Dasar Filosofis Larangan Penetapan harga tidak berlaku pada perjanjian yang didasarkan pada Undang-Undang
Pendahuluan
Setelah merenung beberapa hari, berfilsafat mengurung diri dikamar seharian sambil membaca buku-buku filsafat. Berangkat dari pemikiran Satjipto Raharjo (1986: 224-225) menyatakan, teori hukum boleh disebut sebagai kelanjutan dari usaha mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita mengkonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.
Setelah menelisik lebih jauh ternyata menurut ketentuan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, terdapat beberapa hal, baik perbuatan maupun perjanjian yang dikecualikan dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut sebagai berikut:
1. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
2. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau
3. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau
4. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang telah diperjanjikan; atau
5. perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas; atau
6. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia; atau
7. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau
8. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau
9. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
Sebagaimana telah dijelaskan maka ketentuan poin pertama senada dengan Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999
“(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi: (a) suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau, (b) suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.”
Ditinjau dari sudut Hukum Pidana
Ketentuan Pasal 50 KUHP
Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana.
Jika dibandingkan dengan ketentuan pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 jo. 48 UU Nomor 5 Tahun 1999 mengenai ketentuan pidana apabila melakukan suatu tindakan penetapan harga. Maka sangat jelas bahwa ketentuan pasal 5 ayat (2) huruf (b) merupakan alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum. Jika dikaitkan dengan unsur melawan hukum maka secara filosofis bahwa berlakunya sifat ajaran perbuatan melawan hukum secara materiil (materiele wederechtelijkheid), dimana suatu perbuatan dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana, tidak hanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang‐undangan yang sudah ada (nullum crimen sine lege), tetapi juga apabila perbuatan tersebut bertentangan juga dengan kesadaran hukum masyarakat, bertentangan dengan hukum adat, asas kepatutan atau hukum tidak tertulis (the living law). Dalam arti, walaupun belum ada suatu peraturan perundangan‐undangan yang menyatakan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam pidana, tetapi apabila perbuatan tersebut “bertentangan” dengan kesadaran hukum suatu masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Dengan kata lain, dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Dan pelakunya dapat diajukan ke pengadilan untuk diminta pertanggungjawabannya. Namun, penggunaan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut harus sesuai rambu nilai‐nilai yang terkandung dalam Panca Sila dan prinsip‐prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat internasional
Namun bertentangan dengan undang-undang ini menurut pendapat salah seorang nara sumber dalam seminar dan workshop yang diselenggarakan oleh LK2 FHUI beberapa hari lalu menyatakan setidak-tidaknya yang dimaksud dengan “undang-undang” ini ialah :
• Undang-Undang
• Peraturan Pemerintah yang diamanatkan langsung oleh Undang-Undang diatasnya.
Jadi secara filosofis ditinjau dari aspek pidana maka ketentuan ini jika ditarik secara analogi, walaupun penetapan harga sebagaimana pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 jo. 48 UU Nomor 5 Tahun 1999 diancam dengan hukuman pidana namun eksistensinya bisa diderogatkan dengan suatu undang-undang ataupun peraturan pemerintah yang didelegasikan langsung oleh undang-undang.
Ditinjau dari sudut Hukum Tata Negara
Sebagai Hukum Dasar yang ditegaskan dalam Tata Urutan Perundang‐undangan yang merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya sebagaimana Ketetapan MPR Nomor III/MPR/ 2000, maka seluruh aturan hukum di bawahnya, baik yang telah ada maupun yang akan dibentuk harus, sejalan dengan UUD sebagai hukum dasar tertinggi atau yang disebut sebagai Staatgrundgezet. Seharusnya menyesuaikan dengan amandemen konstitusi agar tidak bertentangan dengan asas ketatanegaraan lex superiori derogat legi inferiori, karena legalitas hukuman mati sebagai produk hukum yang lebih rendah bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi.
Kemudian ketika ada norma peraturan perundang-undangan memberikan suatu blanko kosong baik tersirat maupun tersurat keberlakuan dari norma tersebut. Walaupun norma tersebut pada tataran yang sama, undang-undang, norma peraturan yang ditunjuk bisa menyingkirkan ketentuan norma yang menunjuknya. Maka secara filosofis ditinjau dari peraturan perundang-undangan ketika undang-undang menyingkirkan ketentuan norma undang-undang lainnya, hal tersebut diperbolehkan. Sedangkan PP yang merupakan delegasi langsung (disebutkan dalam undang-undang), PP tersebut dianggap oleh beberapa pakar sebagai suatu ketentuan yang melekat pada uu, sehingga masih bisa digunakan untuk keberlakuan dari pasal 5 ayat (2) huruf (b).
Ditinjau dari sudut Hukum Acara
Dalam perkara perdata, selama ini Hakim di Indonesia terbelenggu oleh Pasal 163 HIR (Herziene Inlandsch Reglement) - Hukum Acara Perdata - yang berbunyi “siapa yang mendalilkan dialah yang harus membuktikan”, serta konsep kedudukan sama (equal) para pihak dimuka pengadilan. Dalam hal ini secara filosofis ketentuan pasal 5 ayat (2) huruf (b) merupakan ketentuan yang wajib dibuktikan oleh pihak yang melakukan penetapan harga, jadi sepanjang dapat membuktikan bahwa tindakan subjek hukum tersebut didasarkan oleh undang-undang, maka perbuatannya tidak dapat dikenai pertanggungjawaban karena perbuatannya telah dibenarkan oleh undang-undang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar