Dalam banyak kasus KDRT, kebanyakan perempuan lebih memilih jalan bercerai daripada melaporkan ke polisi. Sebenarnya, tidak semudah itu juga perempuan menggugat cerai suaminya karena perlu pertimbangan yang sangat panjang dari istri untuk dapat menggugat cerai suami. Biasanya perceraian tersebut baru terjadi bila si istri sudah benar-benar tidak tahan dengan perlakuan suami (memukul, dan membentak istri, tidak manfkahi kehidupan keluarga lahir dan batin, memukul anak juga, dsb). Istri tidak berani untuk melaporkan prihal pemukulan tersebut ke suami karena alasan bahwa urusan keluarga harus diselesaikan di keluarga, kekerasan itu urusan pribadi, mereka tidak sadar tentang hukum atau mungkin pura-pura menutup mata karena berbagai kemungkina yang mungkin akan mereka alami. Banyak istri yang tidak mengetahui bahwa melapor ke polisi akan dapat menyelesaikan masalah, namun sayangnya kepercayaan masyarakat terhadap polisi semakin berkurang. Bukannya menjadi tambah selesai, malah menjadi semakin sulit. Polisi seringkali semakin menyusahkan atau bahkan memojokkan perempuan.
Dalam budaya patriarki seperti ini, perempuan lebih sering menjadi kaum yang dipojokkan. Logika biner yang menstigmatisasi perempuan sebagai pihak yang lemah, mendorong orang yang mengaku sebagai petinggi kepolisian memanfaatkan perempuan yang melapor kasus padanya dengan imbalan sejumlah uang. Bahkan pihak kepolisian biasanya tidak terlalu menganggap kasus yang diadukan oleh perempuan sebagai kasus yang besar. Hal itulah yang membuat perempuan lebih memendam permasalahan keluarganya di keluarganya hingga akhirnya permasalahan tersebut menjadi semakin rumit dan besar sehingga membuat istri memilih jalan terakhir yaitu bercerai. Jadi dapat disimpulkan bahwa mengenai kenapa perempuan lebih memilih mengajukan cerai daripada melaporkan adanya KDRT itu karena budaya yang sudah ada dalam masyarakat membuat meyarakat berpikiran itu adalah masalah keluarga sendiri dan aib keluarga jika memberitahukannya pada khalayak ramai. Hal ini terutama dapat dilihat dari budaya patriarki yang hadir sangat kental sekali dalam masyarakat kita. Perempuan hanya makhluk the other dan nomer ke dua dalam kehidupan. Dan paradigma seperti itulah yang harus dirubah dalam keadaan dewasa ini. Indonesia sudah memiliki perangkat hukum untu mengatasi permasalahan itu. Pda Undang-undang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga (UU PKDRT) tertera keterangan sebagai berikut:
Berdasarkan UU ini, korban berhak mendapatkan (pasal 10):
a. Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
b. Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis;
c. Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban;
d. Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
e. Pelayanan bimbingan rohani
Selain itu, korban juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan korban dari (pasal 39):
a. Tenaga kesehatan;
b. Pekerja sosial;
c. Relawan pendamping; dan/atau
d. Pembimbing rohani.
Melalui Undang-Undang ini pemerintah bertanggung jawab dalam upaya pencegahan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Untuk itu pemerintah harus (pasal 12):
a. Merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga;
b. Menyelenggarakan komunikasi informasi, dan edukasi tentang kekerasan dalam rumah tangga;
c. Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang kekerasan dalam rumah tangga; dan
d. Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif jender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif jender.
Selain itu, untuk penyelenggaraan pelayanan terhadap korban, pemerintah dan pemerintah daerah dapat melakukan upaya:
a. Penyediaan ruang pelayanan khusus (RPK) di kantor kepolisian;
b. Penyediaan aparat, tenaga kesehatan, pekerja sosial dan pembimbing rohani;
c. Pembuatan dan pengembangan sistem dan mekanisme kerjasama program pelayanan yang mudah diakses korban;
d. Memberikan perlindungan bagi pendamping, saksi, keluarga dan teman korban.
Undang-Undang ini juga menyebutkan bahwa setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga wajib melakukan upaya-upaya sesuai dengan batas kemampuannya untuk (pasal 15):
a. Mencegah berlangsungnya tindak pidana;
b. Memberikan perlindungan kepada korban;
c. Memberikan pertolongan darurat; dan
d. Membantu proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan.
Namun untuk kejahatan kekerasan psikis dan fisik ringan serta kekerasan seksual yang terjadi dalam relasi antar suami istri, maka yang berlaku adalah delik aduan. Maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan secara langsung kekerasan dalam rumah tangga kepada kepolisian (pasal 26 ayat 1). Namun korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian (pasal 26 ayat 2).Dalam hal korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh atau anak yang bersangkutan (pasal 27).
Dari beberapa keterangan yang disebutkan diatas sebenarnya bisa kita lihat tugas dan kewajiban masing-masing. Tapi dalam kenyataannya hal itu sering tidak berjalan karena sang korban sendiri lebih memilih bungkam. Dan menurut saya cara yang tepat untuk dapat membuka mulut dan mata yaitu dengan penyuluhan yang rutin dilaksanakan oleh berbagai element terkait. Dengan begitu pengetahuan masyarakat menjadi lebih luas dan mereka tidak takut lagi dengan hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar