan Kerja di Mahkamah Agung – RI, dan membayar Tunjangan Khusus Kinerja di lingkungan Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung – RI;
(4)Seluruh Satuan Kerja melakukan pembayaran kepada seluruh Pejabat Negara dan Pegawai Negeri Sipil dan mempertanggungjawabkan pembayaran Tunjangan Khusus Kinerja dengan Daftar Penerimaan bagi Pejabat Negara dan Pegawai Negeri Sipil yang nyata-nyata bekerja di lingkungannya, sebagai dasar pengajuan permintaan pembayaran bulan berikutnya;
(5)Daftar Penerimaan Tunjangan Khusus Kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4) selambat-lambatnya diterima di Mahkamah Agung RI pada tanggal 10 setiap bulannya ( Contoh : formulir pertanggungjawaban terlampir );
(6)Apabila terdapat sisa lebih dari pembayaran Tunjangan Khusus Kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4) harus disetor kepada Rekening Bendahara Pengeluaran Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung – RI pada Bank BRI Cabang Veteran Jakarta dengan Nomor Rekening : 0329-01-001809-30-2 selambat-lambatnya tanggal 7 pada bulan bersangkutan. Sedangkan apabila terdapat kekurangan akan diperhitungkan pada pembayaran bulan berikutnya;
(7)Berdasarkan permintaan pembayaran Tunjangan Khusus Kinerja dan pertanggungjawaban masing-masing Satuan Kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Bendahara Pengeluaran Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung – RI mengajukan kembali permintaan pembayaran kepada Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara ( KPPN ) Jakarta I dan melakukan transfer uang sebagaimana dimaksud pada ayat (3);
(8)Pada akhir tahun anggaran Bendahara Pengeluaran Badan Urusan Administrasi Mahkamah Agung – RI menyetorkan sisa uang pembayaran Tunjangan Khusus Kinerja kepada Rekening Bank Umum Negara ( BUN ) dengan bukti Surat Setoran Bukan Pajak ( SSBP ).



Bagian Kelima
PROSEDUR PERTANGGUNG JAWABAN ANGGARAN
Pasal 16

Kepala Satuan Kerja yang menggunakan dana bagian anggaran yang dikuasai Menteri Keuangan menyampaikan pertanggungjawaban penggunaan dana kepada Menteri Keuangan.

Pasal 17

(1) Setiap Pengguna/Kuasa Pengguna Anggaran wajib melaporkan realisasi pengeluaran APBN setiap bulan kepada Kepala Satuan Kerja dan Kepala Satuan Kerja melaporkan sebagai berikut :
a. Kepala Kantor/Satuan Kerja Pengadilan Tingkat Pertama atau pejabat yang ditunjuk melaporkan realisasi anggaran yang dikelolanya kepada Kepala Kantor/Satuan Kerja Pengadilan Tingkat Banding dengan menggunakan Sistem Akuntansi Pemerintah dan dengan Laporan Realisasi Anggaran secara manual dengan formulir yang telah disediakan untuk memenuhi permintaan Direktorat Jenderal Anggaran, Departemen Keuangan - RI;
b.Kepala Kantor/Satuan Kerja Pengadilan Tingkat Banding atau pejabat yang ditunjuk melaporkan realisasi anggaran yang dikelolanya dan Pengadilan dibawahnya kepada Sekretaris Mahkamah Agung cq. Biro Keuangan dengan menggunakan Sistem Akuntansi Pemerintah dan rekapitulasi realisasi anggaran serta dengan Laporan Realisasi Anggaran secara manual dengan formulir yang telah disediakan untuk memenuhi permintaan Direktorat Jenderal Anggaran, Departemen Keuangan - RI;
c.Khusus untuk Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer, Kepala Pengadilan Militer/Kepala Pengadilan Militer Tinggi melaporkan realisasi anggaran yang dikelolanya dengan menggunakan Sistem Akuntansi Pemerintah kepada Kadilmiltama, dan Kadilmiltama melaporkan realisasi anggaran yang dikelolanya kepada Sekretaris Mahkamah Agung cq. Kepala Biro Keuangan dengan menggunakan Sistem Akuntansi Pemerintah serta rekapitulasi realisasi anggaran Pengadilan lainnya dalam lingkungan Peradilan Militer dan dengan Laporan Realisasi Anggaran secara manual dengan formulir yang telah disediakan untuk memenuhi permintaan Direktorat Jenderal Anggaran, Departemen Keuangan - RI.
d.Kepala Kantor/Satuan Kerja Tingkat Pusat atau pejabat yang ditunjuk melaporkan realisasi anggaran yang dikelolanya dengan menggunakan Sistem Akuntansi Pemerintah kepada Sekretaris Mahkamah Agung cq. Biro Keuangan.
(2). Kuasa Pengguna Anggaran Pengadilan Tingkat Pertama setiap bulan wajib melaporkan realisasi penerimaan dan pengeluaran PNBP, satuan kerjanya kepada Ketua Pengadilan Tingkat Banding.
(3). Kuasa Pengguna Anggaran Pengadilan Tingkat Banding setiap bulan melaporkan realisasi penerimaan dan pengeluaran PNBP satuan kerjanya serta rekapitulasi realisasi penerimaan dan pengeluaran PNBP di wilayah hukumnya kepada Sekretaris Mahkamah Agung c.q . Biro Keuangan Mahkamah Agung.
Pasal 18

Pengawasan terhadap pelaksanaan pembayaran melalui dana APBN di lakukan sesuai ketentuan yang berlaku;

Bagian Keenam
LAIN – LAIN

Pasal 19

(1).Dalam hal pelaksanaan anggaran tahun 2009 yang belum diatur dalam keputusan ini agar memperhatikan Keputusan Presiden Nomor : 42 Tahun 2002 tentang Pedoman Pelaksanaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Presiden Nomor : 72 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Keputusan Presiden Nomor : 42 Tahun 2002.
(2).Pagu yang ditetapkan dalam DIPA dan RKA-KL Tahun 2009 sepenuhnya berada dalam tanggung jawab Para Pejabat Eselon I, Para Ketua Pengadilan Tingkat Banding dan Para Ketua Pengadilan Tingkat Pertama, dengan dibantu oleh para pejabat pengelola keuangan yang terdiri dari :
Kuasa Pengguna Anggaran;
Penanggung jawab Kegiatan/Pembuat Komitmen;
Peneliti SPP dan Penanda Tangan SPM;
Bendahara Pengeluaran;
Pemegang Uang Muka; dan
Staf Pengelola Keuangan.
(3).Untuk APBN Tahun 2009 di Lingkungan Mahkamah Agung baik Pusat maupun Daerah tidak ada anggaran yang diberi tanda bintang (*), oleh karena itu seluruh pengelola keuangan dapat segera merencanakan penggunaan anggaran dengan menyusun ”Jadwal Kegiatan Pelaksanaan Anggaran Tahun 2009” untuk dipedomani secara ketat, sehingga dapat dipertanggungjawabkan sesuai dengan rencana.
(4).Dalam hal pengadaan barang dan jasa agar memperhatikan Peraturan Presiden Nomor 95 tahun 2007 tentang Perubahan Ketujuh Atas Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
(5).Khusus untuk Satker yang memiliki kegiatan “Belanja Modal” yang memerlukan pelelangan, agar segera menyusun “Jadwal Kegiatan Pelelangan” sebagaimana contoh terlampir. Jadwal Kegiatan Pelelangan tersebut akan digunakan untuk pelaksanaan Evaluasi Program Kerja yang akan dilaksankan pada setiap Triwulan.
(6).Jadwal Kegiatan Pelaksanaan Anggaran Tahun 2009 dan Jadwal Kegiatan Pelelangan dari masing – masing Satker, telah diterima Pengadilan Tingkat Banding masing – masing lingkungan peradilan paling lambat tanggal 09 Maret 2009, sedangkan kumpulan jadwal kegiatan tersebut setelah disusun dan dijilid secara baik, dikirim kepada KepalaBadan Urusan Administrasi Mahkamah Agung RI Cq Biro Perencanaan dan Organisasi paling lambat tanggal 23 Maret 2009, dan Panitera / Sekretaris Pengadilan Tingkat Banding bertanggung jawab atas terkumpulnya jadwal tersebut.
(7).Khusus untuk penunjukan dan pengangkatan Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran / Pengguna Barang, Pejabat Penanggung Jawab Kegiatan / Pembuat Komitment, Pejabat Penguji SPP dan Penanda tangan SPM, Bendahara Pengeluaran dan Bendahara Uang Muka diatur sebagai berikut :
a.Untuk Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara, Penunjukan dan Pengangkatan Pejabat Kuasa Anggaran / Pengguna Barang ditanda tangani oleh Ketua Pengadilan.
b.Untuk Pengadilan Militer Utama, Pengadilan Militer TInggi dan Pengadilan Militer, Penunjukan dan Pengangkatan Pejabat Kuasa Anggaran / Pengguna Barang ditanda tangani oleh Ketua Pengadilan.
c.Untuk Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara, Penunjukan dan Pengangkatan Pejabat Penanggung Jawab Kegiatan / Pembuat Komitmen, Pejabat Penguji SPP dan Penanda tangan SPM, Bendahara Pengeluaran dan Bendahara Uang Muka ditanda tangani oleh Panitera / Sekretaris dan dilaporkan kepada Ketua Pengadilan.
d.Untuk Pengadilan Militer Utama, Pengadilan Militer TInggi dan Pengadilan Militer, Penunjukan dan Pengangkatan Pejabat Penanggung Jawab Kegiatan / Pembuat Komitmen, Pejabat Penguji SPP dan Penanda tangan SPM, Bendahara Pengeluaran dan Bendahara Uang Muka ditanda tangani oleh Kepala Kepaniteraan (KATERA) dan dilaporkan kepada Kepala Pengadilan.
(8).Pembukaan Rekening Bank Satuan Kerja diatur sebagai berikut :
a.Untuk Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara, ditanda tangani oleh Bendahara Pengeluaran dan Kuasa Pengguna Anggaran dalam hal ini Panitera / Sekretaris.
b.Untuk Pengadilan Militer, ditanda tangani oleh Bendahara Pengeluaran, Kepala Pengadilan dan Kepala Kepaniteraan (KATERA).
c.Untuk mempermudah pelaksanaan pembayaran gaji dan tunjangan termasuk remunerasi yang dipusatkan pada DIPA Badan Urusan Administrasi, maka diwajibkan kepada seluruh Satuan Kerja agar mempunyai Rekening yang sama yaitu di BRI Cabang setempat, sedangkan bagi Satuan Kerja yang mempunyai Rekening di Bank lain selain BRI, agar memindahkan atau mengganti dengan Nomor Rekening BRI.
(9).Pembukaan Cek diatur sebagai berikut :
a.Untuk Peradilan Umum, Peradilan Agama dan Peradilan Tata Usaha Negara, ditanda tangani oleh Bendahara Pengeluaran dan Kuasa Pengguna Anggaran dalam hal ini Panitera / Sekretaris.
b.Untuk Pengadilan Militer, ditanda tangani oleh Bendahara Pengeluaran, Kepala Pengadilan dan Kepala Kepaniteraan (KATERA).
(10).Apabila dikemudian hari terdapat perkembangan baru, Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung ini akan diubah sebagaimana mestinya.

Pasal 20

Keputusan Sekretaris Mahkamah Agung ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di : Jakarta
Pada tanggal : 2 Januari 2009
SEKRETARIS MAHKAMAH AGUNG RI



DRS. H. M. RUM NESSA, SH. MH.
NIP. 150 110 572





Tembusan disampaikan kepada Yth. :

1.Ketua Mahkamah Agung RI;
2.Wakil Ketua Mahkamah Agung RI Bidang Non Yudisial;
3.Ketua Muda Bidang Pengawasan Mahkamah Agung RI;
4.Ketua Muda Bidang Pembinaan Mahkamah Agung RI;
5.Ketua Badan Pemeriksa Keuangan di Jakarta ;
6.Direktur Jenderal Perbendaharaan Departemen Keuangan di Jakarta;
7.Kepala Badan Pengawasan Mahkamah Agung RI di Jakarta.





20 Desember, 2008

Contoh Surat Perjanjian Pinjam Modal

Berikut adalah salah satu contoh surat perjanjian :
SURAT PERJANJIAN

Yang bertanda tangan di bawah ini, kami :---------------------------------------------------------

Nama : TANOJO HIDAYAT
Tempat / tanggl lahir : Surabaya, 17 Mei 1987
Pekerjaan : Polri
Agama : Hindu
Suku / Kebangsaan : Jawa / Indonesia
Alamat : Ds. Bangun rejo Kec. Sukarejo Kab. Musi rawas
Sumatera Selatan


Di sebut sebagai Pihak 1

Nama : KUDON TANAKA
Tempat / tanggal lahir : Sukakarya, 30 Mei 1983
Pekerjaan : Peg. Swasta
Agama : Hindu
Suku / Kebangsaan : Jawa / Indonesia
Alamat : Penggilingan Barat RT.05/06 Kel. Kebalen
Kec. Babelan. Bekasi


Di sebut sebagai Pihak 2

Benar pihak 1 telah meminta modal sebesar Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) kepada pihak 2 guna usaha penebangan dan pengangkutan. Dan kami pihak 1 dan pihak 2 sanggup memenuhi ketentuan bersama sebagai berikut :--------------------------------------

1. Pihak 1 akan menggunakan modal sebesar Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) milik pihak 2 selama 2 tahun terhitung dari tanggal 21 November s/d 21 November 2010.
2. Dari usaha tersebut di atas Pihak 1 akan memberikan keuntungan kepada Pihak 2 setiap bulan sebesar Rp.2.500.000,- (dua juta lima ratus ribu rupiah) s/d Rp.4.500.000,- (empat juta lima ratus ribu rupiah) di lihat dari hasil keuntungan penjualan.
3. Pihak 1 akan memberikan keuntungan hasil usaha kepada pihak 2 terhitung sebulan setelah modal di terima oleh pihak 1 berdasarkan tanggal di berikan modal tersebut.
4. Pihak 1 akan memberikan keuntungan hasil usaha kepada pihak ke 2 dengan cara mentransfer melalui rekening BCA KCP RUKO KALIMALANG dengan Nomor rekening : 8533282248 a/n. KUDON TANAKA.
5. Pihak 1 tidak akan mengembalikan modal sebesar Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) sebelum batas waktu yang telah di tentukan.
6. Pihak 2 tidak akan meminta untuk mengembalikan modal sebesar Rp.20.000.000,- (dua puluh juta rupiah) yang telah di berikan kepada pihak 2 sebelum batas waktu yang telah di tentukan selesai ( 2 tahun ).
7. Pihak 1 akan menggunakan modal milik pihak 2 tersebutdengan sebaik-baiknya.
8. Pihak 1 dan pihak 2 akan menepati perjanjian yang telah di buat namun jika masing-masing pihak (pihak 1 dan pihak 2) melanggar atau mengingkari perjanjian tersebut maka masing-masing pihak sanggup di proses secara hukum sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.

Demikian surat perjanjian ini di buat dengan sebenar-benarnya dan dalam keaadaan akal pikiran yang sehat tanpa ada paksaan dari pihak manapun.

Tanggerang, 25 November 2008

Yang menyatakan :







19 Desember, 2008

Fungsi Peraturan dibawah Undang-undang


Peraturan Pemerintah
Dasar Hukum : Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
Peraturan Pemerintah adalah Peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh presiden untuk melaksanakan Undang-undang, untuk menjalankan Undang_undang. Pembentukan ini hanyalah bersifat teknis yakni sebuah peraturan yang membuat Undang-Undang berjalan sebagaimana mestinya.
Menurut A. Hamid S. Atamimi, karakteristik Peraturan Pemerintah ialah:
• Peraturan tidak dapat dibentuk terlebih dahulu sebelum Undang-Undang yang menjadi Induknya.
• Peraturan tidak dapat mencantukan sanksi Pidana apabila Undang-Undang yang menjadi induknya tidak menentukan demikian
• Ketentuan Peraturan Pemerintah tidak boleh menambah atau engurangi ketentuan Undang-Undang yang bersangkutan
• Untuk menjalankan, atau menjabarkan ketentuan Undang-Undang maka Peraturan Pemerintah, Peraturan Pemerintah dapat dibentuk ketentuan meski tidak diatur secara tegas-tegas.
Peraturan Pemerintah memiliki karakteristik khusus selain karakteristik umum ialah, bahwa Peraturan Pemerintah hanya berupaperaturan (regeling) atau kombinasi antara peraturan dan penetapan (beschicking).
Fungsi Peraturan Pemerintah
Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang yang tegas-tegas menyebutnya
Menyelenggarakan Pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam Undang-Undang yang mengatur meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya.

Peraturan Presiden
Dasar Hukum : Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;
Dengan kekuasaan presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan dalam Negara, maka kekuasaan tersebut dapat diartikan pula kekuasaan untuk mengatur yakni dengan Keputusan Presiden yang sekarang disebut dengan Peraturan Presiden. Peraturan presiden harus ditujukan untuk mengatur eksekutif. Peraturan presiden
Peraturan Presiden bersifat delegasi dari suatu Peraturan Pemerintah dan Undang-Undang. Peraturan Presiden bisa berupa keputusan yang berlaku untuk terus menerus.
Fungsi Peraturan Presiden
Menyelenggarakan pengaturan umum dalam rangka penyelenggara kekuasaan pemerintah
Menyelenggarakan Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang tegas-tegas menyebutnya
Menyelenggarakan Pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam Peraturan Pemerintah, meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya

Peraturan Mentri
Dasar Hukum : Pasal 17 Undang-Undang Dasar 1945
Peraturan Mentri yakni peraturan setingkat lebih rendah dari Peraturan Presiden. Peraturan yang dikeluarkan oleh Mentri ialah Mentri-Mentri yang memegang suatu Departemen. Sedangkan Mentri Koordinator dan Mentri Negara hanya dapat membentuk Peraturan yang mengikat secara interen. Keputusan Mentri pada Departemen merupakan suatu Keputusan yang bersifat mengatur.
Fungsi Peraturan Mentri
Menyelenggarakan pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaran kekuasaan pemerintahan di bidangnya.
Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Presiden
Menyelenggarakan Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang yang secara tegas-tegas menyebutnya
Menyelenggarakan Pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Pemerintah yang secara tegas-tegas menyebutnya

Peraturan Kepala Lembaga Negara Non Departemen
Dasar Hukum : Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 jo Nomor 3 Tahun 2002
Peraturan Kepala Lembaga Negara Non Departemen merupakan norma yang setingkat lebih rendah dari Peraturan Mentri. Namun dalam pelaksanaan tugas dan pertanggungjawaban secara langsung kepada Presiden, namun dalam pelaksanaannya dikoordinasikan oleh Mentri Koordinator.
Fungsi Peraturan Kepala Lembaga Negara Non Departemen
Menyelenggarakan Pengaturan secara umum dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan di bidangnya
Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Presiden

Peraturan Direktur Jendral Departemen
Dasar Hukum : Pedoman No. 175 dan 176 Lampiran Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004; Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2005.
Pelakasanaan Peraturan Direktur Jendral Departemen merupakan penjabaran dari Peraturan Mentri, yang pengaturannya bersifat teknis.
Fungsi Peraturan Direktur Jendral Departemen
Menyelenggarakan perumusan kebijakan teknis Peraturan Mentri
Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Peraturan Mentri

Peraturan Badan Hukum Negara
Dasar Hukum: Pasal 7 ayat (4) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
Peraturan Badan Hukum Negara merupakan salah satu jenis peraturan yang kewenangan pembentukannya ditentukan dalam Undang-Undang. Peraturan Badan Hukum Negara ini adalah kewenagan untuk mengatur hal-hal yang termasuk bidang dan kewenangannya.
Fungsi Peraturan Badan Hukum Negara
Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang yang mengatribusikan, dan Peraturan Pemerintah yang bersangkutan
Menyelenggarakan secara umum dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsinya

Peraturan Daerah
Dasar Hukum : Pasal 136 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
Peraturan Daerah Provinsi adalah peraturan yang dibentuk oleh Gubernur bersama-sama dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, sementara dalam melaksanakan otonomi daerah yang diberikan kepada Pemerintah Daerah Provinsi.
Kewenangan pembentukan Daerah Provinsi merupakan suatu pemberian kewenangan (atribusi) untuk mengatur daerah. Namun demikian pembentukan suatu peraturan juga merupakan pelimpahan wewenang (delegasi) dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Fungsi Peraturan Daerah
Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD.
Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/ kubupaten/kota dan tugas pembantuan.
Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi.
Perda berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah.

Peraturan Kepala Daerah
Dasar Hukum : Pasal 146 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Fungsi Peraturan Kepala Daerah
Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundangundangan,kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah.
Peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, Perda, dan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi.

Peraturan Daerah Kabupaten atau Kota
Dasar Hukum : Pasal 136 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Fungsi Daerah Kabupaten atau Kota
Perda ditetapkan oleh kepala daerah setelah mendapat persetujuan bersama DPRD.
Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/ kubupaten/kota dan tugas pembantuan.
Perda merupakan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan ciri khas masing-masing daerah.
Perda dilarang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundangundangan yang lebih tinggi.
Perda berlaku setelah diundangkan dalam lembaran daerah.

Peraturan Bupati atau Walikota
Dasar Hukum : Pasal 146 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Fungsi Daerah Kabupaten atau Kota
Untuk melaksanakan Perda dan atas kuasa peraturan perundangundangan,kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah.
Peraturan kepala daerah dan atau keputusan kepala daerah dilarang bertentangan dengan kepentingan umum, Perda, dan peraturan perundang undangan yang lebih tinggi.

Peraturan Perundang-undangan Pinunggalan Zaman Hindia Belanda
Dasar Hukum : International Tractaat dan Politieke Tractaat
Pada zaman Indische Staatsregeling (I.S.) jenis-jenis peraturan perundang-undangan yang berlaku di Hindia Belanda adalah:
Wet,
Wet merupakan suatu peraturan perundang-undangan yang dibentuk di Negri Belanda. Wet yang masih dipakai sampai saat ini salah satunya KUHD (Wetbook van Koophandel), KUHP, KUHPer. Sedangkan wet yang berlaku ini disetarakan dengan Undang-Undang.
AMvB,
Peraturan Perundang-undangan yang dibuat oleh raja dan Mentri
Ordonantie,
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk oleh Gubernur Jendral dan Dewan Rakyat di Jakarta
Regeringsverordening;
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk hanya oleh Gubrnur Jendral Hindia Belanda dan hanya berlaku di Jakarta

Peraturan Perundang-undangan Peninggalan Zaman Orde Lama dan Baru
Dasar Hukum : Surat Presiden Kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 3639/Hk/59
Peraturan Perundang-undangan yang dibentuk pada zaman Orde Lama adalah berupa Penetapan Presiden dan Peraturan Presiden. Kemudian berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor : XIX/MPRS/1966 Penetapan dan Peraturan Presiden dinyatakan tidak berlaku.

disadur dari : buku Prof Maria F., S.H.



Fungsi Undang-Undang (UU) dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

Undang-undang
Dasar Hukum : Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945
Undang-undang adalah peraturan perundang-undangan yang tertinggi di Negara Republik Indonesia, yang didalam pembentukannya dilakukan oleh dua lembaga, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dengan Persetujuan Presiden.
Undang-undang dapat diartikan menjadi 2 yakni Undang-undang dalam arti material serta Undang-undang dalam arti formil. Di Indonesia hanya dikenal Undang-Undang dalama arti formal.
Undang-undang pokok, di Belanda dikenal sebagai Undang-Undang yang mendasari Undang-undang Lain, sementara UU Pokok ini tidak dikenal sebab kedudukan Undang-Undang di Indonesia adalah sejajar.
Bahwa pengertian Dewan Perwakilan Rakyat sebagai “memegang kekuasaan membentuk” Undang-undang, maka dapat diartikan dengan “memegang kewenangan”, karena suatu kekuasaan (macht), dalam hal ini kekuasaan membentuk Undang-Undang (wetgeven demacht), memang mengandung kewenangan membentuk Undang-Undang
Bahwa pengertian “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”.

Fungsi Undang-Undang
Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang tegas-tegas menyebutnya
Pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam Batang Tubuh UUD 1945
Pengaturan lebih lanjut dalam ketetapan MPR yang tegas-tegas menyebutnya
Pengaturan di bidang materi konstitusi
Dasar Hukum :

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Dasar Hukum : Pasal 22 Undang-Undang Dasar 1945
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (PERPU) merupakan suatu peraturan yang bertindak sebagai suatu Undang-Undang. PERPU ditetapkan oleh Pemerintah dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, yang harus segera diatasi, karena pembentukan Undang-Undang memerlukan waktu yang relative lama.
“noodverordeningsrecht” atau “hak Presiden untuk mengatur kegentingan yang memaksa” tidak selalu ada hubungannya dengan keadaan bahaya, tetapi cukup apabila menurut keyakinan Presiden terdapat keadaan mendesak dan dibutuhkan peraturan yang mempunyai derajat Undang-Undang. Dan PERPU tidak dapat ditangguhkan sampai DPR melakukan pembicaraan pengaturan keadaan tersebut.
Jangka waktu berlakunya PERPU ialah terbatas, sebab harus dimintakan persetujuan oleh DPR untuk dijadikan Undang-Undang ataukah dicabut.

Fungsi Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang tegas-tegas menyebutnya
Pengaturan lebih lanjut secara umum aturan dasar lainnya dalam Batang Tubuh UUD 1945
Pengaturan lebih lanjut dalam ketetapan MPR yang tegas-tegas menyebutnya
Pengaturan di bidang materi konstitusi



17 Desember, 2008

Ketidak-seimbangan perlindungan gender pada UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga sedang masuk ranah MK


Inilah permasalahannya, biasanya klien yang terkena tuntutan pidana akan kalang kabut jikalau pasal-pasal yang menimpanya diberlakukan dan nantinya masuk dalam pertimbangan hakim. Sehingga pengacara klien diberi instruksi untuk mendaftarkan pasal yang menimpa kliennya di Mahkamah Konstitusi. Hal ini menurut saya logis, ketika konsentrasi pengacara anda akan tepecah antara mengurus persona standi di MK yang berbelit-belit, dan juga mengantisipasi upaya hukum berikutnya (banding/ kasasi). Lalu apa ujungnya, tentu saja penolakan secara tegas oleh Mahkamah Konstitusi.

Menurut saya berita dapat dijadikan suatu pelajaran. Saya sangat mendukung ide dari kawan-kawan ini yang terlihat sangat masuk akal apalagi di bidang kesertaraan gendernya yang seharusnya bisa menang di MK nanti. Selanjutnya putusan Mahkamah Konstitusi mengenai sidang pengujian Pasal 356 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terhadap UUD 1945. Perkara yang diregistrasi pada 17 November 2008 dengan nomor perkara 42/PUU-VI/2008 ini dimohonkan oleh Bambang Sugeng Irianto, 46 tahun. Pemohon yang tinggal di Kota Kediri, Jawa Timur ini, merupakan tersangka yang didakwa oleh Jaksa Penuntut Umum berdasarkan ketentuan Pasal 352 dan Pasal 356 ayat (1) KUHP sebagai dakwaan alternatif atas perbuatannya melakukan tindak kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Pasal 356 Ayat (1) KUHP berbunyi sebagai berikut.

Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354 dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga:

1. bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya yang sah, istrinya atau anaknya;

Pemohon menyampaikan bahwa pemberlakuan pasal a quo telah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28D ayat (1), Pasal 28G ayat (1), Pasal 28H ayat (2), Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Akibat pemberlakuan pasal a quo, Pemohon merasa hak-hak konstitusionalnya, yakni hak atas persamaan dan kewajiban bersama menjunjung hukum, hak atas jaminan kepastian hukum yang adil, dan hak untuk bebas dari siksa atas dasar hukum yang berlaku surut, telah dilanggar oleh penyidik dan jaksa.

Padahal menurut Pemohon, tindakan yang dilakukannya telah diatur dalam peraturan yang lebih khusus, yakni UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU KDRT). Oleh karenanya, berdasarkan Pasal 63 Ayat (2) KUHP), Pemohon beranggapan apabila ada ketentuan pidana khusus maka ketentuan pidana khusus itu sajalah yang digunakan. Dalam hal ini, Pemohon menilai UU KDRT merupakan lex specialis dari KUHP.

Selain itu menurut Pemohon, Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 telah menjamin kesamaan hak warga negara di dalam hukum. Sedangkan menurut penilaian Pemohon, Pasal 356 ayat (1) telah membedakan hukuman bagi tindak penganiayan terhadap orang lain dengan penganiayaan terhadap keluarga sendiri yang hukumannya ditambah sepertiga.

Pemohon juga menganggap Pasal 356 ayat (1) telah mendiskriminasi dirinya sebagai suami. Menurut Pemohon, ketentuan tersebut tidak memasukkan perbuatan penganiayaan istri terhadap suami sebagai tindak pidana yang hukumannya ditambah sepertiga. “Jadi berat sebelah,” ujar Bambang.


Menanggapi permohonan tersebut, anggota majelis panel Hakim Konstitusi, M. Arsyad Sanusi meminta Pemohon mempertimbangkan kembali permohonannya. Menurut Arsyad, Pasal 356 ayat (1) yang dimohonkan Pemohon untuk diuji merupakan ketentuan yang ditujukan untuk mewujudkan ketentraman dan kerukunan dalam rumah tangga. Harapannya, dengan hukuman pidana yang diperberat, tindak kekerasan dan pertentangan dalam rumah tangga dapat dicegah. “Apakah Saudara minta pidana khusus (bagi pelaku KDRT) dihapuskan?”tanyanya kepada Pemohon.

Arsyad juga menilai Pasal 356 ayat (1) KUHP tidak hanya mengikat suami. Menurutnya, pasal tersebut juga berlaku bagi istri yang melakukan penganiayaan terhadap suami.

Bambang Sugeng Irianto mengajukan pengujian Pasal 356 ayat (1) KUHP karena merasa diperlakukan tidak adil oleh hakim Pengadilan Negeri Kediri yang memvonisnya satu bulan luar tahanan. Bambang divonis akibat a melakukan pemukulan terhadap istrinya karena tidak terima sang istri memasukkan pria yang dianggap bukan muhrim ke salon kecantikan yang dikelolanya.

Vonis hakim dengan menggunakan Pasal 356 ayat (1) KUHP itulah yang dianggapnya menyalahi aturan. Menurut dia, ada aturan lain yang lebih khusus bagi perbuatan yang dilakukannya, yakni UU KDRT. Sebenarnya, kata Bambang, jaksa telah mendakwanya juga dengan dakwaan primer menggunakan Pasal 44 UU KDRT. Akan tetapi hakim memvonisnya dengan KUHP. Dalil inilah yang digunakan Bambang untuk mengajukan uji materiil ke MK.

Dalil tersebut menurut Hakim Konstitusi M. Arsyad Sanusi tidak tepat diajukan ke MK. Menurut Arsyad, hal tersebut lebih merupakan penerapan hukum, bukan pengujian norma hukum. Penerapan hukum yang keliru, menurut Arsyad, merupakan bentuk dari constitutional complain atau pengaduan konstitusional. “MK tidak memiliki kewenangan untuk itu,” jelas Arsyad pada sidang sebelumnya (3/12).

Ketua Majelis Panel, Hakim Konstitusi Muhammad Alim, juga menilai apa yang dialami Pemohon dalam proses persidangan di peradilan umum merupakan wilayah hukum Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya. “MK tidak bisa mencampuri proses peradilan di MA,” kata Alim.
Sumber : http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/berita.php?newscode=2057



15 Desember, 2008

Perkawinan Campuran Terkait Kaidah Hukum Antar Tata Hukum Intern


KASUS POSISI

NY. SURTIATI Wu Warga Negara Indonesia melakukan perkawinan campuran dengan Dr. CHARLIE WU alias WU CHIA HSIN yang telah dicatatkan di Kantor Pencatatan Sipil Jakarta. Perkawinan tersebut telah dikaruniai dua orang anak yang lahir di Jakarta dan berkewarganegaraan Amerika Serikat yang bernama Alice dan Denise. Sejak awal perkawinan ternyata hubungan keduanya sudah tidak harmonis. Ketidakharmonisan tersebut akhirnya berbuntut pada gugatan cerai yang diajukan Dr. Charlie Wu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam Gugatannya Dr. Charlie Wu memohon agar hak asuh atas kedua anaknya diberikan kepadanya. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan tersebut yang kemudian ditegaskan lewat keputusan banding. Ny. Surtiati Wu yang merasa tidak puas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun permohonan kasasinya ditolak.

ANALISA

Mengingat tahun kelahiran kedua anak tersebut adalah 1986 dan 1987, maka peraturan yang mengatur adalah undang-undang No. 62 tahun 1968. Dalam Pasal 1b tersebut menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayah seorang WNI dengan pengertian hubungan kekeluargaan itu diadakan sebelum orang itu berusia 18 tahun dan belum menikah di bawah usia 18 tahun. Dengan ketentuan pasal ini, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut secara ketat asas “ius sanguinis”. Oleh sebab itu, seperti dalam kasus ini dimana terjadi perkawinan campuran antara perempuan WNI (Ny Surtiati) dengan laki-laki WNA (Dr. Charlie Wu), maka anak yang dilahirkan akan mengikuti kewarganegaraan si ayah dimanapun ia dilahirkan. Mengenai ketentuan ini terdapat pengecualian yakni apabila negara si ayah tidak memberikan kewarganegaraan bagi si anak yang dilahirkan sehingga si anak akan berstatus “stateless” atau tanpa kewarganegaraan.
Dalam kasus ini, Dr. Charlie Wu merupakan warga negara Amerika yang menganut asas kewarganegaraan “ius soli”, dimana seseorang mendapat kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahirannya. Kedua anak yang merupakan hasil perkawinan campuran antara Dr. Charlie Wu dengan Ny. Surtiati dilahirkan di Indonesia, tepatnya Jakarta. Dengan demikian, terjadi pertemuan antara dua asas kewarganegaraan yang berbeda.
Berdasarkan pasal 1 b UU No. 62 tahun 1958, kedua anak tersebut mengikuti kewarganegaraan ayah mereka, yakni Amerika. Namun, berdasarkan asas “ius soli” yang dianut oleh Amerika Serikat, kewarganegaraan kedua anak tersebut mengikuti tempat kelahiran mereka, yaitu Indonesia. Hal ini mengakibatkan kedua anak tersebut menjadi “stateless”. Akan tetapi, UU no.62 tahun 1958 menganut asas anti “apatride” dimana terjadi seseorang tidak memiliki kewarganegaraan. Oleh sebab itu, dalam kasus seperti ini, kedua anak itu dapat menjadi WNI jika sang ibu mengajukan permohonan ke pengadilan.
Dalam kasus ini, kedua anak tersebut menjadi warga negara Amerika. Hal ini dimungkinkan dengan pengakuan Dr. Charlie Wu bahwa kedua anak tersebut adalah kedua anaknya sehingga harus mengikuti kewarganegaraannya yakni Amerika. Berdasarkan ketentuan dalam pasal 17 UU No. 62 tahun 1958 dapat disimpulkan bahwa seorang anak yang diakui oleh orang asing sebagai anaknya dan memperoleh paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing, maka ia memperoleh kewarganegaraan dari negara tersebut. Karena Dr. Charlie Wu mengajukan permohonan paspor kepada Kedutaan Besar Amerika Serikat. Dengan keluarnya paspor Amerika atas nama Alice dan Dennis Aulia, maka ketentuan pasal 17 tersebut berlaku. Kedua anak itu mendapat pengakuan dari Dr. Charlie Wu yang seorang WNA sebagai anaknya.

Sedangkan mengenai putusan perceraian itu sendiri, mengingat uraian-uraian mengenai sikap dan tingkah laku dari Ny. Surtiati Wu yang buruk, seperti kasar, keras kepala, mau menang sendiri, dan suka berbohong yang akhirnya menyebabkan timbulnya perselisihan dan percekcokan di dalam rumah tangga. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan dari dilangsungkannya lembaga perkawinan yang tertera dalam undang-undang tentang perkawinan, yaitu perkawinan adalah untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga adalah hal yang wajar apabila Mahkamah Agung mengabulkan gugatan perceraian yang diajukan oleh Dr. Charlie Wu, yaitu menyatakan ikatan perkawinan antara Dr. Charlie Wu dan Surtiati Wu putus karena perceraian.
Hal ini juga didukung oleh pernyataan yang dikeluarkan oleh kedua anak dari Penggugat dan Tergugat bahwa mereka setuju apabila kedua orangtua mereka bercerai karena jika perkawinan tersebut dilanjutkan, hanya akan menambah penderitaan batin mereka saja dan lagi mereka tidak keberatan apabila ditaruh di bawah perwalian dari Penggugat (Dr. Charlie Wu).
Apabila menilik dari uraian yang diajukan oleh kuasa hukum dari Penggugat bahwa :
1. Ny. Surtiati Wu telah bersikap dan bertingkah laku buruk sehingga menimbulkan banyak percekcokan dan perselisihan dalam rumah tangga.
2. Percekcokan dan perselisihan tersebut menimbulkan pernderitaan batin bagi kedua anak mereka, yaitu Alice dan Denise Aulia.
3. Kedua anak mereka mendukung perceraian antara Dr. Charlie Wu dan Surtiati Wu.
4. Kedua anak mereka tidak keberatan untuk ditaruh di bawah perwalian Dr. Charlie Wu.
5. Dr. Charlie Wu sudah menyatakan kesanggupannya untuk terus merawat dan mendidik Alice dan Denise Aulia, menjaga perkembangan kehidupan jasmani dan rohani mereka serta menanggung biaya pendidikan mereka sampai perguruan tinggi.
Maka, putusan Mahkamah Agung untuk menyatakan putusnya perkawinan antara Dr. Charlie Wu dan Surtiati Wu serta menyerahkan perwalian kedua anak mereka yang berkewarganegaraan Amerika adalah tepat.
Jika dianalisis terhadap perkawinan campur dari Dr. Charlie Wu dengan Ny. Surtiati Wu, maka pada bagian latar belakang permasalahan bentuk perkawinan ini terdapat kontradiksi yang kuat antara doktrin ketertiban umum dengan doktrin hak-hak yang diperoleh. Dr Charlie Wu menikah dengan Ny. Surtiati di Kansas, Amerika Serikat termasuk perkawinan yang sama sekali sah. Dr. Charlie Wu dan Nyonya Surtiati telah memperoleh hak-hak di Negara Amerika Serikat sehingga dalam penerapannya di Indonesia maka permasalahan ini tidak serta merta dinyatakan tidak sah oleh Indonesia berdasarkan Ketertiban Umum karena bertentangan dengan UU Kewarganegaraan.
Hak-hak yang diperoleh biasanya dipakai untuk mengedapankan bahwa perubahan dari fakta-fakta, tidak akan mempengaruhi berlakunya kaidah-kaidah yang semula dipakai. Penerapan prinsip ini menurut pemikiran Dicey yang menentukan bahwa, “ Any Right which has been duly recognized, and in general, enforced by English court, and no right which has not been duly acquired in enforced or in general, recoqnized by English courts”. Hak yang telah diperoleh menurut ketentuan hukum Negara asing, diakui dan sepenuhnya dilaksanakan oleh hakim, sepanjang hak-hak ini tidak bertentangan dengan konsepsi public policy.
Namun dalam praktek dan jika dihubungkan dengan kasus Dr. Charlie Wu dengan Ny. Surtiati Wu, Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa “hak-hak yang diperoleh” pada perkawinan camouyr yang mendapat legitimasi di Amerika Serikaty tersebut setidak-tidaknya tidak dijadikan dasar dari seluruh bangunan bagi sang Hakim dalam melaksanakan tugasnya memilih hukum yang harus dipergunakan, sebagai pengecualian atas apa yang menurut ketentuan-ketentuan HPI lex fori seyognya harus diperlakukan.
Kemudian dalam hal pengakuan anak tersebut sebenarnya hakim dalam mempertimbagkan analisa yuridis tidak menggunakan HATAH atau Hukum Antar Tata Hukum secara maksimal. Hal ini membuktikan bahwa hakm Indonesia terlebih-lebih mengenai kasus Dr. Charlie Wu dengan Ny. Surtiati Wu yang terkait dengan masalah hatah tidak mengenal dengan baik mengenai konstruksi berfikir hatah dengan tidak memasukan salah satupun pertimbangan dalam putusannya. Inilah sikap dari para hakim yang entah chauvimis ataukah keterbelakangan ilmu sehingga tanpa adirnya Keterangan Ahli dalam persidangan yang mengungkapakan dalil-dalil HATAH kemudian akan dikesampingkan.
Perpindahan Dr. Charlie Wu yang berkewarganegaraan Amerika Serikat, sebenarnya suatu permasalahan tersendiri, karena disini ada titik pertalian yang harus dicermati, karena Hakim pasti akan memilih akankah akan menggunakan setelsel hukum Amerika Serikat sesuai dengan kewarganegaraan Chalie Wu ataukah menggunakan Stelsel Hukum Indonesia sesuai dengan kewarganegaraan dari Istrinya, Ny. Surtiati Wu, serta sesuai dengan letak diajukannya gugatan perdata yang dilakukan oleh Dr. Charlie Wu yakni di Pengadilan Negri Jakarta Selatan. Hal inilah yang perlu juga kita tinjau dan seharusnya Hakim sebagai pihak pencari keadilan mempertimbangkan hal ini.
Van Vollenhoven mengunkapkan salah satu pertimbangan untuk mempergunakan hukum nasional dalam menentukan stelsel hukum yang berlaku apabila terjadi titik pertalian adalah dengan melihat adanya :
• Percampuran dengan sukubangsa Asli (vermenging met de autochtone bevolking)
• Persatuan dengan masyarakat hukum setempat (deelgennotschap van locale rechtgemeenschap)
Sedangkan perbedaan antara kedua syarat ini ialah bahwa “pencampuran dengan suku bangsa asli” berlangsung dalam lingkungan daerah yang lebih luas atau isebut region atau regional. Sedangkan “persatuan dengan masyarakat setempat” maka semula ini memperlihatkan suatu proses “pengolahan” yang tidak sedemikian mendalam., kemudian mengenai daerah yang lebih kecil namun sebaliknya dirasakanlebih dalam. Jika kembali dalam kasus maka akan terasa janggal bahwa Dr. Charlie Wu berserta anak Dr. Charlie Wu yang hanya melakukan pencampuran yang tidak sedalam persatuan namun hendak memakai stelsel hukum Indonesia.


13 Desember, 2008

Jadwal Hari Libur Tahun 2009


SURAT EDARAN
Nomor : SJ/B.V/HK.03.3/1999/2008
TENTANG
PELAKSANAANKETENTUANHARI-HARI LIBUR NASIONAL DAN
CUTI BERSAMA TAHUN 2009

Dalam rangka mengatur pelaksanaan hari-hari libur nasional dan cuti bersama tahun 2009, pada tanggal 9 Juni 2008 telah ditetapkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara, Nomor 4 Tahun 2008, Nomor : KEP./115/MEN/VI/2008, dan Nomor SKB/06/M.PAN/6/2008, tentang Pelaksanaan Ketentuan

Hari-Hari
Libur dan Cuti Bersama Tahun 2009 (Fotokopi terlampir).

Sehubungan dengan hat tersebut, perlu kami sampaikan lial- hal sebagai berikut :
1. Pelaksanaan Cuti bersama diperhitungkan dengan (mengurangi) hak cuti tahunan PNS sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Memperhatikan saran dan pendapat dari berbagai pihak baik Instansi Pemerintah, Swasta. dan Lembaga Swadaya Masyarakat, maka Surat Keputusan Bersama tentang Pelaksanaan Hari-Hari Libur dan Cuti Bersama Tahun 2009 tidak menetapkan hari-hari kerja terjepit sebagai hari cuti bersaina.
3. Bagi instansi yang memberlakukan enam hari kerja, apabila ada hari Sabtu yang diapit oleh hari Minggu dan hari libur nasional atau hari cuti bersama, maka hari Sabtu tersebut ditetapkan sebagai hari libur biasa dan jam kerja yang hilang diperhitungkan (diganti) dengan jam kerja pada hari kerja yang efektif pada minggu atau bulan yang bersangkutan untuk memenuhi ketentuan jumlah jam kerja efektif 37,50 jam/minggu.
4. Sehubungan dengan butir 2 di atas, setiap pimpinan instansi diharapkan dapat lebih meningkatkan kedislipinan pegawai pada :

a. Jum'at tanggal 27 Maret 2009, setelah pelaksanaan libur Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1931;

b. Jum'at tanggal 22 Mei 2009, setelah pelaksanaan libur Kenaikan Yesus Kristus:

c. Jum'at tanggal 18 September 2009, sebelum pelaksanaan Cuti Bersama Idul Fitri 1430 H serta Kamis dan Jum'at tanggal 24 dan 25 September 2009, setelah pelaksanaan Cuti Bersama Idul Fitri 1430 H;

d. Kamis dan Senin tanggal 23 dan 28 Desember 2009, sebelum dan setelah pelaksanaan libur dan Cuti Bersama Hari Raya Natal 2009.

5. Ketentuan cuti bersama pada Surat Keputusan Bersama Tiga Menteri tersebut tidak berlaku bagi PNS yang menjadi guru pada sekolah/madrasah dan dosen pada perguruan tinggi, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1976 tentang Cuti Pegawai Negeri Sipil.

6. Bagi unit/satuan kerja organisasi yang berfungsi memberikan layanan langsung kepada masyarakat dan mencakup kepentingan masyarakat luas, antara lain rumah sakit, puskesmas, telekomunikasi, listrik, air minum, pemadam kebakaran, keamanan dan ketertiban, perbankan,perhubungan dan unit kerja pelayanan lain yang sejenis, pimpinan unit kerja/satuan yang bersangkutan agar mengatur penugasan pegawai, pekerja/buruh pada hari libur nasional dan cuti bersama yang ditetapkan, sehingga pemberian pelayanan kepada masyarakat tetap berjalan sebagaimana mestinya.

7. Setiap pimpinan instansi pemerintah melakukan pengaturan dan pemantauan terhadap pelaksanaan hari libur nasional dan cuti bersama di lingkungannya masing-masing, dan apabila ada PNS yang tidak masuk kerja tanpa alasan yang jelas setelah melaksanakan cuti bersama hendaknya diambil langkah-langkah peningkatan disiplin sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Demikian, untuk dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Tembusan:
1. Menteri Agama Republik Indonesia;
2. Dirjen/Kabalitbang/Irjen Dep. Agama.



untuk info selengkapnya dapat diakses melalui : http://www.depag.go.id/file/dokumen/SEHariLibur2009.pdf

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 2008
TENTANG
PORNOGRAFI
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa negara Indonesia adalah negara hukum yang
berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan
kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, menghormati
kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara, serta melindungi harkat
dan martabat setiap warga negara;
b. bahwa pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi semakin berkembang luas di
tengah masyarakat yang mengancam kehidupan dan
tatanan sosial masyarakat Indonesia;
c. bahwa peraturan perundang-undangan yang
berkaitan dengan pornografi yang ada saat ini belum
dapat memenuhi kebutuhan hukum serta
perkembangan masyarakat;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu
membentuk Undang-Undang tentang Pornografi;
Mengingat : Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28B ayat (2), Pasal 28J ayat
(2), dan Pasal 29 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PORNOGRAFI.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan,
suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun,
percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya
melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau
pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan
atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan
dalam masyarakat.
2. Jasa pornografi adalah segala jenis layanan pornografi
yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi
melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi
teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi
elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang
cetakan lainnya.
3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi,
baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan
hukum.
4. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan
belas) tahun.
5. Pemerintah adalah Pemerintah Pusat yang dipimpin oleh
Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan
pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
6. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati, atau
Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.

Pasal 2
Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha
Esa, penghormatan terhadap harkat dan martabat
kemanusiaan, kebinekaan, kepastian hukum,
nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga negara.

Pasal 3
Undang-Undang ini bertujuan:
a. mewujudkan dan memelihara tatanan kehidupan
masyarakat yang beretika, berkepribadian luhur,
menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa,
serta menghormati harkat dan martabat kemanusiaan;
b. menghormati, melindungi, dan melestarikan nilai seni
dan budaya, adat istiadat, dan ritual keagamaan
masyarakat Indonesia yang majemuk;
c. memberikan pembinaan dan pendidikan terhadap moral
dan akhlak masyarakat;
d. memberikan kepastian hukum dan perlindungan bagi
warga negara dari pornografi, terutama bagi anak dan
perempuan; dan
e. mencegah berkembangnya pornografi dan komersialisasi
seks di masyarakat.

BAB II
LARANGAN DAN PEMBATASAN

Pasal 4
(1) Setiap orang dilarang memproduksi, membuat,
memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan,
menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan,
memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan
pornografi yang secara eksplisit memuat:
a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang
menyimpang;
b. kekerasan seksual;
c. masturbasi atau onani;
d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan
ketelanjangan;
e. alat kelamin; atau
f. pornografi anak.
(2) Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:
a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau
tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas
seksual; atau
d. menawarkan atau mengiklankan, baik langsung
maupun tidak langsung layanan seksual.

Pasal 5
Setiap orang dilarang meminjamkan atau mengunduh
pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1).

Pasal 6
Setiap orang dilarang memperdengarkan, mempertontonkan,
memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), kecuali yang
diberi kewenangan oleh peraturan perundang-undangan.

Pasal 7
Setiap orang dilarang mendanai atau memfasilitasi perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4.

Pasal 8
Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan
dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan
pornografi.

Pasal 9
Setiap orang dilarang menjadikan orang lain sebagai objek
atau model yang mengandung muatan pornografi.
Pasal 10
Setiap orang dilarang mempertontonkan diri atau orang lain
dalam pertunjukan atau di muka umum yang
menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual,
persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya.


Pasal 11
Setiap orang dilarang melibatkan anak dalam kegiatan
dan/atau sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal
4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 8, Pasal 9, atau Pasal 10.
Pasal 12
Setiap orang dilarang mengajak, membujuk, memanfaatkan,
membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa
anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.
Pasal 13
(1) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi yang memuat selain sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (1) wajib mendasarkan pada
peraturan perundang-undangan.
(2) Pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dilakukan di
tempat dan dengan cara khusus.
Pasal 14
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara perizinan
pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan produk
pornografi untuk tujuan dan kepentingan pendidikan dan
pelayanan kesehatan dan pelaksanaan ketentuan Pasal 13
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III
PERLINDUNGAN ANAK
Pasal 15
Setiap orang berkewajiban melindungi anak dari pengaruh
pornografi dan mencegah akses anak terhadap informasi
pornografi.
Pasal 16
(1) Pemerintah, lembaga sosial, lembaga pendidikan,
lembaga keagamaan, keluarga, dan/atau masyarakat
berkewajiban memberikan pembinaan, pendampingan,
serta pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi
setiap anak yang menjadi korban atau pelaku pornografi.
(2) Ketentuan . . .
- 6 -
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan,
pendampingan, serta pemulihan sosial, kesehatan fisik
dan mental sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dengan Peraturan Pemerintah.
BAB IV
PENCEGAHAN
Bagian Kesatu
Peran Pemerintah
Pasal 17
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan
pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi.
Pasal 18
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17, Pemerintah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan
penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi,
termasuk pemblokiran pornografi melalui internet;
b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi; dan
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai
pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam
pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi.
Pasal 19
Untuk melakukan pencegahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 17, Pemerintah Daerah berwenang:
a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan
penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi,
termasuk pemblokiran pornografi melalui internet di
wilayahnya;
b. melakukan . . .
- 7 -
b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan,
penyebarluasan, dan penggunaan pornografi di
wilayahnya;
c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai
pihak dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan,
dan penggunaan pornografi di wilayahnya; dan
d. mengembangkan sistem komunikasi, informasi, dan
edukasi dalam rangka pencegahan pornografi di
wilayahnya.
Bagian Kedua
Peran Serta Masyarakat
Pasal 20
Masyarakat dapat berperan serta dalam melakukan
pencegahan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan
penggunaan pornografi.
Pasal 21
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 20 dapat dilakukan dengan cara:
a. melaporkan pelanggaran Undang-Undang ini;
b. melakukan gugatan perwakilan ke pengadilan;
c. melakukan sosialisasi peraturan perundangundangan
yang mengatur pornografi; dan
d. melakukan pembinaan kepada masyarakat terhadap
bahaya dan dampak pornografi.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
dan huruf b dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Pasal 22
Masyarakat yang melaporkan pelanggaran sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) huruf a berhak mendapat
perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
BAB V . . .
- 8 -
BAB V
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN
DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 23
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan terhadap pelanggaran pornografi dilaksanakan
berdasarkan Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana,
kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 24
Di samping alat bukti sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang tentang Hukum Acara Pidana, termasuk juga alat
bukti dalam perkara tindak pidana meliputi tetapi tidak
terbatas pada:
a. barang yang memuat tulisan atau gambar dalam bentuk
cetakan atau bukan cetakan, baik elektronik, optik,
maupun bentuk penyimpanan data lainnya; dan
b. data yang tersimpan dalam jaringan internet dan saluran
komunikasi lainnya.
Pasal 25
(1) Untuk kepentingan penyidikan, penyidik berwenang
membuka akses, memeriksa, dan membuat salinan data
elektronik yang tersimpan dalam fail komputer, jaringan
internet, media optik, serta bentuk penyimpanan data
elektronik lainnya.
(2) Untuk kepentingan penyidikan, pemilik data, penyimpan
data, atau penyedia jasa layanan elektronik berkewajiban
menyerahkan dan/atau membuka data elektronik yang
diminta penyidik.
(3) Pemilik data, penyimpan data, atau penyedia jasa
layanan elektronik setelah menyerahkan dan/atau
membuka data elektronik sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) berhak menerima tanda terima penyerahan atau
berita acara pembukaan data elektronik dari penyidik.
Pasal 26 . . .

Pasal 26
Penyidik membuat berita acara tentang tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dan mengirim
turunan berita acara tersebut kepada pemilik data,
penyimpan data, atau penyedia jasa layanan komunikasi di
tempat data tersebut didapatkan.
Pasal 27
(1) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara
yang sedang diperiksa dilampirkan dalam berkas
perkara.
(2) Data elektronik yang ada hubungannya dengan perkara
yang sedang diperiksa dapat dimusnahkan atau dihapus.
(3) Penyidik, penuntut umum, dan para pejabat pada semua
tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan wajib
merahasiakan dengan sungguh-sungguh atas kekuatan
sumpah jabatan, baik isi maupun informasi data
elektronik yang dimusnahkan atau dihapus.
BAB VI
PEMUSNAHAN
Pasal 28
(1) Pemusnahan dilakukan terhadap produk pornografi hasil
perampasan.
(2) Pemusnahan produk pornografi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh penuntut umum dengan
membuat berita acara yang sekurang-kurangnya
memuat:
a. nama media cetak dan/atau media elektronik yang
menyebarluaskan pornografi;
b. nama, jenis, dan jumlah barang yang dimusnahkan;
c. hari, tanggal, bulan, dan tahun pemusnahan; dan
d. keterangan mengenai pemilik atau yang menguasai
barang yang dimusnahkan.
BAB VII . . .

BAB VII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 29
Setiap orang yang memproduksi, membuat, memperbanyak,
menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor,
mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan,
atau menyediakan pornografi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun
dan/atau pidana denda paling sedikit Rp250.000.000,00 (dua
ratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 30
Setiap orang yang menyediakan jasa pornografi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 6
(enam) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) dan
paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 31
Setiap orang yang meminjamkan atau mengunduh pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 32
Setiap orang yang memperdengarkan, mempertontonkan,
memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan produk pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana
denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).
Pasal 33
Setiap orang yang mendanai atau memfasilitasi perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama
15 (lima belas) tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 34 . . .

Pasal 34
Setiap orang yang dengan sengaja atau atas persetujuan
dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan
pornografi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 dipidana
dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun
dan/atau pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00
(lima miliar rupiah).
Pasal 35
Setiap orang yang menjadikan orang lain sebagai objek atau
model yang mengandung muatan pornografi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 12 (dua belas)
tahun dan/atau pidana denda paling sedikit
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
Pasal 36
Setiap orang yang mempertontonkan diri atau orang lain
dalam pertunjukan atau di muka umum yang
menggambarkan ketelanjangan, eksploitasi seksual,
persenggamaan, atau yang bermuatan pornografi lainnya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dipidana dengan
pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau
pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah).
Pasal 37
Setiap orang yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau
sebagai objek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
dipidana dengan pidana yang sama dengan pidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal 30, Pasal 31,
Pasal 32, Pasal 34, Pasal 35, dan Pasal 36, ditambah 1/3
(sepertiga) dari maksimum ancaman pidananya.
Pasal 38 . . .

Pasal 38
Setiap orang yang mengajak, membujuk, memanfaatkan,
membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan, atau memaksa
anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling
lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling
sedikit Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 39
Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Pasal
30, Pasal 31, Pasal 32, Pasal 33, Pasal 34, Pasal 35, Pasal 36,
Pasal 37, dan Pasal 38 adalah kejahatan.
Pasal 40
(1) Dalam hal tindak pidana pornografi dilakukan oleh atau
atas nama suatu korporasi, tuntutan dan penjatuhan
pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau
pengurusnya.
(2) Tindak pidana pornografi dilakukan oleh korporasi
apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh
orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan
korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama.
(3) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu
korporasi, korporasi tersebut diwakili oleh pengurus.
(4) Pengurus yang mewakili korporasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dapat diwakili oleh orang lain.
(5) Hakim dapat memerintahkan pengurus korporasi supaya
pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan
dan dapat pula memerintahkan pengurus korporasi
supaya pengurus tersebut dibawa ke sidang pengadilan.
(6) Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap
korporasi, panggilan untuk menghadap dan penyerahan
surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus
di tempat tinggal pengurus atau di tempat pengurus
berkantor.
(7) Dalam . . .

(7) Dalam hal tindak pidana pornografi yang dilakukan
korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap
pengurusnya, dijatuhkan pula pidana denda terhadap
korporasi dengan ketentuan maksimum pidana dikalikan
3 (tiga) dari pidana denda yang ditentukan dalam setiap
pasal dalam Bab ini.
Pasal 41
Selain pidana pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
ayat (7), korporasi dapat dikenai pidana tambahan berupa:
a. pembekuan izin usaha;
b. pencabutan izin usaha;
c. perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan
d. pencabutan status badan hukum.
BAB VIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 42
Untuk meningkatkan efektivitas pelaksanaan Undang-
Undang ini, dibentuk gugus tugas antardepartemen,
kementerian, dan lembaga terkait yang ketentuannya diatur
dengan Peraturan Presiden.
Pasal 43
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, dalam waktu paling
lama 1 (satu) bulan setiap orang yang memiliki atau
menyimpan produk pornografi sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 ayat (1) harus memusnahkan sendiri atau
menyerahkan kepada pihak yang berwajib untuk
dimusnahkan.
Pasal 44
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
peraturan perundang-undangan yang mengatur atau
berkaitan dengan tindak pidana pornografi dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-
Undang ini.
Pasal 45
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 26 November 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 181
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 44 TAHUN 2008
TENTANG
PORNOGRAFI
I. UMUM
Negara Republik Indonesia adalah negara hukum yang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 dengan menjunjung tinggi nilai-nilai moral, etika, akhlak mulia, dan
kepribadian luhur bangsa, beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha
Esa, menghormati kebinekaan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara, serta melindungi harkat dan martabat setiap warga negara.
Globalisasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
khususnya teknologi informasi dan komunikasi, telah memberikan andil
terhadap meningkatnya pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi yang memberikan pengaruh buruk terhadap moral dan
kepribadian luhur bangsa Indonesia sehingga mengancam kehidupan dan
tatanan sosial masyarakat Indonesia. Berkembangluasnya pornografi di
tengah masyarakat juga mengakibatkan meningkatnya tindak asusila dan
pencabulan.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia telah
mengisyaratkan melalui Ketetapan MPR RI Nomor VI/MPR/2001 tentang
Etika Kehidupan Berbangsa mengenai ancaman yang serius terhadap
persatuan dan kesatuan bangsa dan terjadinya kemunduran dalam
pelaksanaan etika kehidupan berbangsa, yang salah satunya disebabkan
oleh meningkatnya tindakan asusila, pencabulan, prostitusi, dan media
pornografi, sehingga diperlukan upaya yang sungguh-sungguh untuk
mendorong penguatan kembali etika dan moral masyarakat Indonesia.
Pengaturan pornografi yang terdapat dalam peraturan perundangundangan
yang ada, seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP),
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pers, Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, dan Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak kurang memadai dan belum
memenuhi kebutuhan hukum serta perkembangan masyarakat sehingga
perlu dibuat undang-undang baru yang secara khusus mengatur pornografi.
Pengaturan . . .

Pengaturan pornografi berasaskan Ketuhanan Yang Maha Esa,
penghormatan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan, kebinekaan,
kepastian hukum, nondiskriminasi, dan perlindungan terhadap warga
negara. Hal tersebut berarti bahwa ketentuan yang diatur dalam Undang-
Undang ini adalah:
1. menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang bersumber pada ajaran agama;
2. memberikan ketentuan yang sejelas-jelasnya tentang batasan dan
larangan yang harus dipatuhi oleh setiap warga negara serta
menentukan jenis sanksi bagi yang melanggarnya; dan
3. melindungi setiap warga negara, khususnya perempuan, anak, dan
generasi muda dari pengaruh buruk dan korban pornografi.
Pengaturan pornografi dalam Undang-Undang ini meliputi (1)
pelarangan dan pembatasan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi; (2) perlindungan anak dari pengaruh pornografi; dan (3)
pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi,
termasuk peran serta masyarakat dalam pencegahan.
Undang-Undang ini menetapkan secara tegas tentang bentuk
hukuman dari pelanggaran pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan
pornografi yang disesuaikan dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan,
yakni berat, sedang, dan ringan, serta memberikan pemberatan terhadap
perbuatan pidana yang melibatkan anak. Di samping itu, pemberatan juga
diberikan terhadap pelaku tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi
dengan melipatgandakan sanksi pokok serta pemberian hukuman
tambahan.
Untuk memberikan perlindungan terhadap korban pornografi,
Undang-Undang ini mewajibkan kepada semua pihak, dalam hal ini negara,
lembaga sosial, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, keluarga,
dan/atau masyarakat untuk memberikan pembinaan, pendampingan,
pemulihan sosial, kesehatan fisik dan mental bagi setiap anak yang menjadi
korban atau pelaku pornografi.
Berdasarkan pemikiran tersebut, Undang-Undang tentang Pornografi
diatur secara komprehensif dalam rangka mewujudkan dan memelihara
tatanan kehidupan masyarakat Indonesia yang beretika, berkepribadian
luhur, dan menjunjung tinggi nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa, serta
menghormati harkat dan martabat setiap warga negara.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2 . . .

Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Perlindungan terhadap seni dan budaya yang termasuk cagar budaya
diatur berdasarkan undang-undang yang berlaku.
Pasal 4
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "membuat" adalah tidak termasuk untuk
dirinya sendiri dan kepentingan sendiri.
Huruf a
Yang dimaksud dengan "persenggamaan yang menyimpang"
antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya
dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan
homoseksual.
Huruf b
Yang dimaksud dengan ”kekerasan seksual” antara lain
persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan
(penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan atau
pemerkosaan.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "mengesankan ketelanjangan” adalah
suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh,
tetapi masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Pornografi anak adalah segala bentuk pornografi yang
melibatkan anak atau yang melibatkan orang dewasa yang
berperan atau bersikap seperti anak.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 5
Yang dimaksud dengan “mengunduh” (down load) adalah mengambil fail
dari jaringan internet atau jaringan komunikasi lainnya.
Pasal 6 . . .
- 4 -
Pasal 6
Larangan "memiliki atau menyimpan" tidak termasuk untuk dirinya
sendiri dan kepentingan sendiri.
Yang dimaksud dengan "yang diberi kewenangan oleh perundangundangan"
misalnya lembaga yang diberi kewenangan menyensor film,
lembaga yang mengawasi penyiaran, lembaga penegak hukum, lembaga
pelayanan kesehatan atau terapi kesehatan seksual, dan lembaga
pendidikan. Lembaga pendidikan tersebut termasuk pula perpustakaan,
laboratorium, dan sarana pendidikan lainnya.
Kegiatan memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan,
memiliki, atau menyimpan barang pornografi dalam ketentuan ini hanya
dapat digunakan di tempat atau di lokasi yang disediakan untuk tujuan
lembaga yang dimaksud.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ketentuan ini dimaksudkan bahwa jika pelaku dipaksa dengan ancaman
atau diancam atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk
atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain, pelaku tidak dipidana.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Yang dimaksud dengan "pornografi lainnya" antara lain kekerasan
seksual, masturbasi, atau onani.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13 . . .
- 5 -
Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pembuatan" termasuk memproduksi,
membuat, memperbanyak, atau menggandakan.
Yang dimaksud dengan "penyebarluasan" termasuk
menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor,
mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan,
meminjamkan, atau menyediakan.
Yang dimaksud dengan "penggunaan" termasuk memperdengarkan,
mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki, atau menyimpan.
Frasa "selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)" dalam
ketentuan ini misalnya majalah yang memuat model berpakaian
bikini, baju renang, dan pakaian olahraga pantai, yang digunakan
sesuai dengan konteksnya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "di tempat dan dengan cara khusus"
misalnya penempatan yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak
atau pengemasan yang tidak menampilkan atau menggambarkan
pornografi.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah sedini mungkin pengaruh
pornografi terhadap anak dan ketentuan ini menegaskan kembali terkait
dengan perlindungan terhadap anak yang ditentukan dalam Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18 . . .
- 6 -
Pasal 18
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet"
adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa
pornografi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Pasal 19
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemblokiran pornografi melalui internet"
adalah pemblokiran barang pornografi atau penyediaan jasa
pornografi.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "peran serta masyarakat dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah
agar masyarakat tidak melakukan tindakan main hakim sendiri,
tindakan kekerasan, razia (sweeping), atau tindakan melawan
hukum lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23 . . .
- 7 -
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Yang dimaksud dengan “penyidik” adalah penyidik pejabat Polisi
Negara Republik Indonesia sesuai dengan Undang-Undang Nomor 8
Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35 . . .
- 8 -
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4928