30 Juni, 2009

Hak Tanggungan (subjek, objek, sifat, dan ciri)

HAK TANGGUNGAN pada hakikatnya merupakan hak jaminan atas tanah. Hak ini akan dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana yang dimaksud dalam UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Penggunaan hak tanggungan, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu. Hak Tanggungan bisa juga dipergunakan untuk pelunasan utang tertentu, serta memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.

Kemudian siapa yang bisa dikatakan sebagai pemengang hak tanggungan atau subjek hak tanggungan ialah Pemberi Hak Tanggungan dan Pemegang Hak Tanggungan. Yang dimaksud sebagai Pemberi hak tanggungan ialah orang atau badan hukum yang mempuyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Sedangkan yang pemegang Hak tanggungan adalah orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang.

Klasifikasi Objek dari Hak Tanggungan dapat dilihat dari berbagai sudut tergantung pada perkembangan lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai hak tanggungan. Jika ditinjau dari yang ditunjuk oleh UUPA (Pasal 4 ayat 1 UUHT) maka yang bisa menjadi objek hak tanggungan hanyalah Hak Milik (Pasal 25 UUPA), Hak Guna Usaha (Pasal 33 UUPA), Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA).Kemudian apabila ditinjau dari Yang ditunjuk oleh UUHT (Pasal 4 ayat 2), dapat ditambahkan satu lagi macam hak tanggungan ialah Hak Pakai atas tanah negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan. Sedangkan pada tahapan akhir perkembangan hak tanggungan sebagaimana Yang ditunjuk oleh UU No. 16 tahun 1985 tentang Rumah Susun (Pasal 27 UUHT) menyatakan bahwa adapula tambahan objek hak tanggungan ialah Rumah Susun yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara serta Hak Milik atas Satuan Rumah Susun (HMSRS) yang bangunannya didirikan di atas tanah Hak Milik,Hak Guna Bangunan, dan Hak Pakai yang diberikan oleh Negara.

Hak Tanggungan memiliki ciri-ciri yang dapat dibedakan dengan berbagai hak lainnya ialah
  • Membuat kedudukan seorang kreditor menjadi diutamakan dibandingkan kreditornya (“droit de preference”);
  • Mengikuti obyek yang dijaminkan di tangan siapapun obyek itu berada (“droit de suite”);
  • Dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum pada pihak-pihak yang berkepentingan ketika memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas;
  • memnyederhanakan pelaksanaannya eksekusi.

Hak Tanggungan memiliki sifat yang tidak dapat dipungkiri yakni Pertama, Tidak dapat dibagi-bagi (ondeelbaar), berarti Hak Tanggungan membebani secara utuh obyeknya dan setiap bagian daripadanya. Pelunasan sebagian utang yang dijamin tidak membebaskan sebagian obyek dari beban Hak Tanggungan, tetapi Hak Tanggungan tetap membebani seluruh obyeknya untuk sisa utang yang belum dilunasi. Kedua, Hak Tanggungan hanya merupakan ikutan (“accessoir”) dari perjanjian pokok, yaitu perjanjian yang menimbulkan hubungan hukum utang piutang. Keberadaan, berakhir dan hapusnya Hak Tanggungan dengan sendirinya tergantung pada utang yang dijamin pelunasannya tersebut.

Sumber :
Sutan Remy Sjahdeni, Hukum Kepailitan, Pustaka Utama Grafiti. Yogyakarta. 2002
Sutan Remy Sjahdeni, Hak Tanggungan Asas-Asas Ketentuan Pokok Dan Masalah Yang Dihadapi Oleh Perbankan, Alumni, Bandung. 1999.

28 Juni, 2009

Melapor melalui Ombudsman

Ketika berhadapan dengan pelayanan publik, pasti sering kita merasa kurangnya perhatian dari pejabat publik dalam memberikan pelayanan yang prima terhadap masyarakat. namum merasa ketika kurang puas dengan pelayanan tersebut, seringkali kita bingung kemanakah akan disampaikan keluh kesah ini?

Kini dengan telah dibentuknya UU Nomor 37 Tahun 2008 maka masyarakat bisa melaporkan keluh kesahnya kepada OMBUDSMAN. Ombudsman Republik Indonesia memiliki kewenangan mengawasi pemberian pelayanan umum oleh penyelenggara negara dan pemerintah kepada masyarakat. Penyelenggara negara dimaksud meliputi Lembaga Peradilan, Kejaksaan, Kepolisian, Badan Pertanahan Nasional, Pemerintah Daerah, Instansi Departemen dan Non-Departemen, BUMN, dan Perguruan Tinggi Negeri, serta badan swasta dan perorangan yang seluruh/sebagian anggarannya menggunakan APBN/APBD.

Ternyata yang berhak melapo kepada ombudsman bisa dikatakan Seluruh lapisan masyarakat yang merasa diperlakukan tidak adil oleh aparatur negara dalam memberikan pelayanan publik, yang memiliki status Warga Negara Indonesia. Nah, ketika waga Negara tersebut melaporkan keluh kesahnya harus memiliki kepentingan terhadap kasus yang dilaporkan agar bisa ditanggapi oleh Ombudsman.

Bagaimana cara menyampaikannya ?
  • Disampaikan secara tertulis dalam bahasa Indonesia yang baik dan benar.
  • Laporan pengaduan harus disertai kronologis kasus yang dijabarkan secara jelas dan sistematis serta ditandatangani.
  • Mencantumkan identitas diri antara lain fotokopi KTP/SIM/Passport.
  • Melampirkan fotokopi data pendukung secukupnya.
  • Laporan pengaduan tertulis dapat dikirim melalui pos, diantar langsung ke kantor Ombudsman Republik Indonesia atau melalui website (www.ombudsman.go.id).
  • Lakukan tahapan berikut untuk mengirimkan pengaduan melalui website :
  1. Lakukan pendaftaran pelapor dengan mengisi formulir pendaftaran secara lengkap dan aktifkan username anda setelah menerima e-mail verifikasi yang dikirim secara otomatis.
  2. Lakukan login untuk mengirimkan pengaduan serta melihat perkembangan pengaduan.

Bagaimana proses penanganannya ?
• Setelah persyaratan dipenuhi pengaduan akan ditelaah oleh asisten Ombudsman.
• Apabila ternyata berkas yang dilampirkan belum lengkap, maka Staf Ombudsman akan menghubungi agar segera melengkapinya. Bila dirasa perlu akan dilakukan konsultasi di kantor Ombudsman Republik Indonesia.
• Setelah berkas pengaduan lengkap akan ditindaklanjuti sesuai kewenangan Ombudsman yang diamanatkan dalam UU No. 37 Tahun 2008 tentang Ombudsman Republik Indonesia.
Biaya ?
• Tidak dipungut Biaya (Gratis).
• Tidak menerima imbalan dalam bentuk apapun.

Download UU Ombudsman

Dalam menjalankan tugasnya Ombudsman Republik Indonesia selalu mendasarkan dirinya pada prinsip-prinsip yang dianutnya sehingga menjadi jati diri yang melekat bagi setiap anggotanya dan dalam pergerakannya harus memegang teguh tujuh falsafah, yaitu :
Saling Menghargai, Melayani setiap pribadi dengan prinsip - prinsip kesopanan dan saling menghargai sebagai manusia sederajat.
  • Keteladanan, Menjadi teladan dan pelopor dalam prinsip keterbukaan, kesederajatan, tidak memihak, serta pelopor dalam pembaharuan dan selalu konsisten dalam keputusan.
  • Kesetaraan, Mempelopori adanya kesetaraan dan selalu membuka akses bagi setiap orang tanpa memandang status ekonomi, keluarga, bahasa, agama, kesukuan dan ras, termasuk juga tidak memandang dari segi kondisi fisik, jenis kelamin, umur ataupun status perkawinan.
  • Pemberdayaan Masyarakat, Mendorong dan membantu masyarakat yang menggunakan sarana publik dalam mencari pemecahan bagi setiap masalahnya.
  • Pembelajaran yang Berkesinambungan, Menjadi pelopor dan pendorong dalam hal pembelajaran yang berkesinambungan bagi setiap staf, pemerintah dan masyarakat.
  • Kerjasama, Selalu menggunakan prinsip-prinsip kerjasama, empati dan niat baik dalam setiap tugas.
  • Kerjasama Tim, Mengkombinasikan perbedaan latar belakang dan pengalaman dalam mencapai satu tujuan dan komitmen untuk sukses.
bila ada yang kurang jelas silahkan baca FAQ atau kirim masukan kepada kami melalui email ombudsman@ombudsman.go.id, atau ke nomor telepon (021) 7258574-77.

Misi Ombudsman:
  • Melalui peran serta masyarakat membantu menciptakan dan/atau mengembangkan kondisi yang kondusif dalam melaksakan pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme.
  • Meningkatkan perlindungan hak-hak masyarakat agar memperoleh pelayanan umum, keadilan dan kesejahteraan yang lebih baik.
  • Memprioritaskan pelayanan masyarakat dengan terus-menerus menambah pengetahuan mengenai kebutuhan masyarakat dengan jalan mengadakan hubungan baik yang saling menghormati serta memberikan penyelesaian yang tidak memihak, menjaga rahasia pribadi serta cepat dan tepat.
  • Melakukan langkah untuk menindak lanjuti keluhan atau informasi mengenai terjadinya penyimpangan oleh penyelenggara negara dalam melaksanakan tugasnya maupun dalam pelayanan umum.
  • Melakukan koordinasi dan kerjasama dengan Instansi Pemerintah, Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat, Para Ahli, Praktisi, Organisasi Profesi dll.
  • Memaksimalkan nilai tambah kepada masyarakat dengan terus-menerus mensosialisasikan adanya Ombudsman Republik Indonesia, termasuk memberikan informasi bagaimana keluhan ditindaklanjuti, cara bagaimana dapat mengajukan keluhan serta menganjurkan masyarakat untuk melakukannya.
  • Memastikan keberhasilan kerja melalui komitmen menyeluruh dengan standar perstasi kerja yang tinggi melalui menejemen terbuka dan memberikan training yang terus menerus untuk meningkatkan pengetahuan serta profesional tim asistensi dalam menangani/menindaklanjuti keluhan-keluhan. Ini semua dilakukan dengan integritas dan tanggung jawab yang tinggi.

Sumber : http://www.ombudsman.go.id/

18 Juni, 2009

Antara Jelita dan Jelata?

Suatu bantuan hukum tidak akan pernah sampai pada titik keadilan yang sempurna. Menurut pendapat ANDA, ketika ada ada rakyat jelita ataupun Jelata, mana yang lebih diprioritaskan untuk mendapatkan bantuan hukum?

Kaum Jelata, Kaum Jelita, ataupun Keduanya?

Mau Tahu Jawabannya?

=========================================================
Undangan ini setidak-tidaknya akan menjawab seluruh pertanyaan diatas!
=========================================================

Kepada yang Terhomat,
Seluruh warga negara yang berhak mendapatkan bantuan hukum
di tempat

Dengan hormat,
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya. Semoga kita senantiasa diberi kemudahan dalam menjalankan kegiatan sehari-hari.
Dalam rangka untuk menguatkan wacana tentang pentingnya Rancangan Undang-Undang dalam mewujudkan negara hukum di Indonesia, kami, Lembaga Edukasi, Bantuan, dan Advokasi Hukum Jurist Makara (LEBAH JM) akan menyelenggarakan:

Acara : Diskusi Publik Rancangan Undang-Undang Bantuan Hukum

Tempat : Kirana Ballroom, Hotel Kartika Chandra

Hari, tanggal : Selasa, 23 Juni 2009

Pukul : 09.00 s/d 17.00 WIB

Pembicara :
Dr. Adnan Buyung Nasution
Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H.
Prof. Dr. Indiarto Seno Adji, S.H.
Artidjo Al Kautsar
Kartini Muljadi
Asfinawati
Lukman Hakim Saifudin
Tim Sukses Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden

Sehubungan dengan itu, kami mohon kesediaan Anda untuk membantu kami dengan meliput acara tersebut. Besar harapan kami Anda bersedia untuk memenuhi permohonan ini.
Demikian surat permohonan ini kami sampaikan. Atas perhatiannya kami ucapkan terima kasih.


Hormat Kami,




Adi Febrianto Sudradjat
Ketua


Fallissa A. Putri
Sekretaris

Contact Person :
Fernandes Raja Saor


02198948771
raja1987.blogspot.com




02 Juni, 2009

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial

Pendahuluan

Sebagai seorang mahasiswa yang bercita-cita menjadi advokat maka ketika ada sebuah permasalahan di bidang hukum harus tangkas dalam memberikan suatu pendapat hukum. Sebab permasalahan ternyata tidak harus berakhir di meja persidangan. Dengan mempertimbangkan asas subsidiaritas maka, banyak sekali upaya hukum disamping penyelesaian di meja hijau yang bisa dilakukan oleh pihak bersengketa untuk menyelesaikan masalahnya. Sedangkan hukum perburuhan sebagai salah satu kerangka hukum positif yang diakui keberadaannya dalam tata hukum Indonesia, turut mengakomodir penyelesaian diluar kompetensi pengadilam umum. Dengan dikenalnya upaya hukum arbitrasi, mediasi, litigasi, dan sebagainya, maka pemilihan urutan yang benar mempengaruhi ketepatan beracara untuk menyelesaikan masalah dengan cepat, cermat, dan tepat. Tugas ini mengangkat suatu kasus yang telah selesai di pengadilan, dan menganalisis, apabila kasus ini belum diperkarakan, maka upaya hukum apa saja yang bisa dilakukan, serta upaya hukum apa yang paling tepat serta urutan upaya hukum apa yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan kasus mengenai hukum perburuhan.
Makalah ini akan mengandaikan apabila terjadi suatu fakta hukum yang berkutat pada ranah hukum perburuhan, dan fakta ini haruslah memiliki suatu permasalahan yang berkaitan antara hubungan buruh dengan buruh, buruh dengan majikan ataupun buruh dengan penguasa. Dari berbagai proses penyelesaian yang diakomodir dalam peraturan perundang-undangan, ternyata ada kelemahan dan kelebihan masing-masing upaya penyelesaian, sehingga perlu dicermati lebih dalam satu per satu. Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial diusahakan melalui penyelesaian perselisihan yang terbaik, yaitu penyelesaian perselisihan oleh para pihak yang berselisih, sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Penyelesaian ini dapat diselesaikan melaui Bipartit, Tripartit, Arbitrase dan Pengadilan Hubungan Industrial.

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Hubungan Industrial, yang merupakan keterkaitan kepentingan antara pekerja/buruh dengan pengusaha, berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat, bahkan perselisihan antara kedua belah pihak. Perselisihan di bidang hubungan industrial yang selama ini dikenal dapat terjadi mengenai hak yang telah ditetapkan, atau mengenal keadaan ketenagakerjaan yang belum ditetapkan baik dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun peraturan perundang-undangan. Perselisihan hubungan industrial dapat pula disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja. Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja yang selama ini diatur di dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta, ternyata tidak efektif lagi untuk mencegah serta menanggulangi kasus-kasus pemutusan hubungan kerja. Hal ini di sebabkan karena hubungan antara pekerja/buruh dan pengusaha merupakan hubungan yang didasari oleh kesepakatan para pihak untuk meningkatkan diri dalam suatu hubungan kerja. Dalam hal salah satu pihak tidak menghendaki lagi untuk terikat dalam hubungan kerja tersebut, maka sulit bagi para pihak untuk tetap mempertahankan hubungan yang harmonis. Oleh karena itu perlu dicari jalan keluar yang terbaik bagi kedua belah pihak untuk menentukan bentuk penyelesaian, sehingga Pengadilan Hubungan Industrial yang diatur dalam Undang-undang ini akan dapat menyelesaiakn kasus-kasus pemutusan hubunga kerja yang tidak diterima oleh salah satu pihak. Sejalan dengan era keterbukaan dan demokratisasi dalam dunia industri yang diwujudkan dengan adanya kebebasan untuk berserikat bagi pekerja/buruh, maka jumlah serikat pekerja/serkat buruh di satu perusahaan tidak dapat di batasi. Persaingan diantara serikat pekerja/serikat buruh di satu perusahaan ini dapat mengakibatkan perselisihan di antara serikat pekerja/serikat buruh yang pada umumnya terkaitan dengan masalah keanggotaan dan keterwakilan di dalam perundingan pembuatan perjanjian kerja bersama. 
Peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang penyelesaian perselisihan hubungan industrial selama ini ternyata belum mewujudkan penyelesaian perselisihan secara cepat, tepat, adil, dan murah. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang selama ini digunakan sebagai dasar hukum penyelesaian perselisihan hubungan dirasa tidak dapat lagi mengakomodasi perkembangan-perkembangan yang terjadi, karena hak-hak pekerja/buruh perseorangan belum terakomodasi untuk menjadi pihak dalam perselisihan hubungan industrial. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 yang selama ini digunakan sebagai dasar hukum penyelesaian perselisihan hubungan industrial hanya mengatur penyelesaian perselisihan hak dan perselisihan kepentingan secara kolektif, sedangkan penyelesaian perselisihan hubungan industrial pekerja/buruh secara perseorangan belum terakomodasi. Hal lainnya yang sangat mendasar adalah dengan ditetapkannya putusan P4P sebagai objek sengketa Tata Usaha Negara, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Dengan adanya ketentuan ini, maka jalan yang harus ditempuh baik oleh pihak pekerja/buruh maupun oleh pengusaha untuk mencari keadilan menjadi semakin panjang.
Penyelesaian perselisihan yang terbaik adalah penyelesaian oleh para pihak yang berselisih sehingga dapat diperoleh hasil yang menguntungkan kedua belah pihak. Penyelesaian biparti ini dilakukan melalui musyawarah mufakat oleh para pihak tanpa dicampuri oleh pihak manapun. Namun demikian Pemerintah dalam upayanya untuk memberikan pelayanan masyarakat khususnya kepada masyarakat pekerja/buruh dan pengusaha, berkewajiban memfasilitasi penyelesaian perselisihan hubungan industrial tersebut. Upaya fasilitasi dilakukan dengan menyediakan tenaga mediator yang bertugas untuk mempertemukan kepentingan kedua belah pihak yang berselisih. 
Penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang disebabkan oleh :
  1. perbedaan pendapat atau kepentingan mengenai keadaan ketenagakerjaan yang belum diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan;
  2. kelalaian atau ketidakpatuhan salah satu atau para pihak dalam melaksanakan ketentuan normatif yang telah diatur dalam perjanjian kerja, pertauran perusaahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan;
  3. pengakhiran hubungan kerja;
  4. perbedaan pendapat antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan mengenai pelaksanaan hak dan kewajiban keserikat pekerjaan.
Penyelesaian Sengketa Buruh Melalui Komisi Nasional Hak Azasi Manusia
Undang-undang Hak Azasi Manusia No.39 Tahun 1999 memberi peluang bagi Buruh dan Tenaga Kerja dalam menyelesaikan sengketa buruh. Walaupun banyak kaum awam belum paham tentang tata cara penyelesaian sengketa Buruh melalui Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, Undang-undang No.39 Tahun 1999 memberi peluang sengketa buruh dapat diselesaikan melalui Komisi Hak Azasi Manusia. Pada pasal 89 ayat 3 sub h, dikemukakan Komnas HAM dapat menyelesaikan dan memberi pendapat atas sengketa publik, baik terhadap perkara buruh yang sudah disidangkan maupun yang belum disidangkan.
Penjelasan Undang-undang tersebut mengatakan sengketa publik yang dimaksud di dalam Undang-undang Hak Azasi Manusia tersebut termasuk 3 (tiga) golongan sengketa besar, antara lain sengketa pertanahan, sengketa ketenaga kerjaan dan sengketa lingkungan hidup.
Sengketa ketenaga kerjaan tergolong sengketa publik dapat mengganggu ketertiban umum dan stabilitas Nasional, maka peluang pengaduan pelanggaran Hak-hak Buruh tersebut dapat disalurkan ke Komisi Nasional Hak Azasi Manusia sesuai dengan isi Pasal 90 Undang-undang No.39 Tahun 1999 yang berbunyi pada ayat 1 “ Setiap orang atau kelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa Hak Azasinya telah dilanggar dapat memajukan laporan dan pengaduan lisan atau tertulis pada Komisi Nasional Hak Azasi Manusia”. Kemudian dikuatkan lagi dalam Bab VIII Pasal 101 Undang-undang No.39 Tahun 1999 tersebut Lembaga Komnas HAM dapat menampung seluruh laporan masyarakat tentang terjadinya pelanggaran Hak Azasi Manusia.

Penyelesaian Sengketa Buruh Di Luar Pengadilan
Penyelesaian perselisihan Hubungan Industrial dalam Undang-undang No.2 Tahun 2004 memungkinkan penyelesaian sengketa buruh/Tenaga Kerja diluar pengadilan.
Penyelesaian Melalui Bipartie
Bipartie merupakan langkah pertama yang wajib dilaksanakan dalam penyelesaian PHI oleh penguasa dan pekerja atau serikat pekerja adalah dengan melakukan penyelesaian dengan musyawarah untuk mufakat, sebagaimana dimaksud dalam pasal 6 dan pasal 7 Undang-undang No.2 Tahun 2004 memberi jalan penyelesaian sengketa Buruh dan Tenaga Kerja berdasarkan musyawarah mufakat dengan mengadakan azas kekeluargaan antara buruh dan majikan. Penyelesaian perselisihan melalui bipartite ini memiliki jangka waktu 30 hari kerja sejak dimulainya perundingan, sedangkan apabila jangka waktu terlampau maka perundingan dinyatakan batal demi hukum. Ketentuan perundingan tersebut setidak-tidaknya harus memuat antara lain mengenai nama lengkap, tanggal dan tempat perundingan, pokok masalah, pendapat para pihak, kesimpulan atau hasil perundingan, serta tanda tangan para pihak. Hasil perundingan kedua belah pihak atas perjanjian tersebut acapkali disebut dengan perjanjian bersama yang wajib didaftarkan pada pengadilan hubungan industrial di wilayah para pihak membuat perjanjian bersama tersebut.

Penyelesaian Melalui Mediasi
Mediasi ialah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja atau serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang mediator yang netral, sebagaimana tercantum dalam pasal 1 angka 1 UUPPHI). Pemerintah dapat mengangkat seorang Mediator yang bertugas melakukan Mediasi atau Juru Damai yang dapat menjadi penengah dalam menyelesaikan sengketa antara Buruh dan Majikan. Seorang Mediator yang diangkat tersebut mempunyai syarat-syarat sebagaimana dituangkan dalam Pasal 9 Undang-undang No.2 Tahun 2004. Pengangkatan dan akomodasi mediator ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Bila telah tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan melalui Mediator tersebut dibuatkan “perjanjian bersama” yang ditandatangani para pihak dan mediator tersebut, kemudian perjanjian tersebut didaftarkan di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri setempat.
Apablia tidak terjadi kesepakatan antara pihak bersengketa maka dapat dilakukan mediasi. Mediasi dapat dikatakan sebagai salah satu upaya dari pihak yang dapat dilakukan oleh para pihak, sebelum sampai ke pengadilan. Penyelesaian masalah di tahap mediasi sangat cepat tidak lebih dari 30 hari kerja, dan mediator wajib untuk memulai sidang mediasi selambat-lambatnya 7 hari sejak dilimpahkan (pasal 10 dan 15 UUPHI)

Penyelesaian Melalui Konsiliasi
Penyelesaian melalui Konsiliator yaitu pejabat Konsiliasi yang diangkat dan diberhentikan oleh Menteri Tenaga Kerja berdasarkan saran organisasi serikat pekerja atau Serikat Buruh. Segala persyaratan menjadi pejabat Konsiliator tersebut didalam pasal 19 Undang-Undang No.2 Tahun 2004. Dimana tugas terpenting dari Kosiliator adalah memangil para saksi atau para pihak terkait dalam tempo selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak menerima penyelesaian Konsiliator tersebut.
Pejabat Konsiliator dapat memanggil para pihak yang bersengketa dan membuat perjanjian bersama apabila kesepakatan telah tercapai.
Pendaftaran perjanjian bersama yang diprakarsai oleh Konsiliator tersebut dapat didaftarkan didepan pengadilan Negeri setempat. Demikian juga eksekusinya dapat dijalankan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat tesebut.

Penyelesaian Melalui Arbitrase
Penyelesaian perselisihan melalui arbitrase pada umumnya, telah diatur di dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa yang berlaku di bidang sengketa perdagangan. Oleh karena itu arbitrase hubungan industrial yang diatur dalam undang-undang ini merupakan pengaturan khusus bagi penyelesaian sengketa di bidang hubungan industrial.
Undang-undang dapat menyelesaikan perselisihan melalui arbitrase meliputi perselisihan kepentingan dan perselisihan antar Serikat Pekerja dan Majikan didalam suatu perusahaan. Untuk ditetapkan sebagai seorang Arbiter sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 31 ayat (1). Para pihak yang bersengketa dapat memilih Arbiter yang mereka sukai seperti yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja. Putusan Arbiter yang menimbulkan keraguan dapat dimajukan tuntutan ingkar kepada Pengadilan Negeri setempat dengan mencantumkan alasan-alasan otentik yang menimbulkan keraguan tersebut.
Putusan Pengadilan Negeri dalam Pasal 38 Undang-undang No.2 Tahun 2004, dapat membuat putusan mengenai alasan ingkar dan dimana tidak dapat diajukan perlawanan lagi. Bila tercapai perdamaian, maka menurut isi Pasal 44 Undang-undang No.2 Tahun 2004, seorang arbiter harus membuat Akte Perdamaian yang ditandatangani oleh kedua belah pihak dengan disaksikan seorang Arbiter atau Majelis Arbiter.
Penetapan Akte Perdamaian tersebut didaftarkan dimuka pengadilan, dan dapat pula di exekusi oleh Pengadilan atau putusan tersebut, sebagaimana lazimnya. Putusan Kesepakatan Arbiter tersebut dibuat rangkap 3 (tiga) dan diberikan kepada masing-masing pihak satu rangkap, serta didaftarkan didepan Pengadilan Hubungan Industrial terhadap putusan tersebut yang telah berkekuatan hukum tidak dapat dimajukan lagi atau sengketa yang sama tersebut tidak dapat dimajukan lagi ke Pengadilan Hubungan Industrial.
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Arbitrase dilakukan atas kesepakatan kedua belah pihak berdasarkan Perjanjian Kerja Bersama, dan apabila didalam Perjanjian Kerja Bersama tidak diatur tentang penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial secara Arbitrase, maka para pihak dapat membuat Perjanjian pendahuluan yang berisikan penyelesaian perselisihan melalui Arbitrase pada saat sengketa telah terjadi.
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Arbitrase yang dilakukan berdasarkan kesepakatan para pihak, tidak dapat diajukan Gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial karena Putusan Arbitarse bersifat akhir dan tetap, kecuali dalam hal-hal tertentu dapat dilakukan pembatalan ke Mahkamah Agung RI.

Penyelesaian Perselisihan Melalui Pengadilan
Dalam UU PPHI, disebutkan bahwa hakim yang bersidang terdiri dari 3 hakim, satu hakim karir dan dua hakim ad hoc. Hakim ad hoc adalah anggota majelis hakim yang ditunjuk dari organisasi pekerja dan organisasi pengusaha. Hakim ad hoc, sambungnya, dianggap orang yang mengerti dan memahami hukum perburuhan saat ini dengan baik. "Tujuannya, karena hokum perburuhan ini mempunyai sifat yang spesifik, maka,dibutuhkan orang-orang khusus yang mengerti permasalahan perburuhan. Masalah perburuhan kan tidak hukumansis, ada faktor social, ekonomi, politik, dan sebagainya," tegasnya. Berbeda dengan hakim peradilan umum yang merupakan murni hukum.

Sebelum keluarnya Undang-undang Hubungan Industrial penyelesaian sengketa perburuhan diatur didalam Undang-undang No.22 tahun 1957 melalui peradilan P4D dan P4P. Untuk mengantisipasi penyelesaian dan penyaluran sengketa Buruh dan Tenaga Kerja sejalan dengan tuntutan kemajuan zaman dibuat dan di undangkan Undang-undang No.2 Tahun 2004 sebagai wadah peradilan Hubungan Industrial disamping peradilan umum.
Dalam Pasal 56 Undang-undang No.2 Tahun 2004 mengatakan Pengadilan Hubungan Industrial bertugas dan berwenang memeriksa dan memutuskan :
• di tingkat pertama mengenai perselisihan hak
• di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan
• di tingkat pertama mengenai perselisihan pemutusan hubungan kerja
• di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.

Kesimpulan
•Penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam kaitannya dengan hukum perburuhan dapat dilakukan dengan berbagai cara yakni baik mengunakan penyelesaian di dalam maupun di luar persidangan.
•Penyelesaian ditingkat bipartite lebih efektif dibandingkan penyelesaian permasalahan ditingkat perselisihan, tetapi ada dua persyaratan yang harus dipenuhi kedua belah pihak yaitu : mengembangkan sikap kerja sama sejajar (patnership equality) dengan menempatkan SP/SB sebagai bagian perusahaan dan bukan subordinasi perusahaan, serta mengembangkan sikap saling percaya (mutual trust).

Saran
• Penyelesaian Hubungan Perburuhan haruslah mengutamakan musyawarah dan mufakat. Pihak yang bersengketa harus dapat memposisikan diri dan memiliki kemampuan dalam bernegosiasi, menjadikan permasalahan perburuhan dapat diselesaikan dalam tingkat Tripartit tanpa harus melalui mekanisme Pengadilan Hubungan Industrial, sehingga pemborosan terhadap waktu dan materi dapat di minimalkan.
• Memperkuat penyelesaian non ligitasi sebagai pilihan utama dan berwibawa (berkeadilan bagi kedua belah pihak) yaitu : Pekerja/Buruh dan Pengusaha diberi keleluasaan untuk memilih juru damai (konsiliator/mediator) yang ada, serta memfasilitasi terbentuknya sistem arbitrasi yang bebas / independent, mandiri, dan berwibawa.


Daftar Pustaka
- Lalu Husni SH.M.Hum. Penyelesaian Perselisian Hubungan Industrial Melalui Pengadilan dan Diluar Pengadilan, Penerbit PT. Raja Grafindo Parsada, Jakarta 2004.
—————- Undang-undang Pengadilan Hak Azasi Manusia, 2000 dan Undang-undang HAM 1999, Penerbit Citra Umbara, Bandung, 2001.
—————- Depnaker RI, Undang-undang No.2 Tahun 2004 Tentang Perselisihan Hubungan Industrial, Penerbit Dewan Pimpinan Pusat Konfidrasi SPSI dan Depnaker, 2004.
—————- Undang-undang RI No.13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan Beserta penjelasannya, Penerbit Citra Umbara, Bandung, 2004.
—————- Komisi Nasional Hak Azasi Manusia, Jurnal HAM Vol.1 No.1, Oktober 2003, Penerbit Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, 2003.
Keleung, Bukit. Beberapa Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan Di dalam Dan Di Luar Pengadilan. http://library.usu.ac.id/download/fh/hkmadm-kelelung.pdf.