Peraturan Pemerintah tentang hibah dan bantuan asing dinilai justru melanggengkan ketergantungan kepada luar negeri.
Pemberian bantuan dari sebuah lembaga yang berpusat di Amerika Serikat sebesar AS$21,1 juta untuk penyusunan konsep UU No. 22 Tahun 2001 tentang Migas hingga penerbitan peraturan pelaksanan mencuat belakangan. Sejumlah kalangan meminta penggunaan dana bantuan asing tersebut diusut tuntas karena dinilai membawa serta kepentingan asing dalam suatu peraturan perundang-undangan nasional.
Penyunan UU Migas bukan satu-satunya pekerjaan yang banyak dibiayai asing. Sudah lama diketahui lembaga-lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan Mahkamah Agung mendapat kucuran dana dari luar negeri berupa bantuan atau hibah. Kejaksaan Agung misalnya pernah mendapat bantuan dari Spanyol senilai 20 juta dolar Amerika Serikat untuk proyek Simkari. Kepolisian dan Kejaksaan Agung sama-sama mendapat bantuan dari Amerika Serikat masing-masing 750 ribu dolar AS, yang penyerahannya dilakukan (mantan) Jaksa Agung Amerika Serikat Alberto Gonzales.
Pembaruan peradilan niaga dan peradilan antikorupsi juga tak lepas dari dana luar negeri. Pada 2005 silam, saat mendatangi pimpinan Mahkamah Agung RI, Dubes AS untuk Indonesia Lynn B. Pascoe menyatakan komitmen negaranya memberikan bantuan 20 juta dolar AS.
Bantuan dimaksud memang umumnya tidak dalam bentuk yang cash. Adakalanya berupa bantuan teknis dan peralatan. Apapun bentuk bantuan tersebut, menurut Zainal Arifin Mochtar, harus ada laporan pertanggungjawaban dari lembaga penegak hukum yang menggunakan bantuan atau hibah asing tersebut. “Yang harus kita tekankan adalah audit dan pengawasannya,” ujar Kepala Divisi Advokasi Pusat Kajian Antikorupsi UGM ini kepada hukumonline beberapa waktu lalu.
Di satu sisi, bantuan negara atau lembaga asing dibutuhkan untuk mengatasi kendala minimnya dana dari APBN. Sudah menjadi rahasia umum, jumlah dana yang diminta suatu lembaga tak selalu sama dengan jumlah yang disetujui. Sehingga, lembaga-lembaga penegak hukum merasa terbantu dan ‘mengucapkan terima kasih’ kepada negara atau lembaga donor.
Sikap itu misalnya ditunjukkan Ketua Mahkamah Agung Bagir Manan. Saat menutup Rapat Kerja Nasional (Rakernas) pada awal Agustus lalu, Bagir Manan mengungkapan pentingnya topangan dari negara-negara donor Uni Eropa, Jepang dan Amerika Serikat, serta lembaga seperti JICA dan IMF. Negara dan lembaga donor “selalu menyertai perjalanan” MA menuju pembaruan peradilan. “Dengan aspirasi yang ditujukan kepada kita dengan anak muda atau LSM yang bersemangat dan tidak pernah lelah serta masyarakat donor yang selalu menyertai perjalanan ini, saya ucapkan terima kasih,” kata Bagir.
Lagipula, pinjaman atau hibah dari luar negeri bukan sesuatu yang haram menurut undang-undang. Salah satu sumber penerimaan APBN –menurut UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara-- adalah hibah. Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 2006 mempertegas. Berdasarkan pasal 4 beleid ini, Pemerintah dapat menerima pinjaman atau hibah dari luar negeri yang bersumber pada: (i) negara asing; (ii) lembaga multilateral; (iii) lembaga keuangan dan lembaga non-keuangan asing; serta (iv) lembaga keuangan non-asing yang berdomisili dan melakukan kegiatan usaha di luar wilayah Republik Indonesia.
Di sisi lain, bantuan asing dikritik. Ketua Koalisi Anti Utang (KAU) Dani Setiawan meyakini bahwa bantuan dari negara atau lembaga asing tidak bebas kepentingan. Koalisi Anti Utang berkesimpulan Indonesia belum merdeka dari jerat utang. Donasi mereka memiliki misi agar kepentingannya diakomodir dalam kebijakan lembaga yang dibantu. Dalam pembuatan undang-undang misalnya, bagaimana agar kepentingan lembaga donor dipermudah dalam undang-undang tersebut. “Agar lembaga membuat kebijakan, membuat aturan sesuai aturan lembaga donor,” ujar Dani Setiawan.
Bantuan asing untuk reformasi aturan-aturan bisnis, jelas Dani, tak bisa lepas dari mencari cara agar produk barang dan jasa dari negara atau lembaga donor bisa masuk dengan mudah ke Indonesia. Pembaruan hukum acapkali dipandang sebagai “membereskan” aturan-aturan hukum yang menghambat masuknya produk barang dan jasa dari negara donor, terlepas apakah bantuan asing itu berupa hibah atau utang. “Bagaimana negara penerima utang mampu mengkondisikan dirinya, yaitu dengan mereformasi aturan-aturan hukum supaya ramah pada investasi asing, ramah pada produk-produk yang dimpor dari negara pemberi utang,” tambahnya.
Pengawasan
Yang paling dikhawatirkan Dani adalah bila dana asing tersebut menjadi utang yang harus dibayar dan dibebankan kepada rakyat. Sekalipun misalnya diberikan dalam bentuk hibah, tegas Dani, Pemerintah harus menyadari bahwa pemberi hibah tak boleh mencampuri kebijakan dan politik hukum Indonesia. Apalagi kalau sampai mengintervensi norma undang-undangnya. “Hibah itu harus didasarkan pada semangat solidaritas,” ujarnya.
Demikian pula utang yang dipakai untuk membantu pembaruan sektor hukum. Lembaga pengguna utang harus bisa mempertanggungjawabkan apa saja yang sudah dikerjakan dengan utang luar negeri dimaksud. Menurut Dani, rasa bertanggung jawab itu penting artinya mengingat pengelolaan utang luar negeri Indonesia pun masih belum sempurna. Sesuai hasil pemeriksaan keuangan atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2007, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkapkan ketidakwajaran pengelolaan saldo dan bunga utang luar negeri Pemerintah.
Selain BPK, negara atau lembaga donor biasanya mewajibkan penerima bantuan menyampaikan laporan keuangan atau laporan penggunaan donasi. Malah, tak jarang meminta bantuan itu diaudit oleh auditor independen. Tetapi sifat pengawasannya internal.
Dani malah melihat PP No. 2 Tahun 2006 sebagai upaya melanggengkan praktik utang luar negeri. Ia tetap mendorong agar lembaga-lembaga pengawasan seperti BPK memaksimalkan tugas memonitor bantuan, utang, atau hibah luar negeri, termasuk untuk sektor hukum. DPR dan Pemerintah, harap Dani, kudu membuat mekanisme audit bantuan asing secara independen, terbuka dan diketahui oleh rakyat. “Agar rakyat mengetahui sesungguhnya apakah selama ini proyek yang dibiayai utang itu bermanfaat atau tidak,” ujarnya.
Spirit pengawasan bantuan asing itu pula yang diusung oleh PP No. 21, 22, dan No. 23 Tahun 2008. Ketiga PP ini terbit menyusul pengalaman Indonesia menangani bantuan asing dalam pengelolaan bencana tsunami. Harus diakui, bantuan asing yang jumlahnya bejibun tidak terkontrol dengan baik. Karena itu ke depan, khususnya lewat PP No. 22 Tahun 2008, Pemerintah menegaskan bahwa bantuan asing untuk kepentingan bencana harus melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Zainal Arifin Mochtar melihat fungsi pengawasan DPR masih kurang efektif dijalankan sepanjang berkaitan dengan bantuan-bantuan asing, termasuk sektor hukum. Komisi III DPR sebagai mitra kerja lembaga-lembaga penegak hukum pun jarang mempertanyakan masalah ini. Dalam sebuah diskusi di kantor YLBHI, anggota Komisi III DPR Eva Kusuma Sundari mengakui kurangnya pengawasan dimaksud karena bantuan asing secara teknis dianggap menjadi ranah Departemen Keuangan dan Bappenas.
Sumber : Hukum Online
Jujur dan realistis saja kita masih membutuhkan bantuan tersebut, dalam hal ini berfikirlah cerdas bahwa terimalah bantuan dan jangan mau mengikuti kemauan pendonor. Agar secara tegas dapat terlihat dengan sendirinya apabila ruu yang diinginkan pendonor tidak goal-goal juga, apakah dana tersebut akan cair?
Nah kalau sudah begitu buatlah menjadi UU kemudian ketika dana sepenuhnya diterima, langsung di uji materilkan saja pada MK. Karena pada hakikatnya setiap peraturan perundang-undangan yang bertentangan dengan Pancasila haruslah di hapus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar