Indonesia meratifikasi konvensi CEDAW melalui UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Ratifikasi ini menimbulkan konsekuensi bagi Negara, yakni Negara wajib menerapkan prinsip-prinsip konvensi tersebut ke dalam hukum nasional dan mencabut peraturan-peraturan dan kebijakan-kebijakan yang sifatnya mendiskriminasi wanita, baik secara de facto maupun de jure. Negara juga wajib menciptakan suatu kondisi atau keadaan sementara untuk mengakomodir penghormatan terhadap hak-hak asasi wanita di bidang politik, ekonomi, social, budaya dan pendidikan, agar wanita dapat berkembang sama seperti pria di bidang-bidang tersebut. Setelah itu, Negara yang merarifikasi konvensi ini juga wajib melaporkan tindakan-tindakan yang bersifat preventif dan proaktif yang telah dilakukan dalam bidang legislatif, yudikatif, dan administratif dalam tingkatan lokal maupun nasional, kepada sekretaris jenderal PBB (komite CEDAW) setiap 4 tahun atau sewaktu-waktu tertentu sesuai permintaan komite CEDAW.
Penyaduran prinsip-prinsip konvensi CEDAW sudah banyak diterapkan dalam hukum nasional, diantaranya yakni ;
- UU No. 12 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO)
- UU No. 23 Tahun 2004 tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
- UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
- Amandemen UUD 1945 khususnya pasal Pasal 28 I (2), yang menegaskan bahwa “Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.”
- Instruksi Presiden No. 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Jender Dalam Program Pembangunan Nasional
Konvensi CEDAW sudah cukup komprehensif dalam melindungi hak-hak asasi manusia, seperti penjaminan atas hak-hak politik, sosial, budaya, ekonomi, kesehatan, pewarisan, pemeliharaan anak dalam keluarga, pendidikan dal lain-lain. Hanya saja, penjaminan tersebut oleh Indonesia belum bisa efektif, sekalipun prinsip-prinsip non-diskriminasi telah diterapkan melalui peraturan-peraturan/legislasi DPR, kebijakan-kebijakan pemerintah, putusan-putusan yudikatif, dan lain-lain, dikarenakan ;
I. Bertentangan dengan budaya nenek moyang, contohnya : system patrilineal suku Batak Parmalin, dimana anak perempuan hanya akan mendapat warisan dari orang tuanya berupa harta/perhiasan turun temurun yang “berharga” di lingkungan adat mereka, tetapi tidak/kurang bernilai ekonomis dalam kehidupan sehari-hari (hartanya bukan berupa uang, tanah atau bangunan, kesemuanya itu diberikan untuk anak laki-laki)
II. Dalam hal negara tidak mampu menjangkau daerah terpencil untuk memberikan layanan hukum, maka satu-satunya acuan hukum rakyat adalah hukum pidana adat beserta forum peradilan adatnya, dimana posisi laki-laki pada umumnya lebih dominan dan posisi wanita lebih subordinat (system patriarki)
III. Akses pendidikan yang tidak merata ke seluruh pelosok negeri atau pedesaan (karena Negara melakukan pelanggaran konstitutif dengan tidak memenuhi anggaran 20% dari APBN tiap tahunnya) dan kualitas pendidikan yang masih relative rendah
IV. Masih minimnya peran wanita di posisi-posisi strategis pemerintahan dan legislative (tidak terpenuhinya kuota 30% di parlemen), atau posisi yudikatif (hakim, polisi, jaksa, dan lain-lain)
V. Masih ada persoalan-persoalan yang dianggap lebih mendesak, baik menurut penyelenggara Negara maupun masyarakat luas, contohnya ;
- Korupsi dan narkotika : merupakan extra ordinary crime, yang mencengkeram Negara di berbagai tingkat social, yakni masyarakat luas (golongan bawah, menengah dan atas), aparat penegak hukum, pemerintah dan DPR, dan lain-lain
- Minimnya lapangan kerja dan tingginya angka kemiskinan : membuat paradigma “lebih baik berjuang mengisi perut ketimbang memperjuangkan hak asasi kesetaraan jender” di masyarakat semakin kuat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar