25 November, 2008

Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008


UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 2008
TENTANG
KEMENTERIAN NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Presiden sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam
menjalankan tugasnya dibantu oleh menteri-menteri
negara yang membidangi urusan tertentu di bidang
pemerintahan;
b. bahwa setiap menteri memimpin kementerian
negara untuk menyelenggarakan urusan tertentu
dalam pemerintahan guna mencapai tujuan negara
sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
c. bahwa sesuai ketentuan Pasal 17 ayat (4) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, pembentukan, pengubahan, dan pembubaran
kementerian negara diatur dalam undang-undang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c
perlu membentuk Undang-Undang tentang
Kementerian Negara;
Mengingat : Pasal 4, Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 21 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEMENTERIAN NEGARA.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kementerian Negara yang selanjutnya disebut
Kementerian adalah perangkat pemerintah yang
membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
2. Menteri Negara yang selanjutnya disebut Menteri
adalah pembantu Presiden yang memimpin
Kementerian.
3. Urusan Pemerintahan adalah setiap urusan
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
4. Pembentukan Kementerian adalah pembentukan
Kementerian dengan nomenklatur tertentu setelah
Presiden mengucapkan sumpah/janji.
5. Pengubahan Kementerian adalah pengubahan
nomenklatur Kementerian dengan cara
menggabungkan, memisahkan, dan/atau mengganti
nomenklatur Kementerian yang sudah terbentuk.
6. Pembubaran Kementerian adalah menghapus
Kementerian yang sudah terbentuk.

BAB II
KEDUDUKAN DAN URUSAN PEMERINTAHAN
Bagian Kesatu
Kedudukan
Pasal 2
Kementerian berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik
Indonesia.
Pasal 3
Kementerian berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Presiden.

Bagian Kedua
Urusan Pemerintahan
Pasal 4
(1) Setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam
pemerintahan.
(2) Urusan tertentu dalam pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. urusan pemerintahan yang nomenklatur
Kementeriannya secara tegas disebutkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya
disebutkan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
c. urusan pemerintahan dalam rangka penajaman,
koordinasi, dan sinkronisasi program
pemerintah.
Pasal 5

(1) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a meliputi urusan
luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan.
(2) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b meliputi urusan
agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi
manusia, pendidikan, kebudayaan, kesehatan,
sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan,
pertambangan, energi, pekerjaan umum,
transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi,
pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan,
kelautan, dan perikanan.
(3) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c meliputi urusan
perencanaan pembangunan nasional, aparatur
negara, kesekretariatan negara, badan usaha milik
negara, pertanahan, kependudukan, lingkungan
hidup, ilmu pengetahuan, teknologi, investasi,
koperasi, usaha kecil dan menengah, pariwisata,
pemberdayaan perempuan, pemuda, olahraga,
perumahan, dan pembangunan kawasan atau
daerah tertinggal.

Pasal 6
Setiap urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) tidak harus dibentuk
dalam satu Kementerian tersendiri.
BAB III
TUGAS, FUNGSI, DAN SUSUNAN ORGANISASI
Bagian Kesatu
Tugas
Pasal 7
Kementerian mempunyai tugas menyelenggarakan
urusan tertentu dalam pemerintahan untuk membantu
Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Bagian Kedua
Fungsi
Pasal 8
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian yang
melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan
kebijakan di bidangnya;
b. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang
menjadi tanggung jawabnya;
c. pengawasan atas pelaksanaan tugas di
bidangnya; dan
d. pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai
ke daerah.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian yang
melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2) menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan
kebijakan di bidangnya;
b. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang
menjadi tanggung jawabnya;
c. pengawasan atas pelaksanaan tugas di
bidangnya;

d. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi
atas pelaksanaan urusan Kementerian di
daerah; dan
e. pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala
nasional.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian yang
melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (3) menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan dan penetapan kebijakan di
bidangnya;
b. koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan
kebijakan di bidangnya;
c. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang
menjadi tanggung jawabnya; dan
d. pengawasan atas pelaksanaan tugas di
bidangnya.
Bagian Ketiga
Susunan Organisasi
Pasal 9
(1) Susunan organisasi Kementerian yang menangani
urusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) terdiri atas unsur:
a. pemimpin, yaitu Menteri;
b. pembantu pemimpin, yaitu sekretariat jenderal;
c. pelaksana tugas pokok, yaitu direktorat
jenderal;
d. pengawas, yaitu inspektorat jenderal;
e. pendukung, yaitu badan dan/atau pusat; dan
f. pelaksana tugas pokok di daerah dan/atau
perwakilan luar negeri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Susunan organisasi Kementerian yang
melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2) terdiri atas unsur:
a. pemimpin, yaitu Menteri;
b. pembantu pemimpin, yaitu sekretariat jenderal;
c. pelaksana, yaitu direktorat jenderal;
d. pengawas, yaitu inspektorat jenderal; dan
e. pendukung, yaitu badan dan/atau pusat.
(3) Kementerian . . .

(3) Kementerian yang menangani urusan agama,
hukum, keuangan, dan keamanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) juga memiliki
unsur pelaksana tugas pokok di daerah.
(4) Susunan organisasi Kementerian yang
melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (3) terdiri atas unsur:
a. pemimpin, yaitu Menteri;
b. pembantu pemimpin, yaitu sekretariat
Kementerian;
c. pelaksana, yaitu deputi; dan
d. pengawas, yaitu inspektorat.
Pasal 10
Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan
penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat
wakil Menteri pada Kementerian tertentu.
Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, dan
susunan organisasi Kementerian diatur dengan
Peraturan Presiden.
BAB IV
PEMBENTUKAN, PENGUBAHAN, DAN PEMBUBARAN
KEMENTERIAN
Bagian Kesatu
Pembentukan Kementerian
Pasal 12
Presiden membentuk Kementerian luar negeri, dalam
negeri, dan pertahanan, sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Pasal 13
(1) Presiden membentuk Kementerian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3).
(2) Pembentukan . . .

(2) Pembentukan Kementerian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan mempertimbangkan:
a. efisiensi dan efektivitas;
b. cakupan tugas dan proporsionalitas beban
tugas;
c. kesinambungan, keserasian, dan keterpaduan
pelaksanaan tugas; dan/atau
d. perkembangan lingkungan global.
Pasal 14
Untuk kepentingan sinkronisasi dan koordinasi urusan
Kementerian, Presiden dapat membentuk Kementerian
koordinasi.
Pasal 15
Jumlah keseluruhan Kementerian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 paling
banyak 34 (tiga puluh empat).
Pasal 16
Pembentukan Kementerian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 paling lama 14
(empat belas) hari kerja sejak Presiden mengucapkan
sumpah/janji.
Bagian Kedua
Pengubahan Kementerian
Pasal 17
Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
tidak dapat diubah oleh Presiden.
Pasal 18
(1) Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 dapat diubah oleh Presiden.
(2) Pengubahan . . .

(2) Pengubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. efisiensi dan efektivitas;
b. perubahan dan/atau perkembangan tugas dan
fungsi;
c. cakupan tugas dan proporsionalitas beban
tugas;
d. kesinambungan, keserasian, dan keterpaduan
pelaksanaan tugas;
e. peningkatan kinerja dan beban kerja
pemerintah;
f. kebutuhan penanganan urusan tertentu dalam
pemerintahan secara mandiri; dan/atau
g. kebutuhan penyesuaian peristilahan yang
berkembang.
Pasal 19
(1) Pengubahan sebagai akibat pemisahan atau
penggabungan Kementerian dilakukan dengan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan Dewan Perwakilan Rakyat paling lama 7
(tujuh) hari kerja sejak surat Presiden diterima.
(3) Apabila dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Dewan
Perwakilan Rakyat belum menyampaikan
pertimbangannya, Dewan Perwakilan Rakyat
dianggap sudah memberikan pertimbangan.
Bagian Ketiga
Pembubaran Kementerian
Pasal 20
Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
tidak dapat dibubarkan oleh Presiden.
Pasal 21 . . .

Pasal 21
Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
dapat dibubarkan oleh Presiden dengan meminta
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat, kecuali
Kementerian yang menangani urusan agama, hukum,
keuangan, dan keamanan harus dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
BAB V
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN
Bagian Kesatu
Pengangkatan
Pasal 22
(1) Menteri diangkat oleh Presiden.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Menteri, seseorang
harus memenuhi persyaratan:
a. warga negara Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara,
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita proklamasi
kemerdekaan;
d. sehat jasmani dan rohani;
e. memiliki integritas dan kepribadian yang baik;
dan
f. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Pasal 23
Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau
perusahaan swasta; atau
c. pimpinan . . .
- 10 -
c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran
Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah.
Bagian Kedua
Pemberhentian
Pasal 24
(1) Menteri berhenti dari jabatannya karena:
a. meninggal dunia; atau
b. berakhir masa jabatan.
(2) Menteri diberhentikan dari jabatannya oleh
Presiden karena:
a. mengundurkan diri atas permintaan sendiri
secara tertulis;
b. tidak dapat melaksanakan tugas selama 3
(tiga) bulan secara berturut-turut;
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih;
d. melanggar ketentuan larangan rangkap
jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23; atau
e. alasan lain yang ditetapkan oleh Presiden.
(3) Presiden memberhentikan sementara Menteri yang
didakwa melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
BAB VI
HUBUNGAN FUNGSIONAL KEMENTERIAN DAN
LEMBAGA PEMERINTAH NONKEMENTERIAN
Pasal 25
(1) Hubungan fungsional antara Kementerian dan
lembaga pemerintah nonkementerian dilaksanakan
secara sinergis sebagai satu sistem pemerintahan
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Lembaga . . .

(2) Lembaga pemerintah nonkementerian
berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung
jawab kepada Presiden melalui Menteri yang
mengoordinasikan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hubungan
fungsional antara Menteri dan lembaga pemerintah
nonkementerian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB VII
HUBUNGAN KEMENTERIAN DENGAN PEMERINTAH
DAERAH
Pasal 26
Hubungan antara Kementerian dan pemerintah daerah
dilaksanakan dalam kerangka sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
memperhatikan prinsip-prinsip penyelenggaraan
otonomi daerah sesuai peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 27
Kementerian yang sudah ada pada saat berlakunya
Undang-Undang ini tetap menjalankan tugasnya sampai
dengan terbentuknya Kementerian berdasarkan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 6 Nopember 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Nopember 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 166
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 2008
TENTANG
KEMENTERIAN NEGARA
I. UMUM
Penyelenggara negara mempunyai peran yang penting dalam
mewujudkan tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Tujuan negara adalah untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Oleh karena itu, sejak
proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Pemerintah
Negara Republik Indonesia bertekad menjalankan fungsi
pemerintahan negara ke arah tujuan yang dicita-citakan.
Pasal 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menegaskan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam
menjalankan kekuasaan pemerintahan, Presiden dibantu oleh
menteri-menteri negara yang diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden.
Menteri-menteri negara tersebut membidangi urusan tertentu dalam
pemerintahan yang pembentukan, pengubahan, dan pembubaran
kementeriannya diatur dalam undang-undang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Pasal 17 ini menegaskan bahwa kekuasaan
Presiden tidak tak terbatas karenanya dikehendaki setiap
pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara
haruslah berdasarkan undang-undang.
Undang-undang ini sama sekali tidak mengurangi apalagi
menghilangkan hak Presiden dalam menyusun kementerian negara
yang akan membantunya dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan. Sebaliknya, undang-undang ini justru dimaksudkan
untuk memudahkan Presiden dalam menyusun kementerian negara
karena secara jelas dan tegas mengatur kedudukan, tugas, fungsi,
dan susunan organisasi kementerian negara.
Pengaturan . . .

Pengaturan mengenai kementerian negara tidak didekati melalui
pemberian nama tertentu pada setiap kementerian. Akan tetapi,
undang-undang ini melakukan pendekatan melalui urusan-urusan
pemerintahan yang harus dijalankan Presiden secara menyeluruh
dalam rangka pencapaian tujuan negara. Urusan-urusan
pemerintahan tersebut adalah urusan pemerintahan yang
nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan
sinkronisasi program pemerintah.
Dalam melaksanakan urusan-urusan tersebut tidak berarti satu
urusan dilaksanakan oleh satu kementerian. Akan tetapi satu
kementerian bisa melaksanakan lebih dari satu urusan sesuai
dengan tugas yang diberikan oleh Presiden.
Undang-undang ini juga mengatur tentang persyaratan pengangkatan
dan pemberhentian menteri. Pengaturan persyaratan pengangkatan
menteri tidak dimaksudkan untuk membatasi hak Presiden dalam
memilih seorang Menteri, sebaliknya menekankan bahwa seorang
Menteri yang diangkat memiliki integritas dan kepribadian yang baik.
Namun demikian Presiden diharapkan juga memperhatikan
kompetensi dalam bidang tugas kementerian, memiliki pengalaman
kepemimpinan, dan sanggup bekerjasama sebagai pembantu
Presiden.
Undang-undang ini disusun dalam rangka membangun sistem
pemerintahan presidensial yang efektif dan efisien, yang
menitikberatkan pada peningkatan pelayanan publik yang prima.
Oleh karena itu, menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat
negara lainnya, komisaris dan direksi pada perusahaan, dan
pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja
Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Bahkan
diharapkan seorang menteri dapat melepaskan tugas dan jabatanjabatan
lainnya termasuk jabatan dalam partai politik. Kesemuanya
itu dalam rangka meningkatkan profesionalisme, pelaksanaan urusan
kementerian yang lebih fokus kepada tugas pokok dan fungsinya
yang lebih bertanggung jawab.
Undang-undang ini juga dimaksudkan untuk melakukan reformasi
birokrasi dengan membatasi jumlah kementerian paling banyak 34
(tiga puluh empat). Artinya, jumlah kementerian tidak dimungkinkan
melebihi jumlah tersebut dan diharapkan akan terjadi pengurangan.
II. PASAL . . .

II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan ”berada di bawah” dalam ketentuan ini
adalah kedudukan kementerian dalam struktur pemerintahan.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pelaksanaan urusan kementerian di daerah yang
dimaksud adalah kegiatan teknis yang berskala
provinsi/kabupaten/kota yang dilaksanakan oleh
dinas provinsi/kabupaten/kota disertai penyerahan
keuangannya.
Huruf e . . .

Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kementerian yang menangani urusan tertentu dapat
membentuk perwakilan di luar negeri sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Yang dimaksud dengan “Wakil Menteri” adalah pejabat karir dan
bukan merupakan anggota kabinet.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19 . . .

Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Menteri dalam ketentuan ini adalah pejabat negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Orang yang dipidana penjara karena alasan politik dan
telah mendapatkan rehabilitasi dikecualikan dari
ketentuan ini.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27 . . .

Pasal 27
Nomenklatur kementerian yang berlaku selama ini, seperti
Departemen dan Kementerian Negara, diakui berdasarkan
undang-undang ini dan tetap menjalankan tugas dan fungsinya
sampai terbentuknya kementerian berdasarkan ketentuan dalam
undang-undang ini.
Pasal 28
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4916

1 komentar: