09 Oktober, 2008

Analisa Hukum Ketenagakerjaan PT. SKP DI PROYEK BALONGAN, INDRAMAYU, JAWA BARAT


II.1 DESKRIPSI PERUSAHAAN
PT. Syamsir Karya Pertama (SKP), merupakan perusahaan yang bergerak pada bidang jasa pelayanan konstruksi yang meliputi bidang instrumentation work, electrical, sipil dan konstruksi.

PT. SKP didirikan pada tanggal 18 Agustus 1997 oleh Bpk. Syamsir Alam bersama dengan beberapa rekan insinyur lainnya. Pada awalnya PT. SKP didirikan dengan nama PT. Adiguna Karya Pertama, lalu pada tahun 1998 PT. ini berganti nama menjadi PT. Syamsir Karya Pertama (SKP) sampai dengan sekarang. Saat ini PT. SKP menangani beberapa proyek yang diantaranya berlokasi di Balongan, Jambi, Cilacap, Sorowako, dan Pasuruan.

PT. SKP mengambil spesialisasi pengerjaan konstruksi pada bidang electrical dan instrumentation work, namun demikian PT. SKP juga sanggup mengerjakan beberapa pekerjaan konstruksi lainnya.

PT. SKP berkantor pusat di Jakarta yang terletak di Gedung Ganeca blok D, Jl. Raya Pasar Minggu No. 234, Duren Tiga, Pancoran, Jakarta Selatan. Selain itu PT. SKP juga mempunyai beberapa kantor perwakilan proyek yang ada di beberapa daerah.

II.2 DESKRIPSI HUBUNGAN KERJA
II.2.A PENERIMAAN PEGAWAI
Penerimaan pegawai baru di lingkungan PT. SKP baru dapat dilakukan apabila terdapat kekurangan tenaga kerja dalam suatu divisi serta harus dengan persetujuan direktur. Adapun proses penerimaan pegawai baru dilakukan sebagaimana halnya perusahaan-perusahaan lainnya yaitu melalui pengumuman lowongan pekerjaan di media massa, penyaringan surat lamaran, test-test tertulis dan wawancara, masa percobaan dan pengangkatan sebagai pegawai. Ada hal yang menarik dalam proses penerimaan pegawai terutama dalam perekrutan pegawai pada proyek Balongan. Dimana PT. SKP bekerjasama dengan Disnakertrans dalam hal perekrutan pegawai. Untuk dapat lebih jelasnya dapat dilihat pada diagram di bawah ini.

ALUR PENERIMAAN TENAGA KERJA PT. SKP DI PROYEK BALONGAN, INDRAMAYU, JAWA BARAT

DIAGRAM ALUR PENERIMAAN TENAGA KERJA


END USER DISNAKERTRANS PELAMAR

SUB CONSTRUCTION ( Tim Kerja Rekrutasi)

FLOW CHART PENERIMAAN TENAGA KERJA

END USER

(SUB CONTRACTOR )


SELEKSI

(kirim bahan test)

TEST


HASIL


PENCATATAN ADM TIM REKRUITASI


LULUS TIDAK LULUS



II.2.B STATUS KEPEGAWAIAN
Di dalam PT. SKP terdapat dua macam status kepegawaian yaitu :
1. Pegawai Tetap
Pegawai Tetap diperuntukkan untuk menempati posisi grade 1 sampai grade 7, yaitu posisi President Director sampai dengan Administrator di kantor pusat.
2. Pegawai Tidak Tetap
Pegawai Tidak Tetap diperuntukkan untuk menempati posisi grade 8 ,yaitu terdiri dari direct worker dan indirect worker.
Direct worker terdiri dari helper, walder dan foreman sedangkan Indirect worker merupakan staff administrasi yang bekerja pada kantor perwakilan di proyek yang sedang berjalan.
Namun pada prakteknya, banyak pegawai di PT. SKP yang seharusnya menempati posisi sebagai pegawai tetap, dipekerjakan sebagai pegawai tidak tetap.

II.2.C PERJANJIAN KERJA
Dengan adanya 2 status kepegawaian di PT. SKP maka dalam hal penerimaan pegawai, PT. SKP mempunyai 2 jenis perjanjian kerja, yaitu :
1. Perjanjian Kerja Tidak Tertentu
2. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu
Perjanjian Kerja Tidak Tertentu biasa diperuntukan untuk calon pegawai tetap. Perjanjian kerja ini sesuai dengan ketentuan UU No. 13 Tahun 2003 yaitu mensyaratkan masa percobaan kerja paling lama 3 bulan. Apabila setelah masa percobaan itu telah dilalui dengan baik maka pegawai akan diangkat sebagai pegawai tetap. (terjadi hubungan kerja untuk jangka waktu tidak tertentu).
Sedangkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu diperuntukan bagi para pegawai tidak tetap. Perjanjian kerja ini tidak mensyaratkan adanya masa percobaan 3 bulan. Perjanjian ini hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis, sifat dan kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu atau pekerjaan yang sekali selesai atau yang sifatnya sementara dan pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama (maksimal 2 tahun dan hanya dapat diperpanjang 1 kali, dengan jangka waktu maksimal 1 tahun).

II.2.D PERATURAN PERUSAHAAN
Peraturan Perusahaan PT. SKP memuat berbagai macam pengaturan yang mengatur hubungan antara pegawai dengan pengusaha, diantaranya tentang perjanjian kerja, waktu kerja, upah, jaminan sosial dan tentang pemutusan hubungan kerja. Dalam Peraturan Perusahaan tersebut pada intinya mengatur tentang hak dan kewajiban, baik dari segi pengusaha maupun dari segi pegawai. Dari segi pembuatannya Peraturan Perusahaan di PT. SKP melibatkan sejumlah wakil dari pihak pegawai dan dari pihak pengusaha sehingga Peraturan Perusahaan tersebut diharapkan dapat memunuhi kepentingan kedua belah pihak secara adil.

II.2.E EVALUASI PEGAWAI
Evaluasi pegawai untuk kantor pusat dilakukan setiap awal tahun sedangkan evaluasi pegawai di proyek dilakukan setiap akhir proyek atau awal tahun. Adapun tujuan diadakannya evaluasi adalah untuk menjamin semua pegawai menempati posisi sesuai kompetensinya masing-masing. Penilaian pegawai di proyek dilakukan oleh manajer proyek sedangkan pada pegawai di kantor pusat penilaian dilakukan oleh manajer dan direktur.

II.2.F PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA
Pemutusan hubungan kerja antara PT. SKP dengan pegawai disebabkan karena pegawai yang bersangkutan mengundurkan diri atau melakukan pelanggaran. Prosedur pemutusan hubungan kerja bagi karyawan yang melakukan pelanggaran dilakukan apabila pegawai tersebut telah diberikan surat peringatan ketiga (SP3). Maka sejak diterimanya SP3 tersebut, hubungan kerja antara pegawai dengan PT. SKP dinyatakan putus.

III. LAPORAN PENGAMATAN
Berdasarkan hasil wawancara yang telah kami lakukan, didalam PT. SKP baik di kantor pusat maupun di kantor cabang tidak ditemukan adanya serikat buruh. Hal ini disebabkan karena sebagian besar pegawai PT. SKP baik pegawai tetap maupun pegawai tidak tetap dituntut untuk bersedia ditempatkan di berbagai daerah dengan jangka waktu yang tidak terlalu lama dengan jam kerja yang cukup padat sehingga pegawai sulit untuk membentuk suatu serikat buruh.

Seperti yang kita ketahui dalam pembentukan serikat buruh diperlukan konsolidasi – konsolidasi antar para pegawai, hal inilah yang sangat sulit untuk dilakukan oleh para pegawai PT. SKP karena jam kerja yang cukup padat dan mobilisasi pekerjaan yang tinggi. Namun pada saat ini, kepala bagian HRD yang baru sedang mengusahakan untuk membentuk serikat buruh yang pada akhirnya akan melahirkan Perjanjian Kerja Bersama antara serikat buruh dengan pihak pengusaha.

Berdasarkan hasil wawancara kami dengan Bapak Gema Pratama, Kepala Bagian HRD PT. SKP, Perjanjian Kerja Bersama dinilai lebih efektif dibandingkan dengan Peraturan Perusahaan yang ada saat ini. Hal ini dikarenakan dalam pembentukan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) pihak pegawai mempunyai kedudukan yang setingkat dengan pengusaha, sehingga PKB yang dihasilkan, diharapkan akan lebih adil bagi kedua belah pihak dibandingkan dengan Peraturan Perusahaan. Sedangkan dalam pembentukan Peraturan Perusahaan walaupun ada wakil dari pihak pegawai akan tetapi keterwakilan tersebut dirasa belum dapat mewakili aspirasi seluruh pegawai sehingga kedudukan pegawai tidak seimbang dengan pengusaha yang menyebabkan Peraturan Perusahaan lebih berpihak pada pengusaha. Oleh sebab itu perangkat hubungan industrial yang ada di PT. SKP hanya sebatas Perjanjian Kerja dan Peraturan Perusahaan.

Dalam membuat peraturan perusahaan, PT. SKP melibatkan sejumlah wakil dari pihak pegawai. Wakil pegawai dipilih berdasarkan kesepakatan para pegawai PT. SKP. Wakil tersebut merupakan perwakilan pegawai baik yang berada di kantor pusat maupun daerah. Selain itu, dalam membuat peraturan perusahaan, PT. SKP selalu berkonsultasi dengan Depnakertrans untuk mendapakan hasil peraturan perusahaan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Namun, walaupun melibatkan pihak pegawai dalam pembuatan peraturan perusahaan tetap saja peran pengusaha lebih dominan dibandingkan pegawai. Sehingga peraturan perusahaan tersebut cenderung lebih berpihak pada pengusaha.

Selain itu, kelemahan peraturan perusahaan tersebut adalah meskipun dalam pembuatannya melibatkan wakil dari pegawai namun, menurut kami, wakil tersebut belum dapat mengakomodasikan aspirasi keseluruhan pegawai. Hal ini dikarenakan pegawai yang diambil menjadi wakil hanya merupakan pegawai pusat dan jikapun terdapat pegawai daerah yang menjadi wakil, sebenarnya pegawai tersebut hanyalah pegawai pusat yang ditempatkan di daerah untuk sementara waktu sehingga tidak mengerti permasalahan – permasalahan yang terjadi di daerah.

Permasalahan – permasalahan yang timbul di dalam PT. SKP antara pegawai dengan pihak pengusaha, langsung diselesaikan oleh HRD Pusat di Jakarta. Adapun alur penyelesaiannya adalah :
• Pegawai yang bersangkutan ( baik yang ada di pusat maupun daerah ) melapor kepada manajer bagian ( baik yang ada di pusat maupun daerah ) mengenai masalah yang dihadapi ;
• Manajer Bagian melaporkan masalah tersebut kepada HRD Pusat di Jakarta ;
• HRD Pusat menghubungi pegawai yang bersangkutan untuk mengetahui duduk permasalahannya lebih lanjut ;
• HRD Pusat melapor kepada Direksi mengenai permasalahan tersebut ;
• HRD Pusat berperan sebagai mediator untuk melakukan mediasi antara pengusaha dan pegawai guna mencari jalan keluar yang terbaik bagi kedua belah pihak.

Berdasarkan penjelasan diatas maka dapat kami simpulkan bahwa di dalam PT. SKP tidak terdapat Lembaga Kerjasama ( LKS ) bipartit. Akan tetapi, pada kantor cabang PT. SKP yang terletak di daerah Balongan, Indramayu, Jawa Barat terdapat suatu lembaga yang disebut unifikasi. Dimana lembaga tersebut terdiri dari wakil dari Depnakertrans, pengusaha dan pegawai guna menyelesaikan permasalahan- permasalahan kepegawaian yang ada di Balongan. Namun sayangnya hal ini tidak diikuti oleh kantor pusat maupun kantor cabang lainnya.

Salah satu kasus yang kami temui dalam wawancara yaitu permasalahan salah satu pegawai yang bekerja pada proyek di daerah. Dimana pegawai tersebut telah bekerja selama hampir 2 tahun tanpa adanya perjanjian kerja. Hal ini diakibatkan karena kelalaian PT. SKP yang tidak memperpanjang kontrak pegawai tersebut namun tetap mempekerjakan pegawai tersebut tanpa adanya status yang jelas. Hal ini tentu saja sangat merugikan pegawai tersebut. Namun dikarenakan dalam PT. SKP tidak ada lembaga yang mewadahi keluhan dan aspirasi pegawai maka pegawai tersebut langsung melaporkan hal tersebut kepada HRD Pusat sebagai mediator. Namun ternyata pihak HRD Pusat tidak sigap dalam menyelesaikan masalah tersebut, dimana masalah tersebut tidak segera dilaporkan kepada Direksi tetapi hanya dibiarkan terkatung – katung selama hampir 2 tahun. Hingga pada akhirnya pegawai tersebut mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial. Pada akhirnya, masalah tersebut dapat diselesaikan melalui mediasi dengan dipenuhinya beberapa tuntutan dari pegawai tersebut.

Seperti yang kita ketahui, PT. SKP memiliki berbagai proyek di daerah – daerah di Indonesia hal ini berimbas pada perjanjian kerja. Tidak terdapat keseragaman antara perjanjian kerja di daerah satu dengan yang lainnya. Perjanjian kerja tersebut mengikuti situasi dan kondisi daerah masing- masing terutama dalam hal pembagian upah, tergantung pada upah minimum regional masing – masing daerah.

Berdasarkan pasal 78 UU No. 13 Tahun 2003, waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling lama 3 jam per hari atau paling lama 14 jam per minggu, namun akibat dari tuntutan pekerjaan yang sifatnya mendesak harus diselesaikan terutama pada pegawai yang bekerja di proyek lapangan, membuat mereka harus bekerja lembur melebihi batas waktu yang telah ditentukan undang – undang bahkan para pegawai seringkali tidak dapat menikmati hari libur. Atas penyimpangan tersebut, PT. SKP telah memperoleh izin peyimpangan jam lembur yang dikeluarkan oleh Depnakertrans.

Dalam hal kompensasi lembur, terdapat perbedaan penghitungan antara pegawai yang bekerja di kantor pusat dengan pegawai yang bekerja di proyek lapangan. Dimana untuk pegawai yang bekerja di proyek lapangan, kompensasi lembur tidak dihitung per jam namun telah dimasukan ke dalam gaji pegawai berupa tunjangan lapangan sebesar 90% -100 % dari gaji pokok. Sedangkan untuk pegawai yang bekerja di kanor pusat kompensasi lembur dihitung per jam.

Seluruh pegawai di PT. SKP dilindungi oleh asuransi , yang dalam hal ini telah diambil alih oleh PT. Jamsostek. Dimana pembayaran jaminan sosial tersebut ditanggung oleh PT. SKP bersama dengan para pegawai. Untuk pegawai tidak tetap yang masa kerjanya singkat dilindungi oleh Jamsostek melalui program SKG, dimana pekerja tersebut hanya dilindungi selama ia bekerja di PT. SKP serta hanya mendapat jaminan kesehatan dan keselamatan kerja. Sedangkan untuk pegawai tetap dilindungi secara penuh oleh Jamsostek, dimana pegawai tersebut mendapat Jaminan Hari Tua, Jaminan Kesehatan dan Keselamatan Kerja , dll.

VI. KOMENTAR
Dengan tidak adanya serikat buruh di PT. SKP maka pihak HRD harus berperan aktif dalam menyelesaikan permasalahan yang timbul baik antar pegawai maupun antara pegawai dengan pengusaha. Maka langkah Kepala Bagian HRD, yang baru, dalam mengusahakan pembentukan serikat buruh sangatlah tepat dan kami dukung. Mengingat PT. SKP telah mempunyai pegawai yang cukup banyak dan PT. SKP itu sendiri telah berusia lebih dari sepuluh tahun maka sudah sepantasnya PT. SKP mempunyai wadah untuk menampung aspirasi para pegawai dan untuk menyelesaikan masalah - masalah yang timbul.

Diharapkan dengan terbentuknya serikat buruh maka dapat pula terbentuk Perjanjian Kerja Bersama antara serikat buruh dengan pengusaha. Dimana dalam Perjanjian Kerja Bersama hak – hak pegawai tidak tersepelekan oleh kekuasaan pengusaha. Hal ini disebabkan dalam pembentukan Perjanjian Kerja Bersama kedudukan pegawai dengan pengusaha adalah seimbang.

Selanjutnya untuk Peraturan Perusahaan, kami menilai bahwa Peraturan Perusahaan tersebut kurang dapat mewakili aspirasi seluruh karyawan. Oleh karena itu dalam pembuatan Peraturan Perusahaan, hendaknya PT. SKP tidak hanya melibatkan wakil pegawai dari kantor pusat saja tetapi turut mengikutsertakan wakil dari daerah agar seluruh aspirasi pegawai dapat tersalurkan dengan baik.

Berdasarkan kasus yang terdapat di dalam bagian ”Laporan Pengamatan ” kami menyimpulkan bahwa peran Lembaga Kerjasama Bipartit dalam suatu perusahaan sangatlah penting. Dimana lembaga tersebut dapat mengakomodir permasalahan antara pegawai dengan pengusaha bilamana dalam perusahaan tersebut belum terbentuk serikat buruh. Dengan tidak adanya Lembaga Birpatit ini maka HRD diharapkan dapat menjadi ujung tombak dalam hal penyelesaian perselisihan antara pekerja dengan pengusaha. Oleh karena itu HRD harus berperan aktif jika terdapat suatu permasalahan kepegawaian sehingga kasus di atas tidak terulang lagi.

Mengenai penyimpangan jam lembur yang terdapat dalam PT. SKP, bila dilihat dari kacamata pekerja sangatlah merugikan karena hal tersebut merupakan bagian dari eksploitasi terhadap pekerja dimana setiap manusia pastilah memerlukan istirahat. Menurut kami adanya izin penyimpangan dari pihak Depnakertrans tidak dapat dijadikan dasar bagi PT. SKP untuk melakukan eksploitasi terhadap para pekerja. Adapun jika terdapat alasan – alasan yang mengharuskan pekerjaan tersebut harus diselesaikan dengan secepatnya akibat permintaan klien maka PT. SKP seharusnya menyediakan kompensasi lembur yang lebih besar dibanding yang ada saat ini terutama bagi para pekerja lapangan di daerah.

Berdasarkan pengamatan kami, dalam hubungan industrial yang ada di PT. SKP ternyata masih banyak hal – hal yang harus dibenahi terutama dalam hal pembentukan serikat buruh dan masalah kesejahteraan pegawai. Apalagi jika melihat dari usia PT. SKP yang sudah berdiri semenjak tahun 1997 maka seharusnya PT. SKP dapat memfasilitasi para pegawainya untuk membentuk suatu serikat buruh. Karena keberadaan serikat buruh merupakan hal yang penting dalam suatu perusahaan guna meningkatkan kesejahteraan para pegawai. PT. SKP seharusnya jangan hanya mementingkan keuntungan perusahaan semata tapi juga harus memperhatikan kesejahteraan pekerjanya karena pada dasarnya pekerja merupakan ujung tombak perusahaan dalam memperoleh keuntungan.




3 komentar:

  1. Perlindungan tenaga kerja dalam hubungan kerja (pekerja) di Indonesia
    memang masih sangat rendah, seakan-akan pengusaha dan pemerintah kurang
    memahami posisi pekerja sebagai pelaku atau subjek pembangunan nasional.

    Dalam hal terjadi pelanggaran ketenagakerjaan, diperlukan peranan
    Lembaga Pengawas Ketenagakerjaan (depnakertrans) untuk menjatuhkan
    sanksi bagi si pelanggar. Sejauh ini pihak pengawas ketenagakerjaan
    lebih mengedepankan upaya persuasif dari pada penjatuhan sanksi padahal
    pelanggaran UU No.13 Tahun 2003 terjadi dimana-mana, salah satunya pada
    kasus diatas.

    Terkait lembur yang melebihi batas waktu, saya pikir Izin penyimpangan
    jam lembur yang dikeluarkan oleh Depnakertrans tidak berdasar karena
    tidak satupun ketentuan dalam UU No.13 Tahun 2003 yang mengatur hal
    demikian.

    Serikat Buruh sewajarnya harus dibentuk secepatnya, disusul dengan
    pembuatan PKB. Dengan begitu hak-hak dan kewajiban pengusaha dan
    pekerja akan menjadi jelas. Peraturan perusahaan dan perjanjian
    kerja tidak boleh bertentangan dengan PKB.

    BalasHapus
  2. Betul sekali ver..

    pemerintah memang seakan lupa dengan hakikat buruh yang lemah dalam hubungan pekerjaan dengan majikan..

    Sukses selalu untuk Vera.

    BalasHapus
  3. Saia hendak meralat komentar saia sebelumnya.
    Depnakertrans hanya melakukan pengawasan dan juga penyelidikan, penyidikan yg dilakukan oleh PPNS, selanjutnya sanksi dijatuhkan oleh lembaga pengadilan.
    Trims.

    BalasHapus