N O T A P E M B E L A A N
Atas Surat Tuntutan
Dengan Nomor Registrasi Perkara : Jakarta
Atas Nama Terdakwa
Dadang Irawan
Oleh:
Tim Penasehat Hukum Terdakwa ( Fernandes Raja Saor)
Disampaikan Pada Sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
Majelis Hakim Yang Terhormat,
Penuntut Umum Yang Kami Hormati,
Pada sidang sebelumnya Saudara Penuntut Umum telah membacakan Surat Tuntutan atas nama terdakwa Saudara Dadang Irawan Dalam tuntutannya tersebut, setelah memasuki proses pembuktian, penuntut umum tetap berpendirian bahwa Saudara Dadang Irawan telah melakukan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana dakwaan penuntut umum di awal persidangan. Padahal apabila melihat fakta-fakta hukum yang terkonstruksi pada proses pembuktian, sudah jelas-jelas bahwa Saudara Dadang Irawan tidak pernah menyentuh pokok-pokok persoalan sebagaimana yang telah didakwakan oleh Penuntut Umum. Dadang Irawan hanyalah sebagai Profesional yang beritikad baik dalam menjalankan tugasnya pada sebuah korporasi yang dituduh melakukan Tindak Pidana. Dalam Surat Tuntutannya, banyak fakta-fakta hukum yang diabaikan oleh penuntut umum demi semata-semata memaksakan apa yang telah dituduhkan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya. Hal ini jelas-jelas sangat menodai citra hukum sebagai sarana untuk mencari keadilan dimana dalam hukum dituntut adanya jiwa sportif dalam mengakui jika ternyata apa yang dituduhkan tidak terbukti maka harus diakui tidak terbukti.
Atas dasar tersebut, kami selaku Tim Penasehat Hukum terdakwa Saudara Dadang Irawan sebagaimana yang tertera pada surat kuasa khusus tertanggal 5 April 2008, dengan berlandaskan keyakinan akan adanya keadilan mengajukan Nota Pembelaan ini yang mana seyogyanya dipergunakan oleh Yang Terhormat Majelis Hakim sebagai dasar pertimbangan dalam rangka menciptakan keseimbangan dalam proses peradilan. Nota Pembelaan ini hendaknya juga jangan dipandang sebagai upaya untuk membela kesalahan seseorang secara buta tanpa dasar hukum, melainkan sebagai upaya menyeimbangkan proses peradilan demi terlaksananya asas Presumption of Innocent (Praduga tak bersalah) dalam hukum acara pidana. Kami juga selaku Tim Penasehat Hukum memohon kepada majelis hakim untuk senantiasa tetap berpegang teguh pada keyakinan majelis yang tidak dapat dipengaruhi oleh opini manapun yang ada di luar proses peradilan. Hal itu semua mengingat perkara yang sedang disidangkan ini merupakan perkara yang menarik perhatian publik dan nuansa politis yang kental sehingga baik Trial by Press (Peradilan oleh pers) maupun Trial by Public Opinion (Peradilan oleh opini masyarakat) akan sangat dimungkinkan terjadi. Oleh karena itu, sebagai bangsa yang beragama, kami selaku Tim Penasehat Hukum saudara Dadang Irawanmemanjatkan doa kepada Tuhan Yang Maha Esa agar Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini diberi keteguhan hati, ketabahan dan kebijaksanaan yang berdasar atas keadilan dalam memeriksa perkara ini.
Adapun untuk mempermudah pemahaman Majelis Hakim dan Penuntut Umum, kami menjabarkan poin-poin pembelaan kami sebagai berikut:
I. Pendahuluan
II. Tidak Terbuktinya Unsur Setiap Orang
III. Tidak Terbuktinya Unsur Dengan Tujuan Menguntungkan Diri Sendiri atau Orang Lain atau suatu Korporasi
IV. Tidak Terbuktinya Unsur Menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan dan kedudukan (Abuse of Power)
V. Tidak Terbuktinya Unsur Dapat Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara
VI. Penggunaan Alat Bukti oleh Penuntut Umum yang Tidak Sah
VII. Permohonan dan Kesimpulan
I. Pendahuluan
Majelis Hakim yang terhormat,
Jaksa Penuntut Umum yang kami hormati,
Setelah mendengarkan tuntutan pidana oleh Jaksa Penuntut Umum kepada klien kami, Saudara Dadang Irawan maka tibalah saatnya kami menyampaikan nota pembelaan (pledooi) kami sebagai hak dari Terdakwa sebagaimana diatur dalam Pasal 182 ayat 1 KUHAP. Pembelaan yang kami buat ini bukanlah sesuatu yang hendak mencoba membebaskan klien kami Saudara Dadang Irawan dengan segala daya dan upaya, melainkan agar hukum dan keadilan tetap dijunjung tinggi dalam pengadilan ini melalui putusan objektif yang dibuat oleh Majelis Hakim yang terhormat dan Penuntut Umum yang kami hormati setelah melihat kasus ini secara lebih jernih dan dari sudut pandang yang lebih luas.
Majelis Hakim yang terhormat,
Penuntut Umum yang kami hormati,
Persidangan yang kami muliakan,
Dari sepanjang perjalanan sidang yang telah kita lalui, dapat kita lihat bersama bahwa Saudara Dadang Irawan adalah pribadi yang hangat serta memiliki pembawaan yang tenang dan dapat mengendalikan emosinya dengan baik, hal mana sangat mustahil seseorang dengan kepribadian sedemikian baiknya dapat melakukan perbuatan yang sangat dapat menghancurkan negara dengan dugaan korupsi sebagaimana di tuduhkan oleh Penuntut Umum. Apalagi sebelumnya klien kami tidak pernah melakukan tindakan kriminal apapun serta tindakan lain yang dilarang dalam kesatuannya mengingat klien kami memiliki dedikasi yang sangat tinggi terhadap negara dan sebagai pelaksana tugas dari PT. Bank Angkasa Tbk, tidak pernah memiliki cacat dalam menjalankan tugasnya. Oleh karena itu, menjadi suatu pertanyaan besar bagi kita semua apakah klien kami sungguh melakukan tindakan yang didakwakan oleh Penuntut Umum dengan kesadaran penuh atau apakah ada faktor eksternal dan faktor politis yang secara signifikan mempengaruhi tindakan klien kami sehingga terjadi hal-hal yang tidak kita inginkan tersebut atau bahkan ternyata klien kami tidak melakukan hal-hal yang didakwakan Penuntut Umum kepadanya. Oleh karena itu, kami akan mencoba menguraikan fakta-fakta yang dapat membantu kita mereka ulang kejadian tersebut.
Penuntut Umum menyatakan TERDAKWA Dadang Irawan, MA dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan kedua yaitu Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Pasal 2 Ayat (1)
Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Pasal 3
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Dalam hal ini Penunut umum dalam uraian fakta hanya menuntut terdakwa Dadang Irawan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dalam dakwaan kedua saja yakni pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sehingga yang menjadikan dasar dari nota pembelaan kami juga hanya untuk membela apa yang dituntut oleh Penuntut Umum tanpa memperdulikan lagi dakwaan pertama yang didakwakan kepada Dadang Irawan
Mengacu kepada dakwaan kedua yang dituntut oleh penuntut umum maka dapat diuraikan unsur-unsur dari Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yaitu:
• Setiap Orang
• Dengan ujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Korporasi
• Menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukan.
• Dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
Dalam Analisis Yuridis terhadap Surat Tuntutan Penuntut Umum ini, kami ingin mengajak kepada Majelis Hakim dan Penuntut Umum untuk bersama-sama mencermati dan mengkaji apa yang sebenarnya terjadi. Maka selanjutnya kami akan menguraikan serta menganalisa satu demi satu unsur pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi tersebut yang dikaitkan dari fakta-fakta persidangan dan analisa fakta serta analisa yurudis dalam setiap unsur pasal.
II. Tidak Terbuktinya Unsur Setiap Orang
Unsur setiap orang hanya merupakan element delict dan bukanlah bestandeel delict (delik inti) yang harus dibuktikan. Menurut hemat kami, unsur setiap orang harus dihubungkan dengan perbuatan selanjutnya apakah perbuatan tersebut memenuhi unsur pidana atau tidak. Kalau unsur-unsur lainnya terpenuhi, barulah unsur barang siapa dapat dinyatakan terpenuhi atau terbukti.
TERDAKWA dalam kedudukannya sebagai Mantan Head Asset Management PT. Bank Angkasa Tbk merupakan subjek hukum yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban, karena penjualan aset yang dilakukan oleh Dadang Irawan, merupakan suatu persetujuan penjualan yang dilakukan oleh Dewan komisaris dengan mempertimbangkan pendapat Direksi PT. Bank Angkasa Tbk pada waktu itu adalah AGUSTA JUNIAR, sehingga pada kenyataannya keputusan yang dilakukan oleh Dadang Irawan, MA bukanlah rekomendasi dari TERDAKWA sendiri, akan tetapi ada pihak-pihak yang mempunyai kompetensi dalam mengeluarkan surat untuk menyetujui penjualan aset dengan harga minimal 50% dari nilai taksiran. Terbukti dengan dikeluarkannya Surat Menteri Keuangan No. 5-1484/MK.0132/1992 tertanggal 11 Desember 1992. Dengan demikian, penempatan TERDAKWA bukanlah menjadi dasar untuk menarik seluruh perbuatan dan menyudutkan kepada TERDAKWA sendiri.
TERDAKWA sebagai orang yang taat hukum dalam menjalankan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance) sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Nomo 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah menjalankan PT. Bank Angkasa Tbk sebagaimana tugas dan kewenangannya. Oleh karena itu, penempatan TERDAKWA dalam kasus ini tidaklah beralasan dan tidaklah berdasar, dimana TERDAKWA hanya dijadikan sebagai alat untuk melempar kesalahan dari Penuntut Umum (manus ministra) sehingga asas equality before the law tidak dapat ditegakkan dengan adanya diksriminasi dari Penuntut Umum untuk memaksakan perkara ini ke dalam persidangan. Dengan menempatkan Dadang Irawan, MA sebagai TERDAKWA bukanlah sifat yang berjiwa besar tanpa mencermati yang memberikan usulan untuk melakukan penjualan aset adalah saksi GULARDI yang diteruskan kepada YOMI PYD dan disampaikan serta dibahas oleh Komisaris. Saudara Dadang Irawan, MA hanya menjalankan tugas yang diamanatkan oleh petinggi-petinggi dari Bank Angkasa atas pertimbangan Menteri Keuangan, sehingga TERDAKWA yang dijadikan alat dalam persidangan ini.
Dengan demikian, unsur setiap orang tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
III. Tidak Terbuktinya Unsur Dengan Tujuan Menguntungkan Diri Sendiri atau Orang Lain atau suatu Korporasi
Unsur “Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan”
Dalam kasus, dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan, telah terbukti. Unsur ini adalah unsur alternatif, sehingga cukup satu yang dibuktikan yakni apakah perbuatan dari Dadang Irawan dilakukan dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, atau dengan tujuan menguntungkan orang lain ataukah dengan tujuan menguntungkan suatu korporasi.
Menurut R. Wiyono yang dimaksud dengan “menguntungkan” ialah sama artinya dengan mendapatkan untung, yaitu pendapatan yang diperoleh lebih besar dari pengeluaran, dan terlepas dari penggunaan lebih lanjut dari pendapatan yang diperolehnya. Dengan demikian, yang dimaksud dengan unsur “menguntungkan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi” adalah sama artinya dengan mendapatkan untuk sendiri atau orang lain atau suatu korporasi.
Sangat nyata bahwa harga jual asset tersebut bukanlah secara mutlak ditentukan atas usul TERDAKWA, namun atas keputusan rapat komisaris yakni sebesar Rp. 14.000.000.000. Sebab berdasarkan keterangan Saksi TANOTOE ada tiga dasar yang bisa dijadikan patokan, dan NJOP hanya salah satu pertimbangan, dan bukanlah salah satu pilihan. Dari ketiga dasar pertimbangan ((a) NJOP sebesar Rp. 8.800.000.000, atau (b) IPO yang dipakai komisaris untuk menentukan batas rugi sebesar Rp. 11.925.000.000, atau (c) Harga penawaran tertinggi Direksi sebesar Rp. 11.002.500.000), yang diajukan oleh masing masing pihak, tidak ada satupun yang memberikan nilai jual Rp. 14.000.000.000,- artinya nilai jual tersebut dibuat bukan atas NJOP 1998 tetapi atas persetujuan dari komisaris. Sehingga tidak ada efeknya dengan menggunakan NJOP 2003 ataupun 1998, karena hasil akhir dari nilai jual tetap berada di tangan komisaris dan bukan pada TERDAKWA.
Jika melihat tahapan pembuktian dalam tahap persidangan maka tidak adanya keuntungan baik kepada TERDAKWA selaku diri sendiri, ataupun orang lain, ataukah juga keuntungan kepada Bank Angkasa. Sementara itu Penuntut Umum tetap bersikukuh untuk menyatakan keuntungan tersebut terdapat Saksi RIKI SUSANTO, dengan mengkaitkannya Nilai NJOP 2003 dengan Harga Jual asset sebesar Rp. 14.000.000.000, (empat belas miliar rupiah). Kemudian Penuntut Umum juga tidak menilai berapa keuntungan yang didapatkan oleh Saksi RIKI SUSANTO, sebab penuntut umum hanya menjabarkan besarnya nilai jual asset yang seharusnya berdasarkan NJOP 2003 bernilai Rp. 21.342.393.000 (dua puluh satu miliar tiga ratus empat puluh dua juta tiga ratus sembilan puluh tiga ribu rupiah). Namun Penuntut Umum gagal untuk membuktikan (dengan melihat Surat Tuntutan Halaman 33 - 34):
• Seberapa besar keuntungan yang diperoleh oleh Saksi RIKI SUSANTO apabila harga jual asset menggunakan NJOP 1998
• Seberapa besar keuntungan yang diperoleh oleh Saksi RIKI SUSANTO apabila harga jual asset menggunakan NJOP 2003
• Kausalitas antara NJOP 2003 yang sebesar Rp. 21.342.393.000 (dua puluh satu miliar tiga ratus empat puluh dua juta tiga ratus Sembilan puluh tiga ribu rupiah), dengan makna “keharusan” untuk dapat dijadikan dasar pertimbangan komisaris sebagai harga jual asset.
Sedangkan menurut Prof. Sudarto dalam buku “Hukum dan Hukum Pidana”, (Bandung: Alumni, 1977), halaman 142, jika melihat unsur ” Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan” yang sama terdapat pada UU Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang mengemukakan :
“Ini merupakan unsur batin yang menentukan arah dari perbuatan penyalahgunaan kewenangan dan sebagiannya. Adanaya unsur ini harus pula ditentukan secara objektif dengan memperhatikan segala keadaan lahir yang menyertai perbuatan tersangka”.
Jika dikaitkan dengan perbuatan TERDAKWA selama menjadi Group Head Asset Mangement, tidak ada tujuan untuk menguntungkan Saksi RIKI SUSANTO Ketiadaan NJOP 2003 pada saat pembuatan Nota Usulan No. DNW AMT/424/2003 tanggal 27 November 2003 telah disusun beberapa bulan sebelum adanya penawaran terbuka dimana terbuka kesempatan untuk TERDAKWA mengenal Saksi RIKI SUSANTO Namun, dinyatakan dalam keterangan Saksi RIKI SUSANTO, dimana ia tidak mengenal dan tidak ada hubungan keluarga dengan TERDAKWA, maka semakin menjelaskan tidak ada tujuan untuk menguntungkan Saksi RIKI SUSANTO karena tidak ada hubungan batin antara yang diuntungkan dan yang menguntungkan.
Pendapat Prof. Sudarto dikatakan sesuai dengan putusan Mahkamah Agung RI tanggal 29 Juni 1989 Nomor 813 K/Pid/1987 yang pertimbangan hukumnya antara lain menyebutkan bahwa unsur “menguntungkan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu badan hukum” cukup dinilai dari kenyataan yang terjadi atau dihubungkan dengan prilaku terdakwa sesuai dengan kewenangan yang dimilikinya, karena jabatan dan kedudukannya.Diterangkan Mulyana, tidak ada sedikitpun terbersit suatu kehendak yang ada dalam pikiran atau alam batin yang ditujukanuntuk memperoleh keuntungan bagi diri sendiri. Apalagi bagi orang lain atau korporasi tertentu sebagaimana dalam perkara PT Survindo Indah Prestasi (PT SIP).
Dengan demikian maka unsur “Dengan Tujuan Menguntungkan Diri Sendiri atau Orang Lain atau suatu Korporasi” tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
IV. Tidak Terbuktinya Unsur Menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan dan kedudukan (Abuse of Power)
Kata “wewenang” berarti mempunyai (mendapat) hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu. (W. J. S. Poerwadarimta, 1991). Itu berarti, seseorang dengan jabatan atau kedudukan tertentu akan memiliki wewenang tertentu pula dan dengan wewenangnya tersebut, maka ia akan memiliki kekuasaan atau peluang untuk melakukan sesuatu. Kekuasaan atau peluang untuk melakukan sesuatu inilah yang dimaksud dengan “kesempatan”. Sementara itu, seseorang yang memiliki jabatan atau kedudukan biasanya akan mendapat sarana tertentu pula dalam rangka menjalankan kewajiban dan kewenangannya. Kata “sarana” sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah segala sesuatu yang dapat dipakai sebagai alat untuk mencapai maksud dan tujuan.
Seseorang dengan jabatan atau kedudukan tertentu akan memiliki wewenang, kesempatan dan sarana tertentu yang dapat ia gunakan untuk menjalankan tugas dan kewajibannya. Wewenang, kesempatan dan sarana ini diberikan dengan rambu-rambu tertentu. Bila kemudian rambu-rambu itu dilanggar atau bila wewenang, kesempatan, dan sarana tersebut tidak digunakan sebagaimana mestinya, maka telah terjadi penyalahgunaan wewenang, kesempatan dan sarana yang dimiliki karena jabatan atau kedudukannya.
Dengan menyalahgunakan kewenangan yang ada pada jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi untuk mengambil tindakan yang diperlukan agar tugas pekerjaannya dapat dilaksanakan dengan baik. Kewenangan tersebut tercantum di dalam ketentuan-ketentuan tentang tata kerja yang berkaitan dengan jabatan atau kedudukan dari pelaku tindak pidana korupsi, misalnya tercantum di dalam Keputusan Presiden RI, Keputusan Mentri Dalam Negri RI, atau anggaran dasar dari suatu badan hukum atau anggaran dasar dari suatu badan hukum perdata (perseroan terbatas, koperasi atau yayasan).
Berdasarkan Keteranagan Saksi YOMI PYD serta keterangan TERDAKWA, maka kewenangan Dadang Irawan pada saat menjabat sebagai Grup Head Asset Management pada bulan Januari 2004 salah satunya ialah pelepasan asset Bank Angkasa berupa Tanah dan Bangunan. Kepala Departemen Fixed Asset Disposal pada Bank Angkasa berwenang untuk menangani penjualan atau pelepasan asset tanah dan bangunan milik PT Bank Angkasa yang tidak digunakan dan atau asset yang tidak dimanfaatkan karena dikuasai atau diduduki oleh pihak ke III / dalam sengketa atau bermasalah termasuk Inventarisasi, persiapan dan pelaksanaan serta penyelesaian penjualan aktiva-aktiva tanah dan bangunan. Dan terkait dengan dakwaan Penuntut Umum maka, tanah dan bangunan eks Bioskop Horas yang menjadi Aset dari Bank Angkasa yang terletak di Jalan Sudirman No. 38 – 42 atau Jalan Sudirman No. 2 Jakarta Pusat memang termasuk dalam kewenangan TERDAKWA.
Dari keterangan terdakwa sebagai pihak yang sangat mengerti tentang prosedur pelepasan asset Bank Angkasa ditambah dengan keterangan Saksi YOMI PYD, Saksi GULARDI yang ada di persidangan sangat terbukti bahwa TERDAKWA hanya memberikan “usul” yang tertuang dalam nota usulan nomor : DNW AMT/424/2003 tanggal 27 November 2003. Usulan TERDAKWA bersifat fakultatif, artinya bisa diterima maupun ditolak, baik oleh Saksi YOMI PYD untuk diteruskan kepada Dewan Direksi, maupun oleh Dewan Direksi atau Dewan Komisaris, jadi semua keputusan atas disetujui atau tidaknya usulan TERDAKWA tersebut bukan tergantung oleh TERDAKWA namun tergantung oleh Direksi maupun Komisaris. Dikeluarkannya nota usulan pelepasan asset eks Bank Bumi Daya oleh TERDAKWA, tidak terlepas “usulan” Saksi GULARDI, baru kemudian diajukan atas nama TERDAKWA baik kepada Saksi YOMI PYD. Bahwa usulan TERDAKWA pernah dipresentasikan oleh TERDAKWA dihadapan Direksi dan Komisaris berdasarkan Pasal 12 ayat (1) huruf (a) Anggaran Dasar PT Bank Angkasa Tbk. Dengan demikian TERDAKWA tidak menyalahgunakan kewenangannya sebagai Grup Head Asset Management, malahan memenuhi kewenangannya hingga disetujuinya usulan tersebut dari Direksi kepada Komisaris dengan surat No. DIR DNW/483/2003 tanggal 12 Desember 2003 hingga turun persetujuan dari Komisaris dengan surat No. COM/007/2004 tanggal 8 Januari 2004.
Kewenangan dari TERDAKWA yang lainnya setelah komisaris menyetujui usulan terdakwa ialah TERDAKWA melakukan pelepasan asset tersebut. Persetujuan pelepasan asset ketika ditandatangani oleh Komisaris Utama, Tanotoe dan Wakil Komisaris Utama Markus Permadi, mengamanatkan pelepasan asset untuk dilaksanakan dengan penawaran terbuka dengan harga dasar minimal Rp. 14.000.000.000, (empat belas miliar rupiah) dan biaya pengosongan ditanggung oleh pembeli. Dalam hal ini mengenai pelaksanaan penjualan dilaksanakan oleh Saksi JONTO TJOKROSOENARTO, dan bukan lagi dalam kewenangan TERDAKWA.
Dasar pertimbangan dalam menentukan harga jual yang ditentukan oleh komisaris bisa didapatkan diantaranya : (a) NJOP 1998 sebesar Rp. 8.800.000.000, atau (b) IPO yang dipakai komisaris untuk menentukan batas rugi sebesar Rp. 11.925.000.000, atau (c) Harga penawaran tertinggi Direksi sebesar Rp. 11.002.500.000. Jadi NJOP bukanlah dijadikan nilai mutlak untuk menetukan harga jual asset, namun pertimbangan dari komisaris, yang memutuskan bahwa nilai jual atas asset tersebut sebesar Rp. 14.000.000.000, (empat belas miliar rupiah).
Sedangkan dalam hal usulan TERDAKWA dalam nota usulan No. DNW AMT/424/2003 tanggal 27 November 2003 yang menggunakan NJOP tahun 1998, berdasarkan keterangan Saksi TANOTOE selaku Komisaris Bank Angkasa dalam persidangan mengungkapkan bahwa walaupun usulan yang dipakai oleh TERDAKWA adalah NJOP Tahun 1998, namun hal itu terjadi pada saat itu oleh karena ketiadaan data NJOP Tahun 2003 dan Group Head hanya memiliki data Tahun 1998. Dan Saksi TANOTOE selaku komisaris yang pernah melakukan rapat Komisaris perihal pelepasan asset Bank Angkasa di Jalan Sudirman atau Jalan Sudirman, mengetahui penggunaan NJOP 1998 atas usulan TERDAKWA, namun tidak mempermasalahkan hal tersebut, karena Komisaris memandang harga pasar yang layak adalah yang datang dari Direksi. Pandangan komisaris yang tidak memperdulikan NJOP tahun 1998, sesuai dengan keterangan Saksi Gulardi sejalan dengan keterangan Saksi TANOTOE bahwa persetujuan nilai pelepasan asset tersebut disetujui oleh komisaris sebesar Rp. 14.000.000.000, (empat belas miliar rupiah), serta tidak ada petunjuk dari komisaris untuk menyesuaikan dengan NJOP pada tahun 2003.
Dengan demikian maka unsur “Menyalahgunakan kewenangan kesempatan atau sarana yang ada karena jabatan dan kedudukan” tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
V. Tidak Terbuktinya Unsur Dapat Merugikan Keuangan Negara atau Perekonomian Negara
Bahwa sebagaimana lazimnya setiap perkara pidana haruslah didasarkan kepada pembuktian dengan menggunakan alat bukti materil tentang apakah ada suatu perbuatan pidana atau tidak, karena cara demikian merupakan cara yang dianut secara universal oleh seluruh Hukum Acara Pidana. Oleh karena itu, ada titik krusial yang penting untuk dicermati dalam permasalahan ini, antara lain:
Keuangan negara yang dimaksud adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apapun, yang dipisahkan atau yang tidak dipisahkan, termasuk didalamnya segala bagian kekayaan negara dan segala hak dan kewajiban yang timbul karena:
a. berada dalam penguasaaan, pengurusan dan pertanggungjawaban pejabat lembaga negara, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah.
b. berada dalam penguasaaan, pengurusan dan pertanggungjawaban Badan Usaha Negara/ Badan Usaha Milik Daerah, Yayasan, Badan Hukum dan Perusahaan yang menyertakan modal negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian dengan Negara.
Sedangkan yang dimaksud dengan Perekonomian Negara adalah kehidupan perekonomian yang disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaaan ataupun usaha masyarakat secara Angkasa yang didasarkan pada kebijakan Pemerintah, baik di tingkat pusat maupun di daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang bertujuan memberikan manfaat, kemakmuran, dan kesejahteraan kepada seluruh kehidupan rakyat.
Kelemahan penuntut umum terlihat dalam menilai posisi hukum kerugian keuangan negara dan aspek hukum privat, di mana penuntut umum belum mampu menilai dari segi hukum ada atau tidaknya aspek kerugian keuangan negara dalam lapangan hukum privat yang menjadi dasar hukum pembuktian, dan yang berkaitan pula dengan penafsiran terhadap penilaian fakta adanya kerugian keuangan negara dalam badan hukum privat (PERSERO). Dikatakannya ada atau tidaknya kerugian keuangan negara pada sebuah PERSERO sebagai badan hukum privat yang pada gilirannya menentukan pula ada atau tidaknya tindak pidana korupsi sebagaimana diatur dalam UU Nomor 31 Tahun 1999. Pengaturan demikian sangat penting mengingat dalam hukum pidana dikenal adanya asas legalitas yang menjadi dasar perlindungan hukum bagi warganegara dari perlakuan negara serta menjadi pembatas wewenang negara dalam menjalankan kekuasannya.
Ada pertimbangan penting yang harus diperhatikan pada aspek hukum kerugian negara dalam perseroan terbatas (PERSERO) ini, yaitu menyangkut kedudukan dan status hukum dari keuangan negara dalam perseroan terbatas dari PT. Bank Angkasa Tbk. Apabila dikaitkan dengan definisi keuangan negara satu hal pertama yang perlu dipahami adalah apa yang dimaksud dengan keuangan negara tersebut. Keterkaitan definsi keuangan negara dalam mengetahui aspek hukum kerugian negara disebabkan definisi tersebut pada hakikatnya secara langsung membantu membatasi ruang lingkup keuangan negara itu sendiri.
Menurut Arifin P Soeria Atmadja, definisi keuangan negara dapat dipahami atas tiga interpretasi atau penafsiran terhadap pasal 23 UUD 45 yang merupakan landasan konstitusional keuangan negara yaitu, penafsiran pertama adalah :
Pengertian keuangan negara diartikan secara sempit, dan untuk itu dapat disebutkan sebagai keuangan negara dalam arti sempit, yang hanya meliputi keuangan negara yang bersumber pada APBN sebagai sub sistem keuangan negara dalam arti sempit. Apabila didasarkan pada rumusan tersebut, keuangan negara adalah semua aspek yang tercakup dalam APBN yang diajukan oleh pemerintah kepada DPR setiap tahunnya. Dengan kata lain, APBN merupakan deskripsi dari keuangan negara dalam arti sempit, sehingga pengawasan terhadap APBN juga merupakan pengawasan terhadap keuangan negara.
Sementara itu, penafsiran kedua adalah berkaitan dengan metode dan sistematik dan historis yang menyatakan:
Keuangan negara dalam arti luas yang meliputi keuangan negara yang berasal dari APBN, APBD, BUMN, BUMD, dan pada hakikatnya seluruh harta kekayaan negara sebagai suatu sistem keuangan negara. Makna tersebut mengandung pemahaman keuangan negara dalam arti luas, adalah segala sesuatu kegiatan atau aktivitas yang berkaitan erat dengan uang yang diterima atau dibentuk berdasarkan hak istimewa negara untuk kepentingan publik. Pemahaman tersebut kemudian lebih diarahkan pada dua hal yaitu hak dan kewajiban negara yang timbul dan makna keuangan negara. Adapun yang dimaksud dengan hak tersebut adalah hak menciptakan uang; hak melakukan pungutan; hak meminjam, dan hak memaksa. Adapun kewajiban adalah kewajiban menyelenggarakan tugas negara demi kepentingan masyarakat, dan kewajiban membayar hak-hak tagihan pihak ketiga berdasarkan hubungan hukum atau hubungan hukum khusus.
Penafsiran ketiga dilakukan melalui ”pendekatan sistematik dan teleologis atas sosiologis terhadap keuangan negara yang dapat memberikan penafsiran yang relatif lebih akurat sesuai dengan tujuannya”. Maksudnya adalah
”Apabila tujuan menafsirkan keuangan negara tersebut dimaksudkan untuk mengetahui sistem pengurusan, dan pertanggungjawabannya, maka pengertian keuangan negara tersebut adalah sempit. Selanjutnya pengertian keuangan negara apabila pendekatannya dilakukan dengan menggunakan cara penafsiran sistematik dan teleologis untuk mengetahui sistem pengawasan atau pemeriksaan pertanggungjawaban, maka pengertian keuangan negara itu adalah dalam pengertian keuangan negara dalam arti luas, yakni termaksud di dalamnya keuangan yang berada dalam APBN , APBD , BUMN/D dan pada hakikatnya seluruh kekayaan negara merupakan obyek pemeriksaan dan pengawasan.
Penafsiran ketiga inilah yang tampak paling esensial dan dinamis dalam menjawab berbagai perkembangan yang ada di dalam masyarakat. Bagaimanapun, penafsiran demikan akan sejalan dengan perkembangan masyarakat dewasa ini yang menuntut adanya kecepatan tindakan dan kebijakan, khususnya pemerintah, baik yang berdasarkan atas hukum (rechtshandaling) maupun yang berdasarkan atas fakta (feitelijke handeling).
Berdasarkan aspek pengelolaan dan pertanggungjawaban, perbedaan yang mendasar akan muncul saat investasi dengan segala resiko yang ditawarkan oleh pemerintah dalam tiga jenis badan usaha yang ada. Bagi investasi yang ditanamkan pemerintah pada perusahaan jawatan (PERJAN) pengelolaan dan pertanggungjawabannya berpedoman pada Indische Bedrijeventswet (IBW). Sementara itu, pada perusahaan umum (PERUM) berpedoman pada UU Nomor 19 Prp Tahun 1960 dan perseroan terbatas dengan (PERSERO) pada UU Nomor 1 Tahun 1995 dan akta pendirian. Hal demikian berbeda halnya dengan perseroan terbatas yang modalnya merupakan kekayaan negara yang dipisahkan. Pemisahan kekayaan negara ini mengandung makna pemerintah menyisihkan kekayaan negara untuk dijadikan modal penyertaan guna dijadikan modal pendirian perseroan atau untuk menambah dan memperkuat struktur permodalan perseroan terbatas dalam meningkatkan kegiatan usahanya.
Konsekuensi logis adanya penyertaan modal pemerintah pada perseroan terbatas adalah pemerintah ikut menanggung risiko dan bertanggung jawab terhadap kerugian usaha yang dibiayainya. Dalam menanggung risiko dan bertanggung jawab atas kerugian usaha ini, kedudukan pemerintah tidak dapat berposisi sebagai badan hukum publik. Hal demikian disebabkan tugas pemerintah sebagai badan hukum publik adalah bestuurszorg, yaitu tugas yang meliputi segala lapangan kemasyarakatan dan suatu konsep negara hukum modern yang memperhatikan kepentingan seluruh rakyat. Konsekuensinya jika badan hukum publik harus menanggung risiko dan bertanggung jawab atas kerugian usaha tersebut, fungsi tersebut tidak dapat akan optimal dan maksimal dijalankan oleh pemerintah.
Dengan dasar pemahaman tersebut, kedudukan pemerintah dalam perseroan terbatas tidak dapat dikatakan sebagai mewakili pemerintah sebagai badan hukum publik. Pemahaman tersebut harus ditegaskan sebagai bentuk affirmatif pemakaian hukum privat dalam perseroan terbatas, yang sahamnya antara lain dimiliki pemerintah. Dengan mengemukakan dasar logika hukum atas aspek kerugian negara dalam perseroan terbatas, yang seluruh atas salah satu sahamnya dimiliki negara berarti konsep kerugian negara dalam pengertian merugikan keuangan negara tidak terpenuhi. Hal ini disebabkan ketika pemerintah sebagai badan hukum privat memutuskan penyertaan modalnya berbentuk saham dalam perseroan terbatas maka pada saat itu juga imunitas publik dan negara hilang dan terputus hubungan hukumnya dengan keuangan yang telah berubah dalam bentuk saham, demikian pula ketentuan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara dalam bentuk saham tersebut otomatis berlaku dan berpedoman pada UU Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas. Kondisi demikan mengakibatkan putusnya keuangan yang ditanamkan dalam perseroan terbatas sebagai keuangan negara, sehingga berubah status hukumnya menjadi keuangan perseroan terbatas.
Dengan dasar pemahaman tersebut, dapatlah dikemukakan sesungguhnya menetapkan suatu perbuatan tindak pidana korupsi sebagai perbuatan yang merugikan negara tidak hanya dapat disandarkan pada hakikat mengikuti rumusan perbuatan formalnya, yaitu dengan ”melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau suatu badan”. Akan tetapi yang lebih penting pada rumusan materiilnya, yaitu merugikan negara. Aspek kerugian negara inilah yang selalu kemudian diindentikan dengan keuangan negara.
Perbuatan tindak pidana korupsi seseorang dalam perseroan terbatas (PERSERO) yang sahamnya antara lain dimiliki negara berarti secara formal melawan hukum dan memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu badan. Akan tetapi, perbuatan tersebut secara materiil tidak merugikan keuangan negara, karena posisi dan status hukum keuangan negara dalam perseroan terbatas bukan lagi merupakan keuangan negara, melainkan keuangan milik perseroan (PERSERO) tersebut, dimana sebagai pemilik saham mempunyai kedudukan hukum yang sama dengan pemilik saham swasta lainnya. Seperti halnya yang terjadi dalam PT. Bank Angkasa Tbk (PERSERO), artinya segala kerugian yang ditimbulkan bukanlah masuk dalam keuangan negara, akan tetapi masuk ke dalam keuangan milik perseroan.
Walaupun demikian, unsur keuangan negara itu sendiripun tidak bisa dibuktikan oleh Penuntut Umum karena dalam Surat Tuntutan nilai kerugian sebesar Rp. 9.342.393.000,- merupakan selisih antara nilai aset atas dasar NJOP 2003 sebesar Rp. 21.342.393.000,- dengan harga jual penawaran terbuka sebesar Rp. 14.000.000.000,- karena nilai kerugian tersebut tidak riil. Hal ini didasarkan pada keterangan Ahli WAHYU TRI PUTRA yang menyatakan bahwa besarnya NJOP secara formal hanya digunakan untuk menentukan besarnya Pajak Penghasilan (Pph) dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/Bangunan (BPHTP) bukanlah harga jual dari tanah dan bangunan yang terletak di Jalan Sudirman No. 38 – 42 / Jalan Panglima Sudirman No. 2 A -1 Jakarta Pusat.
Sedangkan yang menjadi harga jual dari tanah dan bangunan tersebut adalah kesepakatan yang dilakukan antara pembeli dan penjual sebagaimana diatur dalam pasal 1320 – 1337 KUHPerdata, dimana adanya kesepakatan dalam penjualan sesuatu menentukan sahnya dari harga tanah dan bangunan bersangkutan.
Selain itu, berdasarkan fakta-fakta yang ditemukan dalam persidangan keterangan saksi YOMI PYD sebagai Direktur Bank Angkasa menyatakan bahwa prosedur pelepasan aset terhadap tanah dan bangunan tersebut telah memenuhi prosedur dan tidak ada kerugian negara, karena mendapat uang dari aset yang tidak dapat digunakan. Lalu berdasarkan Alat Bukti Surat Dewan Komisaris Bank Angkasa tertanggal 23 Maret 2004 No,COM/034/2004, yang di dukung oleh keterangan saksi TANOTOE menerangkan bahwa dari berbagai sudut perhitungan Bank Angkasa tidak dirugikan.
Di sisi lain berdasarkan keterangan saksi GULARDI sebagai Professional Staf Department Fixed Asset Management menyatakan bahwa penjualan aset ini tidak terdapat kerugian dari negara cq. Bank Angkasa karena penjualannya lebih besar dari Nilai Buku dan ada keuntungan sebesar Rp. 4.300.000.000,- dari nilai buku. Hal ini senada dengan keterangan saksi JONTO TJOKROSOENARTO yang menerangkan bahwa tidak ada kerugian yang timbul dalam penjualan aset. Sekali lagi ini membuktikan bahwa kerugian negara tidak terjadi pada penjualan aset PT Bank Angkasa Tbk.
Berdasarkan keterangan saksi SANTOS DEL PURBA sebagai Pusat Bagian Pembukuan Bank Angkasa menerangkan bahwa catatan pembukuan aset yang berupa tanah dan bangunan mengetahui nilai aset tersebut yaitu:
A. Setipikat No. 138 dengan nilai bukunya Rp. 103.275.000,-
B. Setipikat No. 139 dengan nilai bukunya Rp. 21.000.000,-
C. Setipikat No. 140 dengan nilai bukunya Rp. 1.000.000,-
D. Yang tidak ada setipikat dengan nilai bukunya Rp. 7.600.200.000,-
Jumlah Rp. 7.725.475.000,-
Sedangkan harga jual lelang mendapatkan Rp. 14.000.000.000,- (empat belas milyar rupiah), artinya ada selisih yang menjadi nilai keuntungan sebenarnya yang didapatkan oleh Bank Angkasa yaitu sebesar Rp. 4.274.525.000,- (empat milyar dua ratus tujuh puluh empat juta lima ratus dua puluh lima ribu rupiah), sehingga dalam hal ini PT. Bank Angkasa Tbk tidak merugikan keuangan negara, akan tetapi mendapatkan keuntungan untuk negara.
Sebagaimana telah diuraikan diatas maka dapat disimpulkan bahwa unsur merugikan keuangan negara tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Bahwa kutipan tersebut adalah merupakan inti dari seluruh peristiwa yang didakwakan pada dakwaan, tetapi karena kutipan tersebut merupakan peristiwa pidana (straafbaarfeit) haruslah dibuktikan, karena hal yang sangat esensial dalam perkara pidana, tanpa membuktikan peristiwa pidana maka suatu kemustahilan untuk menerapkan pasal pidana yang didakwakan.
Bahwa dalam penguraiannya tentang pembuktian terhadap dakwaan, nyata Penuntut Umum menghindari untuk memperadukan langsung antara fakta hukum yang diperoleh dari persidangan dengan peristiwa pidana yang diuraikan dalam surat dakwaan, padahal lazimnya menurut hukum pembuktian, peristiwa pidana dalam surat dakwaan harus lebih dahulu dan diutamakan.
Bahwa pada tempatnyalah untuk dikatakan, tanpa pembuktian materil menurut KUHAP terhadap semua dimensi peristiwa pidana yang didakwakan adalah mustahil untuk mengambil kesimpulan adanya suatu tindak pidana korupsi.
Bahwa berangkat dari prinsip dasar pembuktian yang universal sebagai Asas maka terhadap dakwaan Penuntut Umum seharusnyalah didasarkan kepada pembuktian materil, terlebih lagi UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana Penuntut Umum dengan tegas mengacu kepada sistem pembuktian yang dianut dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), bahkan secara tegas Penuntut Umum telah mengutip ketentuan KUHAP sebagai landasan pembuktian dakwaannya.
Majelis Hakim yang kami muliakan,
Sdr. Penuntut Umum yang kami hormati,
Sidang yang kami muliakan,
Bahwa dari kutipan dakwaan Penuntut Umum terdapat beberapa peristiwa yang tidak boleh diabaikan atau disamar-samarkan antara satu peristiwa dengan peristiwa yang lainnya karena tanpa dijelaskan atau dibuktikan setiap unsur peristiwa maka niscaya apa yang akan dibuktikan didalam persidangan bukanlah didasarkan kepada kebenaran yang hakiki tetapi menjadi hal yang bersifat imajinatif dan spekulatif sehingga dirasa sebagai suatu hal yang sangat dipaksakan demi membuktikan suatu dakwaan.
Bahwa untuk menghindari cara-cara yang imajinatif dan spekulatif berikut ini akan kami jelaskan satu persatu sejauh manakah setiap peristiwa straafbarfeit yang didakwakan Penuntut Umum seperti dikutip di atas telah dibuktikan karena seluruh persidangan ini bukanlah untuk membuktikan hal-hal yang bersifat imaginatif tetapi ditujukan untuk membuktikan;
VI. Penggunaan Alat Bukti oleh Penuntut Umum yang Tidak Sah
Alat Bukti yang dipakai tidaklah sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang dikenal dengan nama KUHAP. Dalam surat tuntutan Penuntut Umum tidak cermat dalam membaca kesesuaian peraturan perundang-undangan, dalam requsitoir halaman 26-27 mencantumkan adanya Alat Bukti yaitu Petunjuk. Berdasarkan Pasal 188 ayat (3) KUHAP menyatakan
“Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh Hakim dengan artif lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan berdasarkan hati nuraninya.”
Dalam pasal perlu digaris bawahi yang berhak melakukan dan menemukan suatu alat bukti Petunjuk adalah Majelis Hakim, ini menandakan bahwa Penuntut Umum tidak sepenuhnya memperjuangkan keadilan sebagaimana diucapkan dalam pembukaan surat tuntutan tertanggal 4 Desember 2008. Terlepas dari pemikiran Penuntut Umum yang subjektif, kami ingin menegaskan, bagaimana mungkin tindak pidana korupsi yang di dakwakan kepada saudara Dadang Irawan, MA dapat berjalan dengan koridor hukum yang tepat, sedangkan Penuntut Umum saja tidak menerapkan hukum sebagaimana yang dijelaskan dalam Penjelasan Umum KUHAP angka 3 huruf e yang menyatakan:
“Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan”
Pertanda bagi Penuntut Umum tidak konsekuen dalam menerapkan undang-undang, dimana Penuntut Umum yang memiliki kredibilitas tinggi seharusnya mengetahui dengan cermat apa yang akan digunakannya dalam menerapkan keadilan. Suatu hal yang menjadi dasar dari nilai pembuktian suatu persidangan, dimana Penuntut Umum terlalu memaksakan kehendak dengan mencantumkan PETUNJUK sebagai alat bukti, sedangkan KUHAP mengamanatkan bahwa penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk ditentukan oleh Hakim dan bukanlah oleh Penuntut Umum. Ini menunjukan bahwa Penuntut Umum tidak serius dalam menjalankan tugas dan kewenangannya dengan sungguh-sungguh memperjuangkan keadilan yang tertinggi bagi masyarakat. Dengan demikian, penggunaan alat bukti Petunjuk oleh Penuntut Umum tersebut tidaklah sah karena telah melanggar KUHAP sebagai dasar hukum acara pidana di Indonesia.
Majelis Hakim yang kami muliakan,
Sebelum kami menyampaikan akhir nota pembelaan ini, bersama ini kami hendak menyampaikan beberapa hal, bilaman terdapat perbedaan-perbedaan antara kami selaku Penasehat Hukum Terdakwa dengan Majelis Hakim maupun dengan Sdr. Penuntut Umum, yang kerap menimbulkan ketegangan-ketegangan dan perdebatan sengit dalam skala mempertahankan pendapatannya masing-masing, bersama ini kami Tim Penasehat Hukum berpendapat bahwa setiap perbedaan tersebut berada dalam konteks yang wajar demi tercapainya kebenaran yang meteriil/hakiki, setidak-tidaknya mendekati.
Kami, Tim Penasehat Hukum percaya, bahwa tidak ada kebencian yang melekat pada diri kami atau dendam tetapi hanya didasarkan kepada tanggung jawab untuk menjalankan tugas dan profesi masing-masing dengan sebaik-baiknya yang berpedoman pada etika dan norma hukum yang akhirnya kesemuanya itu berpulang kepada pertanggung jawaban kita masingmasing kepada sang pencipta, Tuhan Yang Maha Kuasa.
Sekarang tibalah kami pada akhir nota pembelaan (pledooi) ini, pada suatu kesimpulan yang kami yakini didasarkan kepada alat-alat bukti yang sah, yang kami serap berdasarkan lima panca indera baik dari keterangan saksi A Charge, keterangan saksi A De Charge, keterangan ahli, bukti surat-surat dan keterangan Terdakwa, maka sesuai dengan hakekat undang Program undang yang berlaku di Indonesia :
Bahwa benar Dakwaan Penuntut Umum menurut hukum tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, karena seluruh unsur Dakwaan Kesatuan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan.
Majelis Hakim yang kami muliakan,
Saudara Jaksa Penuntut Umum,
dan Sidang yang Mulia
VII. Permohonan dan Kesimpulan
Berdasarkan seluruh uraian Pembelaan, perkenankanlah kami memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ini agar:
1. Menyatakan Terdakwa tidak terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum, melakukan tindak pidana yang didakwakan dalam surat dakwaan.
2. Membebaskan Terdakwa dari Dakwaan Primair dan Dakwaan Subsidair tersebut (vrijpraak) sesuai dengan Pasal 191 ayat (1) KUHAP atau setidak-tidaknya melepaskan Terdakwa dari semua tuntutan hukum (onstlag van alle rechtsvervolging), sesuai dengan Pasal 191 ayat (2) KUHAP.
3. Menyatakan barang bukti yang disita dalam perkara ini dikembalikan kepada yang berhak darimana barang bukti tersebut disita;
4. Mengembalikan kemampuan, nama baik, harkat, dan martabat Terdakwa ke dalam kedududkan semula.
5. Membebankan ongkos perkara kepada negara.
Atau apabila Majelis Hakim berpendapat lain mohon putusan seadil-adilnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Akhirnya, tibalah saatnya kami menutup pembelaan ini, dengan mengutip adagium hukum yang selalu kita dengar bersama, walau tidak pernah diterapkan secara konsisten, yaitu Asas In dubio proreo maupun Pasal 183 KUHAP yaitu: “ Lebih baik membebaskan 100 orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah .” Keadilan tidaklah hanya dirasakan untuk menghukum Terdakwa tetapi lebih dari itu Keadilan harus menjadi senjata untuk membebaskan seseorang yang tidak bersalah.
Kiranya Tuhan Yang Maha Kuasa memberkati dan memberikan bimbingan kepada Majelis Hakim agar dapat mengambil keputusan yang seadil-adilnya dalam perkara ini.
Tim Kuasa Hukum TERDAKWA
Fernandes Raja Saor
Tidak ada komentar:
Posting Komentar