05 September, 2008

Petisi 5 akankah menjadi sebuah penegah konflik KAI dengan PERADI hanya karena kata " kongres "


Petisi ¨5¨ Dituding Hanya Menambah Persoalan Baru
[5/9/08] dari Hukum Online dot Com


Penggagas Petisi “5” justru menyodorkan ide rekonsiliasi, selesaikan sendiri atau dengan mediator Mahkamah Agung.

Menanggapi petisi “5” yang disusun oleh lima akademisi dan pakar hukum seperti mantan Hakim Agung Adi Andojo, mantan Hakim Konstitusi Laica Marzuki, Muhammad Abduh, Ningrum Sirait dan SF. Marbun tanggal 25 Agustus 2008 lalu, Dewan Pimpinan Nasional Perhimpunan Advokat Indonesia (DPN Peradi) menyampaikan tanggapan tertulisnya (4/9).

Dalam tanggapannya itu, Peradi menyebutkan bahwa Petisi “5” yang menyatakan Peradi tidak sah sangat tidak berdasar hukum dan menyesatkan, karena menurut mereka, Peradi dibentuk sesuai dengan tenggat waktu yang ditentukan oleh UU No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat Advokat tanggal 21 Desember 2004 yaitu dua tahun sejak UU tersebut diundangkan, paling lambat 5 April 2005.

Petisi “5” menyatakan pembentukan Kongres Advokat Indonesia (KAI) dan Peradi cacat yuridis karena keduanya dibentuk melewati batas waktu yang ditentukan Pasal 32 ayat (4) UU Advokat yang berbunyi “Dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun setelah berlakunya Undang-Undang ini, Organisasi Advokat telah terbentuk”.

Selain itu, Peradi juga memaparkan putusan Mahkamah Konstitusi RI No.014/PUU-IV/2006 tertanggal 30 November 2006 yang dalam pertimbangannya menyatakan bahwa “Pasal 32 ayat (3) dan ayat (4) UU Advokat sesungguhnya merupakan pasal yang sudah selesai dilaksanakan dengan telah berlalunya tenggat dua tahun dan dengan telah terbentuknya Peradi sebagai Organisasi advokat yang merupakan satu-satunya wadah profesi advokat, sehingga tidak relevan lagi untuk dipersoalkan konstitusionalitasnya”.

Dalam hal ini, Peradi menyayangkan kelalaian anggota petisi “5” dalam membaca dokumen-dokumen mengenai waktu deklarasi Peradi termasuk putusan MK tertanggal 30 November 2006 ini. Selain itu dalam tanggapannya Peradi juga menyatakan bahwa Petisi ´5´ ini tidak memberikan kontribusi apapun dalam menyelesaikan kemelut di kalangan advokat kecuali menambah persoalan baru.

Dihubungi via telepon (5/9), salah seorang penggagas Petisi “5” SF. Marbun justru mempertanyakan kembali kapan sahnya sebuah organisasi masyarakat, parpol, atau badan hukum itu berdiri. “Apa ukurannya, sekarang itu yang harus dipertajam, untuk menentukan berdirinya sebuah organisasi sahnya dalam arti yuridis itu apakah sejak dideklarasikan atau sejak didaftar di notaris atau sejak saat dia didaftar di kementerian hukum dan ham,” paparnya.

Soal kontribusi, Marbun justru balik bertanya apakah Peradi telah secara cermat membaca isi Petisi “5”. “Soal memberi atau tidak memberi kontribusi itu subjektif, kalau mereka mengatakan mereka sudah sah ya jelas tidak ada kontribusinya, sekarang kapan sahnya itu, itu yang harus dilacak,” ujarnya.

Uniknya, Ningrum Sirait justru menyambut baik munculnya tanggapan tertulis dari Peradi. Tanggapan ini, menurut Ningrum, merupakan tanda bahwa Peradi masih mendengarkan aspirasi yang berkembang. “Kami berterima kasih telah dikomentari Peradi, dan saya secara pribadi senang artinya pernyataan kami ditanggapi berarti masih ada kehidupan, berarti masih ada perhatian untuk memikirkan langkah berikutnya,” tukasnya.

Apa langkah berikutnya? Ningrum menyodorkan gagasan agar para pihak berseteru melakukan rekonsiliasi. “Yang paling ideal dimata saya mereka bertemu sendiri, menyelesaikan sendiri secara independen, tapi kalau perlu dijembatani saya mengusulkan MA,” usul Guru Besar Universitas Sumatera Utara ini.

-----------------------------------------------------

Sedangkan dalam harian kompas yang diungkapkan:
Jakarta, Kompas - Konflik antarorganisasi advokat, khususnya Perhimpunan Advokat Indonesia atau Peradi dan Kongres Advokat Indonesia atau KAI, harus diakhiri agar tidak merugikan masyarakat dan advokat.


Demikian dikemukakan mantan hakim agung Laica Mazuki di Jakarta, Senin (1/9).

Laica mengakui, bersama empat tokoh lainnya, yakni mantan hakim agung Adi Andojo Soetjipto serta akademisi Mohammad Abduh, Ningrum Sirait, dan SF Marbun, mengeluarkan ”Petisi 5” yang mendesak Peradi dan KAI dibekukan karena pembentukannya cacat hukum. Selain itu, perlu segera digelar kongres atau musyawarah nasional (munas) untuk membentuk wadah tunggal advokat.

Laica mengaku prihatin dengan konflik antaradvokat. Karena itu, ia ingin konflik itu segera diakhiri. ”Saya terikat dalam Petisi 5 itu. Pemikiran saya sama dengan yang tertuang dalam Petisi 5 itu,” ujarnya.

Laica mengakui, pemikiran Petisi 5 mungkin tidak disepakati Peradi atau KAI. Namun, mereka hanya ingin menjadi penengah konflik dan memulihkan kondisi advokat yang terpecah belah.

Tak tahu sejarah

Secara terpisah, Denny Kailimang, Ketua Umum Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), sebagai salah satu pendiri Peradi, membantah pembentukan organisasi itu cacat hukum. AAI juga menilai pembuat Petisi 5 membuat kesimpulan sesat sebab tidak mengetahui pembentukan Peradi dan tidak pernah meminta pendapat dari pendiri Peradi.

Denny menjelaskan, pendeklarasian Peradi dilakukan pada 21 Desember 2004, dalam batas masa pembentukan organisasi advokat yang disyaratkan Pasal 28 Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat.

Sebelum Peradi dideklarasikan, kata Denny, berdasarkan Pasal 32 Ayat 3 UU Advokat, tugas dan wewenang organisasi advokat dijalankan delapan organisasi advokat, yakni Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin), AAI, Ikatan Penasihat Hukum Indonesia (IPHI), Himpunan Advokat dan Pengacara Indonesia (HAPI), Serikat Pengacara Indonesia (SPI), Asosiasi Konsultan Hukum Indonesia (AKHI), Himpunan Konsultan Hukum Pasar Modal (HKHPM), dan Asosiasi Pengacara Syariah Indonesia (APSI). Kedelapan organisasi memverifikasi dan menginventarisasi advokat yang diangkat sebelum UU No 18/2003 berlaku.

Delapan organisasi itu mencari jalan membentuk organisasi yang menjadi satu-satunya wadah advokat sesuai Pasal 28 UU Advokat. Delapan organisasi itu juga menggelar munas atau kongres luar biasa dan memberikan mandat kepada pimpinannya untuk membentuk wadah tunggal advokat. Peradi pun terbentuk dalam pertemuan di Puncak, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Ketua Umum Peradi Otto Hasibuan menyayangkan Petisi 5 yang menyebutkan Peradi cacat hukum. Peradi dibentuk pada 21 Desember 2004
----------------------------------------------

Dalam putusan perkara No.014/PUU-IV/2006 itu, secara tegas menyatakan PERADI sebagai satu-satunya wadah profesi Advokat pada dasarnya adalah organ negara dalam arti luas yang bersifat mandiri yang juga melaksanakan fungsi negara. Fungsi negara yang dimaksud oleh MK, dengan merujuk pada putusan atas perkara No. 006/PUU- II/2004, adalah kewajiban para advokat pada umumnya untuk memberikan akses pada keadilan bagi semua orang. Namun dalam hal ini saya melihat advokat masih cenderung haus akan kekuasaan sehingga komunitas-komunitas yang terbetuk saling adau untuk memegang kekuasaan yang seharusnya satu.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar