13 Oktober, 2008

Peraturan Daerah mengenai Pajak Tidak Tepat sebagai Parameter pengendalian Inflasi


Pergerakan ekonomi suatu bangsa dapat dikatakan mengalami inflasi atau deflasi dipengaruhi oleh beberapa faktor misalnya suku bunga bank, pasar riil, serta jumlah uang yang beredar di masyarakat, serta pajak dan subsidi. Dalam hal ini pajak sebagai salah satu pokok bahasan yang sangat menarik, pajak yang bertujuan utama untuk membiayai tugas Negara maka bisa juga mengendalikan inflasi ataupun deflasi,
Bahwa Pajak daerah dan pajak retribusi Daerah yang berada pada Direktorat Jendral Perimbangan Keungaan yang berbeda dan terpisah dari Direktorat Jendral Pajak. Sehingga pengaturan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB), bea balik nama kendaraan bermotor (BBN-KB) sebesar 50%, serta penerapan pajak lingkungan, PAD provinsi meningkatkan dari Rp 53,9 triliun (41%).
Ternyata juga yang patut disadari bahwa kenaikan pajak tidak sepenuhnya buruk, bahwa dengan adanya kenaikan pajak maka jika peredaran unang dalam mayarakat sedang besar sehingga potensial terjadinya inflasi, maka pemerintah daerah baik tinggkat I maupun tingkat II dapat mengambil kebijakan untuk menaikan pajak untuk menyerap uang yang beredar dalam masyarakat. Sehingga pajak dengan sangat mudah menghentikan inflasi.

Namun menurut analisis saya ketika memang ketika seorang pejabat daerah karena jabatannya mengeluarkan suatu produk hukum berupa perda misalnya, untuk mengatasi inflasi, berarti pemerintah telah lalai dalam mengelola perekonomian Negara. Sebab pengendalian ekonomi daerah oleh pajak seharusnya dijadikan alternative terakhir, hal ini didasarkan oleh beberapa faktor yakni faktor akuntabilitas daerah dalam pengelolaan pajak, faktor rentan akan penyelewengan pajak untuk kepentingan probadi dan bukan untuk kepentingan umum, serta pajak daerah yang terlalu variatif bisa jadi memberatkan kehidupan serta kemampuan masyarakat untuk membelanjakan penghasilannya. Pembuatan perda mengenai pajak serta perubahan atas peraturan daerah mengenai pajak secara yuridis walaupun dibuat bukan oleh satu penetu kebijakan, peraturan daerah tersebut sering kali di beberapa daerah tidak mempertimbangkan dampak sosiologis dalam masyarakat.
Kemudian apabila alasan dari Dekan Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia ini merupakan pandangan orang ekonomi dimana dengan sangat praktis dapat mempertimbangkan aspek hukum praktiknya, bahwa untuk menghasilkan suatu produk hukum hingga dari undang-undang hingga perda pun pasti membutuhkan biaya, jadi ketika dikatakan jika terjadi inflasi maka dapat diantisipasi dengan adanya kenaikan pajak, lantas bagaiamana jika terjadi deflasi dan hal itu terjadi berulang kali dalam sendi-sendi ekonomi masyarakat? Jika mendasarkan pemikiran terhadap Dekan FEUI sepertinya akan keluar tiga hingga empat peraturan daerah yang sama yang intinya menaikan serta menurunkan tarif pajak sesuai dengan keadaan ekonomi saat itu. Maka nantinya mayarakat akan memandang hukum dianggap tidak memiliki kepastian hukum, disebabkan peraturan daerah tentang pajak diubah terlalu sering. Hal inilah yang harus dicermati oleh juris, untuk berfikir layaknya orang hukum dan tidak berfikir layaknya orang non-hukum.
Seharusnya Seorang Juris berfikir hukum pajak dari asas yang berada dalam ruang lingkup hukum pajak yang pernah dikemukakan oleh Adam Smith yakni asas Certainty yang berarti kepastian yang berhubungan dengan hukum yang mengandung arti jaminan hukum, bukan berarti kepastian yang didasarkan kesewenang-wenangan. Dengan demikian pemerintah daerah harus member jaminan hukum yang berupa perlindungan terhadap wajib pajak, juga terhadap objek dan subjek pajak yang pasti serta harus dijelaskan dalam peraturan-perundang-undangan secara jelas, serta yang terpenting yakni mengenai cara dan saat atau waktu dalam membayar pajak. Sehingga pada akhirnya kenaikan pajak dengan alasan inflasi bisa ditekan untuk menghindari kesewenang-wenangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar