02 Desember, 2008

Mitigasi Gas Rumah Kaca serta Tatanan Perundang-undangan yang Mendukung.


MITIGASI GAS
Definisi Mitigasi Serta Gas
Tidak diragukan bahwa perubahan iklim merupakan isu lingkungan yang sangat signifikan dalam beberapa dekade ke depan. Sebagai contoh, dalam Kyoto Protokol perjanjian yang mengikat untuk secara kolektif menurunkan emisi gas rumah kaca pada 39 negara industri sebesar 5,2 % di bawah level tahun 1990 pada tahun 2008-2012. Persetujuan ini dicapai pada the Third Conference of the Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change, di Kyoto, Jepang , Desember 1997. Tetapi perjajian ini belum akan berlaku sampai perjanjian ini diratifikasi oleh paling tidak 55 % dari negara yang mengemisi paling tidak 55 % enam gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global.
Sementara itu sebelum meninjau mengenai mitigasi gas maka perlu ditelah terlebih dahulu mengenai makna mitigasi serta gas dalam kaitanya dengan efek rumah kaca. Mitigasi adalah tindakan yang dilakukan untuk meringankan dampak perubahan iklim sehingga tidak menjadi lebih buruk. Definisi ini ditegaskan dengan dikeluarkannya Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dalam laporannya yang dikeluarkan pada 4 Mei 2007. Laporan tersebut berjudul ‘Mitigation of Climate Change’ berisi data-data terbaru peningkatan emisi gas rumah kaca (GRK). Laporan ini juga membuat perkiraan dampak mitigasi, atau usaha mengurangi emisi GRK, pada ekonomi global, serta rekomendasi usaha-usaha mitigasi yang dinilai efektif.
Sedangkan yang dimaksud dengan “gas” ialah gas sebagaimana arti denotatif yakni gas yang merupakan benda yang berada di dalam udara. Namun sesuai dengan Perjanjian Kyoto Protocol gas-gas yang perlu dimitigasikan meliputi 6 gas rumah kaca:
• karbon dioksida,
• methane,
• nitrate oksida,
• hidrofluorocarbon,
• perfluorocarbon,
• sulphur hexafluoride.
Kesadaran Untuk Melakukan Mitigasi Gas
Kesadaran dunia akan bahaya global warming baru mengemuka pada tahun 1979 ketika World Meteorological Organization (WMO) mengingatkan di sidang PBB akan adanya bahaya global warming. Peringatan WMO itu ditanggapi tahun 1985 (enam tahun kemudian) oleh United Nations Environment Programme (UNEP). Tahun itu juga terbentuk Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) dan Intergovernmental Negotiating Commitee (INC). IPCC dan INC berhasil menyampaikan konsep-konsep climate change meliputi: informasi ilmiah, adaptasi (proses penyesuaian dampak) dan mitigasi (upaya untuk tidak memperburuk emisi gas rumah kaca). Tahun 1992 (tujuh tahun kemudian) barulah terbentuk United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) yang mengadakan konfrensi pertamanya di Rio de Janeiro. Tahun 1997 ada Kyoto Protocol, dan tahun 2007 ada Bali Action Plan.
Sejak 1979 sampai 2007, yakni sekitar 28 tahun negara-negara di dunia belum mengambil langkah yang significant untuk menanggulangi global warming, sementara itu dunia terus dikotori oleh emisi gas rumah kaca sejak 1850 atau selama 157 tahun. Apapun langkah yang akan diambil oleh negara-negara di dunia kunci keberhasilannya hanya satu, yaitu mengubah pola hidup manusia secara total atau yang umum disebut Human Behaviour Change (HBC). Jepang dapat dikatakan negara pertama yang mengungkapkan pentingnya HBC ini dalam menanggulangi global warming. Dari prinsip-prinsip HBC dikembangkanlah ide cemerlang yang dikenal dengan nama Low Carbon Society (LCS) yang intinya:
1. Mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi namun tetap menjaga agar tidak diikuti oleh pertumbuhan emisi carbon.
2. Berperan aktif membantu negara-negara di dunia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca.
3. Memelopori efisiensi energy, terutama yang berkaitan dengan energy yang menghasilkan emisi GRK.
4. Mengadopsi pola hidup yang ramah lingkungan dan melestarikan alam. Ide Jepang ini didukung oleh negara-negara selatan-selatan (developing country) dengan menekankan pentingnya memperhatikan Climate Justice (CJ).
Prinsip utama CJ adalah menyadarkan umat manusia sedunia, bahwa planet bumi adalah milik seluruh umat manusia; oleh karena itu maka setiap manusia di muka bumi wajib memelihara bumi untuk kesejahteraan bersama. Kesadaran yang terpenting untuk melakukan Mitigasi Gas untuk mengurangi dampak Rumah kaca adalah pertemuan di Kyoto, Jepang, pada 1997. Perjanjian yang dikenal dengan Protokol Kyoto itu mewajibkan negara-negara industri untuk mengurangi emisi GRK—salah satunya karbon dioksida—sebanyak 5,2% di bawah kadar yang mereka lepas pada tahun 1990 dalam kurun waktu lima tahun (mulai 2008-2012, yang disebut sebagai periode komitmen pertama). Protokol ini mulai mengikat secara hukum setelah Rusia meratifikasi pada 16 November 2004 sebagai negara ke-55. Hal ini sesuai kesepakatan, bahwa protokol mulai berlaku jika telah diratifikasi minimal 55 negara. Saat ini, sedikitnya 140 negara sudah menandatangani.
Protokol Kyoto menawarkan tiga mekanisme fleksibel untuk membantu negara-negara industri menekan laju emisi GRK: Implementasi Bersama (joint implementation/JI), Perdagangan Emisi Internasional (international emission trading/IET) dan Mekanisme Pembangunan Bersih (clean development mechanism atau CDM). CDM digagas karena begitu sulit memaksa negara-negara tersebut mengurangi emisi karbonnya, akibat begitu besarnya ketergantungan mereka pada konsumsi bahan bakar minyak. Sampai sekarang, Amerika Serikat saja masih menolak Protokol Kyoto. Dari tiga mekanisme fleksibel tersebut, hanya CDM yang melibatkan negara-negara berkembang. Dan, melalui CDM inilah tata cara perdagangan karbon dunia diatur.
Mitigasi Kaitannya Dengan Perdagangan Karbon
Hitung-hitungan bisnis terhadap Perdagangan Karbon relatif sederhana. Setiap upaya penurunan emisi yang setara dengan satu ton karbon (tCO2e) akan diganjar satu CER (certified emission reduction). Sertifikat yang mirip surat berharga ini dikeluarkan oleh Badan Eksekutif CDM di bawah UNFCCC. Negara industri yang sudah meratifikasi Protokol Kyoto (disebut dengan kelompok Annex-1), atau lembaga nonpemerintah manapun yang merasa berkepentingan, bisa membeli CER ini dari proyek-proyek CDM di negara berkembang (non-Annex-1) yang tidak diwajibkan untuk mengurangi emisi.
Layaknya komoditas dagang, harga CER bisa bervariasi, tergantung kesepakatan pihak-pihak yang bertransaksi. Tapi, secara rerata, harga satu CER berkisar 5-15 dolar AS. Jadi, jika suatu proyek CDM berhasil memproyeksikan pengurangan emisi sebesar 1 juta ton CO2e dalam setahun, pendapatan kasar yang diperoleh proyek tersebut satu tahunnya sekitar 10 juta dolar AS (jika diambil harga tengah 10 juta dolar) dari penjualan CER.
Fakta menarik bahwa FIFA, federasi sepak bola dunia, membeli beberapa kredit karbon sehubungan pelaksanaan Piala Dunia 2006 lalu. Kelompok musik kenamaan The Rolling Stones dan beberapa band lain membelinya sebagai kompensasi emisi GRK yang mereka buang dalam tur-tur mereka. Sementara Paramount, studio film Hollywood, juga membeli kredit karbon atas setiap emisi yang mereka keluarkan selama proses pembuatan film kontroversial tentang pemanasan global, An Inconvenient Truth (2006).
Bank Dunia tercatat sebagai pembeli kredit karbon paling royal: nilai transaksi pada 2005 diestimasi mencapai 10 miliar dolar. Bagi beberapa ”pemain”, jual-beli karbon memang perkara citra. Sampai saat ini, kebanyakan pembeli karbon adalah firma yang relatif beremisi rendah, seperti bank-bank, yang berharap bisa menggaet klien yang memiliki visi lingkungan. Namun bagi pemain lain, bisnis karbon adalah business as usual yang menggiurkan.
Perlu diketahui, istilah ”reduksi emisi karbon” tidak serta-merta berarti pengurangan kadar karbon yang sudah ada saat ini di udara, tetapi merupakan upaya menekan bertambahnya emisi GRK akibat penggunaan bahan bakar fosil. Jadi, angka-angka tersebut pada dasarnya adalah jumlah karbon yang diemisikan jika tanpa proyek CDM.
Di satu sisi, solusi ini terkesan menyederhanakan masalah dan kental dengan unsur ketidakadilan: negara industri bebas mengotori atmosfer selama mampu membeli CER sebagai kompensasinya. Tapi di sisi lain, bisnis karbon membuka berbagai peluang: membangkitkan perekonomian negara dunia ketiga sekaligus menciptakan kondisi lingkungan yang relatif lebih baik.

Mitigasi Bisa Membawa Keuntungan untuk Pemerintah Indonesia
Berdasarkan Kajian Strategis Nasional sektor Kehutanan dan Energi (KSNKE) yang dilakukan pada tahun 2001-2002, Indonesia memiliki potensi pengurangan emisi GRK sekitar 23-24 juta ton CO2e per tahun. Jika dikonversi ke nilai CER, potensinya menjadi 230 juta dolar AS dalam setahun (sekitar 2,3 triliun rupiah). Bukan jumlah yang kecil.

Khusus sektor kehutanan (nonenergi), catatan KSNKE menyebut ada sekitar 15 juta hektare lahan di seluruh daerah di Indonesia yang bisa diajukan untuk proyek CDM. Mengetahui fakta ini, akhir-akhir ini banyak pemerintah daerah yang mempromosikan hutan di daerahnya untuk dijadikan proyek CDM. Padahal, masalahnya ternyata tidak sesederhana itu.
“Potensi kebocoran (leakage) hutan Indonesia cukup besar,” kata Alue Dohong, penggiat lingkungan dari Wetlands International Indonesia Program. Dalam skema CDM, leakage tidak diperkenankan. Leakage, papar Alue, bisa disebabkan oleh belum mapannya tata kelola hutan, masih tingginya insiden kebakaran hutan, maraknya pembalakan liar, dan inkonsistensi kebijakan penataan ruang. “Belum jelasnya metode penentuan batas wilayah dan kriteria hutan yang memenuhi syarat juga menjadi batu sandungan untuk mengembangkan hutan kita sebagai proyek CDM,” imbuh Alue.
Hutan yang diperkenankan, misalnya, adalah hutan ”buatan” manusia (dengan pembenihan, penanaman, dan sebagainya) pada lahan yang belum pernah menjadi hutan sedikitnya 50 tahun ke belakang. ”Teknis penghitungan reduksi emisi karbon oleh hutan juga sulit, mengingat daya ikat karbon setiap pohon dalam suatu hutan heterogen berbeda-beda,” jelas Deddy Hadriyanto, pakar kehutanan dari Universitas Mulawarman, Kalimantan Timur. Kawasan mangrove justru lebih berpeluang dari sisi teknis.
Karenanya, hingga saat ini belum ada proyek CDM berbasis hutan dari Indonesia yang berhasil disetujui. Amat kontras dengan sektor energi alternatif yang lebih ”seksi”. Kabar terakhir, delapan proyek sudah teregistrasi di Badan Eksekutif CDM. Hampir semuanya berbasis energi.

Proyek Mitigasi Oleh Perusahaan Terbatas yang Telah Mendapat Kredit
Chevron Geothermal Indonesia (CGI), melalui proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi Darajat Unit III adalah yang terakhir mendapat persetujuan, Desember tahun lalu, dengan kapasitas pembangkit sebesar 110 megawatt. Seperti diketahui, Indonesia merupakan negara dengan kandungan panas bumi amat besar, bahkan yang terbesar di dunia atau 40 persen dari cadangan panas bumi dunia. Menurut riset yang dilakukan oleh Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, di seluruh kepulauan Indonesia sedikitnya ada 244 titik yang merupakan sumber panas bumi potensial, dengan kapasitas pembangkit sebesar 29.000 megawatt. Namun, hingga saat ini, jumlah total yang tereksplorasi hanya sekitar 1.000 megawatt, alias baru sekira lima persen. Sebagai perbandingan betapa efisiennya tenaga geotermal, 1.000 megawatt ekivalen geotermal untuk 30 tahun setara dengan 465 juta barel minyak bumi.
Menurut data CGI, emisi karbon dioksida dari pembangkit listrik tenaga panas bumi hanya sekitar sepersepuluh dari emisi yang diembuskan oleh pembangkit konvensional seperti batu bara, dan seperenam dari bahan bakar disel dan minyak. Selisih jumlah emisi inilah yang bisa dijadikan kredit karbon untuk diperjualbelikan.
Proyek lain yang cukup menarik adalah pemanfaatan limbah hewan yang dilakukan oleh peternakan PT Indotirta Suaka Bulan di Riau dan Lampung Bekri Biogas. Suaka Bulan mengelola kotoran dari peternakan babi seluas 1.700 hektare di Pulau Bulan, Riau. Dengan teknik pencerna anaerobik (anaerobic digester), gas metana (CH4, salah satu GRK) yang ditangkap bisa dimanfaatkan untuk bahan bakar. Rata-rata, setiap tahunnya instalasi biogas ini diperkirakan dapat mengurangi emisi karbon sebesar 166.000 ribu ton CO2e.
Mirip dengan Suaka Bulan, Lampung Bekri menggunakan reaktor anaerobik bawah tanah tertutup (CIGAR) untuk menangkap gas metana dari kotoran sapi. Komposisi biogas yang diperoleh melalui proyek berskala kecil ini adalah 65% metana dan 35% CO2, dengan rata-rata reduksi emisi 18.826 ton CO2e per tahun. Produk kompor pun bisa dimanfaatkan untuk proyek CDM. Tetapi bukan sembarang kompor, tentunya. Alat masak yang diproduksi oleh PT Petromat Agrotech yang berkongsi dengan Klimaschutz e.V. dari Jerman ini menggunakan tenaga matahari sebagai sumber panasnya. Dengan begitu, penggunaan minyak tanah atau gas elpiji yang menghasilkan polusi karbon bisa ditekan. ”Kompor ini merupakan bagian dari usaha memperbaiki lingkungan, karena itu kami amat mendukungnya,” ucap Rudi Wahyudi dari Petromat Agrotech.
Berdiameter sekitar satu meter, bentuk kompor surya ini relatif sederhana, mirip sebuah parabola yang bagian permukaan cekungnya dilapisi bahan cermin yang bisa memantulkan cahaya. Dengan bentuk parabola, cahaya bisa dipantulkan terpusat ke sebuah penyangga wadah masak, sehingga menghasilkan panas yang cukup untuk memasak berbagai jenis makanan, mulai nasi goreng hingga sayur sup. Menurut rencana, akhir Februari, sekitar 1.000 unit kompor surya ini akan diserahkan secara cuma-cuma kepada para nelayan di Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam. Saat ini ada dua proyek lagi dari Indonesia yang masih mengantre untuk disetujui oleh Badan Eksekutif CDM. Bukan tidak mungkin jumlahnya akan terus bertambah. Hingga saat ini, beberapa proposal proyek juga terus diterima oleh Komnas MPB.

Penghematan Bahan Bakar sebagai Mitigasi Gas Rumah Kaca
Elastisitas energi adalah perbandingan antara pertumbuhan konsumsi energi dengan pertumbuhan ekonomi. Semakin rendah elastisitasnya maka semakin efisien penggunaan energinya. Elastisitas energi Indonesia berada pada kisaran 1,04 – 1,35 dalam kurun 1985 – 2000 . Bandingkan dengan elastisitas energi negara-negara maju yang berada pada kisaran 0,55 – 0,65 pada kurun yang sama.
Intensitas energi adalah perbandingan antara jumlah konsumsi energi per PDB (Pendapatan Domestik Bruto). Semakin efisien suatu negara, maka intensitasnya akan semakin kecil. Intensitas energi Indonesia sekitar empat kali intensitas energi Jepang (Index Jepang=100, Indonesia=400). Angka tersebut juga di atas intensitas energi negara-negara Amerika Utara (sekitar 300), negara-negara OECD (sekitar 200), bahkan Thailand (sekitar 350). Diagram 2 memperlihatkan hubungan intensitas energi dan energi per kapita beberapa negara pada tahun 1998. Silakan tengok diagram di bawah ini.

Tingginya konsumsi energi juga memberikan dampak negatif bagi lingkungan. Masih ingat betapa segarnya udara Jakarta pada tahun 1980-an? Kini, udara segar merupakan barang mahal bagi warga Jakarta. Sebuah survei tentang kualitas udara di Jakarta mengungkapkan bahwa penduduk Jakarta tahun 2004 yang lalu hanya bisa menikmati udara sehat selama 20 hari saja dalam satu tahun.
Setiap 1 liter bensin yang terbakar dalam kendaraan bermotor yang kita gunakan, menghasilkan kurang lebih 2,24 kg emisi karbon. Sementara untuk 1 kWh listrik yang kita gunakan, emisinya senilai 800 gr CO2. Selain berbahaya bagi kesehatan, karbon dioksida (CO2) adalah penyebab terbesar dari efek pemanasan global.



Hasil Mitigasi Rumah Kaca Indonesia versi IPCC
Menurut laporan IPCC pada tahun 1988, lembaga yang dibentuk oleh World Meteorological Oganization dan United Nations Environment Programme pada tahun 1988 bertugas untuk melakukan kajian ilmiah, teknis dan sosio-ekonomi yang relevan untuk memahami perubahan iklim, potensi dampaknya serta pilihan untuk kegiatan mitigasi dan adaptasi.), kenaikan suhu rata-rata global sebesar 2 derajat Celcius saja bisa mengakibatkan punahnya 30% spesies, meningkatkanya kerusakan di pesisir pantai karena badai dan banjir, serta mengubah pola penularan penyakit melalui serangga dan hewan. Sementara kenaikan 4 derajat Celcius bisa mengakibatkan dampak yang lebih parah seperti meningkatnya kekeringan, hilangnya 30% lahan basah di daerah pantai, serta meningkatnya angka kematian dan penyakit akibat udara panas, banjir dan kekeringan. Salah satu cara untuk melakukan mitigasi ialah melalui perubahan gaya hidup dan pola konsumsi. IPCC juga memberikan rekomendasi kebijakan dan instrumen yang dinilai efektif menurunkan emisi GRK. Rekomendasi dibagi ke dalam sektor energi, transportasi, gedung, industri, pertanian, kehutanan, dan manajemen limbah. Saat ini beberapa kebijakan di Indonesia sudah sejalan dengan rekomendasi IPCC, antara lain target energi terbarukan dalam Kebijakan Energi Nasional, dimulainya penggunaan biofuel serta usaha penyediaan transportasi publik. Selain membantu mengurangi laju perubahan iklim, usaha-usaha mitigasi membawa manfaat lain seperti dari aspek kesehtan dan ketahanan energi. Namun usaha-usaha mitigasi yang dilakukan Indonesia harus sejalan dengan rencana pembangunan nasional kita.
Usaha-usaha penurunan emisi di berbagai sektor yang dinilai efektif oleh IPCC:
Sektor energi:
• mengurangi subsidi bahan bakar fosil
• pajak karbon untuk bahan bakar fosil
• penetapan harga listrik dari energi terbarukan
• kewajiban mengugnakan energi terbarukan
• subsidi bagi produsen
Sektor transportasi:
• kewajiban ekonomi bahan bakar, penggunaan biofuel, dan standar CO2 untuk alat transportasi jalan raya
• pajak untuk pembelian kendaraan, STNK, bahan bakar, serta tarif penggunaan jalan dan parkir
• merancang kebutuhan transportasi melalui regulasi penggunaan lahan serta perencanaan infrastruktur
• melakukan investasi pada fasilitas angkutan umum dan transportasi tak bermotor
Sektor gedung:
• menerapkan standar dan pemberian label pada berbagai peralatan
• sertifikasi dan regulasi gedung
• program-program demand-side management
• percontohan oleh kalangan pemerintah, termasuk pengadaan
• insentif untuk energy services company
Sektor industri:
• pembuatan standar
• standar kinerja
• subsidi, pajak untuk kredit
• izin yang dapat diperjuabelikan
• perjanjian sukarela
Sektor pertanian:
• insentif finansial serta regulasi-regulasi untuk memperbaiki manajeman lahan, mempertahankan kandungan karbon di dalam tanah, penggunaan pupuk dan irigasi yang efisien
Sektor kehutanan:
• insentif finansial (nasional dan internasional) untuk memperluas area hutan, mengurangi deforestasi, mempertahankan hutan, serta manajemen hutan
• regulasi pemanfaatan lahan serta penegakan regulasi tersebut
Sektor manajemen limbah:
• insentif finansial untuk manajeman sampah dan limbah cair yang lebih baik
• insentif atau kewajiban menggunakan energi terbarukan
• regulasi manajemen limbah
RUMAH KACA

Definisi Rumah Kaca
Bahwa Rumah Kaca dalam konteks hukum lingkungan ialah konyeks global, yakni bumi sebagai sarana penyimpan panas layaknya rumah kaca. Efek Rumah Kaca pada awalnya dimulai dari matahari yang memberikan energi pada iklim bumi melalui radiasi energi pada panjang gelombang yang sangat pendek, terutama pada spectrum panjang gelombang tampak atau ultraviolet. Kira-kira sepertiga dari energi matahari yang mencapai bagian teratas atmoesfer bumi langsung dipantulkan kembali ke angkasa. Dua pertiga sisanya diserap oleh permukaan bumi serta sebagian kecil diserap oleh atmosfer. Untuk menyeimbangkan energi yang diserap, bumi secara rata-rata harus meradiasikan kembali jumlah energi yang sama ke angkasa. Karena bumi jauh lebih dingin dibandingkan dengan matahari, maka bumi meradiasikan panjang gelombang pada spectrum yang jauh lebih panjang, terutama pada spectrum inframerah (lihat Gmabar 3). Sebagian besar radiasi panas yang dilepaskan oleh daratan dan lautan diserap oleh atmosfer termasuk awan, dan diradiasikan kembali ke bumi. Peristiwa ini disebut sebagai efek rumah kaca. Dinding-dinding kaca pada rumah kaca mengurangi aliran udara dan meningkatkan suhu udara di dalam ruanagan. Secara analogi, walaupun dengan proses fisika yang berbeda, efek rumah kaca bumi memanaskan permukaan bumi. Tanpa efek rumah kaca alami, suhu rata-rata pada permukaan bumi akan berada di bawah titik beku air. Oleh karena itu efek gas rumah kaca alami bumi memungkinkan terjadinya kehidupan di bumi. Namun sayangnya kegiatan-kegiatan manusia seperti pembakaran bahan baker fosil dan penebangan hutan telah meningkatkan efek gas rumah kaca almi, yang menyebabakab terjadinya pemansan global.
Selanjutnya Iklim bumi sebagai salah satu faktor penentu efek gas rumah kaca ditentukan oleh energi matahari dan dinamika atmosfer (proses interaksi jenis-jenis gas atmosfer, evapotranspirasi, geografis dan lingkungan fisik lokal).

Gambar 1.1
WMO dan UNEP membentuk:
International Govermental Panel of Climate Change (IPCC) yang membuat skenario ‘'jika manusia tidak berbuat apa-apa/business a usual'', suhu bumi akan meningkat 1-3,5 derajat Celcius pada Tahun 2100.
Dampak pemanasan (sebagian) permukaan bumi yaitu suhu permukaan laut --> berdampak buruk berupa fenomena el-nino atau ENSO (El Nino Southern Oscullation) yaitu naiknya suhu permukaan laut kawasan pasifik tahun 1997, berdampak secara tidak langsung pada ekologi (kering berkepanjangan, kebakaran hutan, dsb). Suhu bumi naik --> permukaan laut naik --> dampak langsung terhadap : Sosial ekonomi, Ekologi, Kesejahteraan masyarakat
Sifat Gas Rumah Kaca Pada Atmosfer
1. Methan (CH4) merupakan gas alam hasil aktivitas bakteri pada tanah basah berpasir atau tumpukan jerami, dalam serangga rayap dsb, sebagian besar methan dalam atmosfer berasal dari sumber-sumber geologis. Diduga kenaikan methan alam sebanding dengan pertumbuhan populasi manusia. Gas methan sangat efektif dalam merangkap energi poros 25x dibanding korbondioksida.
2. Cloro flouro karbon (CFC) merupakan senyawa sintetis dalam proses pendinginan, penyulingan, pembentukan foam, yang bila naik ke atmosfer tinggi atau stratosfer akan melepas gas klor bebas yang mempercepat penguraian ozon (pelindung bumi dari UV sinar ultra). Pembatasan produksi CFC akan memperlambat kenaikan suhu, tapi tidak dapat menghentikan percepatannya.
3. Nitrit Oksida (N2O) merupakan senyawa alami di atmosfer yang beusia panjang, hasil kerja mikroba tanah, kayu terbakar, penghancuran sisa panen, pembakaran bahan BBM. Penggunaan pupuk yang mengandung nitrogen akan mempercepat kenaikan suhu. Molekul gas ini merupakan daya tangkap panas 250x lebih besar dari pada CO2
4. Ozontroporfer (O3) yang melindungi bumi dari radiasi, ultra violet, sebagai lapisan atmosfer lembab dibawah stratosfer. Gas O3 merupakan GRK (Gas Rumah Kaca) yang efektif, dan dihasilkan dari reaksi HC + Nitrogen oksida yang dilepaskan oleh pembakaran BBM.
5. HHT berfungsi sebagai resapan ozon, sehingga perusakan hutan terus menerus memberi efek nyata pada keseimbangan ozon regional. Oleh karena itu upaya mencegah gas emisi rumah kaca merupakan kewajiban semua negara.
Berdasar model ramalan, akibat bertumpuknya CO2 dan gas lain di atmosfer sejak 1860, maka suhu bumi global akan naik rata-rata ½ - 1,5 ?C. Bila trend emisi Gas Rumah Kaca terus berlanjut, efek gabungan semua gas rumah kaca akan mengakibatkan penggandaan CO2 efektif, Gas Rumah Kaca diatas mendorong terjadinya perubahan iklim.

Peran Manusia sebagai Kontributor Efek Rumah Kaca
Kegiatan manusia berkontribusi pada perubahan iklim melalui perubahan pada jumlah gas-gas rumah kaca, aerosol (partikel-partikel kecil), dan awan pada atmosfer bumi. Kontribusi terbesar yang diketahui berasal dari pembakaran bahan baker fosil, yang melepaskan gas karbon dioksida ke atmosfer. Gas-gas rumah kaca dan aerosol mempengaruhi iklim dengan cara mengubah radiasi sinar matahari yang masuk dan radiasi infra merah yang keluar (termal) yang merupakan bagian dari kesetimbangan energi bumi. Mengubah jumlah gas-gas dan partikel-partikel tersebut di atmosfer atau mengubah sifat-sifatnya dapat menyebabkan pemanasan atau pendinginan sistem iklim. Sejak dimulainya era industri(sekitar tahun 1750), efek keseluruhan kegiatan manusia pada iklim adalah pemanasan. Damapak kegiatan manusia terhadap iklim selama era ini jauh lebih besar dibandingkan dampak akibat proses-proses alami, seperti perubahan-perubahan pada matahari dan letusan gunung berapi.
Disisi lain, bila dicermati peningkatan konsentrasi karbon dioksida (CO2) atmosferik serta gas-gas rumah kaca lainnya selama era industri disebabkan oleh kegiatan manusia. Kenyataanya, peningkatan yang diamati pada konsentrasi CO2 atmosferik tidak menunjukkan bahwa seluruh emisi berasal dari kegiatan manusia, hanya 55% CO2 yang berasal dari kegiatan manusia sejak tahun 1959. Sisanya telah diserap oleh tumbuh-tumbuhan di darat dan oleh laut. Pada semua kasus, konsentrasi gas-gas rumah kaca atmosferik serta peningkatannya ditentukan oleh kesetimbangan antara sumber-sumber (emisi gas dari kegiatan manusia dan system alam) dan rosot (penyerapan gas dari atmosfer melalui konversi menjadi suatu senyawa kimia yang berbeda). Pembakaran bahan bakar fosil (ditambah sejumlah kecil dari pabrik semen) bertanggung jawab terhadap lebih dari 75% emisi CO2 yang disebabkan oleh manusia. Perubahan fungsi lahan (terutama deforestasi) bertanggung jawab terhadap 25% emisi CO2. Untuk metana, yaitu salah satu gas rumah kaca penting lainnya, emisi yang dihasilkan dari kegiatan manusia melampaui emisi alami selama 25 tahun terakhir. Untuk nitrous oksida, emisi yang dihasilkan dari kegiatan manusia setara dengan emisi alami ke atmosfer. Hamper semua gas-gas yang mengandung halogen yang memiliki waktu hidup panjang (seperti klorofluorokarbon) dibuat oleh manusia, dan tidak terdapat di atmosfer sebelum era industri. Secara rata-rata , ozon troposfer saat ini telah meningkat 38% sejak masa sebelum industialisasi, dan peningkatan tersebut dihasilkan dari reaksi-reaksi atmosferik polutan-polutan yang berusia pendek yang dilepaskan dari kegiatan manusia. Konsentrasi CO2 saat ini 379 ppm dan metana lebih besar dari 1774 ppb, keduanya dipastikan jauh lebhg tinggi dibandingkan dengan pada masa-masa sekitar 650 ribu tahun yang lalu(masa-masa di mana konsentrasi CO2 berkisar antara 180 dan 300 ppm dan metana antra 320 dan 790ppb). Laju perubahan saat ini sangat luar biasa dan belum pernah terjadi seblumnya; peningkatan konsentrasi CO2 belum pernah melampaui 30 ppm dalam seribu tahun – saat ini CO2 telah meningkat sebesar 30 ppm hanya dalam 17 tahun terakhir.
Peran Indonesia sebagai Kontributor Efek Rumah Kaca
Dari data The First National Nommunication diketahui bahwa pada tahun 1994 emisi keseluruhan Indonesia adalah sebesar 886,47 juta Ton CO2e. Sumber emisi CO2 yang utama pada tahun 1994 adalah dari sector LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry) dan energi. Kedua sector ini berkontribusi sebesar 97% dari total emisi CO2. Emisi CO2 dari sector kehutanan terutama berasal dari kegiatan konversi hutan dan lahan berumput serta degradasi hutan. Sedangkan emisi GRK dari sector pertanian disebabkan aktivitas petanian yang tidak menerapakan prinsip cara bertani yang baik (Good Agriculture Practice – GAP). Sumber utama emisi CH4 berasal dari sector pertanian yaitu 51%,yang terutama berasal dari persawahan. N2O terutama berasal dari sector pertanian,yaitu sekitar 86% dari emisi N2) total,sedangkan sumber emisi NOx utama adalah dari sector energi (KLH,2006). Sector energi, yang terdiri dari pemakaian di rumah tangga dan bangunan komersial , industri, transportasi, dan pembangkit listrik, meimbulkan emisi CO2 sekitar 293,27 juta Ton (DESD,2006). Untuk sektor energi, berdasarkan data dari International Energy Agency, Indonesia sebagai Negara berkembang saat ini hanya berkontribusi sebesar 1,3% dari emsi CO2 total dunia yang terkait dengan sector energi. Kemudian dari emisi tersebut bagaikan sebuah boomerang, akan berbalik kepada Indonesia sendiri yakni dengan banyaknya gangguan pernafasan.



Sumber Emisi Pada Efek Rumah Kaca
Listrik dan panas 24,6 %
Konversi tanah / hutan tropis 18,2 %
Pertanian 13,5 %
Transportasi 13,5 %
Industri 10,4
Pembakaran 9 %
Kebocoran 3,9 %
Limbah / pembuangan 3,6 %
Proses industri 3,4 %


Gambar

Sumber Emisi dari Bahan Bakar

- Minyak bumi : 43,3 %
- Batu bara : 36,4 %
- Gas alam : 20,3 %
Dampak Terhadap Perubahan Iklim
Sumber energi dimanfaatkan masyarakat industri / modern memberi kontribusi krisis perubahan iklim, berasal dari pembakaran minyak bumi (43,3%) batubara (36,4%) dan gas alam (20,3%), karena 80% tambahan gas CO2 ATMOSFER 0,003%, Nitrogen 78% dan Oksigen 21%
Sistem Pemanasan Ilmiah
1. Atmosfer yang menyelimuti bumi, seperti rymah kaca yang menahan cukup panas, yang bermanfaat bagi biosfer (lapisan kehidupan)
2. Sistem oengendali iklim alamiah tergantung gas-gas atmosfer / CO2 untuk menjebak radiasi matahari
3. Bumi rumah kaca sedang terus memanas, yang percepatannya tergantung gangguan manusia terhadap keseimbangan sistem pengendali iklim alamiah
4. Termostat global ditentukan oleh jumlah energi matahari yang ditahan oleh gas atmosfer bumi (CO2, uap air, methana)
5. Panas sinar matahari yang diserap oleh tanah dan air, dilepas kembali ke udara sebagai radiasi infra merah, sehingga temperatur rata-rata bumi relatif stabil
6. Kenaikan CO2 akan memercepat naiknya temperatur, kemudian menyusul naiknya permukaan alut, tanpa diketahui percepatannya.
Ciri Iklim Yang Sedang Berubah
1. Temperatur permukaan bumi sedang memanas, dengan berbagai penyebab alamiah, variasi pada orbit bumi yang mempengaruhi jumlah sinar matahari yang memanaskan planet bumi.
2. Siklus pendinginan dan pemanasan secara bersamaan, saat ini telah mengubah iklim lebih cepat dari sebelumnya.
3. Penyebab utama perubahan iklim karena kegiatan manusia, melalui pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi, gas, batubara) yang memasuki atmosfer dengan CO2 yang menyebabkan panas dan memicu kenaikan tajam temperatur global rata-rata dalam abad terakhir
4. Dampak iklim berubah: perubahan pola penguapan, gletser meleleh, badai menguat dan kenaikan permukaan laut - solusi pemanasan atmosfer dengan emisi CO2 dikurangi
Dampak Rumah Kaca Terhadap Perubahan Iklim
Sejak tahun 1950, jumlah terjadinya gelombang panas telah meningkat dan peningkatan malam-malam yang panas telah terjadi secara meluas. Luas daerah yang mengalami kekeringan juga meningkat akibat menurunnya presipitasi di darat sementara penguapan meningkat karena kondisi yang lebih panas. Pada umumnya jumlah kejadian presipitasi berat harian yang memicu terjadinya banjir telah meningkat, namun tidak di semua tempat. Frekuensi badai tropis dan angin topan bervariasi dari tahun ke tahun, namun bukti menunjukkan bahwa telah terjadi peningkatan yang cukup besar pada intensitas dan lamanya kejadian badai tropis dan angin topan tersebut sejak tahun 1970-an. Pada daerah ekstra tropis, variasi jalur dan intensitas badai menunjukkan variasi pada jenis-jenis utama sirkulasi atmosferik, seperti North Atlantic Oscillation.
Pada tahun 1989, Forum on Global Climate Change and Our Common Future di Princetan, New Jersey, telah dilaporkan pengaruh meningkatnya konsentrasi gas ramah kaca (GRK) oleh National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA). Kenaikan suhu bumi 0,5 - 1,5 ?C, dan bila berlanjut, maka efek gabungan semua gas rumah kaca akan akibatkan ‘'penggandaan CO2 efektif'', dimana semua gas rumah kaca menangkap energi yang sama dengan yang dtangkap CO2, dan diperkirakan pada tahun 2030
Beberapa model sirkulasi umum klimatologi meramalkan, Perubahan iklim yang disebabkan oleh pertambahan konsentrasi gas rumah kaca, yaitu:
1. Pendinginan stratosfer besar-besaran
2. Kenaikan suhu global rerata
3. Kenaikan presipitasi global rerata
4. Kenaikan suhu permukaan kutub utara di musim salju
5. Reduksi lautan es
6. Kenaikan percepatan pada garis lintang tinggi di utara
7. Kenaikan suhu-kekeringan benua di musim panas
8. Kenaikan permukaan laut merata
9. Perubahan vegetasi wilayah
10. Kenaikan badai tropis ( Badai guntur (thunderstorm), Tornado, Topan (hurricane).

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Peran pertanggungjawaban perdata (civil liability) dalam konteks penegakan hukum lingkungan memiliki keterbatasan apabila terdapat kondisi sebagai berikut:
1. kerugiannya bersifat laten (non immediate).
2. suatu kerugian yang diakibatkan oleh tindakan yang bersifat kumulatif (cumulative acts).
3. sulit dijejaki pihak yang bertanggungjawab (unidentifiable parties).
4. tidak terdapat dasar dari suatu pertanggungjawaban perdata, apakah didasarkan pada kesalahan atau tanpa kesalahan/strict (no basis for liability).
5. hubungan sebab akibat sulit dilakukan (no causal link determinable) dan
6. tidak ada pihak yang dapat mengajukan gugatan yang memiliki kepentingan hukum (legal interest).
Keterbatasan sistem hukum lingkungan untuk mengatasi keenam masalah di atas dapat ditanggulangi dengan pengembangan sistem pendanaan lingkungan (environmental fund) seperti halnya mekanisme superfund yang dikenal dalam The Comprehensive Environmental Response, Compensation and Liability Act (CERCLA). Superfund ini merupakan dana yang diambilkan dari industri-industri berbahaya (merupakan pajak khusus) dan penggunaannya untuk biaya pemulihan lingkungan dan jenis kompensasi lainnya yang diakibatkan oleh pencemaran bahan berbahaya dan beracun. Dana ini bersifat “siap pakai” (immediately available) tanpa harus mencari terlebih dahulu siapa pelaku yang bertanggungjawab, dan proses hukum yang panjang di pengadilan. Mekanisme pendanaan lingkungan (environmental fund) dengan konsep polluter pays sebagaimana juga diatur dalam Pasal 8 UU no. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup kini sudah merupakan trend di dunia sebagai suatu cara untuk melaksanakan prinsip-prinsip “pencegahan dan pencemar membayar (pollution prevention and pays principle).
Pertanggungjawaban perdata mengenal 2 (dua) jenis pertanggungjawaban (1) pertanggungjawaban yang mensyaratkan adanya unsur kesalahan (fault based liability); dan (2) pertanggungjawaban ketat (strict liability) yaitu suatu pertanggungjawaban tanpa harus dibuktikan adanya unsur kesalahan (fault).
Pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan adalah bentuk pertanggungjawaban yang lazim dikenal dalam doktrin perbuatan melawan hukum (onrechmatigedaad) berdasarkan Pasal 1365 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW). Perbuatan melawan hukum berdasarkan Pasal 1365 BW mensyaratkan penggugat membuktikan adanya unsur kesalahan (fault).

World Meteorological Organization
Tepat pada tahun 1979, Pertemuan WMO di Geneva, Swiss yang membahas kemungkinan perubahan iklim global yang terjadi disebabkan pemanasan global (global warning) atau munculnya abad es global (global cooling). World Meteorological Organization itu sendiri membuat kesepakatan yakni:
1. Bahwa pembakaran bahan bakar fosil, perubahan fosil, pembabatan hutan, perubahan penggunaan lahan, akan meningkatkan kandungan gas CO2 dalam atmosfer
2. Efek pemanasan global akan dirasakan secara regional dan global pada pertengahan abad ke-21
Konfrensi Rio
Rio de Janeiro, Brasilia (3-14 Juni 1992). Konperensi ini telah berupaya mencapai tingkat pemahaman yang utuh dan menyeluruh tentang konsep dan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development), serta bagaimana menterjemahkannya ke dalam tindakan nyata sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Rio dan Agenda 21. Prinsip-prinsip utama yang terdapat dalam Deklarasi Rio adalah:
1. Keadilan intergenerasi (intergenerational equity).
2. Keadilan intragenerasi (intragenerational equity).
3. Pencegahan dini (precautionary principle).
4. Pelestarian keanekaragaman hayati (conservation of biological diversity).
5. Internalisasi biaya-biaya lingkungan dan mekanisme insentif (internalization of environmental costs and incentive mechanisms).

Protokol Tokyo
Yang terpenting adalah pertemuan di Kyoto, Jepang, pada 1997. Perjanjian yang dikenal dengan Protokol Kyoto itu mewajibkan negara-negara industri untuk mengurangi emisi Gas Rumah Kaca—salah satunya karbon dioksida—sebanyak 5,2% di bawah kadar yang mereka lepas pada tahun 1990 dalam kurun waktu lima tahun (mulai 2008-2012, yang disebut sebagai periode komitmen pertama). Protokol ini mulai mengikat secara hukum setelah Rusia meratifikasi pada 16 November 2004 sebagai negara ke-55. Hal ini sesuai kesepakatan, bahwa protokol mulai berlaku jika telah diratifikasi minimal 55 negara. Saat ini, sedikitnya 140 negara sudah menandatangani.
Protokol Kyoto menawarkan tiga mekanisme fleksibel untuk membantu negara-negara industri menekan laju emisi gas rumah kaca: Implementasi Bersama (joint implementation/JI), Perdagangan Emisi Internasional (international emission trading/IET) dan Mekanisme Pembangunan Bersih (clean development mechanism atau CDM). CDM digagas karena begitu sulit memaksa negara-negara tersebut mengurangi emisi karbonnya, akibat begitu besarnya ketergantungan mereka pada konsumsi bahan bakar minyak. Sampai sekarang, Amerika Serikat saja masih menolak Protokol Kyoto.
II. Integrasi Prinsip Agenda 21 dalam Hukum Lingkungan
Pada tahun 1992, Konperensi PBB mengenai Pembangunan dan Lingkungan Hidup (the UN Conference on Environment and Development) diselenggarakan di Rio de Janeiro, Brasilia (3-14 Juni 1992). Konperensi ini telah berupaya mencapai tingkat pemahaman yang utuh dan menyeluruh tentang konsep dan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development), serta bagaimana menterjemahkannya ke dalam tindakan nyata sebagaimana tertuang dalam Deklarasi Rio dan Agenda 21. Prinsip-prinsip utama yang terdapat dalam Deklarasi Rio adalah:
1. Keadilan intergenerasi (intergenerational equity).
2. Keadilan intragenerasi (intragenerational equity).
3. Pencegahan dini (precautionary principle).
4. Pelestarian keanekaragaman hayati (conservation of biological diversity).
5. Internalisasi biaya-biaya lingkungan dan mekanisme insentif (internalization of environmental costs and incentive mechanisms).

Tumpang Tindih Aturan Pencemaran Udara
Dewasa ini terdapat berbagai peraturan perundang-undangan yang mengatur aspek pengelolaan udara bersih. Adanya berbagai peraturan perundang-undangan tersebut menunjukkan keterlibatan berbagai instansi pemerintah di tingkat nasional maupun tingkat daerah dalam menangani aspek pengelolaan udara bersih sehingga kadang-kadang menimbulkan kebingungan maupun tumpang tindih. Sebagai contoh, Departemen Perhubungan melalui Direktorat Perhubungan Darat beranggapan bahwa pengujian emisi merupakan bagian dari pengujian kelaikan jalan, sebagaimana tercantum dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1992 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup menganggap bahwa uji emisi, terutama untuk kendaraan pribadi, bukanlah bagian dari uji laik jalan tersebut, mengingat kendaraan pribadi dikecualikan dari kewajiban uji laik jalan. Dalam hal pemantauan kualitas udara, beberapa instansi pemerintah melakukan pemantauan kualitas udara secara sendiri-sendiri, di antaranya instansi yang bertanggungjawab di bidang lingkungan hidup di 10 kota, Pusat Tenaga Nuklir Bahan dan Radiometrik (PTNBR), Badan Meterorologi dan Geofisika (BMG), dan Departemen Kesehatan melalui Balai Teknik Kesehatan Lingkungan (BTKL), serta Badan Penelitian Jalan Departemen Pekerjaan Umum.
Hampir semua peraturan yang ada dewasa ini disusun oleh sektor-sektor, sehingga kadang-kadang peraturan yang disusun dipersepsikan hanya berlaku untuk sektor tersebut. Tidak mengherankan apabila hingga saat ini pengendalian pencemaran udara hanya dilaksanakan berdasarkan interpretasi masing-masing sektor, setiap sektor terkait mengembangkan dan melaksanakan program sesuai dengan kebutuhan sektor mereka sendiri, tanpa melibatkan sektor lainnya.
Selain itu dapat pula dicermati bahwa peraturan dan peran serta fungsi dari berbagai instansi pemerintah terkait dengan pengendalian pencemaran udara tidak saling mendukung, misalnya:elain itu dapat pula dicermati bahwa peraturan dan peran serta fungsi dari berbagai instansi pemerintah terkait dengan pengendalian pencemaran udara tidak saling mendukung, misalnya:
1. Ambang batas emisi yang ditetapkan oleh Menteri negara Lingkungan Hidup melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 35 Tahun 1993, khususnya untuk sepeda motor 2-tak tidak digunakan oleh Departemen Perhubungan pada saat melakukan uji emisi;
2. Berasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemberian izin bengkel menjadi wewenang daerah, namun dalam peraturan yang dikeluarkan oleh Departemen Perhubungan bengkel yang memasang peralatan konversi untuk bahan bakar gas diberikan oleh Direktorat Jendral Perhubungan Darat.
3. Keputusan Menteri negara Lingkungan Hidup Nomor 141 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Untuk Kendaraan Tipe Baru tidak didukung oleh penyediaan bahan bakar dengan spesifikasi yang sesuai dengan baku mutu tersebut.

Konferensi Perubahan Iklim di Bali
Terhadap perkembangan isu perubahan iklim baik di tingkat nasional maupun internasional, Pelangi Indonesia menyatakan bahwa:
1. Lahirnya Bali Action Plan merupakan langkah awal yang penting untuk menentukan arah negosiasi. Perlu diakui bahwa selama proses negosiasi di Bali yang sangat alot, terjadi berbagai perubahan di dalam draft Bali Action Plan sehingga dokumen yang akhirnya disepakati relatif lebih ‘lunak’ dibandingkan draft-draft sebelumnya. Namun dokumen ini berhasil merangkum berbagai kepentingan pihak-pihak yang berbeda sehingga negara yang tidak meratifikasi Protokol Kyoto (yaitu Amerika Serikat) mau bersifat fleksibel dan menerima keputusan ini. Selain itu, Bali Action Plan juga menunjukkan pengakuan akan pentingnya teknologi dan finansial, yang selama ini menjadi isu-isu ‘terpinggirkan’ di dalam kegiatan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Bali Action Plan adalah konsensus yang dihasilkan oleh COP 13 UNFCCC (KTT Perubahan Iklim) di Bali, bulan Desember lalu. Berisikan rekomendasi mengenai masalah adaptasi, mitigasi, transfer teknologi dan pendanaan yang akan menjadi kerangka kesepakatan negara-negara untuk komitmen penurunan emisi periode kedua (pasca 2012)
2. Keputusan di Bangkok bahwa mekanisme seperti CDM hanya menjadi kelonggaran bagi negara Annex I sangatlah krusial bagi perkembangan negosiasi perubahan iklim, termasuk yang terkait dengan isu mekanisme penurunan emisi GRK. Saat ini, banyak negara Annex I yang memanfaatkan mekanisme perdagangan karbon untuk memenuhi target penurunan emisi mereka dengan biaya murah di negara berkembang, namun upaya penurunan emisi mereka secara domestik tidaklah sepadan. Hal ini terbukti dari data UNFCCC yang menunjukkan bahwa emisi beberapa negara maju pada tahun 2005 malah meningkat dibandingkan emisi GRK mereka pada tahun 1990
3. Untuk kegiatan CDM, harus dipastikan bahwa kualitas dan kuantitas CER yang dihasilkan sesuai dengan prinsip pembangunan lingkungan dan ekonomi yang berkelanjutan. Selain itu, perlu diberlakukan batas maksimum jumlah CER yang boleh dijual sebuah negara untuk mengatasi tidak meratanya proyek CDM secara regional.
4. Saat ini tidak ada batasan maksimum penurunan emisi yang dapat dilakukan negara maju melalui berbagai mekanisme fleksibilitas termasuk CDM. Seharusnya sebagian besar upaya penurunan emisi oleh negara maju dilakukan di dalam negeri dan mekanisme fleksibilitas merupakan kelonggaran saja. Untuk itu, harus ada peraturan mengenai jumlah emisi minimal yang tereduksi secara domestik di negara Annex I sebelum mereka bisa mendapatkan tambahan penurunan emisi melalui mekanisme lain, semisal CDM.
5. Sumber dana adaptasi (Adaptation Fund) seharusnya bukan hanya berasal dari CDM, melainkan juga dari mekanisme fleksibilitas lain yang dilakukan antar negara-negara maju (International Emission Trading dan Joint Implementation). Selain itu, eksplorasi mengenai sumber pendanaan lainnya harus dilakukan berdasarkan polluter pays principle.
Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim merupakan forum yang terdiri dari organisasi non-pemerintah dan eksponen masyarakat sipil yang berjuang untuk mengkampanyekan nilai-nilai Nyepi sebagai salah satu solusi yang adil dan murah untuk mengurangi dampak perubahan iklim. Forum ini pertama kali dibentuk oleh empat organisasi non pemerintah, yakni: Yayasan WISNU, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bali, Pusat Pendidikan Lingkungan Hidup (PPLH) Bali dan Bali Organic Association (BOA).

Undang-Undang, Perturan Presiden, Peraturan Pemerintah, serta Keputusan Mentri
a. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim).
b. Peraturan Pemrintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
c. Keppres Nomor 23 Tahun 1992 tentang Pengesahan Vienna Convention for The Ozone Layer dan Montreal Protocol on Substances That Deplete The Ozone Layer As adjusted and Amanded by The Second Meeting of Parties London, 27-29 June 1990
d. Kepmen LH Nomor Kep-35/MENLH/10/1993 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor.
e. Kepmen LH Nomor Kep-13/MENLH/3/1995 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak.
f. Kepmen LH Nomor Kep-15/MENLH/4/1996 tentang Program Langit Biru.
g. Kepmen LH Nomor 48/MENLH/11/1996 tentang Baku Mutu Tingkat Kebisingan.
h. Kepmen LH Nomor 49/MENLH/11/1996 tentang Baku Mutu Tingkat Getaran.
i. Kepmen LH Nomor 50/MENLH/11/1996 tentang Baku Mutu Tingkat Kebauan.
j. Kepka Bapedal Nomor Kep-205/BAPEDAL/07/1996 tentang Pedoman Teknis Pengendalian Pencemaran Udara Sumber Tidak Bergerak.
k. Kepmen LH Nomor Kep-45/MENLH/10/1997 tentang Indeks Standar Pencemaran Udara.
l. Kepmen LH Nomor 133 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Emisi bagi Kegiatan Industri Pupuk.
m. Kepka Bapedal Nomor Kep-107/BAPEDAL/11/1997 tentang Pedoman Teknis Perhitungan Dan Pelaporan Serta Informasi Indeks Standar Pencemaran Udara.
n. Kepmen LH Nomor 129 Tahun 2003 tentang Baku Mutu Emisi Usaha dan atau Kegiatan Minyak dan Gas Bumi.
o. Kepmen LH Nomor 141 Tahun 2003 tentang Ambang Batas Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru dan Kendaraan Bermotor Yang sedang di Produksi (Current Production).


Perjanjian Internasional
a) Peraturan Presiden RI Nomor 33 Tahun 2005 tentang Pengesahan Beijing Amandement to The Montreal Protocol on Subtances That Deplete The Ozone Layer (Amandemen Beijing Atas Protokol Montreal tentang Bahan-Bahan yang Merusak Lapisan Ozon)
b) Peraturan Presiden RI Nomor 46 Tahun 2005 tentang Pengesahan Montreal Amandement to The Montreal Protocol on Subtances That Deplete The Ozone Layer (Amandemen Montreal atas Protokol Montreal tentang Bahan-Bahan yang Merusak Lapisan Ozon).

Peraturan Uji Emisi Kendaraan Bermotor
Untuk menanggulangi pencemaran udara di Jakarta yang bersumber dari emisi gas buang kendaraan bermotor perlu dirumuskan strategi untuk menekan panjang perjalanan dan emisi per km kendaraan bermotor baik melalui Peraturan Perundang-undangan maupun penegakan hukum yang baik. Apabila emisi per km ditekan namun panjang perjalanan terus bertambah atau sebaliknya, tentu beban pencemaran tidak akan berkurang.
Emisi per km tiap tipe kendaraan bermotor sangat bervariasi. Namun secara umum teknologi kendaraan bermotor di dunia berkembang ke arah yang lebih bersih. Artinya emisi per km seluruh tipe kendaraan bermotor menjadi lebih rendah. Perkembangan teknologi tersebut hanya dimungkinkan dengan dukungan bahan bakar yang bersih.
Di lain pihak kekhawatiran tidak lulus uji emisi bisa saja hadir di benak pemilik kendaraan bermotor. Tapi kekhawatiran tersebut menjadi tidak beralasan kalau uji emisi di Jakarta memang hanya dimaksudkan untuk mendorong pemilik melakukan perawatan seperti yang diutarakan Pemerintah DKI melalu Peraturan Daerah selama ini. Selama dirawat sesuai prosedur, seharusnya setiap kendaraan bermotor bakal mampu memenuhi ambang batas emisi gas buang yang ditetapkan.
Lain halnya kalau uji emisi memang dimaksudkan untuk untuk mempercepat alih teknologi kendaraan bermotor yang beroperasi di jalan. Artinya ambang batas memang dirumuskan lebih ketat untuk mendorong prosentase tertentu dari pemilik kendaraan bermotor yang emisinya paling buruk melakukan retrofit atau membesituakan kendaraannya. Tentu untuk menerapkan opsi ini, Pemerintah DKI mutlak harus mempersiapkan terlebih dahulu alternatif moda transportasi penggantinya.



KESIMPULAN DAN SARAN
Hampir semua peraturan yang ada dewasa ini disusun oleh sektor-sektor, sehingga kadang-kadang peraturan yang disusun dipersepsikan hanya berlaku untuk sektor tersebut. Tidak mengherankan apabila hingga saat ini pengendalian pencemaran udara hanya dilaksanakan berdasarkan interpretasi masing-masing sektor, setiap sektor terkait mengembangkan dan melaksanakan program sesuai dengan kebutuhan sektor mereka sendiri, tanpa melibatkan sektor lainnya.
Peraturan perundang-undangan tersebut merupakan bagian dari pengaturan hukum pengelolaan udara bersih. Di satu sisi pengaturan hukum pengelolaan udara bersih merupakan satu sistem hukum, tetapi di lain sisi merupakan sub-sistem dari sistem hukum pengelolaan lingkungan hidup. Hukum pengelolaan lingkungan hidup di satu sisi merupakan satu sistem, di lain sisi merupakan sub-sistem dari sistem hukum nasional Indonesia. Pengembangan sistem hukum pengelolaan udara bersih membawa konsekuensi bahwa pengaturan hukum pengelolaan udara bersih harus dilakukan secara komprehensif-integral.





Daftar Pustaka

Laporan ‘Mitigation of Climate Change’ bisa didownload di http://www.pelangi.or.id/resources.php?q=database&did=44
Brosur singkat mengenai perubahan iklim dan dampak-dampaknya bisa didownload di http://www.pelangi.or.id/resources.php?q=database&did=42
Info lebih lengkap mengenai perubahan iklim ada di buku ‘Bumi makin panas’ yang bisa didownload di http://library.pelangi.or.id/?pilih=arsip&topik=5&pid=12
Kumpulan artikel dari berbagai media mengenai perubahan iklim bisa dilihat di http://library.pelangi.or.id
1 Lihat DTE 74,
2 UNDP, The Other Half of Climate Change. Why Indonesia Must Adapt to Protect its Poorest People, 2007
3 Bali Action Plan, unfccc.int/ ;The Guardian 17/Des/07
4 Lihat DTE 74 dan DTE 69,
5 Lihat misalnya penjajakan awal konferensi Bali oleh Tearfund di www.tearfund.org/
6 'What's Missing From the Climate Talks? Justice!' Siaran Pers dari Climate Justice Now! Coalition 17/Des/07.
7 Bali Briefing
8 'Pertemuan Bangkok tentang Perubahan Iklim mencapai kata sepakat', unfccc.int/meetings/items/4347.php
9 Independent 17/Apr/08
10 Siaran pers LSE, 30/Apr/08
1. Nabiel Makarim, artikel yang dimuat dalam Kompas Minggu, 4 Juni 2000
2. Media Indonesia - Kesra (05/04/2001 00:11 WIB)
3. Indra Krishnamurti, Copyright © 1998-1999, Web Design and HTML Layout by BuBu Internet
4. Government of Indonesia to the fifth session of the United Nations Commission on Sustainable Development. Last Update: April 1997.
5. ICEL, Makalah dalam Lokakarya Strict Liability yang diselenggarakan oleh Wahana Lingkungan Hidup Indonesia/WALHI (Jakarta: 8 Desember 1998).






Tidak ada komentar:

Posting Komentar