BAB I
PENDAHULUAN
I. Kasus Posisi
Seorang pria, La Daru, menikah dengan seorang wanita bernama Ino Upe, yang kemudian mempunyai anak: I Sube. Namun perkawinan ini berakhir dengan perceraian. La Daru kemudian menikah lagi dengan seorang wanita asal Jambi, I Bengnga, (istri kedua), yang melahirkan tiga orang anak yaitu: (1) Siti, (2) Jaya, dan (3) Alimudin. Beberapa tahun kemudian, La Daru menikah lagi dengan wanita lainnya yaitu Besse Rawe, yang melahirkan anak bernama Baso. Selama itu La Daru, hidup bersama dua orang istrinya yaitu:
Istri tua: I Bengnga, beserta 3 orang anaknya: Siti, Jaya, dan Alimudin. Istri muda: Besse Rawe, beserta 1 orang anaknya: Baso. Disamping ia juga memelihara I Sube, anak dari istri pertama yang dicerainya.
Dalam perkawinannya dengan istrinya I Benganga di Jambi, La Daru juga memperoleh sejumlah harta berupa rumah dan tanah yang berada di Jambi. Pada tahun 1968, pria La Daru yang hidup beristri dua orang wanita tersebut di atas meninggal dunia. Almarhum La Daru meninggalkan:
l Satu anak dari istri pertama yang dicerainya, I Sube.
l Istri kedua, I Bengnga, beserta tiga orang anaknya: Siti, Jaya, dan Alimudin.
l Istri ketiga, Besse Rawe, beserta seorang anaknya: Baso. Disamping meninggalkan anak dan kedua istri yang sah tersebut, La Daru juga meninggalkan harta warisan, berupa sejumlah tanah pertanian, tanah kebun, perumahan dan pabrik beras di Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan.
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, janda La Daru yang bernama Besse Rawe, menjual pabrik beras harta peninggalan almarhum La Daru kepada seorang pedagang bernama Kadir.
Mendengar jual-beli pabrik beras antara Besse Rawe dengan Kadir, I Benganga tidak dapat menerima penjualan harta warisan tersebut. Karena setelah melalui musyawarah, masalah harta warisan Almarhum La Daru masih tidak dapat diselesaikan, maka melalui penasihat hukumnya, I Benganga, sebagai penggugat, mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Sengkang, terhadap para Tergugat:
l Besse Rawe (istri ketiga dari La Daru alm)
l Kadir (orang yang membeli pabrik beras dari Besse Rawe)
l Baso (anak Besse Rawe)
l I Sube (anak istri pertama)
l Siti, VI. Jaya, VII. Alimudin (anak I Bengnga untuk patuh pada putusan Hakim)
Dalam gugatan perdata ini, penggugat I Bengnga menuntut:
l Harta sengketa merupakan harta warisan dari Almarhum La Daru.
l Penggugat, I Bengnga adalah janda dari almarhum La Daru berhak mewaris harta warisan dari almarhum La Daru, seperti ahli waris lainnya.
l Menyatakan batal demi hukum jual-beli pabrik beras yang merupakan harta warisan La Daru antara penjual Besse Rawe dengan pembeli Kadir.
l Menghukum Tergugat II (Kadir) atau siapa saja yang memperoleh hak darinya, untuk menyerahka npabrik beras kepada penggugat yang selanjutnya dibagi kepada ahli waris La Daru.
l Menghukum tergugat I (Besse Rawe) atau siapa saja yang memperoleh hak darinya, untuk menyerahkan pabrik beras kepada penggugat yang selanjutnya dibagi kepada ahli waris La Daru.
l Subsidair, mohon putusan lain yang adil dan patut sesuai dengan hukum yang berlaku.
Menghadapi gugatan konsepsi dari penggugat I Bengnga tersebut diatas, maka tergugat I Besse Rawe mengajukan gugatan balasan mengenai harta peningalan Almarhum La Daru dengan I Bengnga yang berada dan terletak di Provinsi Jambi yang dituntut agar harta warisan Almarhum La Daru yang berada di dalam wilayah Provinsi Jambi ini juga dibagikan kepada semua ahli waris Almarhum La Daru.
PENGADILAN NEGERI
Hakim pertama yang mengadili perkara ini dalam putusannya memberikan pertimbangan hukum yang pokoknya sebagai berikut:
1. Bahwa terbukti dalam persidangan bahwa Penggugat (I Bengnga) merupakan janda dari Almarhum La Daru dan harta berupa pabrik beras dan tanahnya 3 Ha adalah harta peninggalan Almarhum La Daru yang telah dijual kepada Tergugat II (Kadir) oleh Tergugat I (Besse Rawe).
2. Jual-beli sengketa antara Tergugat I dan Tergugat II harus dibatalkan dan objek sengketa ini harus dikembalikan kepada Tergugat I (Besse Rawe). Dan selanjutnya harta ini dibagi-bagikan dengan masing-masing (Tergugat I dan Tergugat II mendapat bagiannya).
Persoalannya siapa saja yang berhak menikmati objek sengketa yang tersebut diatas?
Tergugat terbukti berstatus janda dari istri ke-dua dari La Daru pada waktu dibelinya harta sengketa tersebut. Jadi harta warisan objek sengketa ini merupakan harta bersama antara Almarhum La Daru dengan para istrinya tersebut yakni Penggugat (I Bengnga) dan Tergugat I (Basse Rawe).
Menurut hukum dan asas kepatutan dalam masyarakat maka pembagian “harta bersama” itu adalah sebagai berikut:
1. Penggugat mendapat ¼ bagian dan Tergugat I mendapat ¼ bagian yang seluruhnya adalah ½ bagian.
2. Sisanya yang ½ bagian jatuh kepada jandanya Cq. Penggugat dan Tergugat ke III (Baso, anak dari Besse Rawe) serta Tergugat IV (I Sube, anak dari Ino Upe) dan Tergugat V, VI dan VII (anak-anak dari I Bengnga).
Dalam dasar pertimbangan di atas ini, Tergugat I (Besse Rawe) harus menyerahkan ¾ bagian dari harta sengketa yaitu:
1. Seperempat (¼) bagian jatuh kepada Penggugat sebagai bagian dari harta bersama.
2. Setengah (½) bagian sebagai warisan dan dibagi bersama antara Penggugat dan Tergugat III-IV-V-VI-VII (anak-anak dari Almarhum La Daru) yang masing – masing memperoleh: 1/6 x ½ = 1/12 bagian dari keseluruhan objek harta sengketa.
Karena objek harta sengketa sulit dibagikan maka akan diperhitungkan nilainya barang baru dibagi – bagi.
Karena tergugat III s.d VII tidak menguasai harta sengketa, maka mereka harus mentaati putusan ini.
Mengenai Gugatan Balasan, karena objek harta sengketa terletak diluar Kompetensi Relatif Pengadilan Negeri di Sengkang, maka tuntutan Penggugat pekompensi atas objek sengketa tersebut harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Berdasarkan atas pertimbangan yang pokoknya dikutip di atas, akhirnya hakim pengadilan Negeri Sengkang, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan memberikan putusan yang intinya diktum sebagai berikut:
A. Dalam Gugatan Konpensi
1. Menolak eksepsi Tergugat; dan
2. Mengabulkan gugatan pokoknya:
■ Menyatakan objek sengketa adalah harta peninggalan Almarhum La Daru;
■ Menyatakan Penggugat adalah janda dari Almarhum La Daru dan Tergugat III s.d. Tergugat VII adalah anak – anak dari Almarhum La Daru yang berhak mewarisi harta peningalan Almarhum La Daru;
■ Membatalkan jual-beli objek sengketa (pabrik beras) antara Tergugat I dengan Tergugat II dan menyerahkan kembali kepada Tergugat I untuk dibagi waris.
■ Menghukum Tergugat I atau siapa saja yang memperoleh hak darinya harta sengketa, untuk menyerahkan:
1. tiga per empat ¾ bagian atau nilainya kepada penggugat dan selanjutnya penggugat lalu membagi sebagai berikut:
2. setengah ½ bagian untuk dirinya penggugat dan anak-anak (tergugat III s.d. Tergugat VII) selaku ahli waris almarhum La Daru
■ Menghukum Tergugat III s.d. VII untuk mentaati putusan ini.
B. Dalam Gugatan Rekonvensi: menolak gugatan rekonvensi ini.
PENGADILAN TINGGI
Hakim Banding pada Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan yang mengadili perkara ini dalam tingkat Banding dalam putusannya berpendapat bahwa pertimbangan dan putusan Hakim Pertama dinilai sudah benar dan diambil alih sebagai pertimbangan dari Pengadilan Tinggi sendiri. Karena itu Hakim Banding memberi putusan berupa: Menguatkan putusan Hakim Pengadilan Negri di Sengkang tersebut diatas.
MAHKAMAH AGUNG
Putusan Pengadilan Tinggi tersebut di atas ditolak oleh Tergugat I dan kemudian mengajukan pemeriksaan kasasi.
Makamah Agung yang mengadili perkara ini di dalam putusannya berpendirian bahwa putusan judex facti Pengadilan Tinggi yang menguatkan putusan Hakim Pengadilan Negeri dinilai salah menerapkan hukum, sehingga harus dibatalkan dan selanjutnya Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini.
Pendirian Makamah Agung ini dilandasi oleh pertimbangan hukum yang intisarinya sebagai berkut:
Putusan judex facti pertimbangan hukumnya saling bertentangan satu sama lain. Pada satu segi Hakim Pertama membenarkan bahwa harta sengketa adalah merupakan harta bersama yang diperoleh bersama antara Almarhum La Daru dengan istri ke-3 (Tergugat I). Namun di pihak lain, judex facti mengikuti Penggugat (istri ke-2, I Bengnga) untuk ikut berhak atas harta bersama istri ke III dengan La Daru Alm.
Harta sengketa terbukti merupakan harta bersama antara La Daru dengan istri ke II, Besse Rawe, Tergugat I.
Sesuai dengan ketentuan Pasal 35 jo. 37 Undang – Undang Perkawinan No.1 Tahun 1974 dikaitkan dengan Jurisprudensi Tetap Makamah Agung, telah ditentukan bahwa dalam perkawinan poligami, maka masing – masing harta bersama antara si suami dan masing – masing istrinya itu harus dipisah dan berdiri sendiri – sendiri.
Harta bersama yang diperoleh si suami La Daru dengan istri ke-2, I Bengnga, harus dipisahkan dengan harta bersama yang diperoleh oleh si suami La Daru denga istri ke-3, Besse Rawe. Masing – masing harta bersama menjadi hak masing – masing istri dengan anak – anaknya.
Cara menerapkan ketentuan adalah sebagai berikut:
Apabila suami meninggal dunia, maka herta bersama antara si suami dengan masing – masing istrinya dibagi dua bagian yaitu:
Setengah (½) bagian menjadi hak istri
Setengah (½) bagian lainnya menjadi hak suami (yang karena meninggal) jatuh pada “harta warisan” bagian seluruh warisan (termasuk janda – janda dan seluruh anak – anaknya)
Dalam kasus ini, harta sengketa telah terbukti merupakan harta bersama antara Almarhum La Daru dengan istri ke-3 (Tergugat I) Besse Rawe. Dengan demikian penyelesaian kasus sengketa ini menurut hukum dan keadilan sebagai berikut:
Harta bersama dibagi menjadi dua bagian:
1. Setengah (½) bagian menjadi hak Tergugat
2. Setengah (½) bagian menjadi hak bagian Almarhum La Daru, mejadi Harta Tirkah La Daru yang dibagi waris antara Penggugat (I Bengnga) dengan seluruh ahli waris
Mengenai gugatan balasan, karena gugatan tidak memenuhi syarat formil kompetensi relatif Pengadilan Negri, maka harus dinyatakan tidak dapat diterima.
Berdasarkan pertimbangan yang intisarinya dikutib diatas, akhirnya Makamah Agung memberikan putusan:
Mengadili:
Membatalkan putusan pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan yang menguatkan putusan Pengadilan Negeri di Sengkang
Mengadili sendiri:
1. Mengabulkan gugatan Penggugat pada bagian Petitum Subsidair.
2. Menyatakan objek sengketa adalah harta bersama antara La Daru dengan Tergugat I (Besse Rawe), sehingga ½ bagian menjadi hak Tergugat I, sedangkan ½ bagian lainnya menjadi haknya seluruh ahli waris dari Almarhum La Daru.
3. Menyatakan batal demi hukum perikatan jual-beli objek sengketa antara Tergugat I dengan Tergugat II.
4. Menolak gugatan selebihnya.
5. Menolak gugatan rekompensi.
II. Gambar Garis Keturunan Kasus Posisi
III. Ringkasan Putusan Ditinjau dari Aspek Hukum Waris Perdata
Ringkasan Putusan Pengadilan Negeri jika ditinjau dari aspek hukum waris Perdata Barat
Hakim dalam membuat keputusan pada tingkat Pengadilan Negeri sebelum memutuskan mengenai harta warisan ternyata menekankan pada pembagian harta bersama yang timbul langsung setelah kematian. Hal ini dikarenakan pasal 126 BW yang menyatakan :
“ Harta-bersama bubar demi hukum:
1. karena kematian;
2. karena perkawinan atas izin hakim setelah suami atau istri tidak ada; (KUHPerd. 493 dst.)
3. karena perceraian; (KUHPerd. 207 dst.)
4. karena pisah meja dan ranjang; (KUHPerd. 233 dst.)
5. karena pemisahan harta. (KUHPerd. 186 dst.) “
Harta bersama ini nantinya akan bagi harta bagian pewaris yang akan menjadi harta warisan. Harta bersama dalam putusan di tingkat pengadilan negeri ini sangat unik dalam penentuan dasar hukum yakni mengunakan Hukum dan Asas Kepatutan.
Sehingga dari seluruh harta pewaris, Pengugat mendapat ¼ bagian dan tergugat I mendapatkan ¼ bagian, yang seluruhnya adalah ½ bagian jatuh kepada janda I. Sedangkan sisanya diberikan kepada Penggugat dan Tergugat III, IV, V, VI, VII
Selanjutnya Tergugat I harus menyerahkan ¾ bagian dari harta sengketa yaitu :
· ¼ menjadi bagian penguggat sebagai harta bersama.
· 1/12 jatuh kepada Penggugat sebagai warisan
· 1/12 jatuh kepada Tergugat III sebagai warisan
· 1/12 jatuh kepada Tergugat IV sebagai warisan
· 1/12 jatuh kepada Tergugat V sebagai warisan
· 1/12 jatuh kepada Tergugat VI sebagai warisan
· 1/12 jatuh kepada Tergugat VII sebagai warisan
Ringkasan Putusan Pengadilan Tinggi jika ditinjau dari aspek hukum waris Perdata Barat
Pada putusan pengadilan tinggi, tidak jauh berbeda karena hanya menguatkan putusan pengadilan Negri Sengkang tanggal 21 November 1988 No. 2/Pdt/G/PN. Sengkang.
Ringkasan Putusan Mahkamah Agung jika ditinjau dari aspek hukum waris Perdata Barat
Putusan Mahkamah Agung pada kasus ini menerapkan ketentuan sebagai berikut yakni :
Apabila suami meninggal dunia, maka Harta Bersama antara si suami dan masing-masing istri dibagi menjadi dua bagian yaitu :
- ½ bagian menjadi hak istri
- ½ bagian menjadi hak suami yang karena telah meninggal jatuh menjadi Harta Warisan
Sedangkan sebagaimana dalam kasus yang telah dibahas pembagian seluruh harta dalam perkawinan mereka ialah :
- ½ hak tergugat I.
- ½ hak pewaris yang akan diberikan kepada masing-masing ahli waris.
IV. Dasar Hukum yang Dipakai
Di Indonesia pengaturan mengenai bagian warisan istri atau suami kedua dan seterusnya diatur dalam Pasal 852a KUHPerdata[1] yaitu:
Dalam halnya mengenai warisan seorang suami atau istri yang meninggal lebih dahulu, si istri atau suami yang hidup terlama, dalam melakukan ketentuan-ketentuan dalam bab ini dipersamakan dengan seorang anak yang sah dari si meninggal, dengan pengertian, bahwa jika perkawinan itu adalah untuk kedua kalinya atau selanjutnya, dan dari perkawinan yang dulu ada anak-anak atau keturunan anak-anak itu, si istri atau suami yang baru tak akan mendapat bagian warisan yang lebih besar daripada bagian terkecil yang akan diterima oleh salah seorang anak tadi atau dalam hal bilamana anak itu telah meninggal oleh sekalian keturunan penggantinya, sedangkan dalam hal bagaimanapun juga tak bolehlah bagian istri atau suami itu lebih dari seperempat harta peninggalan si meninggal.
Apabila atas kebahagiaan si istri atau suami dari perkawinan ke dua kali atau selanjutnya, sebagaimana di atas, dengan wasiat telah dihibahkan sesuatu, maka jika jumlah harga dari apa yang diperolehnya sebagai warisan dan sebagai hibah wasiat melampaui batas harga termaksud alam ayat ke satu, bagian warisannya harus dikurangi sedemikian, sehingga jumlah tadi tetap berada dalam batas. Jika hibah wasiat tadi seluruhya, atau sebagian terdiri atas hak pakai hasil sesuatu, maka harga hak yang demikian harus ditaksir, setelah mana jumlah tadi harus dihitung menurut harga taksiran itu.
Contoh kasus:
1. Pewaris melalui perkawinan pertama dengan A memiliki anak B dan C. Melalui perkawinan kedua dengan D memiliki anak E, F, G.
Besar porsi B, C, E, F, dan G masing-masing 1/6 harta pewaris.
Porsi D tidak boleh melebihi anak-anak Pewaris, maka Porsi D adalah 1/6 harta pewaris
2. Pewaris melalui perkawinan pertama dengan A memiliki anak B. Melalui perkawinan kedua dengan C memiliki anak D.
Besar porsi B dan D adalah 1/3 dari harta pewaris.
Porsi C tidak boleh lebih besar dari anak-anak pewaris, maka porsi C maksimal seharusnya 1/3 harta pewaris.
Namun dikatakan bagian dari C tidak boleh lebih dari ¼ bagian harta pewaris, maka harta yang dapat diperoleh C hanya ¼.
Besar porsi B dan D setelah itu adalah: ½ x ¾ = 3/8
3. Pewaris melalui perkawinan pertama dengan A memiliki anak B. Melalui perkawinan kedua dengan C memiliki anak D.
Harta pewaris berjumlah Rp. 10.000.000,-. C menerima hibah wasiat sebesar Rp. 1.000.000,-. Sisa harta pewaris sebesar Rp. 9.000.000,-.
Bagian C maksimal ¼ dari warisan, maka bagian C =
¼ x Rp.9.000.000,- = Rp. 2.250.000,-
Bila bagian C ditambah dengan jumlah hibah, maka perolehan C =
Rp. 2.250.000,- + Rp.1.000.000,- =Rp. 3.250.000,-
Bagian yang diperoleh C tidak boleh melebihi ¼ harta warisan yaitu
¼ x Rp.10.000.000,- = Rp.2.500.000,-
Maka warisan yang diberikan kepada C harus dikurangi sedemikian rupa sehingga jumlahnya tidak melebihi Rp.2.500.000,-.
Warisan yang dapat diterima C sebesar
Rp2.250.000 – (Rp.3.250.000 – Rp.2.500.000) = Rp.1.500.000,-
BAB II
PEMBAHASAN
I. Analisa Putusan
Analisa Putusan Pengadilan Negeri No.2/Pts.Pdt.G/1988/PN. Sgkg.
Hakim dalam pengadilan negeri memutus :
1. Penggugat ( I Bengnga) adalah janda dari dari La Daru.
2. Terbukti bahwa Tergugat I (Besse Rawe) telah menjual harta peningglan berupa pabrik beras dan tanah seluas 3 ha kepada Tergugat 2 (Kadir).
3. Jual beli antara Tergugat I dan Tergugat II harus dibatalkan dan Kadir harus mengembalikan objek sengketa kepada Besse Rawe. Dan selanjutnya harat ini dibagi-bagikan kepada masing-masing ahli waris.
4. Objek sengketa merupakan harta bersama antara La Daru dengan para istrinya, yaitu Penggugat (I Bengnga) dan Tergugat I (Besse Rawe).
5. Penggugat mendapat 1/4 bagian, Tergugat I mendapat 1/4 bagian Sisanya yang 1/2 bagian dibagikan kepada penggugat, Tergugat III - Tergugat VII.
Pada dasarnya KUHPerdata tidak mengenal adanya perkawinan poligami. Dimana KUHPerdata sendiri secara tegas mengakui asas monogami yang diatur dalam pasal 27 KUHPerdata “Dalam yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya. ”
Sehingga dalam hal ini apabila kita melihat ketentuan yang berlaku dalam KUHPerdata (dimana UU no.1 Tahun 1974 belum berlaku pada saat itu), maka seharusnya Tergugat 1 (Besse Rawe) sebagai istri kedua dari La Daru dan tergugat 3 (Baso) sebagai anak dari Besse Rawe, seharusnya tidak berhak mendapat warisan atas harta peninggalan La Daru. Hal ini karena KUHPerdata menganut asas monogami, dan perkawinan antara La Daru dengan Besse Rawe dianggap tidak sah, karena Besse Rawe masih terikat perkawinan dengan I Bengnga, yang menjadi istri pertamanya. Demikian juga anaknya Baso yang dilahirkan dari perkawinan dengan Besse Rawe. Karena perkawinan itu dianggap tidak sah, maka anak dari perkawinan tersebut (Baso) bukanlah merupakan anak yang sah. Baso dapat dianggap sebagai anak luar kawin. Namun konteks dalam kasus ini tidaklah demikian, karena Baso tidak dianggap sebagai anak luar kawin sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata dan bagian sistem pewarisannya. Maka Baso juga tidak berhak mendapat bagian warisan, kecuali bila Baso dianggap dimasukkan sebagai anak luar kawin dari La Daru tanpa memandang statusnya sebagai anak dari hasil perkawinan poligami.
Maka yang berhak menjadi ahli waris adalah istri I Bengnga beserta 3 anaknya yaitu : Siti, Jaya, Alimudin. Bagian untuk masing-masing ahli waris adalah masing-masing mendapat 1/4 bagian. Sedangkan dalam gugatan rekompensi, keputusuan pengadilan negeri Sengkang sudah tepat, yaitu tidak menerima gugatan rekonpensi dari Tergugat I, karena tanah objek sengketa yang berada di Jambi tidak termasuk dalam kompetensi relatif pengadilan negeri Sengkang, Sulawesi Selatan melainkan kompetensi pengadilan negeri di daerah Jambi, dimana harta peninggalan tersebut berada.
Analisa Putusan Pengadilan Tinggi No.408/Pdt/1989/PT.Uj Pdg.
Bahwa putusan Pengadilan Negeri Sengkang tanggal 21 November 1988 No.2/Pdt/G/88/Pn.Sengkang yang dimohonkan pemeriksaan dalam tingkat banding telah didasarkan atas alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi sendiri. Sehingga oleh Pengadilan Tinggi dapat disetujui dan dijadikan alasan-alasan dan pertimbangan-pertimbangan hukum Pengadilan Tinggi sendiri dalam menjatuhkan putusan dalam tingkat banding ini.
Putusan Pengadilan Tinggi :
- Menerima permohonan untuk pemeriksaan dalam tingkat banding dari Tergugat I, II, dan III Pembanding tersebut.
- Menguatkan putusan Pengadilan Negeri Sengkang tanggal 21 November 1988 No.2/Pdt/G/PN. Sengkang
- Menghukum Tergugat I, II dan III/Pembanding membayar biaya perkara dalam tingkat banding sebesar Rp.15.000,00
Kalau dilihat maka keputusan hakim pengadilan tingkat banding ini sama dengan keputusan hakim dalam pengadilan negeri, yaitu mengabulkan gugatan penggugat yaitu :
1. Jual beli antara Tergugat I dan Tergugat II harus dibatalkan dan Kadir harus mengembalikan objek sengketa kepada Besse Rawe. Dan selanjutnya harat ini dibagi-bagikan kepada masing-masing ahli waris.
2. Objek sengketa merupakan harta bersama antara La Daru dengan para istrinya, yaitu penggugat (I Bengnga) dan Tergugat I (Besse Rawe).
3. Penggugat mendapat 1/4 bagian, Tergugat I mendapat 1/4 bagian Sisanya yang 1/2 bagian dibagikan kepada penggugat, Tergugat III - Tergugat VII.
Maka, sama seperti dalam pengadilan tingkat pertama (pengadilan negeri), pada dasarnya KUHPerdata tidak mengenal adanya perkawinan poligami. Dimana KUHPerdata sendiri secara tegas mengakui asas monogami yang diatur dalam pasal 27 KUHPerdata “Dalam yang sama seorang laki hanya diperbolehkan mempunyai satu orang perempuan sebagai istrinya, seorang perempuan hanya satu orang laki sebagai suaminya. ”
Sehingga dalam hal ini apabila kita melihat ketentuan yang berlaku dalam KUHPerdata (dimana UU no.1 Tahun 1974 belum berlaku pada saat itu), maka seharusnya Tergugat I (Besse Rawe) sebagai istri kedua dari La Daru dan Tergugat III (Baso) sebagai anak dari Besse Rawe, seharusnya tidak berhak mendapat warisan atas harta peninggalan La Daru. Hal ini karena KUHPerdata menganut asas monogami, dan perkawinan antara La Daru dengan Besse Rawe dianggap tidak sah, karena Besse Rawe masih terikat perkawinan dengan I Bengnga, yang menjadi istri pertamanya. Demikian juga anaknya Baso yang dilahirkan dari perkawinan dengan Besse Rawe. Karena perkawinan itu dianggap tidak sah, maka anak dari perkawinan tersebut (Baso) bukanlah merupakan anak yang sah. Baso dapat dianggap sebagai anak luar kawin. Namun konteks dalam kasus ini tidaklah demikian, karena Baso tidak dianggap sebagai anak luar kawin sebagaimana yang diatur dalam KUHPerdata dan bagian sistem pewarisannya. Maka Baso juga tidak berhak mendapat bagian warisan, kecuali bila Baso dianggap dimasukkan sebagai anak luar kawin dari La Daru tanpa memandang statusnya sebagai anak dari hasil perkawinan poligami.
Maka yang berhak menjadi ahli waris adalah istri I Bengnga beserta 3 anaknya yaitu : Siti, Jaya, Alimudin. Bagian untuk masing-masing ahli waris adalah masing-masing mendapat 1/4 bagian. Sedangkan mengenai gugatan rekompensi yang ditolak, keputusuan pengadilan negeri Sengkang yang diperkuat dengan keputusan pengadilan tinggi Sulawesi Selatan ini sudah tepat, yaitu tidak menerima gugatan rekonpensi dari Tergugat I, karena tanah objek sengketa yang berada di Jambi tidak termasuk dalam kompetensi relatif pengadilan negeri Sengkang - Sulawesi Selatan, melainkan kompetensi pengadilan negeri di daerah Jambi, dimana harta peninggalan tersebut berada.
Analisis Putusan Mahkamah Agung No. 1112 K/Pdt/1990
Dari permasalahan dalam kasus tersebut, menurut kelompok kami Putusan dan pertimbangan Mahkamah Agung dalam perkara pembagian harta warisan sudah tepat. Adapun alasan kami adalah sebagai berikut:
- Dalam konsep perkawinan Indonesia, maka hukum perkawinan akan mengacu pada pengaturan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 mengenai Perkawinan.[2] Dalam konsep UU No. 1 Tahun 1974 dikenal dengan asas monogami akan tetapi tidak menutup kemungkinan untuk poligami jika agama yang bersangkutan mengizinkan untuk itu dan pengaturannya melalui beberapa ketentuan sebagai persyaratan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan.[3] Pengaturan tersebut berbeda dengan konsep hukum perdata barat, dimana pengaturannya sangat kaku (rigid) yang terbatas pada asas monogami dan tidak ada pengecualiannya sebagaimana diatur dalam pasa 27 KUHPerdata.[4]
- Terdapat persinggungan dalam hal terjadinya perkawinan poligami dengan harta warisan yang mengacu pada pengaturan harta bersama sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974, dimana pembagian harta warisan didasarkan pada harta yang didapatkan selama perkawinan berlangsung hingga si pewaris meninggal dunia.
Dari uraian diatas jelas permasalahan dalam kasus ini mengacu pada pengaturan poligami yang berdampak pada persinggungan pembatasan harta bersama dan pembagian harta warisan. Mengingat pengaturan hukum perkawinan di Indonesia sudah di unifikasi, maka adanya penyeragaman penggunaan permasalahan perkawinan menggunakan UU No. 1 Tahun 1974 dan bukanlah menggunakan konsep dari KUHPerdata selama UU No 1 Tahun 1974 masih mengatur mengenai perkawinan. Akan tetapi, mengenai pengaturan hukum kewarisan maka dalam konsep hukum di Indonesia masih menganut konsep dari pengaturan KUHPerdata, karena belum ada pengaturan yang lex spesialis dari ketentuan perundang-undangan di Indonesia.
Akan tetapi, sebelum masuk ke dalam substansi dari pembagian harta warisan, dapat dilihat pengaturan mengenai putusan kasasi dalam hal perbedaan pembagian harta warisan, dimana Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat terakhir oleh semua pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah agung.[5] Berdasarkan kewenangannya artinya Mahkamah Agung juga mempunyai andil dalam memutus dan mengadili kasus persengketaan harta warisan dalam perkara aquo.
Dalam kasus tersebut terdapat perbedaan hasil putusan dari tingkat Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dengan Mahkamah Agung. Kasus ini didasarkan pada putusan Pengadilan Negeri yang memutus:
1. Penggugat (I BENGNGA) mendapatkan ¼ bagian dan Tergugat I (BESSE RAWE) mendapatkan ½ bagian, dan sisanya ½ bagian diberikan kepada jandanya cq. Penggugat dan Tergugat III (anaknya Besse Rawe) serta Tergugat IV (anaknya Ino Upe/Istri I yang sudah meninggal) dan Tergugat V, VI, dan VII (anaknya Penggugat).
2. Menghukum Tergugat I (BESSE RAWE) untuk menyerahkan ¾ bagian harta sengketa kepada:
a. Penggugat sebesar ¼ bagian dari harta bersama.
b. Penggugat dan Tergugat III, IV, V, VI, VII dengan memperoleh 1/6 x ½ bagian harta sengketa.
Sedangkan dalam putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Selatan juga menguatkan judex factie yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri Sengkang, akan tetapi kembali Mahkamah Agung harus mengadili sendiri putusan pengadilan dibawahnya dengan alasan yaitu salah menerapkan hukum sehingga haruslah dibatalkan, dimana Pengadilan Negeri membenarkan harta sengketa adalah harta bersama antara pewaris dengan Istrinya ke III (Tergugat I, BESSE RAWE). Namun, di pihak lain, Penggugat (I BENGNGA) berhak atas harta bersama antara Istri ke III dengan pewaris.
Berdasarkan ketentuan Pasal 35 jo. Pasal 37 UU No. 1 Tahun 1974 dan mengingat salah satu sumber hukum yaitu yurisprudensi Mahkamah Agung No. 561 K/Sip/1968 yang menyatakan bahwa “Harta warisan yang bersifat gono-gini. Barang sengketa sebagai peninggalan almarhum diputuskan harus dibagi antara penggugat dan tergugat masing-masing separoh.”
Dalam kasus ini terjadi kekosongan hukum, dimana dalam KUHPerdata tidak mengatur mengenai poligami dan pembagian harta warisan dalam keadaan poligami, maka sesuai dengan Yurisprudensi tetap Mahkamah Agung diatas, maka pembagian harta warisan yang seharusnya adalah sesuai dengan putusan Mahkamah Agung bahwa pewaris yang mempunyai istri lebih dar seorang (poligami), maka harta bersama pewaris harus dipisahkan satu sama lain, artinya harta bersama yang diperoleh dengan istri yang terdahulu harus dipisahkan dengan harta bersama yang diperoleh dengan istri kedua, dan seterusnya. Selain itu, dari fakta-fakta yang terungkap dinyatakan bahwa harta yang disengketakan telah terbukti merupakan harta bersama antara pewaris dengan istri ke-III yaitu Besse Rawe (Tergugat I). Bilamana pewaris meninggal dunia, maka pembagian harta bersamanya menjadi dua bagian:
1. setengah (½) bagian menjadi hak istri yang mempunyai harta bersama.
2. setengah (½) bagian menjadi hak pewaris yang kemudian jatuh kepada semua ahli waris yaitu para janda dan anak-anak pewaris.
Dengan demikian, dapat disimpulkan perolehan harta warisan dari masing-masing ahli warisnya adalah:
Tergugat I (BESSE RAWE) = ½ bagian harta bersama
Penggugat (I BENGNGA) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12
Tergugat III (BASO) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12
Tergugat IV (I SUBE) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12
Tergugat V (SITI) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12
Tergugat VI (JAYA) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12
Tergugat VII (ALIMUDIN) = 1/6 x ½ bagian harta bersama = 1/12
BAB III
PENUTUP
Tambahan Analisis
Keputusan majelis Hakim atas kasus diatas bisa dikatakan juga tidak tepat dikarenakan beberpa hal yakni Hakim tidak mempertimbangkan dengan seksama mengenai asas monogami tertutup. Trlihat jelas penundukan para pihak yang menginginkan pembagian warisan ini mengunakan hukum perdata barat sebagaimana tercantum dalam BW, dari keinginan para pihak yang mengajukan gugatan ini di Pengadilan Negeri dan bukan di Pengadilan Agama.
Hal ini berkaitan dengan ketidak-konsistenan majelis hakim dalam melihat secara jelas ketentuan yang ada di dalam BW sebagaimana tercantum dalam Buku I BW yang hanya memperbolehkan perkawinan monogami secara tertutup. Apabila dicermati dari kasus yang ada, maka kedudukan istri ketiga dimana ia menikah pada saat masih hidupnya istri kedua seharusnya dipertimbangkan secara berbeda oleh majelis hakim. Majelis hakim menganggap keadaan tersebut seolah sah-sah saja. Hal ini padahal sangat bertentangan, dan seharusnya dianggap perkawinan antara pewaris dan istri ketiga tidak sah yang berlanjut pada tidak mewarisnya harta warisan pada istri ketiga serta keturunannya.
I. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan analisis diatas yang telah dipaparkan, maka penulis dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :
Dari putusan tersebut diatas dapat diangkat “abstrak hukum” yaitu seseorang pria yang mempunyai istri lebih dari seorang wanita, maka “harta bersama” yang diperoleh suami dengan masing – masing istri itu harus dipisahkan satu sama lain, dalam arti harta bersama yang diperoleh denga istri pertama, harus dipisahkan dengan harta bersama yang diperoleh denga istri kedua, demikian yang diperoleh dengan istri tiga, dst. Bilamana sisuami meninggal dunia, maka harta bersama dengan istri pertama dibagi menjadi dua bagian yaitu:
1. setengah ½ bagian menjadi hak istri pertama
2. Setengah ½ bagian lainnya menjadi hak suami almarhum yang kemudian jatuh kepada ahli warisnya (para janda – janda dan seluruh anak – anaknya).
Cara pembagian semacam ini berlaku pula pada harta bersama dengan istri kedua – istri ketiga, dst.
Selain itu penulis mengambil kesimpulan dalam tahapan persidangan, bahwa dalam Gugatan rekonpensi yang tidak memenuhi syarat formil kompetensi relatif Pengadilan Negri, maka gugatan ini harus dinyatakan tidak dapat diterima.
DAFTAR PUSTAKA
Imam Subekti, Wienarsih dan Sri Soesilowati Mahdi. Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat. Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005.
Indonesia (a). Undang-Undang tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN Nomor 1 Tahun 1974, TLN Nomor 3019 Tahun 1974.
Indonesia (b). Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman. UU No. 4 Tahun 2004, LN Nomor 8 Tahun 2004, TLN Nomor 3019 Tahun 2004.
[1] Indonesia, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pasal 852a.
[2] Indonesia (a), Undang-Undang tentang Perkawinan, UU No. 1 Tahun 1974, LN Nomor 1 Tahun 1974, TLN Nomor 3019 Tahun 1974.
[3] Dr. Wienarsih Imam Subekti, SH., MH. dan Sri Soesilowati Mahdi, SH., Hukum Perorangan dan Kekeluargaan Perdata Barat, (Jakarta: Gitama Jaya Jakarta, 2005), hlm 44.
[4] Ibid., hlm. 35.
[5] Indonesia (b), Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No. 4 Tahun 2004, LN Nomor 8 Tahun 2004, TLN Nomor 3019 Tahun 2004.
terima kasih..
BalasHapusini berguna sekali, sebagai panduan saya menganalisis kasus serupa..;)
terima kasih...^_^
BalasHapusMantap sekali senior........
BalasHapusMantap Sekali Seniorrr.........
BalasHapus