15 Desember, 2008

Perkawinan Campuran Terkait Kaidah Hukum Antar Tata Hukum Intern


KASUS POSISI

NY. SURTIATI Wu Warga Negara Indonesia melakukan perkawinan campuran dengan Dr. CHARLIE WU alias WU CHIA HSIN yang telah dicatatkan di Kantor Pencatatan Sipil Jakarta. Perkawinan tersebut telah dikaruniai dua orang anak yang lahir di Jakarta dan berkewarganegaraan Amerika Serikat yang bernama Alice dan Denise. Sejak awal perkawinan ternyata hubungan keduanya sudah tidak harmonis. Ketidakharmonisan tersebut akhirnya berbuntut pada gugatan cerai yang diajukan Dr. Charlie Wu ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Dalam Gugatannya Dr. Charlie Wu memohon agar hak asuh atas kedua anaknya diberikan kepadanya. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan permohonan tersebut yang kemudian ditegaskan lewat keputusan banding. Ny. Surtiati Wu yang merasa tidak puas mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, namun permohonan kasasinya ditolak.

ANALISA

Mengingat tahun kelahiran kedua anak tersebut adalah 1986 dan 1987, maka peraturan yang mengatur adalah undang-undang No. 62 tahun 1968. Dalam Pasal 1b tersebut menyatakan bahwa Warga Negara Indonesia (WNI) adalah orang yang pada waktu lahirnya mempunyai hubungan hukum kekeluargaan dengan ayah seorang WNI dengan pengertian hubungan kekeluargaan itu diadakan sebelum orang itu berusia 18 tahun dan belum menikah di bawah usia 18 tahun. Dengan ketentuan pasal ini, dapat disimpulkan bahwa Indonesia menganut secara ketat asas “ius sanguinis”. Oleh sebab itu, seperti dalam kasus ini dimana terjadi perkawinan campuran antara perempuan WNI (Ny Surtiati) dengan laki-laki WNA (Dr. Charlie Wu), maka anak yang dilahirkan akan mengikuti kewarganegaraan si ayah dimanapun ia dilahirkan. Mengenai ketentuan ini terdapat pengecualian yakni apabila negara si ayah tidak memberikan kewarganegaraan bagi si anak yang dilahirkan sehingga si anak akan berstatus “stateless” atau tanpa kewarganegaraan.
Dalam kasus ini, Dr. Charlie Wu merupakan warga negara Amerika yang menganut asas kewarganegaraan “ius soli”, dimana seseorang mendapat kewarganegaraan berdasarkan tempat kelahirannya. Kedua anak yang merupakan hasil perkawinan campuran antara Dr. Charlie Wu dengan Ny. Surtiati dilahirkan di Indonesia, tepatnya Jakarta. Dengan demikian, terjadi pertemuan antara dua asas kewarganegaraan yang berbeda.
Berdasarkan pasal 1 b UU No. 62 tahun 1958, kedua anak tersebut mengikuti kewarganegaraan ayah mereka, yakni Amerika. Namun, berdasarkan asas “ius soli” yang dianut oleh Amerika Serikat, kewarganegaraan kedua anak tersebut mengikuti tempat kelahiran mereka, yaitu Indonesia. Hal ini mengakibatkan kedua anak tersebut menjadi “stateless”. Akan tetapi, UU no.62 tahun 1958 menganut asas anti “apatride” dimana terjadi seseorang tidak memiliki kewarganegaraan. Oleh sebab itu, dalam kasus seperti ini, kedua anak itu dapat menjadi WNI jika sang ibu mengajukan permohonan ke pengadilan.
Dalam kasus ini, kedua anak tersebut menjadi warga negara Amerika. Hal ini dimungkinkan dengan pengakuan Dr. Charlie Wu bahwa kedua anak tersebut adalah kedua anaknya sehingga harus mengikuti kewarganegaraannya yakni Amerika. Berdasarkan ketentuan dalam pasal 17 UU No. 62 tahun 1958 dapat disimpulkan bahwa seorang anak yang diakui oleh orang asing sebagai anaknya dan memperoleh paspor atau surat yang bersifat paspor dari negara asing, maka ia memperoleh kewarganegaraan dari negara tersebut. Karena Dr. Charlie Wu mengajukan permohonan paspor kepada Kedutaan Besar Amerika Serikat. Dengan keluarnya paspor Amerika atas nama Alice dan Dennis Aulia, maka ketentuan pasal 17 tersebut berlaku. Kedua anak itu mendapat pengakuan dari Dr. Charlie Wu yang seorang WNA sebagai anaknya.

Sedangkan mengenai putusan perceraian itu sendiri, mengingat uraian-uraian mengenai sikap dan tingkah laku dari Ny. Surtiati Wu yang buruk, seperti kasar, keras kepala, mau menang sendiri, dan suka berbohong yang akhirnya menyebabkan timbulnya perselisihan dan percekcokan di dalam rumah tangga. Hal ini tidak sesuai dengan tujuan dari dilangsungkannya lembaga perkawinan yang tertera dalam undang-undang tentang perkawinan, yaitu perkawinan adalah untuk membentuk suatu keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sehingga adalah hal yang wajar apabila Mahkamah Agung mengabulkan gugatan perceraian yang diajukan oleh Dr. Charlie Wu, yaitu menyatakan ikatan perkawinan antara Dr. Charlie Wu dan Surtiati Wu putus karena perceraian.
Hal ini juga didukung oleh pernyataan yang dikeluarkan oleh kedua anak dari Penggugat dan Tergugat bahwa mereka setuju apabila kedua orangtua mereka bercerai karena jika perkawinan tersebut dilanjutkan, hanya akan menambah penderitaan batin mereka saja dan lagi mereka tidak keberatan apabila ditaruh di bawah perwalian dari Penggugat (Dr. Charlie Wu).
Apabila menilik dari uraian yang diajukan oleh kuasa hukum dari Penggugat bahwa :
1. Ny. Surtiati Wu telah bersikap dan bertingkah laku buruk sehingga menimbulkan banyak percekcokan dan perselisihan dalam rumah tangga.
2. Percekcokan dan perselisihan tersebut menimbulkan pernderitaan batin bagi kedua anak mereka, yaitu Alice dan Denise Aulia.
3. Kedua anak mereka mendukung perceraian antara Dr. Charlie Wu dan Surtiati Wu.
4. Kedua anak mereka tidak keberatan untuk ditaruh di bawah perwalian Dr. Charlie Wu.
5. Dr. Charlie Wu sudah menyatakan kesanggupannya untuk terus merawat dan mendidik Alice dan Denise Aulia, menjaga perkembangan kehidupan jasmani dan rohani mereka serta menanggung biaya pendidikan mereka sampai perguruan tinggi.
Maka, putusan Mahkamah Agung untuk menyatakan putusnya perkawinan antara Dr. Charlie Wu dan Surtiati Wu serta menyerahkan perwalian kedua anak mereka yang berkewarganegaraan Amerika adalah tepat.
Jika dianalisis terhadap perkawinan campur dari Dr. Charlie Wu dengan Ny. Surtiati Wu, maka pada bagian latar belakang permasalahan bentuk perkawinan ini terdapat kontradiksi yang kuat antara doktrin ketertiban umum dengan doktrin hak-hak yang diperoleh. Dr Charlie Wu menikah dengan Ny. Surtiati di Kansas, Amerika Serikat termasuk perkawinan yang sama sekali sah. Dr. Charlie Wu dan Nyonya Surtiati telah memperoleh hak-hak di Negara Amerika Serikat sehingga dalam penerapannya di Indonesia maka permasalahan ini tidak serta merta dinyatakan tidak sah oleh Indonesia berdasarkan Ketertiban Umum karena bertentangan dengan UU Kewarganegaraan.
Hak-hak yang diperoleh biasanya dipakai untuk mengedapankan bahwa perubahan dari fakta-fakta, tidak akan mempengaruhi berlakunya kaidah-kaidah yang semula dipakai. Penerapan prinsip ini menurut pemikiran Dicey yang menentukan bahwa, “ Any Right which has been duly recognized, and in general, enforced by English court, and no right which has not been duly acquired in enforced or in general, recoqnized by English courts”. Hak yang telah diperoleh menurut ketentuan hukum Negara asing, diakui dan sepenuhnya dilaksanakan oleh hakim, sepanjang hak-hak ini tidak bertentangan dengan konsepsi public policy.
Namun dalam praktek dan jika dihubungkan dengan kasus Dr. Charlie Wu dengan Ny. Surtiati Wu, Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa “hak-hak yang diperoleh” pada perkawinan camouyr yang mendapat legitimasi di Amerika Serikaty tersebut setidak-tidaknya tidak dijadikan dasar dari seluruh bangunan bagi sang Hakim dalam melaksanakan tugasnya memilih hukum yang harus dipergunakan, sebagai pengecualian atas apa yang menurut ketentuan-ketentuan HPI lex fori seyognya harus diperlakukan.
Kemudian dalam hal pengakuan anak tersebut sebenarnya hakim dalam mempertimbagkan analisa yuridis tidak menggunakan HATAH atau Hukum Antar Tata Hukum secara maksimal. Hal ini membuktikan bahwa hakm Indonesia terlebih-lebih mengenai kasus Dr. Charlie Wu dengan Ny. Surtiati Wu yang terkait dengan masalah hatah tidak mengenal dengan baik mengenai konstruksi berfikir hatah dengan tidak memasukan salah satupun pertimbangan dalam putusannya. Inilah sikap dari para hakim yang entah chauvimis ataukah keterbelakangan ilmu sehingga tanpa adirnya Keterangan Ahli dalam persidangan yang mengungkapakan dalil-dalil HATAH kemudian akan dikesampingkan.
Perpindahan Dr. Charlie Wu yang berkewarganegaraan Amerika Serikat, sebenarnya suatu permasalahan tersendiri, karena disini ada titik pertalian yang harus dicermati, karena Hakim pasti akan memilih akankah akan menggunakan setelsel hukum Amerika Serikat sesuai dengan kewarganegaraan Chalie Wu ataukah menggunakan Stelsel Hukum Indonesia sesuai dengan kewarganegaraan dari Istrinya, Ny. Surtiati Wu, serta sesuai dengan letak diajukannya gugatan perdata yang dilakukan oleh Dr. Charlie Wu yakni di Pengadilan Negri Jakarta Selatan. Hal inilah yang perlu juga kita tinjau dan seharusnya Hakim sebagai pihak pencari keadilan mempertimbangkan hal ini.
Van Vollenhoven mengunkapkan salah satu pertimbangan untuk mempergunakan hukum nasional dalam menentukan stelsel hukum yang berlaku apabila terjadi titik pertalian adalah dengan melihat adanya :
• Percampuran dengan sukubangsa Asli (vermenging met de autochtone bevolking)
• Persatuan dengan masyarakat hukum setempat (deelgennotschap van locale rechtgemeenschap)
Sedangkan perbedaan antara kedua syarat ini ialah bahwa “pencampuran dengan suku bangsa asli” berlangsung dalam lingkungan daerah yang lebih luas atau isebut region atau regional. Sedangkan “persatuan dengan masyarakat setempat” maka semula ini memperlihatkan suatu proses “pengolahan” yang tidak sedemikian mendalam., kemudian mengenai daerah yang lebih kecil namun sebaliknya dirasakanlebih dalam. Jika kembali dalam kasus maka akan terasa janggal bahwa Dr. Charlie Wu berserta anak Dr. Charlie Wu yang hanya melakukan pencampuran yang tidak sedalam persatuan namun hendak memakai stelsel hukum Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar