28 Februari, 2009

Perkiraan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2009

Perkiraan Tingkat Pertumbuhan Ekonomi Tahun 2009
Hasil Survei Persepsi Pasar yang dilakukan Bank Indonesia terhadap 72 responden pada triwulan IV 2008 seperti yang dikutip VIVAnews, Selasa 27 Januari 2009 menunjukkan, sebanyak 29,4 persen responden memperkirakan pertumbuhan ekonomi tahun 2009 akan melambat dan berada pada rentang 4,5-5,0 persen atau relatif sama dengan rencana pemerintah untuk mengubah asumsi pertumbuhan ekonomi pada APBN-2009 menjadi 4,5-5,5 persen dari sebelumnya 6,0 persen. Beberapa faktor yang dapat menghambat pertumbuhan ekonomi 2009 untuk dapat tumbuh lebih tinggi khususnya dari dalam negeri, dari hasil survei antara lain korupsi, lemahnya penegakan hukum, ketersediaan sumber daya manusia yang bersih dan profesional, tingkat pengangguran, volatilitas nilai tukar rupiah, penurunan kapasitas produksi terpakai, tingkat kemiskinan, situasi perburuhan yang belum kondusif, dan prosedur/perizinan untuk melakukan investasi.
Sebelumnya, pada bulan Oktober 2008, Rapat Panitia Anggaran DPR bersama pemerintah akhirnya menyepakati asumsi dasar RAPBN 2009 dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 6% dari yang diusulkan sebelumnya 6,3%. Menurut Wakil Ketua Panggar, Suharso Monoarfa, pertumbuhan ekonomi itu telah mempertimbangkan perlambatan laju pertumbuhan ekonomi dunia serta mempertahankan prioritas program pembangunan yang telah direncanakan di RKP 2009.
Perkiraan Tingkat Pengangguran Tahun 2009
Pemerintah tetap mengharapkan tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2009 dapat turun menjadi 8, 34%, kendati kondisi perekonomian dunia dan domestik semakin tidak kondusif. Menkeu Sri Mulyani Indrawati mengatakan untuk merealisasikan target tersebut pemerintah telah menyiapkan langkah antisipatif melalui berbagai paket kebijakan antisipatif. Menurutnya, apabila tanpa kebijakan antisipatif maka tingkat pengangguran terbuka pada Agustus 2009 diperkirakan mencapai 8,87%. Sejak 2005, secara konsisten tingkat pengangguran di Indonesia menunjukkan kecenderungan yang terus menurun dari 11,2% pada November 2005 menjadi 8,39% pada Agustus 2008. Sampai dengan Januari 2009, PHK telah terjadi pada industri yang berorientasi ekspor yaitu mencapai sebanyak 24.790 orang, sedangkan yang dirumahkan mencapai 11.703 orang.
Ekonom dari LPEM UI Dr M Chatib Basri memprediksi tingkat pengangguran nasional pada tahun 2009 diperkirakan hanya akan naik sebesar 0,4%. Rendahnya kenaikan ini dapat dicapai jika pemerintah, baik pusat maupun daerah, mau melaksanakan kebijakan stimulus fiskal secara konsisten dan kreatif dalam menciptakan program-program yang bersifat kerakyatan. Pemerintah memperkirakan tingkat penggangguran pada 2009 akan mengalami kenaikan dibanding 2008 akibat turunnya pertumbuhan ekonomi tahun 2009 dibandingkan tahun 2008.
Perkiraan Penurunan Ekspor Tahun 2009
Menteri Perdagangan (Mendag) Mari Elka Pangestu menurunkan target pesimistik ekspor nonmigas di bawah level 4,3 persen pada tahun 2009. Sebelumnya, Mari mengatakan bahwa target ekspor akan terus dievaluasi untuk menyesuaikan dengan perkembangan ekonomi dunia. Departemen Perdagangan meletakkan proyeksi pertumbuhan ekspor tersebut dalam tiga skenario, yaitu skenario optimistis ( 8% ), moderat ( 6% ), dan rendah ( 4,3 % ).
Krisis keuangan di Amerika Serikat sepertinya tetap jadi momok bagi kinerja ekspor Indonesia. Mari Elka mengatakan sudah saatnya Indonesia berupaya meminimalisasi penurunan ekspor tersebut. Antara lain, Indonesia harus mulai melakukan diversifikasi produk, mengalihkan pasar ekspor dari Amerika, Eropa, dan Jepang ke negara lain yang mempunyai potensi bagi produk Indonesia seperti Asia dan Timur Tengah. Pengalihan pasar ini antara lain untuk produk tekstil dan produk tekstil (TPT), sepatu, dan mainan.





26 Februari, 2009

KETENTUAN ANTI-DUMPING: PENGERTIAN DAN STUDI KASUS YANG MELIBATKAN INDONESIA MELALUI WTO

Pengertian Dumping dan Anti-dumping
Praktek anti-dumping adalah salah satu isu penting dalam menjalankan perdagangan internasional guna mewujudkan terciptanya fair trade. Mengenai hal ini telah diatur dalam Persetujuan Anti-Dumping (Anti-Dumping Agreement atau Agreement on the Implementation of Article VI of GATT 1994). Tarif yang mengikat (binding tariff) dan pemberlakuannya secara sama kepada semua mitra dagang anggota WTO merupakan kunci pokok kelancaran arus perdagangan barang.
Peraturan – peraturan WTO memegang tegas prinsip – prinsip tertentu tetapi tetap memperbolehkan adanya pengecualian. Tiga isu utama yang ada didalamnya adalah :
1. Tindakan untuk melawan dumping (menjual dengan harga yang lebih murah secara tidak adil),
2. Subsidi dan tindakan – tindakan imbalan untuk menyeimbangkan subsidi (countervailing measures),
3. Tindakan – tindakan darurat (emergency measures) untuk membatasi impor secara sementara demi mengamankan industri dalam negeri (safeguards).

Jika sebuah perusahaan menjual produknya di negara lain lebih murah dari harga normal pasar dalam negerinya, maka hal ini disebut dumping terhadap produk tersebut. Hal ini merupakan salah satu isu dalam persetujuan WTO yang tidak bersifat menghakimi, tapi lebih memfokuskan pada tindakan – tindakan yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh negara untuk mengatasi dumping. Persetujuan ini dikenal dengan Persetujuan Anti-Dumping (Anti-Dumping Agreement) atau Agreement on the Implementation of Article VI of GATT 1994.
Dalam persetujuan ini pemerintah diperbolehkan untuk mengambil tindakan sebagai reaksi terhadap dumping jika benar – benar terbukti terjadi kerugian (material injury) terhadap industri domestic, dan inilah yang dimaksud dengan anti-dumping, yaitu tindakan/kebijaksanaan pemerintah negara pengimpor terhadap barang dumping yang merugikan industri dalam negeri. Untuk melakukan hal ini, pemerintah harus dapat membuktikan terjadinya dumping dengan memperhitungkan tingkat dumping, yaitu membandingkannya terhadap tingkat harga ekspor suatu produk dengan harga jual produk tersebut di negara asalnya.
Pengertian dumping dalam konteks hukum perdagangan internasional adalah suatu bentuk diskriminasi harga internasional yang dilakukan oleh sebuah perusahaan atau negara pengekspor, yang menjual barangnya dengan harga lebih rendah di pasar luar negeri dibandingkan di pasar dalam negeri sendiri, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan atas produk ekspor tersebut.
Sedangkan menurut kamus hukum ekonomi dumping adalah praktik dagang yang dilakukan eksportir dengan menjual komoditi di pasaran internasional dengan harga kurang dari nilai yang wajar atau lebih rendah daripada harga barang tersebut di negerinya sendiri atau daripada harga jual kepada negara lain, pada umumnya, praktik ini dinilai tidak adil karena dapat merusak pasar dan merugikan produsen pesaing di negara pengimport.
Menurut Robert Willig ada 5 tipe dumping yang dilihat dari tujuan eksportir, kekuaran pasar dan struktur pasar import, antara lain:
1. Market Expansion Dumping
Perusahaan pengeksport bisa meraih untung dengan menetapkan “mark-up” yang lebih rendah di pasar import karena menghadapi elastisitas permintaan yang lebih besar selama harga yang ditawarkan rendah.
2. Cyclical Dumping
Motivasi dumping jenis ini muncul dari adanya biaya marginal yang luar biasa rendah atau tidak jelas, kemungkinan biaya produksi yang menyertai kondisi dari kelebihan kapasitas produksi yang terpisah dari pembuatan produk terkait.
3. State Trading Dumping
Latar belakang dan motivasinya mungkin sama dengan kategori dumping lainnya, tapi yang menonjol adalah akuisisi.
4. Strategic Dumping
Istilah ini diadopsi untuk menggambarkan ekspor yang merugikan perusahaan saingan di negara pengimpor melalui strategis keseluruhan negara pengekspor, baik dengan cara pemotongan harga ekspor maupun dengan pembatasan masuknya produk yang sama ke pasar negara pengekspor. Jika bagian dari porsi pasar domestik tiap eksportir independen cukup besar dalam tolok ukur skala ekonomi, maka memperoleh keuntungan dari besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh pesaing-pesaing asing.
5. Predatory Dumping
Istilah predatory dumping dipakai pada ekspor dengan harga rendah dengan tujuan mendepak pesaing dari pasar, dalam rangka memperoleh kekuatan monopoli di pasar negara pengimpor. Akibat terburuk dari dumping jenis ini adalah matinya perusahan-perusahaan yang memproduksi barang sejenis.
Adapun Kriteria dumping yang dilarang oleh WTO adalah dumping oleh suatu negara yang :
1. Harus ada tindakan dumping yang LTFV (less than fair value)
2. Harus ada kerugian material di negara importir
3. Adanya hubungan sebab-akibat antara harga dumping dengan kerugian yang
terjadi.
Seandainya terjadi dumping yang less than fair value tetapi tidak menimbulkan kerugian, maka dumping tersebut tidak dilarang.
Praktek dumping merupakan praktek dagang yang tidak fair, karena bagi negara pengimpor, praktek dumping akan menimbulkan kerugian bagi dunia usaha atau industri barang sejenis dalam negeri, dengan terjadinya banjir barang-barang dari pengekspor yang harganya jauh lebih murah daripada barang dalam negeri akan mengakibatkan barang sejenis kalah bersaing, sehingga pada akhirnya akan mematikan pasar barang sejenis dalam negeri, yang diikuti munculnya dampak ikutannya seperti pemutusan hubungan kerja massal, pengganguran dan bangkrutnya industri barang sejenis dalam negeri.



Kasus Dumping Korea Selatan – Indonesia
Indonesia sebagai negara yang melakukan perdagangan internasional dan juga anggota dari WTO, pernah mengalami tuduhan praktek dumping pada produk kertas yang diekspor ke Korea Selatan. Kasus ini bermula ketika industri kertas Korea Selatan mengajukan petisi anti-dumping terhadap produk kertas Indonesia kepada Korean Trade Commission (KTC) pada 30 September 2002. Adapun produk kertas Indonesia yang dikenai tuduhan dumping mencakup 16 jenis produk, tergolong dalam kelompok uncoated paper and paper board used for writing, printing, or other graphic purpose serta carbon paper, self copy paper and other copying atau transfer paper.
Dalam kasus dumping kertas yang dituduhkan oleh Korea Selatan terhadap Indonesia pada perusahaan eksportir produk kertas diantaranya PT. Indah Kiat Pulp and Paper Tbk, PT. Pindo Deli Pulp and Mills, dan PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia Tbk, serta April Pine Paper Trading Pte. Ltd, Indonesia berhasil memenangkan sengketa anti-dumping ini. Indonesia telah menggunakan haknya dan kemanfaatan dari mekanisme dan prinsip-prinsip multilateralisme sistem perdagangan WTO terutama prinsip transparansi.
Indonesia untuk pertama kalinya memperoleh manfaat dari mekanisme penyelesaian sengketa atau Dispute Settlement Mechanism (DSM) sebagai pihak penggugat utama (main complainant) yang merasa dirugikan atas penerapan peraturan perdagangan yang diterapkan oleh negara anggota WTO lain. Indonesia mengajukan keberatan atas pemberlakuan kebijakan anti-dumping Korea ke DSM dalam kasus Anti-Dumping Duties on Imports of Certain Paper from Indonesia.
Pada tanggal 4 Juni 2004, Indonesia membawa Korea Selatan untuk melakukan konsultasi penyelesaian sengketa atas pengenaan tindakan anti-dumping Korea Selatan terhadap impor produk kertas asal Indonesia. Hasil konsultasi tersebut tidak membuahkan hasil yang memuaskan kedua belah pihak. Indonesia kemudian mengajukan permintaan ke DSB WTO agar Korea Selatan mencabut tindakan anti-dumpingnya yang melanggar kewajibannya di WTO dan menyalahi beberapa pasal dalam ketentuan Anti-Dumping. Pada tanggal 28 Oktober 2005, DSB WTO menyampaikan Panel Report ke seluruh anggota dan menyatakan bahwa tindakan anti-dumping Korea Selatan tidak konsisten dan telah menyalahi ketentuan Persetujuan Anti-Dumping. Kedua belah pihak yang bersengketa pada akhirnya mencapai kesepakatan bahwa Korea harus mengimplementasikan rekomendasi DSB dan menentukan jadwal waktu bagi pelaksanaan rekomendasi DSB tersebut (reasonable period of time/RPT).
Namun sangat disayangkan hingga kini Korea Selatan belum juga mematuhi keputusan DSB, meskipun telah dinyatakan salah menerapkan bea masuk anti-dumping (BMAD) terhadap produk kertas dari Indonesia, karena belum juga mencabut pengenaan bea masuk anti-dumping tersebut. DSB WTO telah menyatakan Korea Selatan melakukan kesalahan prosedur dalam penyelidikan antidumping kertas Indonesia pada 2003. Untuk itu DSB meminta Korea Selatan segera menjalankan keputusan ini.




Koperasi Sebagai Badan Hukum, Hukum Koperasi (3)

Pendirian Koperasi dan Status Badan Hukum

A. Koperasi adalah Subjek Hukum : Persoonrecht
Dari pandangan Hukum Umum yang saya baca dalam buku General Priciple of Law and State, Hans Kelsen, bahwa yang dimaksud sebagai Subjek Hukum ialah manusia dan badan hukum. Hal ini tertuang dalam berbagai UU termasuk Pasal 1653 hingga 1665 KUH Perdata. Yang unik adalah ketik badan hukum yang tidak memiliki fisik seperti manusia namun dianggap (seolah-olah) sebagai seorang manusia. Sedangkan dalam Pasal 1653 dapat diketahui bahwa jenis perkumpulan (badan hukum), berdasarkan pembentukannya dapat dikategorikan sebagai badan hukum yang didirikan oleh pemerintah, yang diakui keberadaanya, yang diperbolehkan atau diizinkan keberadaanya, dan yang didirikan dengan maksud tertentu oleh siapa saja.
Maka koperasi termasuk dalam kategori badan hukum yang didirikan dengan maksud tertentu yang termaktub dalam Anggaran Dasar. Dengan menjadinya koperasi sebagai badan hukum, koperasi maka harus terpenuhi syarat sahnya badan hukum yakni cakap untuk memiliki kekayaan yang terpisah dengan anggotanya, serta semua yang dilakukan oleh pengurus atas nama badan hukum koperasi merupakan tanggung jawab dari badan hukum koperasi tersebut. Untuk masalah kapan, syarat-syarat serta ketentuan mengenai perolehan status badan hukum sangat kasuistis tergatung pada ketentuan hukum prosedur yang berlaku.

B. Aspek Hukum Perikatan Dalam Pendirian Koperasi
Koperasi sebagai suatu badan hukum pasti memiliki hubungan hukum dengan subjek hukum lainnya seperti pengurus, anggota, maupun pihak ketiga di luar koperasi. Maka setiap hubungan hukum yang terjadi antara para pihak harus mengacu kepada peraturan yang berlaku sebagaimana diatur dalam Bab ketiga tentang perikatan pada KUH Perdata. Pendirian koperasi meupakan aspek hukum pertama yang terjadi dalam ranah hukum koperasi. Dalam praktik sebuah akta pendirian harus disepakati bersama minimal oleh 20 pendiri. Jika akta pendirian yang merupakan perikatan tersebut tidak mengikuti ketentuan syarat sah perjanjian sebagaimana Pasal 1320 – 1337 KUH Perdata maka koperasi tersebut pada saat pendiriannya tidak memiliki dasar hukum sebagai badan hukum.

C. Tujuan, Pendirian, Rencana Usaha, Bentuk, dan Jenis Koperasi
Tujuan mendirikan koperasi adalah untuk membangun sebuah organisasi usaha dalam memenuhi kepentingan bersama-dari para pendiri dan anggotanya-di bidang ekonomi. Letak kekhususan koperasi adalah kesejahteraan para anggotanya baik sebagai pemilik (owner) ataupun sebagai pengguna jasa koperasi (user) yang menjadi tujuan utama.
Walupun UU 12/1992 tentang Perkoperasian memberikan kebebasan mengenai jenis-jenis koperasi, namun dalam penerapannya jenis-jenis ini sangatlah beraneka-ragam. Sedangkan para pendiri koperasi haruslah memikirkan sebuah rencana usaha sebelum menirikan koperasi mengenai setidak-tidaknya bentuk koperasi hingga jenis koperasi yang akan didirikan. Bentuk koperasi yang dikenal umum ialah koperasi primer dan sekunder; sedangakan jenis koperasi yang ada dalam praktek misalnya adalah koperasi produsen, konsumen, industri, simpan pinjam, candak kulak, jasa dan sebagainya; dan terakhir ada juga koperasi biasanya dibentuk oleh kesamaan fungsional anggotanya (mahasiswa, siswa, buruh).

D. Syarat-syarat Pendirian
Syarat utama pendirian koperasi dengan mengacu pada UU 12/1992 tentang Perkoperasian yakni minimal didirikan oleh 20 orang anggota. Setelah anggota menentukan tujuan hubungan hukum, serta anggaran yang setidak-tidaknya harus memuat daftar nama pendiri, nama dan tempat kedudukan koperasi, maksud serta tujuan serta bidang usaha, keanggotaan, Rapat Anggota, pengelolaan, permodalan, jangka waktu berdirinya, pembagian sisa hasil usaha, serta sangksi.

E. Modal Dasar Pendirian
Modal koprasi bisa didaptkan dari dua sumber modal utama yakni modal sendiri, dan modal pinjaman. Modal sendiri terdiri dari simpanan pokok, simpanan wajib, dana cadangan, hibah. Sedangkan modal pinjaman dapat berasal dari pinjaman dari anggota, pinjaman dari anggota koperasi lain, pinjaman dari koperasi lain, pinjaman dari bank dan anggota keungan lainnya, pinjaman dengan cara penerbitan obligasi dan surat utang lainnya, atau sumber-sumber pinjaman lainnya yang sah.

F. Nama dan Domisili Koperasi
Nama koperasi dan Alamat koperasi sangatlah penting dalam menentukan mengidentifikasi suatu koperasi sebagai badan hukum. Hal tersebut hendaknya dimuat dalam anggaran dasar koperasi. Untuk menghindari kesamaan nama yang mungkin saja terjadi maka hendaknya pendiri untuk mengecek kepada lembaga otoritas koperasi agar tidak bertentangan dengan Hak Kekayaan Intelektual, serta kesusilaan dan ketertiban umum dan termasuk juga ketentuan peraturan perundang-undangan.

G. Jangka Waktu Berdirinya Koperasi
Berdirinya koperasi dapat ditetapkan pada awalnya ditetapkan terbatas dalam jangka waktu tertentu atau untuk jangka waktu yang tidak terbatas, sesuai dengan tujuan dan kehendak para pendiri. Penentuan batas waktu ini terkait dengan proses dan tata cara pembubaran koperasi yang ditentukan pada saat jangka waktu tersebut dimuat pada anggaran dasar.

H. Pengesahan dan Penolakan Akta Pendirian oleh Otoritas Perkoperasian
Pada Akta Pendirian atau Anggaran Dasar, harus dicantumkan nama-nama anggota atau orang-orang yang dipercaya untuk duduk dalam organ manajemen koperasi, seperti pengurus, pengelola, dan pengawas yang bersedia untuk menjalankan koperasi. Selanjutnya setelah semua pendiri menandatangani berita acara (minuta) pendirian atau Anggaran Dasar Koperasi di hadapan notasris, dalam waktu yang tidak terlalu lama (umumnya 1 minggu) notaris akan memberikan salinannya kepada semua anggota pendiri. Setelah itu, tanpa perlu menunggu salinan dari notaris, koperasi sudah bisa mulai beroperasi sebagai badan hukum. Koperasi dapat terus saja menjalankan usahanya sementara notaris akan mengajukan koperasi tersebut menjadi badan hukum ke otoritas koperasi. Selama paling lambat 3 bulan sejak diajukan oleh notaris akan dikeluarkan pengesahan akta pendirian koperasi dan diumumkan pula dalam Berita Negara RI. Apabila terjadi penolakan, maka para pendiri (atau melalui notaris) dapat mengajukan kembali permintaan untuk pengesahan setelah semua alasan penolakan tersebut dipenuhi. Pengajuan kembali tidak boleh lewat dari 1 bulan setelah penolakan diterima. Pada saat itulah diketahui apakah koperasi tersabut memiliki status badan hukumnya atau tidak. Namun kemungkinan untuk ditolak juga amat kecil, sepanjang tidak ada hal-hal prinsip yang tidak dapat ditoleransi, misalnya jumlah anggota pendiri, dan derivatif lainnya.

I. Perolehan Status Badan Hukum
Perolehan status badan hukum dimual semenjak sebuah koperasi mendapatkan pengesahan atas akta pendirian atau anggaran dasar di hadapan notaris. Sedangkan pengesahan yang dilakukan di otoritas koperasi sebenarnya hanya bertujuan sebagai registrasi atau pencatatan di lembaga pemerintahan dan pengumuman dalam Berita Negara RI untuk memudahkan kantor urusan koperasi melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap koperasi-koperasi yang didirikan di Indonesia. Dengan mendapatkan status badan hukum berarti sebuah badan usaha koperasi menjadi subjek hukum yang memiliki hak dan kewajiban. Sehingga, terhadap pihak ketiga dapat dengan jelas dan tegas mengetahui siapa yang dapat diminta bertanggung jawab atas jalannya usaha badan hukum koperasi tersebut. Dalam kedudukan tersebut apabila dikemudian hari misalnya ternyata koperasi melakukan perbuatan melawan hukum (Pasal 1365 KUH Perdata) terhadap pihak ketiga misalnya, akan dapat ditentukan siapa yang bertanggung jawab secara hukum terhadap tindakan melawan hukum tersebut; apakah badan hukum koperasi, manajer, atau para anggotanya. Pertanggungjawaban tersebut secara kasuistis dilihat dari sejauh mana tingkat keterlibatan kesalahan setiap anggota maupun pengurus sebagai organ dwitunggal dalam koperasi. Sedangkan anggota koperasi hanya akan bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh koperasi sebatas jumlah simpanan yang mereka setorkan.
Dengan menggunakan logika, maka ketika koperasi sudah berupa badan hukum, maka secara tegas harus diatur pula tentang hal-hal pembubaran badan hukum koperasi. Apabila terjadi pembubaran maka para anggota hanya bertanggung jawab sebatas simpanan pokok, simpanan wajib, dan modal penyertaan yang disetorkannya. Dalam hal anggota koperasi yang memberikan pinjaman pribadi pada koperasi, ia mempunyai posisi yang sama dengan para kreditur lain dalam hal menuntut pelunasan piutang kepada badan hukum koperasi.
J. Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Merupakan Aturan Main Dalam Sebuah Koperasi
Pada hakikatnya, anggaran dasar koperasi merupakan kumpulan ketentuan dan peraturan yang dibuat oleh para pendiri koperasi atas dasar kesepakatan bersama; yang berlaku sebagai undang-undang –by laws- terhadap anggota koperasi. Maka dapatlah dikatakan bahwa anggaran dasar tersebut berlaku sebagai dokumen persetujuan, kontrak, ataupun perjanjian antar pendiri, karena anggaran dasar sebagai perjanjian haruslah ditaati dan berlaku sebagai undang-undang yang mengikat bagi pembuatnya (pasal 1338 KUH Perdata) sebagai kekuatan derivatif dari hukum perikatan.

K. Perubahan Anggaran Dasar Koperasi
Perbedaan mencolok antara perubahan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga ”sebelum” dan ”sesudah” koperasi berstatus badan hukum dapat dilihat dari beberapa sudut pandang. Dari subjek yang melakukan perbahan, pada saat koperasi belum menjadi badan hukum yang melakukan perbahan ialah para pendiri, sedangkan ketika koperasi telah menjadi badan hukum maka yang melakukan perubahan ialah rapat anggota atau sesuai dengan anggran dasar sebelumnya. Setiap perubahan yang terjadi pada saat sebelum koperasi menjadi badan hukum hanya berpengaruh kepada jangka waktu pendaftran koperasi pada otoritas berwenang saja yakni 3 bulan setelah permohonan yakni sejak permohonan perubahan terakhir. Kemudian perubahan anggaran dasar setelah koperasi berbentuk badan hukum yang sangat tergantung pada seberapa mendasarnya perubahan (misalnya perubahan nama koperasi, perubahan struktur modal, dll) maka perubahan yang dihasilkan harus mendapat pengesahan dari otoritas yang berwenang. Namun jika tidak menyangkut pasal-pasal yang mendasar maka tidak perlu mengajukan permintaan pengesahan dari otoritas yang berwenang melainkan cukup dibuat dalam bentuk akta autentik saja.

Diringkas dari Buku Hukum Koperasi, Anjar Pachta



22 Februari, 2009

Sejarah Peraturan Perundang-undangan Koperasi di Indonesia, Hukum Koperasi (2)

Kronologis dan Sejarah tentang Koperasi di Indonesia
A. Sebelum UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
a. Verordening op de Cooperatieve Verenigingen (Stb. 431/1915)
Merupakan regulasi pertama yang berlaku bagi semua golongan penduduk (Pasal 131 IS) yang ada di Indonesia. Peraturan ini timbul atas adnya kekosongan hukum akan pengaturan koperasi padahal telah berdiri berbagai bentuk badan hukum koperasi seperti koperasi E Sieburg, gerakan Budi Utomo, dan Serikat Islam. Definisi Koperasi pada Regulasi ini adalah, “perkumpulan orang-orang dimana orang-orang tersebut diperbolehkan untuk keluar masuk sebagai anggota, yang bertujuan untuk meningkatkan kemakmuran anggotanya, dengan cara bersama-sama menyelenggarakan suatu system penghidupan atau pekerjaan, atau secara bersama-sama atau secara bersama-sama menyediakan alat perlengkapan atau bahan-bahan keperluan mereka, atau secara memberikan uang muka atau kredit”.
Dengan menggunakan asas konkordansi, maka ketentuan yang ada di Belanda dapat dikatakan sama seperti yang tertuang pada Verordening op de Cooperatieve Verenigingen. Sistem yang diberlakukan di Belanda yang ditanam tanpa penyesuaian ternyata malah menyusahkan penduduk golongan III yakni Pribumi. Mereka dalam mendirikan badan usaha koperas harus memiliki prasyarat mulai dari Akta Notaris, akta pendirian berbahasa Belanda, matrai, hingga pengumuman di surat kabar Javasche Courant. Biaya yang dikeluarkan oleh pelaku usaha yang ingin membuat koperasi pada saat itu sangatlah besar sehingga Verordening op de Cooperatieve Verenigingen dirasa tidak member manfaat dan ditentang habis-habisan oleh kaum pergerakan nasional.
b. Regeling Inlandsche Cooperatieve Verenigingen (Stb. 91/1927)
Ketika momentum yang tepat yakni pada saat politik balas budi Belanda baru saja didengungkan, perjuangan para nasionalis akan keengganan regulasi Verordening op de Cooperatieve Verenigingen berbuah hasil, dengan keluarnya “Regeling Inlandsche Cooperatieve Verenigingen”. Sehingga dalam penerapannya Verordening op de Cooperatieve Verenigingen menjadi untuk Gol. I dan Gol II, sedangkan Regeling Inlandsche Cooperatieve Verenigingen hanya untuk Gol. III saja. Peraturan Koperasi ini menundukan pada Hukum Adat dan bukan pada BW ataupun MvK.
Desakan liberalistik dari pasar tanah air atas bentukan Belanda pada saat itu membuat kemudahan demi kemudahan yang ditawarkan oleh Regeling Inlandsche Cooperatieve Verenigingen tidak berarti dan masih saja membuat koperasi di Indonesia sulit berkembang. Buktinya adalah dari 172 yang tercatat dan 1540 kopersi tidak tercatat makin hari jumlahnya makin menurun karena tidak puas dengan hasil yang dicapai kopersi pada priktiknya.
c. Algemene Regeling op de Cooperatieve Verenigingen (Stb. 108/1933)
Algemene Regeling op de Cooperatieve Verenigingen, merupakan perubahan dari Verordening op de Cooperatieve Verenigingen yang berlaku bagi Gol. I, II dan III, namun disisi lain peraturan Regeling Inlandsche Cooperatieve Verenigingen untuk Gol. III masih tetap berlaku. Pada masa ini atas kebijakan penghematan maka Departemen Ekonomi atas anjuran dari Jawatan Koperasi mendirikan gabungan dari pusat-pusat koperasi di Hindia Belanda yang dinamakan Moeder Centrale. Sedangkan usaha menyuntikan dana segar sebesar f-25.000.000 untuk koperasi, menjadi gagal total dengan keluarnya Ordonantie op Inlandsche Maatshappji op Aandeelen yang memudahkan pelaku usaha berkembang dengan menggunakan Maskapai Andil dan bukan Koperasi yang dicanangkan pada saat adanya Algemene Regeling op de Cooperatieve Verenigingen. Pada kesimpulannya bahwa keberatan-keberatan untuk pembentukan koperasi yang tadinya ada, sejak Algemene Regeling op de Cooperatieve Verenigingen sudah dinyatakan tidak berlaku lagi.
d. Regeling Cooperatieve Verenigingen (Stb. 179/1949)
Regulasi yang pertama kali dicetuskan sejak kemerdekaan Indonesia ini, timbul karena krisis yang berkepanjangan mulai dari agresi militer Belanda, hingga pemberontakan PKI. Regulasi ini mengubah definisi koperasi dengan menambahkan unsur syarat pendiriannya. Hal ini diluncurkan mengantisipasi Konfrensi Meja Bundar yang dilaksanakan sebelum Regeling ini dibuat. Pada saat regulasi ini berlaku banyak hal yang terjadi mulai dengan adanya Kongres Pertama Koperasi seluruh Indonesia, yang hari 12 Juli 1947 dijadikan sebagai, “Hari Koperasi”, adanya Bank Koperasi Provinsi, hingga pembekuan oleh Mentri Kehakiman atas Algemene Regeling op de Cooperatieve Verenigingen.
e. Undang-Undang Tentang Perkumpulan Koperasi (UU 79/1958)
Pembuatan UU yang sangat tergesa-gesa ini dirasakan oleh banyak kalangan saat itu tidak membawa banyak perubahan. Namun UU yang mencabut Regeling-regeling sebelumnya tentang koperasi ini, memodifikai prinsip dengan menyerap prinsip koperasi Rochdale. Definisi Koperasi dalam UU ini disebutkan bahwa koperasi ialah sebuah perkumpulan yang beranggotakan orang-orang atau badan-badan hukum yang tidak merupakan konsentrasi modal dengan berasaskan kekeluargaan, bertujuan meningkatkan kesejahteraan anggotanya, mendidik anggotanya, berdasarkan kesukarelaan, dan dalam pendiriannya harus menggunakan akta yang didaftarkan. Organisasi koperasi pada saat regulasi ini berlaku dipadandang sebagai alat perjuangan di bidang ekonomi melawan kapitalisme, dengan berprinsip dengan tidak mencari keuntungan (non-profit) tetapi mengutamakan pelayanan (service). Istilah saham yang biasa dikenal di Perseroan Terbatas, ternyata diganti menjadi “Simpanan Pokok”, yang memiliki fungsi yang lebih sosial yang mengajarkan kehidupan menabung dan kesedian anggotanya untuk berpartisipasi.
f. Peraturan Pemerintah tentang Perkembangan Gerakan Koperasi (PP 60/1959)
Peraturan Pemerintah tentang Perkembangan Gerakan Koperasi masih mengacu kepada norma peraturan perundang-undangan diatasnya yakni Undang-Undang 79/1958 Tentang Perkumpulan Koperasi. PP ini menyodorkan konsep pengaturan lebih lanjut mengenai tujuan koprasi atas dorongan, bimbingan, perlindungan serta pengawasan gerakan koprasi yang lebih terjamin secara serentak, tepat guna, berencana, dan terpimpin. Peralihan menjadi demokrasi Terpimpin menyebabkan koprasi juga harus menyesuaikan yakni dengan menjabarkan peranan koprasi yakni menyelenggarakan kegiatan ekonomi, meningkatkan taraf hidup, serta membina dan mengembangkanswadaya dan daya kreatifrakyat sebagai perwujudan masyarakat gotong royong.
g. Instruksi Presiden Nomor 2 dan 3 Tahun 1960
Sebagai peraturan pelaksana dari Peraturan Pemerintah tentang Perkembangan Gerakan Koperasi, Instruksi Presiden Nomor 2 dan 3 Tahun 1960, mengungkapkan pembentukan Badan Penggerak Koprasi sebagai wadah tunggal kerjasama antar jawatan koperasi dan masyarakat. Inpres yang mengatur campur tangan pemerintah terlalu dalam ini berakibat pada rusaknya mentalitas idiil koprasi dengan suburnya praktek mencari keuntungan dengan menjual barang-barang karena adanya kemudahan merendahkan harga kebutuhan pokok jikalau dijual oleh koprasi. Disisis lain bahwa pendidikan mengenai kopersi meningkat pesat sekali, dengan memasukkan dalam setiap jenjang pendidikan. Ketentuan Ipres ini jelas-jelas telah menabrak Pasal 27 ayat (1), dan (2) UUD 1945, dengan adanya pemecatan atas pegawai yang tidak bisa mengikuti garis-garis besar perkoperasian, sehingga akibat lebih lanjutnya ialah Muhammad Hatta mengundurkan diri untuk tidak menjadi Wakil Presiden dan koperasi kehilangan tokohnya yang dudud di Pemerintahan.
h. Undang-Undang Tentang Pokok-pokok Perkoperasi (UU 14/1965)
Undang-undang sebagai pengejahwantahan prinsip nasakom ini mengebiri prinsip koperasi yang telah ada di Indonesia. Koperasi didefinisikan sebagai organisasi eonomi dan Alat Revolusi yang berfungsi sebagai tempat persemaian insane masyarakat serta wahana menuju sosialisme Indonesia beradasarkan Pancasila. Kemudian pengesahan UU ini pada saat Musyawarah Nasional Koperasi memperlihatkan sensasinya kepada dunia dengan keluarnya Indonesia dalam keanggotaan di International Coperative Allliace (ICA).
i. Undang-Undang Tentang Pokok-pokok Perkoperasi (UU 12/1967)
Undang-undang racikan pemerintahan Orde Baru, Soeharto ini mendapatkan tanggapan positif dari semua perkumpulan koperasi karena kembalinya hakikat koperasi itu sendiri. UU yang memurnikan asas koperasi yang sejati dan menyingkirkan depolitisasi koperasi ini secara tegas mencabut UU 14/1965 tentang perkoperasian. Hubungan baik yang sempat terputus dengan ICA kembali diperbaiki pada berlakunya UU 12/1967. Koperasi didefinisikan sebagai organisasi-organisasi rakyat yang berwatakkan social, beranggotakan orang-orang, atau badan-badan hukum koperasi yang merupakan tata susunan ekonomi sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan. Ini merupakan UU pertama yang menjadikan koperasi adalah badan hukum apabila koperasi tersebut telah menyesuaikan diri dengan UU 12 Tahun 1967.
B. Sesudah UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
a. UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian
Undang-undang ini hadir atas ketidakjelasan aturan main di lapangan mengenai jati diri, tujuan, kedudukan, peran, manajemen, keusahaan, permodalan, serta pembinaan koperasi untuk lebih menjamin terwujudnya kehidupan koperasi sebagaimana diamanatkan UUD 1945. Pengaturan koperasi sebagai badan hukum semakin jelas pada definisi koperasi menurut UU 25 Tahun 1992 yakni badan hukum yang beranggotakan orang-orang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi serta berdasar pada asas kekeluargaan.

b. UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah
Undang-undang yang menyiratkan bahwa usaha miko, kecil, dan menengah ini secara tegas menyuratkan bahwa pembiayaan usaha mikro kecil dan menengah, ini bisa didorong melalui koperasi simpan pinjam dan koperasi jasa keuangan konvensional dan syariah. Dengan keluarnya UU ini diharapkan untuk semakin berkembangnya usaha koperasi untuk membiayai usaha usaha mikro kecil dan menengah sebagaimana pasal 22 UU 20/2008.

Diringkas dari Buku Hukum Koperasi, Anjar Pachta

Pemahaman Dasar Koperasi, Hukum Koperasi (1)

PEMAHAMAN DASAR KOPERASI
A. Ideologi Perekonomian
Kapitalisme, serta Sosialisme merupakan ideologi perkonomian perekonomian yang dijadikan mainstream untuk berbagai negara yang saling bertolak belakang.
Ideologi Pereokonomian Kapitalis
Ideologi Perekonomian Sosialis
Ideologi Perekonomian Koperasi
B. Pengertian Koperasi
Black Laws Dictionary, while having a corporate existence, is primarly an organization for purpose of providing services and profit to its member and not for corporate profit.
International Labour Organization, usually of limited means, who have voluntarily joined together to achieve a common economic and through the formation of a democratically controlled business organization, making equitable contribution to the capital required and accepting a fair share of the risks and benefits of the undertaking.
UU Perkoperasian 25 Tahun 1992, badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan.
UU Perkoperasian Tahun 2008 (new)
Paul Hubert Casselman,an economic system with system with social contrast.
R.M. Margono Djojohadikoesoemo, perkumpulan manusia seorang-seorang yang dengan sukanya sendiri hendak bekerjasama untuk memajukan ekonominya.
Soeriaatmaja, suatu perkumpulandari orang-orang yang atas dasar persamaan derajat sebagai manusia dengan tidak memandang haluan agama dan politik dan secara sukarela masuk untuk sekedar memenuhi kebutuhan bersama yang bersifat kebendaan atas tanggungan bersama.
Wirjono Prodjodikoro, bersifat suatu kerja sama antara orang-orang yang termasuk golongan kurang mampu, yang ingin bersama untuk meringankan beban hidup atau beban kerja.
Mohammad Hatta, usaha bersama untuk memperbaiki nasib penghidupan ekonomi berdasarjan tolong-menolong.
Unsur Pokok yang sama dalam koperasi :
a) Merupakan perkumpulan orang, bukan semata perkumpulan modal.
b) Adanya kesamaaan bauk dalam tujuan, kepentingan maupun kegiatan ekonomi.
c) Usaha yang bersifat sosial.
d) Bukan bertujuan untuk keuntungan badan koperasi tetapi untuk kesejahteraan anggota
e) Diurus bersama dengan semangat kebersamaan dan gotong royong.
f) Netral, Demokratis, Pendidikan, Moral
g) Menghindari persaingan antaranggota,
h) Merupakan suatu sistim
i) Sukarela, Mandiri dengan kepercayaan diri, Keuntungan dan manfaat sama
j) Pengaturan beragam setiap Negara, namun dengan prinsip koperasi yang sama.
C. Hakikat Koperasi
Tujuan Koperasi : (unsur ekonomi dan unsur sosial)
ekonomi : kopersi harus bermotifkan ekonomi atau mencari keuntungan. Sosial : demokratis, kesamaan derajat, kebebasan keluar masuk anggota, calon anggota, persaudaraan, pembagian sisa hasil usaha.
Sifat Koperasi :
kerjasama antar anggota yang masuk golongan kurang mampu dalam hal kekayaan (klien luiden) yang ingin meringankan beban hidup dan beban kerja. Serta masing-masing peserta koperasi tidak cukup kaya sehingga membutuhkan pekerjaan untuk mencapai tujuan.
Nilai Koperasi :
Kemandirian , bertanggung jawab, demokrasi, kesetaraan, keadilan, solidaritas. Sedangkan nilai anggotanya ialah : kejujuran, keterbukaan, tanggung jawab social, dan perhatian terhadap sesama.
Prinsip Koperasi :
7 Prinsip Koperasi : (1) organisasi sukarela yang terbuka terhadap setiap orang, (2) organisasi yang demokratis yag dikontrol oleh anggotanya, (3) anggota berkontribusi secara adil serta pengawasan secara demokrasi terhadap modal koperasi, (4) organisasi mandiri yang dikendalikan oleh anggota-anggotanya, (5) menyediakan pendididkan dan pelatihan untuk anggota untuk dapat berkontribusi dalam koperasi, (6) melayani anggota-anggotanya dan memperkuat gerakan koperasi dengan kerjasama, (7) bekerja untuk perkembangan yang berkesinambungan atas kontinuitasnya.
Prinsip Koperasi Rochdale : 10 Prinsip Koperasi : (1) masuk dan berhenti menjadi anggota atas dasar sukarela, (2) seorang anggota memiliki hak satu suara, (3) netral terhadap agama dan aliran politik manapun juga, (4) siapa saja dapat diterima sebagai anggota, (5) pembelian dan penjualan secara tunai, (6) pembagian keuntungan berdasarkan pembelian dan jasa anggotanya, (7) penjualan disamakan dengan harga setempat, (8) kualitas dan ukuran timbangan harus terjamin, (9) mengadakan pendidikan untuk anggotanya, (10) pembagian keuntungan harus dicadangkan untuk besarnya modal, sebagai dana untuk pendidikan.
Jenis Koperasi :
Koperasi Konsumsi : menyediakan barang konsumsi anggotanya
Koperasi Produksi : menghasilkan barang bersama.
Koperasi Simpan Pinjam : menerima tabungan dan member pinjaman.
Koperasi serba ada : campuran
Berdasarkan tingkatannya :
Koperasi Primer : angotanya masih perseorangan
Koperasi Sekunder : anggotanya gabungan koperasi atau induk koperasi
D. Sejarah Awal Koperasi Di Dunia
Koperasi Pertama di Dunia  Koperasi Kedua Di Dunia  Koperasi Richdale  Robert Owen, William King, dan Charles Howard
E. Sejarah Awal Koperasi Indonesia
Koperasi E. Sidenburgh dan Raden Aria Wiria Atmajaya  Koperaso Simpan pinjam De Wolf van Westerrede Koperasi Rumah Tangga Budi Utomo dan Gunawan Mangunkusumo  Koperasi Serikat Dagang Islam.
F. Koperasi dalam Cabang Ilmu Pengetahuan Hukum
Posisi Ilmu Hukum Koperasi di dalam ilmu hukum berada dalam cabang ilmu hukum perdata, yang meliputi hamper semua aspek dalam BW pada keempat bukunya tetapi terlebih-lebih pada buku ketiga BW tentang perikatan. Ilmu Hukum Koperasi sebagai bagian Ilmu Hukum Perusahaan dapat disamakan dengan hukum tentang Persekutuan Perdata, Firma, Yayasan, CV.
Aliran Koperasi ternyata terdiri dari berbagai Mazhab berdasarkan tujuan :
Competitive Yardstuick-School : menginginkan koperasi agar tumbuh dan berperan sebagai penghilang dampak burung yang timbul dari aliran perekonomian kapitalisme.
Cooperative Commonwealth School : menginginkan agar koperasi dapat menguasasi kehidupan ekonomi dan swasta pada tempat kedua saja.
Socialist School : menginginkan untuk menjadikan kopersi sebagai batu loncatan untuk mencapai sosialisme.
Aliran Pendidikan : meninginkan kopersasi untuk meningkatkan kualitas pendidikan terlebih dahulu baru kemudian untuk tujuan ekonomi
Aliran Nimes : menginginkan koperasi berdasarkan agama dan falsafah.
Aspek Hukum Kopersi : Aspek Hukum Pasar Modal, Hak Kekayaan Intelektual, Persaingan Usaha yang Sehat, Perpajakan, Kepailitan, Perbankan, Perlindungan Konsumen, Ketenagakerjaan, Hubungan Luar Negri, Pidana.

Diringkas Dari Buku Hukum Koperasi Karangan Anjar Pachta dkk

International Environmental Law

  1. Introduction

Human existence is very dependent on the existence of its surroundings, in this context, the environment. Over decades, human continuously exploited the earth however this exploitation is not balanced with the preservation and the protection to the environment itself. In early 1970's, the first modern environmental movement was established. It started when people started to realize the impact of neglecting the environment. One of the starting points is the Minamata Case in Japan.  It started in 1970’s where several people were contaminated with mercury, one of the most dangerous carcinogenic substances. The most tragic result is that this contamination is descendible.

Many countries have tried to enact their own law to overcome this issue. But environmental issue is unpredictable one. The environmental issue is not a certain nation problem, since it may create a domino effect and may go beyond the national boundaries.  Thus, one country’s action is insufficient. International cooperation is required, having in mind the scale of the environmental issue. This is when the International Environmental Law takes the role to conform this issue, since the environmental issue has become the global concern.

  1. Sources of International Environmental Law.

Every principles of international law developed from necessity or problems. These principles were codified into a well established law in such form to make the law itself binding and enforceable. The international environmental law was first established based on environmental problems that crossed the borders among nations.

The very first environmental problems that established a principle of international environmental law were the utilization of water between neighboring countries. The existence of absolute territorial sovereignty[1] which exemplified by the Harmon Doctrine in 1895 which granted unrestricted sovereignty concerning its territorial waters, without consideration of downstream States or possible interests of other neighboring states. This of course created a rejection mostly by downstream States that converting the absolute territorial sovereignty theory to restricted territorial sovereignty theory. This controversy between the upstream and downstream States was settled agreements leading to a principle of reasonable utilization of waters.

The disappearance of absolute territorial doctrine was brought by arbitration court decisions in 1941 and 1957 and ICJ decision in 1949. According to the Trail Smelter Case arbitral award of 1941, no State has the right to make use of its own territory in any manner that might lead to emissions causing serious and clearly provable damage to the territory of another States or the property of its residents.[2] The 1957 Lac Lanoux Case arbitral award held that, if changes to a section of a river would severely impair water interests of another State (or States), such changes would not be legally permissible. Furthermore, the Corfu Channel Case in 1949 emphasize that a State is legally bound not to permit the use of its territory for the purpose of committing acts contrary to international law or causing serious and clearly provable damage to a neighboring State.[3] These cases lead to restricted territorial sovereignty principle which granted the restricted sovereignty of the utilization of its territory but not to cause environmental damage beyond its national territory.

  1. Traditional Sources
  1. Treaties

The definition of a treaty itself can be found in the Article 2.1(a) of the Vienna Convention on the Law of Treaties “as an international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation”. Various alternative terminologies include convention, protocol, covenant, pact, act, etc.

The treaties were made to create an enforceable obligation that can be imposed to its parties. In its development, the treaties do not only become the codification of international principles. But further, the treaties become the starting point of new international principles to be accepted internationally. One of the examples is the UNCLOS 1982, where there are new international principles such as Exclusive Economic Zone, International Seabed Area that later become acknowledged and accepted internationally by virtue of customary international law.

There are three basic steps required before the conclusion of any international agreements: 1) negotiation; 2) signature; and 3) ratification.[4]

The first step of treaty-making is the negotiation. A State discusses certain issues with other States to achieve the desired goal that favors all parties. Nowadays, negotiations are initiated by a State to recommend an international organization to establish a committee or convene an international conference to consider a particular issue. The host organization will then organize preparatory committees, working groups of technical and legal experts, scientific symposia and preliminary conferences. During these informal discussions, information is spread, the preliminary positions of interested States are established, the parameters of a possible agreement are narrowed, and the slow process of building international consensus begins. Generally draft conventions are prepared with significant participation by the interested parties, and many disagreements among States are likely to be ironed out before the final conference concludes[5].

Before the negotiation phase of the treaty-making process can be concluded, and the treaty “opened’ for signature and ratification, the text must be adopted. Unless a State has specified otherwise, adoption of a treaty text does not make the treaty binding on that State. Adoption only indicates the agreement that the text of the treaty is acceptable. When the final draft of the treaty has been adopted, it must be authenticated by a representative of each State, generally by signing the treaty. A State’s signature on a treaty generally does not construe its consent to be bound by the treaty, however, a State does agree to refrain from acts “which would defeat the object and purpose of the treaty[6], until it has made clear its intention not to become a treaty party.[7]

The last step is ratification, where a State declares its consent to be bound by the concluded treaty. No treaty enters into force for a specific State until that State has ratified the treaty and deposited and instrument of ratification with the appropriate depositary, and any pre-conditions of the treaty’s entry into force have been satisfied. If the treaty makes no special provision for entry into force, it enters into force as soon as all the negotiating States have ratified. More often, however, the treaty will provide for its entry into force after a certain minimum member of States have ratified, even if other States have not[8].

The typical international law treaty is interpreted according to the rules of the customary law codified in the Vienna Convention on the Law of Treaties. However, there are additional considerations affecting the interpretation of treaties on the environment. Interpretation of these treaties often differs from standard interpretive principles because the treaties themselves often lay out different standards for developing as opposed to developed countries and for regional aggregations. Moreover, treaties in the international environment area often contain incentives for different groups of countries to ratify the treaty and/or to enter into separate protocols.[9]

  1. Customary international law

A customary international law is binding on all nations with all of their requirements, as it has been generally accepted as a rule of conduct. To prove that such customary law exists, we need to identify State practice and opinio juris.[10] State practice is similar policies that have been conducted by many States in a widespread and consistent manner. Whether State practice has been sufficiently consistent to establish a customary practice will generally depend on the facts of the case. Acts must also occur out of sense of legal obligation (opinio juris), rather than from a sense of moral obligation or political expediency. Such existence of opinio juris is a factual matter that can be seen from, among other things, government policy statements and press releases, opinions of legal advisors, official manuals on legal questions, and other evidences.

An example of customary international law relevant to the international environmental law is the Principle 21 of Stockholm Declaration:

States have, in accordance with the Charter of the United Nations and the principles of international law, the sovereign right to exploit their own resources pursuant to their own environmental policies, and the responsibility to ensure that activities within their jurisdiction or control do not cause damage to the environment of other States or of areas beyond the limits of national jurisdiction.

 

The principle above explains that a State should not use its territory in a way that causes harm outside that territory, or in other terms, ‘Good Neighborliness’. Many States practice this principle and have legally obliged to do so.[11]

An example of international environmental law custom would not be complete without the mention of the Trail Smelter Arbitration case. This becomes the cause celebre dealing with air pollution. The facts suggest an unusual transboundary air pollution scenario, without the usual causation problems due to multiple polluters and multiple delivery streams. In this situation a single identifiable polluter – a smelter plant owned by a Canadian corporation and located in Canada – was found by an arbitral tribunal to have caused air pollution damage to a region of the State of Washington (United States). In the next stage of the bifurcated proceedings the tribunal held Canada itself responsible for the pollution damage, providing injunctive relief and a monetary award. In dealing with the doctrine of state responsibility, the tribunal made the following decision[12]:

The Tribunal, therefore, finds that the above [U.S. domestic] decisions, taken as a whole, constitute an adequate basis for its conclusions. Namely, that, under the principles of international law, as well as of the law of the United States, no state has the right to use or permit the use of its territory in such a manner as to cause injury by fumes in or to the territory of another or the properties or persons therein, when the case is of serious consequence and the injury is established by clear and convincing evidence[13].

 

This decision has crystallized into the international environmental law principle against transboundary environmental harm that was restated in the Principle 2 of the 1992 Rio Declaration and the Principle 21 of the Stockholm Declaration. The basic premise of Trail Smelter has evolved into a well-accepted rule of customary international law – restated in a myriad of international, regional and bilateral agreements. Taking into account the sovereign right to development, one country may not cause significant transboundary environmental harm to another.

The judgment of the ICJ in the Corfu Channel Case supports a similar conclusion, although the context is rather different and its application to the environment more doubtful. Here the Court held Albania responsible for damage to British warships caused by a failure to warn them of the mines in territorial waters, and it indicated that it was ‘every state’s obligation not to allow knowingly its territory to be used for acts contrary to the rights of other states. This judgment does not suggest what the environmental rights of other states might be, and its true significance may be confined to a narrower point about warning other states of known dangers[14]. States have the right to protection from environmental harm, and for this reason, it is legitimate to view the Corfu Channel case as authority for a customary obligation to give warning of known environmental hazards.

 

  1. General Principles of International Law

General principles of international law recognized by civilized nations is based on the concept of the certain principles existed in so-called ‘natural law’, principles of ‘objective justice’ that could be identified by all rational human beings. In practice, there is no such codification on the principles of the general principles itself. However, the International Courts, namely PCIJ and ICJ have relied in these principles in certain cases. This gives the legitimate reason that the International Courts are the legitimate body to give decision whether or not certain principles that widely known and practiced can be regarded as general principles of international law.

In international environmental law, International Courts have relied on several principles that were considered by the Courts the general principles of international law. In Diversion of Water from the Meuse Case[15] in 1937, PCIJ considered the ‘equitable principles’ might be derived from ‘general principles of law recognized by civilized nations’.[16] In the Chorzow Factory Case, the Court enunciated the general principles of state responsibility and reparation, including the principle of restutio in integrum.[17] These principles are the fundamental principles of international environmental law that later codified into the Declarations, such as Stockholm and Rio Declaration.

 

  1. Judicial Decisions and the Writings of Eminent Publicists

In addition to treaties, customary norms, and general principles, article 38 of the ICJ Statute lists judicial decisions and the writings of highly qualified publicists as subsidiary means for determining international law.

International jurists may take guidance from the principles and reasoning employed by the judges in national courts, even though those decisions are not, themselves, international law. Likewise, the writings of publicists may help States and courts determine what the law is, and may help decision-makers decide what the law should be, but they have no independent force[18].

  1. Non-Traditional Sources: ‘Soft Law’

‘Soft law’ is a non legally-binding international agreement, but it became the ‘written norm’ that includes several obligations that have to be complied by the parties.  This ‘soft law’ has a considerable degree of discretion in interpretation and on how and when to conform the requirements is left to the participants. Other scholars called this ‘soft law’ as a ‘pledge’.[19] Soft law are often within the context of so-called ‘framework’ or ‘umbrella’ treaties, in a way that does not fit neatly into the categories of legal sources referred in Article 38 (1) of the ICJ Statute. These instruments are clearly not law in the sense used by that article but nonetheless they do not lack all authority, they are carefully negotiated and carefully drafted statements which have some normative significance despite their non-binding, non-treaty form[20].

The soft law norms were recognized first in the protection of the human environment after the Stockholm Conference, one of the consequences of which was the creation of a special subsidiary organ of the UN General Assembly devoted to the promotion of both universal and regional environmental law, the United Nations Environment Program (UNEP). This soft law is preferred by the countries than the ‘hard law’ since it is not legally binding to its members and also it is open for their own. However the soft law provides the guidelines that must be complied by its members even with their own interpretation. Thus the purpose of the agreements will be nonetheless achieved.

 The action of non-governmental organizations (NGOs) has also contributed to the enunciation of ‘soft law’ principles regarding the environment. The International Law Association (ILA), for example, adopted an influential resolution in 1966 known as the Helsinki Rules on the Use of Waters of International Rivers which was expanded and enlarged by the same institution in 1982 with the adoption of the Montreal Rules of International Law Applicable to Transfrontier Pollution. The Institute of International Law (IIL) has played an equally important role by promulgating resolutions on the Utilization of Non-Maritime International Waters; on the Pollution of Rivers and Lakes and International Law; and on Transboundary Air Pollution.

The soft law plays a significant role in the development of the international environmental law, since can set standards of best practice or due diligence to be achieved by the parties in implementing their obligations.

  1. Subjects of International Environmental Law

A.    Traditional Subject

  1. States

State is the main subject for international environmental law. State has become a classic subject of international law since the birth of international law.

State sovereignty is the primary subject of International Environmental Law-indeed all international law- because it’s the fundamental base between the state’s interests to protect its independence towards international involvement. Sovereignty in the legal sense signifies the right to exercise, within portion of the globe and among other states, the function of the states to exercise a jurisdiction and enforcement of laws over person therein[21]. The sovereignty that a state possesses can ensure the enforcement of the international law to its nationals.

In a federal country, the bearer of right and duty is the federal government, but sometimes the federal constitution allows its states to have a limited federal right and duty. For example, in the USSR constitution allows states Byelorussia and Ukrainian SSR to have their own international relation[22].

In the conclusion of the international law, the consequence of entering and ratification of the treaty is obligatory. Once a state participated, it obtain a moral and legal right and obligations of the international law.

2.      International Organizations (United Nations)

International organizations also play a significant role in the international environmental law. International organizations such as United Nations have rights and obligations to become the regulators of its members to cope with the conventions related to the international environmental law. Another role that can be done is to be the drafter of the international agreements related to the international environmental law. Furthermore, the International Court of Justice gave an important Advisory Opinion in the Reparation for Injuries Case[23] in 1958. ICJ held that the United Nations is an international person. That is not the same thing as state or legal personality; nevertheless it is the same thing as saying it is a “super state”, what ever the expression means[24].

A number of international organizations created by treaty or agreement are known as Specialized Agencies on UN. The Specialized Agencies are the Food and Agricultural Organization (FAO), the International Labor Organization (ILO), the World Health Organization (WHO), the World Meteorological Organization (WMO), the International Maritime Organization (IMO), the UN Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO). They also enjoy juridical personality and may exercise rights and duties as subjects of international law based on the international treaty.

 

  1. Non-Traditional Subjects

In its development, the object of International Environmental Law has focused to the study of conservation and sustainable use of natural resources and biodiversity, conservation of endangered and migratory species, prevention of deforestation and desertification, preservation of Antarctica and areas of outstanding natural heritage, global warming, climate change, ozone destruction, wild life extinction, loss of biological diversity, the contamination of air, land, water throughout the world. Eventually, the focus of the international environmental law becomes the study of what we can do and how to use the law to address the environmental challenges[25]. These activities involve environmental lawyers, business man, independent observers, non government organizations, students, scientists, activists, technicians, engineers, doctors etc. In short, international environmental law deals with global society in general.

This is evidenced by the many state practices. For example, in United States, more than 100 NGOs and environmental groups have the capacity to be involved in international affairs[26]. In the other hand, environmentalists as an individual have forced their way to gain attention in international diplomacy. Although most of their policy have not yet adopted, but their contribution to promote environment protection by actively campaign, educate and criticize international policy, soon or later will have impact on international environment governance.

Individuals      

Individuals have gained significant role in the international law. International law has grown into a state where the subject of the international law is no longer state and international organizations only, but also individuals. For example in the view of humanitarian law, an individual that conduct a serious violation of international law is able to appear in the front of international tribunal to be prosecuted, such as Nuremberg Tribunal, ICTY, and ICTR.

No matter how fast international law may grow, nevertheless individuals are not the same with states and international organizations. Individuals still do not possess the legal capacity the same with a state possesses. For example, Individuals cannot ratify a treaty, thus cannot be bind himself to comply with the regulations. Individuals only gain limited legal capacity in international law, depending on the stipulations on the certain regulations or conventions that might give the legal capacity to an individual. For example, in ICCPR preambles stated

The individual having duties to other individuals and the community to which he belongs, is under responsibility to strive for the promotion and observance of the rights recognized in the present covenant.

This gives the individuals certain rights under ICCPR. Another example can be seen from the ICSID rules. ICSID provides that an individual have a legal capacity to file a suit against a state in front international arbitration concerning direct investment issues. In the international environmental law, individuals are recognized to have certain legal capacities. In the Stockholm Declaration 1972, it was stated in the preambule that:

“Man has the fundamental right to freedom, equality and adequate conditions of life, in an environment of a quality that permits a life of dignity and well-being”. In other words, every man also has a right and obligation to participate in preservation of the world and as a subject of International Environmental Law at the same time.”

San Salvador Protocol to the America Convention in Human Rights and the African Charter on Human and People’s Rights also recognizes:

1.      Everyone shall have the right to live in healthy environment and to have access in basic public services.

2.      The States Parties shall promote the protection, preservation and improvement of the environment.

Some states even put the participation in environmental concern as part of human rights in their constitution, for example: Spanish Constitution speaks of “the right to enjoy an environment suitable for the development of the person.” The 1979 Peruvian Constitution recognizes “the right to live in a healthy environment, ecologically balance and adequate for the development of life and the preservation of the countryside and nature[27].

 

Non-Government Organizations

Global NGOs are playing an increasing important role in international environmental law. There are several reasons that make NGOs have become an established actor in the implementation of international environmental law. First, they are closer to people that affected by environmental degradation, and have the ability to represent them more faithfully; second, NGOs have played invisible colleges of scientist for the purpose of studying the effect and impact for the various environmental problem and have participated, unofficially but visibly, in the making of treaties; third, the international character, their large and vocal membership is undeniably gives them international political standing.

Despite the critique that NGO have not yet attained their status of state as subject of international law, on a functional level there ought not to be objections to states or international organization or other civic for that matter, from performing the role of private attorneys general empowered to protect the international environment.

Several treaties point the way to this point, The convention on the Protection of the Environment Between Denmark, Finland, Norway and Sweden (Nordic Treaty), [art. 2, Feb.9, 1974, (entered to force Oct. 5, 1976)] and Treaty Establishing the European Community [Mar. 25, 1957, art 230] goes further and grants all legal persons, including individuals, and NGOs the right to protest and vindicate environmental rights and duties in the legal systems of the parties[28].

Multinational Corporations

Multinational Corporations are corporations which own or control its production facility and conduct a trans-boundary activity[29]. These days a Multi National Corporations (MNC) could grow into a very large entity and it is possible for one MNC to have a gross income that bigger than one of the developing country’s state general budget annually. MNC have a significant role in the policy making process in the developing country, having in mind that MNC has international network of corporations that operates in many countries .Sometimes the developing country is dependent of the existence of MNC, as the MNC gives a lot of direct investment to the country.

The status MNC as a subject of international law is still debatable, but MNC have a few characteristic to be recognized as a limited subject of international law such as there’s a cross border aspect in MNC, MNC could have an international rights and obligations. There are also some international laws that address the MNC as the subject of the regulations.

When business faces a stronger domestic and international regulations on activity with a global environmental division, business interest have been able to prevent or delay the formation of a global environmental damage. Certain business sectors have been able to use their asset and ability to put forward technical solutions toward pollution damage issue, hazardous and noxious substances[30].

In the environmental issues, international environmental law gives certain legal aspects to the MNC. Certain international laws provided guidelines, and principles that have to be complied by the MNCs.

The most popular principles are the precautionary principle, sustainable development principle, polluter pays principle and state responsibilities. The MNCs must comply with these principles, as the principles have become widely known in the international society. These principles were found in international conventions, such as: Declaration Rio 1992 and World Summit on Sustainable Development (WSSD) in Johannesburg 2002.  WSSD is the world declaration among the traditional actors and non-traditional actors that shows the sustainable development principle is not only state’s responsibilities but also all aspects of mankind. This declaration focused on the non-state actors, delegations who attended this conference are 10.000 states, 8000 NGOs, civil, and business sectors. These non-state actors created more than 300 partnerships committed to give their effort and financial support to implement the steps of the sustainable development.

Furthermore, UN Global Compact that held by Kofi Annan in 2000 tries to give the recommendations to the business sector to pay more attention to the environment in performing their activities. The principles that UN Global Compact adopt related to the business sector[31]:

  1. To support the precautionary approach in answering environmental challenge
  2. To perform initiative to promote bigger responsibilities to the environment
  3. To support the development of more environmental friendly technology

 

However, in several cases like Union Carbide Corporation Gas Plant Disaster at Bhopal India (1986), Beanal v. Freeport McMoran (1997), the dispute that arose with a claim against the MNC because of the violation of the right of suitable environmental and trans-boundary environmental harm, does not give satisfaction to the principles that must be complied by MNCs. The American Court held that the MNCs cannot be held liable because those principles had not been recognized as a general principle of law or customary international law and besides the principles only bind the member of international society not binds the non state actors.

The court argument is not strong enough because by looking at the number of country who ratified many conventions and implement the sustainable principle development as legal duties in their national law, it proves that this principle has been recognize as a custom.[32] On the other hand, the ratio of environmental protection as a part of human right also has the support of the article 1 of Stockholm Declaration and Rio Declaration. Although this instrument not legally binding but it’s been accepted without reservation by 179 states in the UN Conferences on Population and Development in 1994[33]. Other than that, there many conventions which demand MNC liability as a comprehensive subject of international law; embargo regulation and Nuclear Convention constitutes that every legal entity including person and MNC have to comply with the regulation. This shows that MNC could be a potential subject of international environmental law as in MNC as a subject in an investment dispute settlement in front of international arbitration forum.

 

  1. Conclusion

The environment issues have already become the international problems nowadays. This required an international cooperation to cope with these issues. The international environmental law already develops its form into a ‘soft law’ which gives freedom to countries to solve the environmental problems with their own way, without having to comply with such ‘hard law’. Also it is already recognized by many countries that the international environmental laws have been crystallized into customary international law or general principle of law.

The actors also have to comply with the laws complying with their own legal capacities. And of course, sacrifices to the economic development are needed, since economic development is contradicting ecological development.

There are many conventions that regards to environmental problems, both regional and multinational. However, how fast the process of recuperating the environment depends on each country. It depends on how willing they are to use the mechanisms provided by international laws, how willing they are to adopt further measures, to establish any institutions that may be required. Our future depends on how we act today. Without restoring the environment it is inevitable, that we do not have future.

 



[1] According to this principle, every State has the absolute right to freely utilize its territory and airspace for its purposes, even if this utilization causes environmental damage beyond its national boundaries (Harald Hohmann, Precautionary Legal Duties and Principles of Modern International Environmental Law.  p. 14)

[2] United States v. Canada (Trail Smelter Arbitration), 3 R.I.A.A. 1938 (1941)

[3] ICJ, 1949.

[4] Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, (Bandung: PT Alumni, 2003), p. 125.

[5] Hunter, Salzman and Zaelke, op. cit., p. 210-211.

[6] Article 18 of the Vienna Convention on the Law of Treaties 1969

[7] Hunter, Salzman and Zaelke, op. cit., p. 216-217.

[8] Ibid, p. 218-219

[9] Anthony D’amato and Kirsten Engel, International Environmental Law Anthology (Ohio: Anderson Publishing Company, 1994), p. 39.

[10] Patricia Birnie and Alan Boyle, International Law & the Environment (United States: Oxford, 2002), p. 16.

[11] Harald Hohmann. op. cit., p. 15

[12] Lakshman Guruswamy, International Environmental Law in a Nutshell, (United States: West Publishing Co, 2003) p. 419-421.

[13] Op. cit., 2

[14] Birnie and Boyle, op. cit., p. 109.

[15] [1937], P.C.I.J. (Ser. A/B)

[16] Birnie and Boyle, op. cit., p. 20.

[17] Ibid.

[18] Hunter, Salzman and Zaelke, op. cit., p. 247

[19] Kal Raustiala. Form and Substance in International Agreements. 99. A.J.I.L 581. July 2005

[20] Birnie and Boyle, op. cit., p. 25-26.

[21] Hunter, Salzman and Zaelke, op. cit., p. 326.

[22] Op. Cit. 4. p. 98.

 

[23] ICJ, 1949

[24] Ibid, page 102.

 

[25] Hunter, Salzman and Zaelke, op. cit., p. v-vi

[26] Ibid, p. 422.

 

[27] D’Amato, op. cit., p. 62-63.

 

[28] Ibid, p. 58

[29] Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, (Jakarta: PT Rajagrafindo, 2005), p. 70

 

[30] Hunter, Salzman and Zaelke, op. cit., p. 434-435.

[31] Principles 7, 8, 9 of the UN Global Compact 2000

[32] Tiza Mafira, “Pengaturan Hukum Lingkungan Internasional Terhadap Perusahaan Multi Nasional”, (Graduate Paper, Faculty of Law University of Indonesia, Depok, 2006 p 106

[33] Ibid. p. 107.