22 Februari, 2009

Sejarah Peraturan Perundang-undangan Koperasi di Indonesia, Hukum Koperasi (2)

Kronologis dan Sejarah tentang Koperasi di Indonesia
A. Sebelum UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
a. Verordening op de Cooperatieve Verenigingen (Stb. 431/1915)
Merupakan regulasi pertama yang berlaku bagi semua golongan penduduk (Pasal 131 IS) yang ada di Indonesia. Peraturan ini timbul atas adnya kekosongan hukum akan pengaturan koperasi padahal telah berdiri berbagai bentuk badan hukum koperasi seperti koperasi E Sieburg, gerakan Budi Utomo, dan Serikat Islam. Definisi Koperasi pada Regulasi ini adalah, “perkumpulan orang-orang dimana orang-orang tersebut diperbolehkan untuk keluar masuk sebagai anggota, yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran anggotanya, dengan cara bersama-sama menyelenggarakan suatu system penghidupan atau pekerjaan, atau secara bersama-sama atau secara bersama-sama menyediakan alat perlengkapan atau bahan-bahan keperluan mereka, atau secara memberikan uang muka atau kredit”.
Dengan menggunakan asas konkordansi, maka ketentuan yang ada di Belanda dapat dikatakan sama seperti yang tertuang pada Verordening op de Cooperatieve Verenigingen. Sistem yang diberlakukan di Belanda yang ditanam tanpa penyesuaian ternyata malah menyusahkan penduduk golongan III yakni Pribumi. Mereka dalam mendirikan badan usaha koperas harus memiliki prasyarat mulai dari Akta Notaris, akta pendirian berbahasa Belanda, matrai, hingga pengumuman di surat kabar Javasche Courant. Biaya yang dikeluarkan oleh pelaku usaha yang ingin membuat koperasi pada saat itu sangatlah besar sehingga Verordening op de Cooperatieve Verenigingen dirasa tidak member manfaat dan ditentang habis-habisan oleh kaum pergerakan nasional.
b. Regeling Inlandsche Cooperatieve Verenigingen (Stb. 91/1927)
Ketika momentum yang tepat yakni pada saat politik balas budi Belanda baru saja didengungkan, perjuangan para nasionalis akan keengganan regulasi Verordening op de Cooperatieve Verenigingen berbuah hasil, dengan keluarnya “Regeling Inlandsche Cooperatieve Verenigingen”. Sehingga dalam penerapannya Verordening op de Cooperatieve Verenigingen menjadi untuk Gol. I dan Gol II, sedangkan Regeling Inlandsche Cooperatieve Verenigingen hanya untuk Gol. III saja. Peraturan Koperasi ini menundukan pada Hukum Adat dan bukan pada BW ataupun MvK.
Desakan liberalistik dari pasar tanah air atas bentukan Belanda pada saat itu membuat kemudahan demi kemudahan yang ditawarkan oleh Regeling Inlandsche Cooperatieve Verenigingen tidak berarti dan masih saja membuat koperasi di Indonesia sulit berkembang. Buktinya adalah dari 172 yang tercatat dan 1540 kopersi tidak tercatat makin hari jumlahnya makin menurun karena tidak puas dengan hasil yang dicapai kopersi pada priktiknya.
c. Algemene Regeling op de Cooperatieve Verenigingen (Stb. 108/1933)
Algemene Regeling op de Cooperatieve Verenigingen, merupakan perubahan dari Verordening op de Cooperatieve Verenigingen yang berlaku bagi Gol. I, II dan III, namun disisi lain peraturan Regeling Inlandsche Cooperatieve Verenigingen untuk Gol. III masih tetap berlaku. Pada masa ini atas kebijakan penghematan maka Departemen Ekonomi atas anjuran dari Jawatan Koperasi mendirikan gabungan dari pusat-pusat koperasi di Hindia Belanda yang dinamakan Moeder Centrale. Sedangkan usaha menyuntikan dana segar sebesar f-25.000.000 untuk koperasi, menjadi gagal total dengan keluarnya Ordonantie op Inlandsche Maatshappji op Aandeelen yang memudahkan pelaku usaha berkembang dengan menggunakan Maskapai Andil dan bukan Koperasi yang dicanangkan pada saat adanya Algemene Regeling op de Cooperatieve Verenigingen. Pada kesimpulannya bahwa keberatan-keberatan untuk pembentukan koperasi yang tadinya ada, sejak Algemene Regeling op de Cooperatieve Verenigingen sudah dinyatakan tidak berlaku lagi.
d. Regeling Cooperatieve Verenigingen (Stb. 179/1949)
Regulasi yang pertama kali dicetuskan sejak kemerdekaan Indonesia ini, timbul karena krisis yang berkepanjangan mulai dari agresi militer Belanda, hingga pemberontakan PKI. Regulasi ini mengubah definisi koperasi dengan menambahkan unsur syarat pendiriannya. Hal ini diluncurkan mengantisipasi Konfrensi Meja Bundar yang dilaksanakan sebelum Regeling ini dibuat. Pada saat regulasi ini berlaku banyak hal yang terjadi mulai dengan adanya Kongres Pertama Koperasi seluruh Indonesia, yang hari 12 Juli 1947 dijadikan sebagai, “Hari Koperasi”, adanya Bank Koperasi Provinsi, hingga pembekuan oleh Mentri Kehakiman atas Algemene Regeling op de Cooperatieve Verenigingen.
e. Undang-Undang Tentang Perkumpulan Koperasi (UU 79/1958)
Pembuatan UU yang sangat tergesa-gesa ini dirasakan oleh banyak kalangan saat itu tidak membawa banyak perubahan. Namun UU yang mencabut Regeling-regeling sebelumnya tentang koperasi ini, memodifikai prinsip dengan menyerap prinsip koperasi Rochdale. Definisi Koperasi dalam UU ini disebutkan bahwa koperasi ialah sebuah perkumpulan yang beranggotakan orang-orang atau badan-badan hukum yang tidak merupakan konsentrasi modal dengan berasaskan kekeluargaan, bertujuan meningkatkan kesejahteraan anggotanya, mendidik anggotanya, berdasarkan kesukarelaan, dan dalam pendiriannya harus menggunakan akta yang didaftarkan. Organisasi koperasi pada saat regulasi ini berlaku dipadandang sebagai alat perjuangan di bidang ekonomi melawan kapitalisme, dengan berprinsip dengan tidak mencari keuntungan (non-profit) tetapi mengutamakan pelayanan (service). Istilah saham yang biasa dikenal di Perseroan Terbatas, ternyata diganti menjadi “Simpanan Pokok”, yang memiliki fungsi yang lebih sosial yang mengajarkan kehidupan menabung dan kesedian anggotanya untuk berpartisipasi.
f. Peraturan Pemerintah tentang Perkembangan Gerakan Koperasi (PP 60/1959)
Peraturan Pemerintah tentang Perkembangan Gerakan Koperasi masih mengacu kepada norma peraturan perundang-undangan diatasnya yakni Undang-Undang 79/1958 Tentang Perkumpulan Koperasi. PP ini menyodorkan konsep pengaturan lebih lanjut mengenai tujuan koprasi atas dorongan, bimbingan, perlindungan serta pengawasan gerakan koprasi yang lebih terjamin secara serentak, tepat guna, berencana, dan terpimpin. Peralihan menjadi demokrasi Terpimpin menyebabkan koprasi juga harus menyesuaikan yakni dengan menjabarkan peranan koprasi yakni menyelenggarakan kegiatan ekonomi, meningkatkan taraf hidup, serta membina dan mengembangkanswadaya dan daya kreatifrakyat sebagai perwujudan masyarakat gotong royong.
g. Instruksi Presiden Nomor 2 dan 3 Tahun 1960
Sebagai peraturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah tentang Perkembangan Gerakan Koperasi, Instruksi Presiden Nomor 2 dan 3 Tahun 1960, mengungkapkan pembentukan Badan Penggerak Koprasi sebagai wadah tunggal kerjasama antar jawatan koperasi dan masyarakat. Inpres yang mengatur campur tangan pemerintah terlalu dalam ini berakibat pada rusaknya mentalitas idiil koprasi dengan suburnya praktek mencari keuntungan dengan menjual barang-barang karena adanya kemudahan merendahkan harga kebutuhan pokok jikalau dijual oleh koprasi. Disisis lain bahwa pendidikan mengenai kopersi meningkat pesat sekali, dengan memasukkan dalam setiap jenjang pendidikan. Ketentuan Ipres ini jelas-jelas telah menabrak Pasal 27 ayat (1), dan (2) UUD 1945, dengan adanya pemecatan atas pegawai yang tidak bisa mengikuti garis-garis besar perkoperasian, sehingga akibat lebih lanjutnya ialah Muhammad Hatta mengundurkan diri untuk tidak menjadi Wakil Presiden dan koperasi kehilangan tokohnya yang dudud di Pemerintahan.
h. Undang-Undang Tentang Pokok-pokok Perkoperasi (UU 14/1965)
Undang-undang sebagai pengejahwantahan prinsip nasakom ini mengebiri prinsip koperasi yang telah ada di Indonesia. Koperasi didefinisikan sebagai organisasi eonomi dan Alat Revolusi yang berfungsi sebagai tempat persemaian insane masyarakat serta wahana menuju sosialisme Indonesia beradasarkan Pancasila. Kemudian pengesahan UU ini pada saat Musyawarah Nasional Koperasi memperlihatkan sensasinya kepada dunia dengan keluarnya Indonesia dalam keanggotaan di International Coperative Allliace (ICA).
i. Undang-Undang Tentang Pokok-pokok Perkoperasi (UU 12/1967)
Undang-undang racikan pemerintahan Orde Baru, Soeharto ini mendapatkan tanggapan positif dari semua perkumpulan koperasi karena kembalinya hakikat koperasi itu sendiri. UU yang memurnikan asas koperasi yang sejati dan menyingkirkan depolitisasi koperasi ini secara tegas mencabut UU 14/1965 tentang perkoperasian. Hubungan baik yang sempat terputus dengan ICA kembali diperbaiki pada berlakunya UU 12/1967. Koperasi didefinisikan sebagai organisasi-organisasi rakyat yang berwatakkan social, beranggotakan orang-orang, atau badan-badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Ini merupakan UU pertama yang menjadikan koperasi adalah badan hukum apabila koperasi tersebut telah menyesuaikan diri dengan UU 12 Tahun 1967.
B. Sesudah UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
a. UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
Undang-undang ini hadir atas ketidakjelasan aturan main di lapangan mengenai jati diri, tujuan, kedudukan, peran, manajemen, keusahaan, permodalan, serta pembinaan koperasi untuk lebih menjamin terwujudnya kehidupan koperasi sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Pengaturan koperasi sebagai badan hukum semakin jelas pada definisi koperasi menurut UU 25 Tahun 1992 yakni badan hukum yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi serta berdasar pada asas kekeluargaan.

b. UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Undang-undang yang menyiratkan bahwa usaha miko, kecil, dan menengah ini secara tegas menyuratkan bahwa pembiayaan usaha mikro kecil dan menengah, ini bisa didorong melalui koperasi simpan pinjam dan koperasi jasa keuangan konvensional dan syariah. Dengan keluarnya UU ini diharapkan untuk semakin berkembangnya usaha koperasi untuk membiayai usaha usaha mikro kecil dan menengah sebagaimana pasal 22 UU 20/2008.

Diringkas dari Buku Hukum Koperasi, Anjar Pachta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar