02 Desember, 2008

Analisa Kasus Mandalawangi


Kasus Posisi

Pada hari Selasa malam tanggal 28 Februari 2003 sekitar jam 21.00 WIB di Desa Karang Mulya(Kampung Bunianten dan Kampung Babakan Nenggeng, Desa Mandalasari, Kampung Bojongjambu dan Kampung Sindangsarin) Kecamatan Kadungora sekitar kawasan Gunung Mandalawangi Kabupaten Garut Jawa Barat telah terjadi banjir dan tanah longsor, sehingga menimbulkan kerugian korban jiwa maupun harta benda yang cukup besar, yang mana banjir dan longsor tersebut disebabkan oleh antara lain karena kondisi topografi, kerusakan/pencemaran lingkungan, pemanfaatan tanah yang tidak sesuai dengan fungsi dan peruntukannya sebagai kawasan hutan lindung, adanya kebakaran hutan dan curah hujan di atas normal terus menerus selama tujuh hari.
Peristiwa ini disebabkan karena Perum Perhutani yaitu Pengelola kawasan hutan di jawa barat termasuk kawasan Rutan Gunung Mandaawangi yang statusnya adalah hutan lindung berdasarkan Pasal 24 PP No. 53 Tahun 1999, kemudian diubah statusnya menjadi hutan produksi terbatas berdasarkan SK Menhut No. 419/KPTS/II/1999. Dikarenakan Perum Perhutani, kondisi alam sekitar Gunung Mandalawangi antara lain menjadi kerusakan ekosistem lingkungan, pengelolaan atau pengawasan lingkungan yang belum optimal dari pihak pengelola, rawan terjadi longsor dan banjir serta reboisasi yang gagal dilaksanakan. Selain itu, sebagaimana diakui oleh pihak Perum Perhutani bahwa Perum Perhutani telah mengetahui terdapat 8 titik longsor sejak 6 bulan silam di kawasan Mandalawangi tersebut.
Oleh karena itu, masyarakat setempat melakukan gugatan class action dan menggugat Direksi Perum Perhutani dan Pemerintah Daerah setempat ke Pengadilan Negeri Bandung. Pengertian Gugatan Class action itu sendiri adalah gugatan yang berisi tuntutan melalui proses pengadilan yang diajukan oleh satu atau beberapa orang yang bertindak sebagai wakil kelompok(class representative). Perwaklian kelompok itu bertindak mengajukan gugatan tidak hanya untuk dan atas nama mereka, tetapi sekaligus untuk dan atas nama kelompok yang mereka wakili, tanpa memerlukan surat kuasa dari anggota kelompok. Dalam pengajuan gugatan tersebut tidak perlu disebutkan secara individual satu persatu identitas anggota kelompok yang diwakili, karena yang terpenting adalah asal kelompok yang diwakili dapat didefinisikan identifikasi anggota kelompok secara spesifik sehingga dengan adanya wakil kelompok terdapat kesamaan fakta atau dasar hukum yang melahirkan kesamaan kepentingan, kesamaan penderitaan, dan apa yang dituntut memenuhi syarat untuk kemanfaatan bagi seluruh anggota. Di tingkat pengadilan negeri tersebut, hakim memenangkan perkara masyarakat dan memutuskan para tergugat untuk melaksanakan gugatan dari para penggugat. Merasa tidak puas dengan keputusan hakim tersebut, Direksi Perum Perhutani dan Pemerintah Daerah melakukan banding ke Pengadilan Tinggi sebagai Penggugat. Dan ternyata Pengadilan Tinggi juga memenangkan pihak masyarakat setempat tersebut. Kembali merasa tidak puas dengan keputusan Pengadilan Tinggi, Direksi Perum Perhutani dan Pemerintah Daerah mengajukannya ke Mahkamah agung. Dan setelah mencermati kasusnya dengan seksama, akhirnya Mahkamah Agung menolak gugatan yang diajukan pihak Direksi Perum Perhutani dan Pemerintah Daerah.

Analisa Putusan

Putusan kasus Mandalawangi No. 1794 K/Pdt/2004 ini adalah salah satu bentuk contoh penegakan hukum yang seharusnya dilakukan di dunia peradilan. Hal ini dikarenakan banyak sekali mafia peradilan yang melanggar esensi dari nilai peradilan tersebut. Esensi dari suatu peradilan adalah untuk melindungi warga negara Indonesia dan untuk memeberi keadilan dan keamanan juga kepastian hukum di negara ini, akan tetapi sering kali realitanya tidak sesuai dengan keinginan masyarakat. Putusan kasus Mandalawangi ini adalah salah satu bentuk peradilan yang harus diteladani, karena putusan ini adalah putusan pertama kali yang memenangkan gugatan penggugat class action, yang dalam hal ini adalah masyarakat setempat di daerah Mandalawangi. Adapun perwakilan kelompok atau class representative dari korban Mandalawangi ini adalah Dedi, Hayati, Entin, Oded Sutisna, Ujang Ohim, Dindin Holidin, Aceng Elim dan Mahmud. Peristiwa ini diwarnai dengan suka cita dari para rakyat mandalawangi, karena gugatan mereka dimenangkan baik dari Pengadilan Negeri hingga Mahkamah Agung.

Menurut kami, pihak Perum Perhutani memang layak untuk tidak dimenangkan oleh Majelis Hakim. Hal ini dikarenakan pihak perum Perhutani sudah terbukti menyalahgunakan wewenangnya yang dalam hal ini diberikan berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1978 jo. Keputusan Kepmen Pemerintah No. 53 Tahun 1999 yaitu memberikan kewenangan pengelolaan untuk mengelola kawasan hutan produksi dan hutan lindung di jawa barat yaitu dalam hal ini kawasan Gunung Mandalawangi, Kecamatan Kadungora, kabupaten Garut.
Berdasarkan Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 53 Tahun 1999, Perum Perhutani sebagai pengelola hutan berkewajiban untuk menyelenggarakan kegiatan-kegiatan perencanaan, penanaman, pemeliharaan, pemungutan hasil, pengolahan, dan pemasaran serta perlindungan dan pengamatan hutan. Sedangkan telah terbukti bahwa Perum Perhutani tidak melakukan pengelolaan dan pemeliharaan tersebut, sehingga dapat disimpulkan bahwa Perum Perhutani telah melanggar pasal tersebut dan juga melanggar Pasal 7 butir b PP No. 53 Tahun 1999 jo Pasal 6 UUPLH ayat 1, dikarenakan Pihak Perum Perhutani tidak memelihara kelestarian fungsi lingkungan hidup serta mencegah dan mnenanggulangi pencemaran dan perusakan lingkungan hidup. Kelestarian lingkungan telah diabaikan oleh Pihak Perum Perhutani, hal tersebut terlihat dari diabaikannya pengelolaan hutan dan telah menyimpangnya dari maksud dan tujuan perusahaan , yang mana mengakibatkan hutan di jawa barat menjadi tinggal 8 % dari sebelumnya 20% sebelum di kelola oleh Tergugat I, hal itulah yang menyebabkan banjir dan longsornya tanah di kawasan Gunung Mandalawangi. Hal ini merupakan celah yang dilakukan oleh pihak Perum Perhutani, dikarenakan berdasarkan SK Menhut No. 419/KPTS.II/1999 mengubah status hutan lindung Mandalawangi menjadi hutan produksi terbatas serta memberi kewenangan pengelolaannya kepada Perum Perhutani, yang pada kenyatannya memberikan peluang kepada Perum Perhutani untuk melakukan perbuatan yang menyimpang dari maksud dan tujuan perusahaan. Perbuatan tersebut seperti tidak melakukan reboisasi setelah penebangan atau merubah hutan primer menjadi hutan skunder.
Oleh karena itu, Menteri Kehutanan telah lalai dalam melakukan kewajibannya yaitu melakukan pembinaan kepada Perum Perhutani berdasarkan Pasal 16 ayat 1 dan 4 PP No. 53/1999. Di samping itu, Perum Perhutani juga telah menyewakan lahan kepada penduduk di sekitarnya dengan alasan dan tujuan yang vtidaj jelas di atas area yang seharusnya direboisasi. Maka dapat kita simpulkan bahwa Perum Perhutani telah melanggar Pasal 1365 KUHPerdata yang berisi :

“ Tiap Perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada Seorang lain, mewajibkan orang yang salah karena menerbitkan Kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.”

Hal ini dapat dilihat ketika Perum Perhutani menyewakan lahan tersebut serta perbuatan lain yang malah merusak ekosistem hutan tersebut, hal ini berdampak pada banjir dan longsornya daerah tersebut yang berdampak pada kerugian masyarakat hingga kematian, jadi dapat kita simpulkan bahwa Perum Perhutani dapat digugat berdasarkan Perbuatan Melawan Hukum(PMH).
Perum Perhutani juga telah melakukan perusakan hutan berdasarkan Pasal 50 ayat 2 UU No. 41 Tahun 1999, hal ini muncul dikarenakan Perum Perhutani tidak melakukan reboisasi, mengubah hutan primer menjadi hutan sekunder, menciptakan lahan kosong dan lahan garapan pertanian di sekitar area hutan.
Perum Perhutani juga lalai ketika tidak memberikan informasi kepada masyarakat dan pihak-pihak terkait termasuk Pemda Kabupaten Garut. Sebelum terjadinya longsor, Perum Perhutani sudah mengetahui dan mengakui bahwa sejak 6 bulan silam, petak V yang berarea 102 ha terdapat 3 titik rawan longsor dan VI yang berarea 195 ha terdapat 4 titik rawan longsor, namun Perum Perhutani tidak menanganinya dan mengumumkannya maka hal ini telah melanggar Pasal 6 UU No. 23 Tahun 1997.
Maka dapat kita simpulkan pihak yang menanggung atas semua kerugian dan kesalahan ini adalah Pihak Perum Perhutani sebagai Pihak utama yang harus di salahkan, pihak gubernur propinsi jawa barat dan pihak Menteri kehutanan. Semua pihak ini harus bertanggung jawab atas kesalahan mereka baik dengan sengaja atau dengan lalai.
Berdasarkan UU Lingkungan yang baru yaitu UU No. 23 Tahun 1997 terdapat pasal yang sangat menguntungkan Penggugat yaitu pihak para korban longsor Mandalawangi. Hal ini terdapat dalam Pasal 35 UU No. 23 Tahun 1997 yang berisi :

“ Penanggung jawab usaha dan atau kegiatan yang usahanya dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggung jawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.”

Sehingga dari pasal tersebut, para korban longsor Mandalawangi tidak perlu repot dalam membuktikan kesalahan dari pihak Perum Perhutani, karena pasal ini hanya melihat dari sisi kerugiannya saja, jadi dampak dari pasal ini adalah pihak Perum Perhutani harus mengganti semua kerugian yang diderita oleh Para korban Mandalawangi tersebut. Hal ini termasuk Strict Liability atau biasa disebut tanggung jawab mutlak.

Eksepsi Tergugat
Pihak tergugat mengajukan beberapa hal di dalam eksepsinya. Pertama, menurut Perum Perhutani bahwa para penggugat tidak memenuhi syarat-syarat hukum bagi sebuah gugatan perwakilan kelompok (class action). Menurut Perum Perhutani gugatan class action telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) RI No.1 tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok. Dan juga menurut mereka bahwa gugatan class action yang diajukan oleh pengugat tidak memenuhi syarat formil sesuai dengan yang diatur dalam Pasal 3 PERMA No.1 tentang tata cara gugatan class action.
Menurut kelompok kami, syarat-syarat gugatan class action tersebut telah terpenuhi dalam gugatan ini,dimana Para Penggugat terdiri dari wakil kelompok(kelas) dan anggota kelompok (kelas) yang terdiri dari banyak orang yang menuntut kerugian atas peristiwa longsornya tanah dan banjir di kawasan Gunung Mndalawangi.
Lalu eksepsi selanjutnya adalah bahwa Surat Kuasa yang diajukan Masyarakat Korban Longsor Mandalawangi tidak memenuhi syarat materiil, karena menurut Pihak Perum Perhutani ada pernyataan “tidak pernah memberi kuasa” untuk menggugat`Dinas, Instansi Pemda dan Perhutani. Padahal menurut kami, perlu diketahui bahwa didalam suatu class action memang tidak ada pemebrian surat kuasa khusus dari anggota kelompok, dikarenakan sistem class action yang memang tidak menuntut adanya hal tersebut. Sistem dari class action tersebut adalah anggota yang setuju dan mau ikut dalam gugatan tersebut bisa dilakukan secara diam atau dengan melapor untuk mengikuti gugatan tersebut, sedangkan anggota yang mau keluar dari class action ini bisa dilakukan dengan melapor kepada wakil anggota untuk tidak mengikuti ini class action tersebut. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa memang tidak ada pemberian kuasa khusus dari anggota kelompok. Sementara surat kuasa Para Penggugat menurut pendapat kami telah memenuhi ketentuan standar yang harus dimiliki oleh sebuah surat kuasa, yakni identitas pemberi dan penerima kuasa serta hal-hal apa saja yang dikuasakan. Hal itu diatur dalam pasal 1795 KUHPer tentang pemberian kuasa dapat dilakukan secara khusus, yaitu hanya mengenai satu kepentingan tertentu atau lebih. Yang dalam hal ini dilakukan oleh wakil anggota atau class representative kepada para advokatnya, bukan dari para anggotanya tapi hanya perwakilannya saja.
Menurut eksepsi Perum Perhutani, bahwa semua yang telah dilakukan olehnya dalam rangka mengelola hutan atas kawasan hutan produksi dan lindung senantiasa berdasarkan persetujuan dari Menteri Kehutanan. Ketentuan tersebut mengenai pembinaan dan pengawasan dari Menteri Keuangan dan Menteri Kehutanan diatur lebih lanjut dengan terbitnya Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 53/Kpts-11/1987 tentang Pembinaan Terhadap Perusahaan Umum Kehutanan Negara (Perum Perhutani). Dan sebagai realisasi atas Keputusan Menteri Kehutanan tersebut, maka Perum Perhutani telah membuat Rencana Umum Perusahaan, Rencana Lima Tahunan Perusahaan, dan Rencana Kerja Tahunan Perusahaan. Jadi menurut Perum Perhutani tidak benar pernyataan korban longsor Mandalawangi sebagaimana dalam angka 1 sampai dengan 5 dalam gugatannya.
Perum Perhutani juga menolak dalil korban longsor Mandalawangi yang mengatakan bahwa luas hutan di Jawa Barat tinggal 8% dari 20%. Hal ini karena terdapat pembedaan antara Hutan dan Kawasan Hutan. Dan Kawasan Hutan yang masuk dalam pengelolaan hutan oleh Perum Perhutani hanya seluas 791.886 Ha sedangkan luas daratan Propinsi Jawa Barat adalah hanya kurang lebih 3,5 juta Ha. Dan Perum Perhutani mensomir pihak korban longsor Mandalawangi untuk membuktikan bahwa luas hutan di Jawa Barat 53 juta Ha dan sekarang hanya ada 4,24 juta Ha.
Menurut Perum Perhutani SK Menhut No 419/Kpts-II/1999 tidak terdapat amar yang menyatakan merubah status Hutan Lindung Mandalawangi menjadi Hutan Produksi Terbatas. Jadi sebelum terbitnya SK Menhut tersebut, kawasan Hutan Gunung Mandalawangi belum pernah ada penetapan fungsi, yang ada adalah bahwa berdasarkan hasil inventaris hutan dengan melihat kondisi di lapangan, maka Gunung Mandalawangi termasuk Klas Hutan, Hutan Lindung Terbatas.
Perum Perhutani juga menolak gugatan yang mengatakan bahwa dia tidak pernah melakukan reboisasi dan menambah hutan primer menjadi hutan sekunder. Sebelum dan setelah ada SK Menhut tersebut di lokasi Gunung Mandalawangi Perum Perhutani tidak pernah melakukan penebangan pohon, yang ada adalah tindakan perbaikan kondisi hutan yang rusak atau gundul akibat perambahan kemudian direboisasi dengan tanaman hutan.
Bahwa berdasarkan gugatan halaman 4 angka 9 tentang Penjelasan Sumpena, Perum Perhutani tidak pernah menyewakan tanah kawasan hutan kepada penduduk dengan alasan maupun tujuan apapun. Juga menurut Perum Perhutani tidak benar yang dinyatakan korban longsor Mandalawangi dalam gugatannya halaman 4 angka 10 karena Perum Perhutani telah melakukan kegiatan reboisasi dan rehabilitasi pada areal in casu sejak tahun 1980 sampai dengan tahun 1999 dengan jenis tanaman Pinus, sedangkan terciptanya lahan kosong bukan dilakukan Perum Perhutani, tetapi dilakukan oleh masyarakat perambah hutan sehingga mengakibatkan adanya kerusakan hutan.
Perum Perhutani juga berpendapat bahwa bencana tanah longsor yang terjadi di Kecamatan Kadungora merupakan bencana banjir bandang yang diikuti dengan tanah longsor yang merupakan kombinasi antara curah hujan sangat deras, kemiringan lereng curam dan jebolnya tanggul-tanggul penahan air hujan yang terbentuk oleh aliran air disertai batu, lumpur dan bahan perintang aliran air lainnya.
Bahwa sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, Perum Perhutani tidak pernah melakukan perubahan fungsi tata guna tanah, melainkan menyelenggarakan pengelolaan hutan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu dengan mereboisasi tanaman hutan dalam rangka rehabilitasi. Jadi bukan seperti halnya pernyataan korban longsor Mandalawangi tersebut pada angka 14.
Bahwa pernyataan korban longsor Mandalawangi dalam angka 15 yang menyatakan Perum Perhutani sudah mengetahui dan mengakui bahwa sejak 6 bulan silam telah mengakui adanya titik-titik longsor adalah pernyataan yang tidak benar dan tidak berdasarkan atas hukum. Bahwa yang benar adalah adanya 8 titik longsor tersebut diketahui setelah bencana alam banjir bandang terjadi.
Dan juga mengenai relokasi pemukiman korban longsor sebegaimana gugatan angka 16 halaman 5, bukan hanya tanggung jawab maupun konsekuensi Perum Perhutani tetapi merupakan tanggung jawab semua pihak.
Bahwa dari pernyataan gugatan korban longsor Mandalawangi angka 16 justru sebaliknya sama sekali tidak ada data-data dan fakta-fakta yang menunjukan bahwa Perum Perhutani telah melakukan perbuatan baik secara langsung maupun tidak langsung yang mengakibatkan lingkungan tidak berfungsi sebagaimana mestinya karena kejadian bencana alam di Gunung Mandalawangi adalah murni bencana alam.
Akibat bencana tersebut yang menimbulkan korban jiwa dan harta benda adalah dikarenakan area hutan tersebut hanya ditanami jenis perdu sebagaimana gugatan para korban longsor Mandalawangi angka 20 adalah tidak amsuk akal dan tidak berdasar karena Perum Perhutani tidak melakukan penebangan pohon besar maupun penanaman pohon jenis perdu.
Bahwa karena kejadian longsor itu adalah murni bencana alam, maka Perum Perhutani tidak seharusnya dibebani tanggung jawab materiil dan imateriil, tidak perlu mengadakan mekanisme pendistribusian ganti rugi, tidak perlu melakukan strict liability, karena kerugian yang diderita oleh korban longsor Mandalawangi bukan karena diakibatkan oleh kegiatan yang dilakukan oleh Perum Perhutani.

Kesimpulan dan Saran

Kesimpulan kami mengenai putusan Kasus Mandalawangi, bahwa putusan ini merupakan salah satu wujud dilindunginya kepentingan masyarakat, yang selama ini masyarakat menjadi korban dari suatu hukum yang hanya dimiliki oleh mafia peradilan dan pejabat tinggi suatu pemerintahan. Sehingga di dalam putusan ini terlihat adanya kepastian hukum di Indonesia yang menciptakan keadilan juga ketertiban, yang menyebabkan kembalinya reputasi peradilan di Indonesia. Selama ini banyak sekali masyarakat yang ragu atas kejujuran peradilan di Indonesia, tetapi dengan terciptanya putusan ini reputasi peradilan di Indonesia akan kembali bangkit dan kepercayaan masyarakat diharapkan akan kembali. Putusan ini juga menjadi tonggak sejarah di dalam dunia peradilan, karena inilah putusan pertama yang memenangkan gugatan class action
Menurut kami, Majelis hakim dalam hal ini sudah membuat keputusan yang adil dan tepat untuk menolak kasasi pihak Perum Perhutani, karena pihak tersebut dalam proses persidangan tidak dapat membuktikan dalil – dalil yang mereka gunakan dan tidak ditemukan adanya bukti – bukti baru. Pihak Perum Perhutani telah terbukti lalai dalam mengelola hutan dan tidak menjaga kelestarian hutan tersebut yang dalam hal ini memiliki peran penting untuk mencegah bencana tanah longsor dan banjir bagi penduduk Gunung Mandalawangi dan sekitarnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar