BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Pemilihan Kepala Daerah DKI Jakarta, atau yang lebih tenar disingkat Pilkada DKI yang digelar 8 Agustus 2007 baru saja usai. Yang terpilih, pasti hampir seluruh masyarakat DKI Jakarta sudah mengetahuinya. Namun, gubernur yang baru terpilih ini masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus dirampungkan dan diselesaikan bersama supaya tercipta Jakarta yang aman, nyaman, serta diikuti dengan semakin sejahtera masyarakatnya.
Kali ini penulis akan membuat sebuah makalah mengenai pandangan saya terhadap sebuah permasalahan yang cukup krusial di ibukota Negara kita ini, yaitu masalah kemacetan. Namun, beberapa waktu lalu Pemerintah Daerah (Pemda) DKI Jakarta, Dinas Perhubungan setempat, beserta instansi terkait sudah berusaha melakukan sebuah upaya solusinya dengan perealisasian Megaproyek TransJakarta.
Seperti yang kita ketahui, tujuan membebaskan Jakarta dari kemacetan nampaknya masih angan-angan belaka. Megaproyek ini masih belum mampu mengatasi sepenuhnya segala permasalahan kemacetan di Jakarta. Saya akan mencoba mengupas permasalahan yang terjadi seputar Megaproyek TransJakarta ini berkaitan dengan materi Hukum Administrasi Negara (HAN) yang pernah saya pelajari hingga saat ini. Yaitu berkenaan dengan Birokrasi dan Kebijakan Publik yang juga berkaitan dengan Asas-Asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB).
B. Pokok Permasalahan
1. Bagaimanakah penjelasan mengenai birokrasi dan kebijakan publik tersebut menurut teori Hukum Administrasi Negara?
2. Bagaimanakah penerapan atau implementasi kebijakan publik tersebut, dalam hal ini mengenai Megaproyek TransJakarta?
3. Bagaimanakah penyelesaian masalah yang terjadi dalam Megaproyek TransJakarta jika dikaitkan dengan teori terkait dalam Hukum Administrasi Negara?
BAB II PEMBAHASAN
A. Birokrasi dan Kebijakan Publik menurut teori Hukum Administrasi Negara (HAN)
Menurut Bintoro Tjokroaminoto, Administrasi Negara atau Administrasi Pemerintahan diartikan sebagai keseluruhan proses penyelenggaraan kegiatan pemerintah negara atau kegiatan dan terlaksananya tugas bersama negara, pemerintah, dan seluruh warga masyarakat. Organisasi administrasi pemerintahan merupakan alat birokrasi untuk mencapai tujuan nasional dan tujuan pemerintahan. Organisasi pemerintahan dalam suatu Negara pada hakekatnya terdiri dari Organisasi Pemerintahan Pusat (OPP) dan Organisasi Pemerintahan Daerah (OPD). Sedangkan Birokrasi menurut Max Weber, adalah suatu istilah kolektif bagi suatu badan yang pasti dan jelas yang pekerjaan serta pengaruhnya dapat dilihat pada semua macam organisasi. Mengingat perealisasian busway di DKI pastinya berkaitan dengan Departemen Perhubungan, melalui hierarki unsur pelaksananya dan instansi dari departemen tersebut, terkait kepentingan transportasi publik di ibukota Negara ini.
Sedangkan birokrasi administrasi Negara sebagai organisasi yang mempunyai kewenangan membuat kebijakan publik dalam rangka pelaksanaan tugas-tugas pemerintah. Proses perumusan kebijakan publik ini bukan merupakan suatu proses yang sederhana dan mudah, karena terdapat beberapa faktor yang mempengaruhinya. Birokrasi Pemerintahlah yang berperan sebagai perumus kebijakan publik tersebut. Kebijakan publik dibuat bukannya tanpa maksud dan tujuan. Kebijakan publik dibuat untuk memecahkan masalah publik di masyarakat, yang begitu banyak macam, variasi, dan intensitasnya. Menurut Dye (1992:2) public policy atau kebijakan publik diartikan sebagai apapun yang pemerintah pilih untuk melakukan atau tidak melakukan. Kebijakan publik merupakan serangkaian tujuan dan sasaran dari program-program pemerintah.
Kebijakan publik adalah suatu strategi kebijakan yang diarahkan untuk mencapai tujuan. Sehingga menurut Amara Raksasataya, kebijakan memiliki 3 elemen:
1. Identifikasi tujuan- tujuan yang ingin dicapai.
2. Strategi dari berbagai langkah untuk mencapi tujuan yang diinginkan.
3. Penyediaan berbagai input untuk memungkinkan pelaksanaan secara nyata dari strategi tersebut.
Dan dalam perjalanannya, kebijakan publik harus melalui beberapa proses, yaitu:
a. Perumusan masalah kebijakan publik (policy problems).
b. Penyusunan rencana kerja pemerintah (policy agenda).
c. Perumusan usulan kebijakan publik.
d. Pengesahan kebijakan publik.
e. Pelaksanaan kebijakan publik.
f. Penilaian kebijakan publik.
B. Implementasi Birokrasi dan Kebijakan Publik dalam masyarakat, sehubungan perealisasian Megaproyek TransJakarta
Menurut Rasyid (1998:139), Pemerintahan pada hakekatnya adalah pelayanan kepada masyarakat. Ia tidaklah diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap anggota masyarakat mengembangkan kemampuan dan kreativitasnya demi mencapai tujuan bersama. Pemerintahan yang sah adalah pembuat kebijakan publik. Dalam proses pembuatannya, pemerintah perlu kebijaksanaan, yang menurut Prof. Prajudi adalah dasar- dasar atau garis sikap atau pedoman untuk pelaksanaan. Kebijakan publik yang telah disahkan, tidak akan bermanfaat, apabila tidak diimplementasikan. Implementasi ini berusaha untuk mewujudkan kebijakan publik yang masih bersifat abstrak ke dalam realita. Dengan kata lain, pelaksanaan kebijakan publik berusaha menimbulkan hasil (outcome) yang dapat dinikmati terutama oleh kelompok sasaran (target groups).
Masih teringat segar dalam ingatan, ketika Megaproyek TransJakarta pertama kali diresmikan sekitar empat tahunan yang lalu. Dimana khalayak ramai, khususnya masyarakat DKI begitu antusias menyambut moda transportasi moderen di ibukota. Dengan motonya “Tradisi baru bertransportasi”, diharapkan dapat memberi angin segar bagi masyarakat DKI untuk berkendara menggunakan fasilitas umum. Ketika itu, begitu luar biasa animo masyarakat untuk sekedar mencoba-coba menaiki moda transportasi baru tersebut. Penetapan tarif cuma- cuma oleh pengelola TransJakarta pada awal mula peresmiannya, menyebabkan masyarakat dari segala lapisan berbondong-bondong untuk naik busway.
Seiring berjalannya waktu, pemerintah setempat dan pengelola TransJakarta mulai menetapkan tarif resmi busway. Namun, masyarakat tetap saja ramai menggunakan moda transportasi ini, mengingat dengan uang Rp 3.500,- para penumpang dapat “berkeliling” Jakarta, meskipun koridor pertamanya baru melayani rute Blok M- Jakarta Kota. Lalu tak lama diikuti dengan pembukaan koridor II (Pulo Gadung- Harmoni) dan koridor III (Kalideres- Harmoni), semakin memantapkan langkah masyarakat untuk lebih menggunakan moda transportasi ini, dilihat dengan ramainya penumpang dan penuhnya bus khususnya pada waktu jam- jam sibuk. Secara teoritis, pada awal- awal peresmian busway, hasil (outcome) dari kebijakan publik pemerintah dalam bidang transportasi umum ini dapat dinikmati oleh masyarakat DKI Jakarta, khususnya para pengguna busway yang merupakan sasaran (target groups) dari implementasi kebijakan publik tersebut. Meskipun angka kemacetan tidak menurun secara signifikan, namun dengan moda transportasi ini sedikit- banyak menyadarkan masyarakat untuk lebih mengutamakan menggunakan kendaraan umum (khususnya busway), yang dianggap sedikit lebih aman dan nyaman dibanding kendaraan umum lainnya.
Menurut dari hasil penelitian dari Institute for Transportation and Development (ITDP), dari setiap 51 mobil kendaraan pribadi di DKI Jakarta biasanya hanya mengangkut 85 penumpang. Sedangkan dengan hanya 1 moda busway saja, juga dapat mengangkut 85 penumpang. Hal inilah yang menjadi acuan dan “penyemangat” pemerintah setempat untuk merampungkan keseluruhan dari Megaproyek ini. Mengingat betapa efisien dan efektifnya Megaproyek ini, bila para pengendara kendaraan pribadi dapat beralih ke busway sehingga nantinya dapat meminimalisir secara signifikan angka kemacetan di DKI. Tidak hanya itu, penelitian dari Teknil Sipil- Transportasi Universitas Trisakti pada Juli lalu menyebutkan, dalam kondisi kemacetan waktu yang dibutuhkan dari daerah Blok M- Jakarta Kota jika dilalui oleh kendaraan pribadi adalah sekitar 115 menit, sedangkan jika menggunakan busway hanya memakan waktu 28 menit saja. Begitu juga rute Pulo Gadung- Harmoni yang berbanding 96 menit dengan 40 menit dan rute Kalideres- Harmoni yang berbanding 106 menit dengan 61 menit. Apakah dengan hasil penelitian yang ada dan menuju ke arah positif dapat dikatakan bahwa kebijakan publik Megaproyek TransJakarta ini sepenuhnya dapat dikatakan berhasil? Jika dilihat dari teori perjalanan kebijakan publik yang penulis paparkan pada bagian sebelumnya, Megaproyek TransJakarta ini telah sampai ke proses pelaksanaannya yang direalisasikan sejak empat tahunan silam, walau hingga saat ini belum rampung seluruhnya. Namun dalam proses terakhir, yaitu penilaiannya, mungkin ada berbagai macam pendapat. Baik yang menyatakan berhasil, kurang berhasil, tidak berhasil, atau malah gagal total.
C. Megaproyek TransJakarta dan permasalahannya hingga saat ini, dikaitkan dengan tahap “public policy evaluation” dalam teori “public policy process” dan teori Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik
Menurut Joko Widodo, Mengukur kinerja kebijakan, program, dan kegiatan berarti melakukan kegiatan evaluasi. Kegiatan evaluasi untuk mengukur kinerja kebijakan berarti merupakan aktifitas dari riset evaluasi kebijakan (policy evaluation research). Jika kebijakan yang diukur adalah kebijakan publik, maka kegiatan risetnya berupa evaluasi kebijakan publik (public policy evaluation). Sedangkan evaluasi kebijakan publik (public policy evaluation) dalam studi kebijakan publik merupakan tahapan akhir dari proses kebijakan publik (public policy process). Evaluasi kebijakan publik merupakan suatu proses untuk menilai seberapa jauh suatu kebijakan publik dapat “membuahkan hasil” yaitu dengan membandingkan antara hasil yang diperoleh dengan tujuan dan/ atau target kebijakan publik yang ditentukan (Darwin, 1996:59).
Kemacetan di DKI Jakarta yang tetap terjadi, malah akhir- akhir ini diperparah dengan pembuatan jalur dan halte busway koridor IX (Pinang Ranti- Pluit) dan koridor X (Cililitan- Tanjung Priok) sedikit- banyak mulai mengganggu aktifitas masyarakat dalam berkendara. Jalan raya Bypass yang selalu ramai dengan kendaraan pribadi dan umum, saat ini salah satu jalurnya malah diambil- alih untuk pembuatan jalur busway koridor X. Sehingga tak dinyana lagi, pada jam- jam sibuk suasana kemacetanlah yang terjadi. Menurut Murphy Hutagalung, Ketua Umum Organisasi Angkutan Darat DKI Jakarta, menyelesaikan macet dengan macet memang harus dilakoni warga Jakarta dalam pembangunan busway. Kepala Pusat Studi Transportasi dan Logistik Universitas Gadjah Mada, Heru Sutomo mengatakan memang harus ada perubahan fundamental di sektor transportasi Jakarta. Meski banyak jalan dilebarkan, jalan baru dibangun, dan jalan bebas hambatan melayang-layang di seantero Jakarta, kemacetan tak kunjung berkurang, bahkan semakin parah. Itu tak lain karena warga Jakarta memang masih enggan pindah ke angkutan umum. Menurutnya lagi, pada 1972 warga Jakarta yang jadi pengguna angkutan umum mencapai 61%, lalu turun menjadi 57% pada 1985, dan 49% pada 1992. Angka masyarakat DKI Jakarta yang menggunakan kendaraan umum terus turun, dan pada 2001 menjadi sekitar 39% saja.
Tidak berhenti sampai di situ, dalam proses pembebasan lahan untuk jalur bus TransJakarta yang akan melewati koridor VIII (Lebak Bulus- Harmoni) juga mengalami berbagai penolakan dari masyarakat. Warga Pondok Indah menentang tegas rencana pembangunan busway koridor VIII tersebut yang direncanakan melintas di Jalan Metro Pondok Indah, Jakarta Selatan. “Kami tidak menolak keberadaan busway, tapi menolak jalur yang akan dilintasinya. Jangan gunakan Jalan Metro Pondok Indah yang merupakan jalan permukiman yang sekarang telah menjadi jalan utama. Pembangunan busway tersebut tak sesuai dengan master plan perumahan Pondok Indah yang mereka beli dengan mahal untuk mendapatkan suasana yang asri tenteram dan nyaman,” kata Mayjen TNI (purn) HM Sulaiman, Ketua Kelompok Peduli Lingkungan Pondok Indah.
Hal- hal seperti di ataslah yang masih mewarnai proses perampungan dan penyelesaian Megaproyek TransJakarta tersebut. Berbagai macam pendapat, baik yang setuju dan yang tidak setuju pada Megaproyek tersebut, tidak menyurutkan niat Pemerintah DKI dan instansi terkait untuk terus berusaha menyelesaikan Megaproyek TransJakarta ini secepat mungkin. Penulis berpendapat, seharusnya pemerintah setempat terlebih dahulu mengadakan pendekatan kepada masyarakat mengenai permasalahan ini, sehingga tidak terjadi perselisihan yang berlarut- larut dan berkepanjangan antara pemerintah dan rakyatnya. Menurut Ginandjar Kartasasmita, pendekatan etika dalam administrasi negara dibedakan menjadi dua macam, pendekatan deontologi dan teleologi (Widodo, 2001:247). Pendekatan deontologi berupaya mendudukkan etika atau moral sebagai prinsip utama (guiding principle) dalam administrasi. Singkat kata, azasnya adalah bahwa proses administrasi harus berlandaskan pada nilai- nilai moral yang mengikat. Sedangkan pendekatan teleologi merupakan pendekatan terhadap etika administrasi yang berpangkal pada diutamakannya “nilai kemanfaatan” yang diperoleh. Setidaknya, melalui pendekatan ini dapat menampung sisi baik maupun buruk dari suatu kebijakan publik.
Dalam praktek perealisasian busway inipun tidak luput dari pengawasan, kontrol, bahkan pengauditan dari pihak yang berwenang. Beberapa waktu lalu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menerima laporan dari sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), Government Watch (GoWa) seputar dugaan korupsi pengadaan armada bus dalam proyek busway. Pada 2003, proyek pengadaan 56 unit bus mencapai Rp 50 miliar. Lalu, pada 2004, jumlah itu ditambah lagi 44 unit dengan anggaran Rp 37, 7 miliar. Jika dihitung, Rp 50 miliar untuk 56 bus itu berarti dari harga satu unit bus Rp 892 juta. Kemudian dana Rp 37, 7 miliar pada APBD 2004 dibagi 44 unit bus menghasilkan harga Rp 856 juta per unit bus. Artinya bus dalam APBD 2003 harganya lebih mahal ketimbang bus dalam APBD 2004. Padahal menurut PT New Armada, perusahaan karoseri mobil yang menjadi rekanan Pemerintah DKI dalam pengadaan bus dalam proyek busway, harga satu bus merek Hino sebesar Rp 821, 7 juta.
Jika dikaitkan dengan Asas- asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB) yang dikemukakan oleh komisi De Monchy, perilaku korupsi di atas tidak sesuai dengan Asas Bertindak Cermat (principle of carefulness). Seharusnya para birokrat yang berwenang senantiasa bertindak hati- hati agar tidak menimbulkan kerugian, sehingga tidak ”bermain api” dengan anggaran dana kebijakan publik tersebut yang merupakan uang rakyat. Berkaitan dengan hal di atas juga tidak sesuai dengan Asas Akuntabilitas yang terkandung dalam Asas- asas Umum Penyelenggaran Negara yang diatur pada UU No. 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Padahal, akuntabilitas atau accountability menurut Hatry (1980:164), merupakan suatu istilah yang diterapkan untuk mengukur apakah dana publik telah digunakan secara tepat untuk tujuan dimana dana publik tadi ditetapkan dan tidak digunakan secara ilegal. Birokrasi publik dikatakan accountable manakala mereka dinilai secara obyektif oleh orang atau institusi yang berada di luar dirinya. Dan apabila kasus korupsi di atas dapat dibuktikan, maka para birokrat yang menjadi tersangka tidak dapat mempertanggung- jawabkan segala macam perbuatan, sikap, dan sepak terjangnya untuk berlaku bersih.
Jika dilihat secara realita dalam pengadaan seluruh koridor busway di DKI, nampaknya masih dalam proses pelaksanaan kebijakan publik yang belum sepenuhnya jadi. Namun, hal ini tidak menampik pendapat penulis mengenai teori penilaian kebijakan publik yang dapat diterapkan pada Megaproyek ini, mengingat sudah hampir rampung dan berjalannya moda transportasi ini, sudah dapat dipastikan busway tidak dapat dipisahkan dari kehidupan masyarakat DKI. Meskipun masih dalam dilema pro dan kontra. Evaluasi kebijakan publik tidak hanya untuk melihat hasil (outcomes) atau dampak (impacts), akan tetapi dapat pula untuk melihat bagaimana proses Implementasi suatu kebijakan dilaksanakan. Dengan kata lain, evaluasi dapat pula digunakan untuk melihat apakah proses pelaksanaan suatu kebijakan telah dilaksanakan sesuai dengan petunjuk teknis/ pelaksana (guide lines) yang telah ditentukan (Widodo, 2001:212).
Penulis berpendapat, kiranya dalam setiap pengimplementasian kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pejabat birokrat yang berwenang tersebut ke tengah masyarakat dapat dipersiapkan dahulu dengan sangat baik dan terencana dengan matang, baik dimulai dari perumusan masalah sampai pelaksanaannya. Hal ini agar tidak terjadi benturan kepentingan dan kekacauan di dalam masyarakat nantinya. Hal ini menurut Edward III (1980:1) disebabkan karena implementasi kebijakan publik (public policy implementation) dalam studi kebijakan publik, merupakan studi yang sangat crucial dalam proses kebijakan publik (public policy process). Bersifat crucial karena bagaaimanapun baiknya suatu kebijakan publik, kalau tidak dipersiapkan dan direncanakan secara baik dalam implementasinya, maka apa yang menjadi tujuan kebijakan publik tidak akan bisa diwujudkan.
Dalam sebuah surat kabar nasional, Gubernur DKI Jakarta yang baru, Fauzi Bowo dalam evaluasinya menyangkut perampungan seluruh koridor busway menyatakan bahwa Dinas Pekerjaan Umum (DPU) dan Dinas Perhubungan (Dishub) diminta untuk mengambil segera langkah- langkah untuk mengurangi kemacetan akibat proyek busway, dengan misalnya melakukan pelebaran jalan serta membuat dan menyosialisasikan jalur alternatif di titik- titik rawan macet. Khusus untuk koridor VIII (Lebak Bulus- Harmoni) akan dilakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) di daerah Pondok Indah. Dengan melalui langkah- langkah yang akan ditempuh pemerintah DKI Jakarta mengenai tindak lanjut dari protes masyarakat setempat mengenai perampungan megaproyek ini, dapat dikatakan sebagai tanggapan dari berbagai keluhan masyarakat.
Secara keseluruhan, pengadaan Megaproyek TransJakarta ini dapat dikatakan cukup berhasil, mengingat betapa busway sudah menjadi fenomena baru di ibukota. Secara fakta, busway telah sedikit- banyak membantu masyarakat Jakarta dalam bertransportasi. Namun, masih banyak kekurangan yang ada, terutama belum berkurangnya kemacetan secara signifikan, yang sekiranya dapat segera dicari jalan keluarnya dan diselesaikan dengan baik. Kiranya hal tersebut dapat segera direalisasikan, sehingga nantinya mendapat dukungan dari masyarakat sepenuhnya dalam setiap kebijakan publik dari pemerintah. Sehingga moto Megaproyek Transjakarta ”Tradisi baru bertransportasi” dapat tercapai. Tradisi baru bukan karena busnya baru. Tradisi baru karena kita (masyarakat dan pengelola) belajar budaya baru, cara bertransportasi yang baru, moderen, dan manusiawi. Jangan sampai gerakan ini kehilangan momentumnya.
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam proses perwujudannya, Megaproyek TransJakarta ini juga tidak lepas dari berbagai permasalahan. Baik dari pembangunan insfrastrukturnya yang terkendala, para pejabat terkait yang melakukan penyelewengan dana, dan sikap pesimisme, bahkan penolakan dari masyarakat
Sebenarnya, untuk menuju suatu kota yang moderen, DKI Jakarta sudah sepantasnya memiliki infrastruktur yang moderen pula. Hal inilah yang menjadi prioritas pemerintahnya. Rakyatpun kiranya boleh mendukung perealisasiannya dari Pemerintah.
B. Saran
Saran penulis dalam kasus Megaproyek TransJakarta ini, pemerintah khususnya Pemda DKI Jakarta kiranya dapat memberikan penjelasan dan keterangan yang sesuai dengan masalah menyangkut perampungan busway ini. Jika ada penolakan dalam masyarakat, kiranya Pemda DKI telah siap dengan argumen yang masuk akal, dan siap dengan jalur solusi alternatif lainnya yang dapat ditawarkan. Sehingga, dalam berbagai pihak tidak ada lagi yang merasa dirugikan.
Akhirnya nanti, tujuan mulia dari Megaproyek TransJakarta untuk mengurangi kemacetan di ruas- ruas jalan raya di Jakarta dapat terealisasi, dan diikuti dengan beralihnya tren masyarakat mengutamakan menggunakan moda transportasi umum (khususnya busway). Jika nantinya ada kebijakan publik yang menyangkut kepentingan khalayak ramai, dimulai dari prosesnya perumusannya dapat dimasukkan pandangan dari masyarakat. Sehingga tercipta kesejahteraan dan keadilan sosial rakyat, sesuai dengan bunyi Pembukaan (Preambule) Undang- Undang Dasar 1945 alinea keempat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar