LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No. 64, 2008
(Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4849)
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2008
TENTANG
P E L A Y A R A N
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang: a. bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara kepulauan berciri nusantara yang disatukan oleh wilayah perairan sangat luas dengan batas-batas, hak-hak, dan kedaulatan yang ditetapkan dengan Undang-Undang;
b. bahwa dalam upaya mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mewujudkan Wawasan Nusantara serta memantapkan ketahanan nasional diperlukan sistem transportasi nasional untuk mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah, dan memperkukuh kedaulatan negara;
c. bahwa pelayaran yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, dan perlindungan lingkungan maritim, merupakan bagian dari sistem transportasi nasional yang harus dikembangkan potensi dan peranannya untuk mewujudkan sistem transportasi yang efektif dan efisien, serta membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis;
d. bahwa perkembangan lingkungan strategis nasional dan internasional menuntut penyelenggaraan pelayaran yang sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, peran serta swasta dan persaingan usaha, otonomi daerah, dan akuntabilitas penyelenggara negara, dengan tetap mengutamakan keselamatan dan keamanan pelayaran demi kepentingan nasional;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran sudah tidak sesuai lagi dengan kebutuhan penyelenggaraan pelayaran saat ini sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e, perlu membentuk Undang-Undang tentang Pelayaran;
Mengingat: Pasal 5 ayat (1), Pasal 20 ayat (1), Pasal 25A, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PELAYARAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Pelayaran adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim.
2. Perairan Indonesia adalah laut teritorial Indonesia beserta perairan kepulauan dan perairan pedalamannya.
3. Angkutan di Perairan adalah kegiatan mengangkut dan/atau memindahkan penumpang dan/atau barang dengan menggunakan kapal.
4. Angkutan Laut Khusus adalah kegiatan angkutan untuk melayani kepentingan usaha sendiri dalam menunjang usaha pokoknya.
5. Angkutan Laut Pelayaran-Rakyat adalah usaha rakyat yang bersifat tradisional dan mempunyai karakteristik tersendiri untuk melaksanakan angkutan di perairan dengan menggunakan kapal layar, kapal layar bermotor, dan/atau kapal motor sederhana berbendera Indonesia dengan ukuran tertentu.
6. Trayek adalah rute atau lintasan pelayanan angkutan dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya.
7. Agen Umum adalah perusahaan angkutan laut nasional atau perusahaan nasional yang khusus didirikan untuk melakukan usaha keagenan kapal, yang ditunjuk oleh perusahaan angkutan laut asing untuk mengurus kepentingan kapalnya selama berada di Indonesia.
8. Pelayaran-Perintis adalah pelayanan angkutan di perairan pada trayek-trayek yang ditetapkan oleh Pemerintah untuk melayani daerah atau wilayah yang belum atau tidak terlayani oleh angkutan perairan karena belum memberikan manfaat komersial.
9. Usaha Jasa Terkait adalah kegiatan usaha yang bersifat memperlancar proses kegiatan di bidang pelayaran.
10. Angkutan Multimoda adalah angkutan barang dengan menggunakan paling sedikit 2 (dua) moda angkutan yang berbeda atas dasar 1 (satu) kontrak yang menggunakan dokumen angkutan multimoda dari satu tempat diterimanya barang oleh operator angkutan multimoda ke suatu tempat yang ditentukan untuk penyerahan barang tersebut.
11. Usaha Pokok adalah jenis usaha yang disebutkan di dalam surat izin usaha suatu perusahaan.
12. Hipotek Kapal adalah hak agunan kebendaan atas kapal yang terdaftar untuk menjamin pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor lain.
13. Piutang-Pelayaran yang Didahulukan adalah tagihan yang wajib dilunasi lebih dahulu dari hasil eksekusi kapal mendahului tagihan pemegang hipotek kapal.
14. Kepelabuhanan adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan fungsi pelabuhan untuk menunjang kelancaran, keamanan, dan ketertiban arus lalu lintas kapal, penumpang dan/atau barang, keselamatan dan keamanan berlayar, tempat perpindahan intra-dan/atau antarmoda serta mendorong perekonomian nasional dan daerah dengan tetap memperhatikan tata ruang wilayah.
15. Tatanan Kepelabuhanan Nasional adalah suatu sistem kepelabuhanan yang memuat peran, fungsi, jenis, hierarki pelabuhan, Rencana Induk Pelabuhan Nasional, dan lokasi pelabuhan serta keterpaduan intra-dan antarmoda serta keterpaduan dengan sektor lainnya.
16. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri atas daratan dan/atau perairan dengan batas-batas tertentu sebagai tempat kegiatan pemerintahan dan kegiatan pengusahaan yang dipergunakan sebagai tempat kapal bersandar, naik turun penumpang, dan/atau bongkar muat barang, berupa terminal dan tempat berlabuh kapal yang dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan keamanan pelayaran dan kegiatan penunjang pelabuhan serta sebagai tempat perpindahan intra-dan antarmoda transportasi.
17. Pelabuhan Utama adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri dan internasional, alih muat angkutan laut dalam negeri dan internasional dalam jumlah besar, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan antarprovinsi.
18. Pelabuhan Pengumpul adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah menengah, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan antarprovinsi.
19. Pelabuhan Pengumpan adalah pelabuhan yang fungsi pokoknya melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri, alih muat angkutan laut dalam negeri dalam jumlah terbatas, merupakan pengumpan bagi pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul, dan sebagai tempat asal tujuan penumpang dan/atau barang, serta angkutan penyeberangan dengan jangkauan pelayanan dalam provinsi.
20. Terminal adalah fasilitas pelabuhan yang terdiri atas kolam sandar dan tempat kapal bersandar atau tambat, tempat penumpukan, tempat menunggu dan naik turun penumpang, dan/atau tempat bongkar muat barang.
21. Terminal Khusus adalah terminal yang terletak di luar Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan yang merupakan bagian dari pelabuhan terdekat untuk melayani kepentingan sendiri sesuai dengan usaha pokoknya.
22. Terminal untuk Kepentingan Sendiri adalah terminal yang terletak di dalam Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan yang merupakan bagian dari pelabuhan untuk melayani kepentingan sendiri sesuai dengan usaha pokoknya.
23. Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) adalah wilayah perairan dan daratan pada pelabuhan atau terminal khusus yang digunakan secara langsung untuk kegiatan pelabuhan.
24. Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) adalah perairan di sekeliling daerah lingkungan kerja perairan pelabuhan yang dipergunakan untuk menjamin keselamatan pelayaran.
25. Rencana Induk Pelabuhan adalah pengaturan ruang pelabuhan berupa peruntukan rencana tata guna tanah dan perairan di Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan.
26. Otoritas Pelabuhan (Port Authority) adalah lembaga pemerintah di pelabuhan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan yang diusahakan secara komersial.
27. Unit Penyelenggara Pelabuhan adalah lembaga pemerintah di pelabuhan sebagai otoritas yang melaksanakan fungsi pengaturan, pengendalian, pengawasan kegiatan kepelabuhanan, dan pemberian pelayanan jasa kepelabuhanan untuk pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial.
28. Badan Usaha Pelabuhan adalah badan usaha yang kegiatan usahanya khusus di bidang pengusahaan terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya.
29. Kolam Pelabuhan adalah perairan di depan dermaga yang digunakan untuk kepentingan operasional sandar dan olah gerak kapal.
30. Tata Ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang.
31. Penataan Ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang.
32. Keselamatan dan Keamanan Pelayaran adalah suatu keadaan terpenuhinya persyaratan keselamatan dan keamanan yang menyangkut angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan lingkungan maritim.
33. Kelaiklautan Kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan keselamatan kapal, pencegahan pencemaran perairan dari kapal, pengawakan, garis muat, pemuatan, kesejahteraan Awak Kapal dan kesehatan penumpang, status hukum kapal, manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal, dan manajemen keamanan kapal untuk berlayar di perairan tertentu.
34. Keselamatan Kapal adalah keadaan kapal yang memenuhi persyaratan material, konstruksi, bangunan, permesinan dan perlistrikan, stabilitas, tata susunan serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan radio, elektronik kapal, yang dibuktikan dengan sertifikat setelah dilakukan pemeriksaan dan pengujian.
35. Badan Klasifikasi adalah lembaga klasifikasi kapal yang melakukan pengaturan kekuatan konstruksi dan permesinan kapal, jaminan mutu material marine, pengawasan pembangunan, pemeliharaan, dan perombakan kapal sesuai dengan peraturan klasifikasi.
36. Kapal adalah kendaraan air dengan bentuk dan jenis tertentu, yang digerakkan dengan tenaga angin, tenaga mekanik, energi lainnya, ditarik atau ditunda, termasuk kendaraan yang berdaya dukung dinamis, kendaraan di bawah permukaan air, serta alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah.
37. Kapal Perang adalah kapal Tentara Nasional Indonesia yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
38. Kapal Negara adalah kapal milik negara digunakan oleh instansi Pemerintah tertentu yang diberi fungsi dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menegakkan hukum serta tugas-tugas Pemerintah lainnya.
39. Kapal Asing adalah kapal yang berbendera selain bendera Indonesia dan tidak dicatat dalam daftar kapal Indonesia.
40. Awak Kapal adalah orang yang bekerja atau dipekerjakan di atas kapal oleh pemilik atau operator kapal untuk melakukan tugas di atas kapal sesuai dengan jabatannya yang tercantum dalam buku sijil.
41. Nakhoda adalah salah seorang dari Awak Kapal yang menjadi pemimpin tertinggi di kapal dan mempunyai wewenang dan tanggung jawab tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
42. Anak Buah Kapal adalah Awak Kapal selain Nakhoda.
43. Kenavigasian adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran, Telekomunikasi-Pelayaran, hidrografi dan meteorologi, alur dan perlintasan, pengerukan dan reklamasi, pemanduan, penanganan kerangka kapal, salvage dan pekerjaan bawah air untuk kepentingan keselamatan pelayaran kapal.
44. Navigasi adalah proses mengarahkan gerak kapal dari satu titik ke titik yang lain dengan aman dan lancar serta untuk menghindari bahaya dan/atau rintangan-pelayaran.
45. Alur-Pelayaran adalah perairan yang dari segi kedalaman, lebar, dan bebas hambatan pelayaran lainnya dianggap aman dan selamat untuk dilayari.
46. Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran adalah peralatan atau sistem yang berada di luar kapal yang didesain dan dioperasikan untuk meningkatkan keselamatan dan efisiensi bernavigasi kapal dan/atau lalu lintas kapal.
47. Telekomunikasi-Pelayaran adalah telekomunikasi khusus untuk keperluan dinas pelayaran yang merupakan setiap pemancaran, pengiriman atau penerimaan tiap jenis tanda, gambar, suara dan informasi dalam bentuk apa pun melalui sistem kawat, optik, radio, atau sistem elektromagnetik lainnya dalam dinas bergerak-pelayaran yang merupakan bagian dari keselamatan pelayaran.
48. Pemanduan adalah kegiatan pandu dalam membantu, memberikan saran, dan informasi kepada Nakhoda tentang keadaan perairan setempat yang penting agar navigasi-pelayaran dapat dilaksanakan dengan selamat, tertib, dan lancar demi keselamatan kapal dan lingkungan.
49. Perairan Wajib Pandu adalah wilayah perairan yang karena kondisi perairannya mewajibkan dilakukan pemanduan kepada kapal yang melayarinya.
50. Pandu adalah pelaut yang mempunyai keahlian di bidang nautika yang telah memenuhi persyaratan untuk melaksanakan pemanduan kapal.
51. Pekerjaan Bawah Air adalah pekerjaan yang berhubungan dengan instalasi, konstruksi, atau kapal yang dilakukan di bawah air dan/atau pekerjaan di bawah air yang bersifat khusus, yaitu penggunaan peralatan bawah air yang dioperasikan dari permukaan air.
52. Pengerukan adalah pekerjaan mengubah bentuk dasar perairan untuk mencapai kedalaman dan lebar yang dikehendaki atau untuk mengambil material dasar perairan yang dipergunakan untuk keperluan tertentu.
53. Reklamasi adalah pekerjaan timbunan di perairan atau pesisir yang mengubah garis pantai dan/atau kontur kedalaman perairan.
54. Kerangka Kapal adalah setiap kapal yang tenggelam atau kandas atau terdampar dan telah ditinggalkan.
55. Salvage adalah pekerjaan untuk memberikan pertolongan terhadap kapal dan/atau muatannya yang mengalami kecelakaan kapal atau dalam keadaan bahaya di perairan termasuk mengangkat kerangka kapal atau rintangan bawah air atau benda lainnya.
56. Syahbandar adalah pejabat pemerintah di pelabuhan yang diangkat oleh Menteri dan memiliki kewenangan tertinggi untuk menjalankan dan melakukan pengawasan terhadap dipenuhinya ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran.
57. Perlindungan Lingkungan Maritim adalah setiap upaya untuk mencegah dan menanggulangi pencemaran lingkungan perairan yang bersumber dari kegiatan yang terkait dengan pelayaran.
58. Mahkamah Pelayaran adalah panel ahli yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Menteri yang bertugas untuk melakukan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal.
59. Penjagaan Laut dan Pantai (Sea and Coast Guard) adalah lembaga yang melaksanakan fungsi penjagaan dan penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri.
60. Badan Usaha adalah Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau badan hukum Indonesia yang khusus didirikan untuk pelayaran.
61. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
62. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
63. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
64. Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran.
BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
Pelayaran diselenggarakan berdasarkan:
a. asas manfaat;
b. asas usaha bersama dan kekeluargaan;
c. asas persaingan sehat;
d. asas adil dan merata tanpa diskriminasi;
e. asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan;
f. asas kepentingan umum;
g. asas keterpaduan;
h. asas tegaknya hukum;
i. asas kemandirian;
j. asas berwawasan lingkungan hidup;
k. asas kedaulatan negara; dan
l. asas kebangsaan.
Pasal 3
Pelayaran diselenggarakan dengan tujuan:
a. memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui perairan dengan mengutamakan dan melindungi angkutan di perairan dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional;
b. membina jiwa kebaharian;
c. menjunjung kedaulatan negara;
d. menciptakan daya saing dengan mengembangkan industri angkutan perairan nasional;
e. menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional;
f. memperkukuh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara; dan
g. meningkatkan ketahanan nasional.
BAB III
RUANG LINGKUP BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG
Pasal 4
Undang-Undang ini berlaku untuk:
a. semua kegiatan angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim di perairan Indonesia;
b. semua kapal asing yang berlayar di perairan Indonesia; dan
c. semua kapal berbendera Indonesia yang berada di luar perairan Indonesia.
BAB IV
PEMBINAAN
Pasal 5
(1) Pelayaran dikuasai oleh negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Pembinaan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengaturan;
b. pengendalian; dan
c. pengawasan.
(3) Pengaturan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi penetapan kebijakan umum dan teknis, antara lain, penentuan norma, standar, pedoman, kriteria, perencanaan, dan prosedur termasuk persyaratan keselamatan dan keamanan pelayaran serta perizinan.
(4) Pengendalian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b meliputi pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, perizinan, sertifikasi, serta bantuan teknis di bidang pembangunan dan pengoperasian.
(5) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c meliputi kegiatan pengawasan pembangunan dan pengoperasian agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk melakukan tindakan korektif dan penegakan hukum.
(6) Pembinaan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dengan memperhatikan seluruh aspek kehidupan masyarakat dan diarahkan untuk:
a. memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang secara massal melalui perairan dengan selamat, aman, cepat, lancar, tertib dan teratur, nyaman, dan berdaya guna, dengan biaya yang terjangkau oleh daya beli masyarakat;
b. meningkatkan penyelenggaraan kegiatan angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan, serta perlindungan lingkungan maritim sebagai bagian dari keseluruhan moda transportasi secara terpadu dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi;
c. mengembangkan kemampuan armada angkutan nasional yang tangguh di perairan serta didukung industri perkapalan yang andal sehingga mampu memenuhi kebutuhan angkutan, baik di dalam negeri maupun dari dan ke luar negeri;
d. mengembangkan usaha jasa angkutan di perairan nasional yang andal dan berdaya saing serta didukung kemudahan memperoleh pendanaan, keringanan perpajakan, dan industri perkapalan yang tangguh sehingga mampu mandiri dan bersaing;
e. meningkatkan kemampuan dan peranan kepelabuhanan serta keselamatan dan keamanan pelayaran dengan menjamin tersedianya alur-pelayaran, kolam pelabuhan, dan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran yang memadai dalam rangka menunjang angkutan di perairan;
f. mewujudkan sumber daya manusia yang berjiwa bahari, profesional, dan mampu mengikuti perkembangan kebutuhan penyelenggaraan pelayaran; dan
g. memenuhi perlindungan lingkungan maritim dengan upaya pencegahan dan penanggulangan pencemaran yang bersumber dari kegiatan angkutan di perairan, kepelabuhanan, serta keselamatan dan keamanan.
(7) Pemerintah daerah melakukan pembinaan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (6) sesuai dengan kewenangannya.
BAB V
ANGKUTAN DI PERAIRAN
Bagian Kesatu
Jenis Angkutan di Perairan
Pasal 6
Jenis angkutan di perairan terdiri atas:
a. angkutan laut;
b. angkutan sungai dan danau; dan
c. angkutan penyeberangan.
Bagian Kedua
Angkutan Laut
Paragraf 1
Jenis Angkutan Laut
Pasal 7
Angkutan laut terdiri atas:
a. angkutan laut dalam negeri;
b. angkutan laut luar negeri;
c. angkutan laut khusus; dan
d. angkutan laut pelayaran-rakyat.
Paragraf 2
Angkutan Laut Dalam Negeri
Pasal 8
(1) Kegiatan angkutan laut dalam negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia serta diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia.
(2) Kapal asing dilarang mengangkut penumpang dan/atau barang antarpulau atau antarpelabuhan di wilayah perairan Indonesia.
Pasal 9
(1) Kegiatan angkutan laut dalam negeri disusun dan dilaksanakan secara terpadu, baik intra-maupun antarmoda yang merupakan satu kesatuan sistem transportasi nasional.
(2) Kegiatan angkutan laut dalam negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan trayek tetap dan teratur (liner) serta dapat dilengkapi dengan trayek tidak tetap dan tidak teratur (tramper).
(3) Kegiatan angkutan laut dalam negeri yang melayani trayek tetap dan teratur dilakukan dalam jaringan trayek.
(4) Jaringan trayek tetap dan teratur angkutan laut dalam negeri disusun dengan memperhatikan:
a. pengembangan pusat industri, perdagangan, dan pariwisata;
b. pengembangan wilayah dan/atau daerah;
c. rencana umum tata ruang;
d. keterpaduan intra-dan antarmoda transportasi; dan
e. perwujudan Wawasan Nusantara.
(5) Penyusunan jaringan trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan bersama oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan asosiasi perusahaan angkutan laut nasional dengan memperhatikan masukan asosiasi pengguna jasa angkutan laut.
(6) Jaringan trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) ditetapkan oleh Menteri.
(7) Pengoperasian kapal pada jaringan trayek tetap dan teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dengan mempertimbangkan:
a. kelaiklautan kapal;
b. menggunakan kapal berbendera Indonesia dan diawaki oleh warga negara Indonesia;
c. keseimbangan permintaan dan tersedianya ruangan;
d. kondisi alur dan fasilitas pelabuhan yang disinggahi; dan
e. tipe dan ukuran kapal sesuai dengan kebutuhan.
(8) Pengoperasian kapal pada trayek tidak tetap dan tidak teratur sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dan wajib dilaporkan kepada Pemerintah.
Pasal 10
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan laut dalam negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 3
Angkutan Laut Luar Negeri
Pasal 11
(1) Kegiatan angkutan laut dari dan ke luar negeri dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional dan/atau perusahaan angkutan laut asing dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia dan/atau kapal asing.
(2) Kegiatan angkutan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan agar perusahaan angkutan laut nasional memperoleh pangsa muatan yang wajar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Kegiatan angkutan laut dari dan ke luar negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang termasuk angkutan laut lintas batas dapat dilakukan dengan trayek tetap dan teratur serta trayek tidak tetap dan tidak teratur.
(4) Perusahaan angkutan laut asing hanya dapat melakukan kegiatan angkutan laut ke dan dari pelabuhan Indonesia yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dan wajib menunjuk perusahaan nasional sebagai agen umum.
(5) Perusahaan angkutan laut asing yang melakukan kegiatan angkutan laut ke atau dari pelabuhan Indonesia yang terbuka untuk perdagangan luar negeri secara berkesinambungan dapat menunjuk perwakilannya di Indonesia.
Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan laut luar negeri, keagenan umum, dan perwakilan perusahaan angkutan laut asing diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 4
Angkutan Laut Khusus
Pasal 13
(1) Kegiatan angkutan laut khusus dilakukan oleh badan usaha untuk menunjang usaha pokok untuk kepentingan sendiri dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal dan diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia.
(2) Kegiatan angkutan laut khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan izin operasi dari Pemerintah.
(3) Kegiatan angkutan laut khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang laik laut dengan kondisi dan persyaratan kapal sesuai dengan jenis kegiatan usaha pokoknya.
(4) Kegiatan angkutan laut khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilarang mengangkut muatan atau barang milik pihak lain dan/atau mengangkut muatan atau barang umum kecuali dalam hal keadaan tertentu berdasarkan izin Pemerintah.
(5) Keadaan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (4) berupa:
a. tidak tersedianya kapal; dan
b. belum adanya perusahaan angkutan yang mampu melayani sebagian atau seluruh permintaan jasa angkutan yang ada.
(6) Pelaksana kegiatan angkutan laut asing yang melakukan kegiatan angkutan laut khusus ke pelabuhan Indonesia yang terbuka bagi perdagangan luar negeri wajib menunjuk perusahaan angkutan laut nasional atau pelaksana kegiatan angkutan laut khusus sebagai agen umum.
(7) Pelaksana kegiatan angkutan laut khusus hanya dapat menjadi agen bagi kapal yang melakukan kegiatan yang sejenis dengan usaha pokoknya.
Pasal 14
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan laut khusus diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 5
Angkutan Laut Pelayaran-Rakyat
Pasal 15
(1) Kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat sebagai usaha masyarakat yang bersifat tradisional dan merupakan bagian dari usaha angkutan di perairan mempunyai peranan yang penting dan karakteristik tersendiri.
(2) Kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal serta diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal 16
(1) Pembinaan angkutan laut pelayaran-rakyat dilaksanakan agar kehidupan usaha dan peranan penting angkutan laut pelayaran-rakyat tetap terpelihara sebagai bagian dari potensi angkutan laut nasional yang merupakan satu kesatuan sistem transportasi nasional.
(2) Pengembangan angkutan laut pelayaran-rakyat dilaksanakan untuk:
a. meningkatkan pelayanan ke daerah pedalaman dan/atau perairan yang memiliki alur dengan kedalaman terbatas termasuk sungai dan danau;
b. meningkatkan kemampuannya sebagai lapangan usaha angkutan laut nasional dan lapangan kerja; dan
c. meningkatkan kompetensi sumber daya manusia dan kewiraswastaan dalam bidang usaha angkutan laut nasional.
(3) Armada angkutan laut pelayaran-rakyat dapat dioperasikan di dalam negeri dan lintas batas, baik dengan trayek tetap dan teratur maupun trayek tidak tetap dan tidak teratur.
Pasal 17
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Angkutan Sungai dan Danau
Pasal 18
(1) Kegiatan angkutan sungai dan danau di dalam negeri dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal serta diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia.
(2) Kegiatan angkutan sungai dan danau antara Negara Republik Indonesia dan negara tetangga dilakukan berdasarkan perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara tetangga yang bersangkutan.
(3) Angkutan sungai dan danau yang dilakukan antara dua negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan oleh kapal berbendera Indonesia dan/atau kapal berbendera negara yang bersangkutan.
(4) Kegiatan angkutan sungai dan danau disusun dan dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan intra-dan antarmoda yang merupakan satu kesatuan sistem transportasi nasional.
(5) Kegiatan angkutan sungai dan danau dapat dilaksanakan dengan menggunakan trayek tetap dan teratur atau trayek tidak tetap dan tidak teratur.
(6) Kegiatan angkutan sungai dan danau dilarang dilakukan di laut kecuali mendapat izin dari Syahbandar dengan tetap memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal.
Pasal 19
(1) Untuk menunjang usaha pokok dapat dilakukan kegiatan angkutan sungai dan danau untuk kepentingan sendiri.
(2) Kegiatan angkutan sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dengan izin Pemerintah.
Pasal 20
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan sungai dan danau diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Angkutan Penyeberangan
Pasal 21
(1) Kegiatan angkutan penyeberangan di dalam negeri dilakukan oleh badan usaha dengan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal serta diawaki oleh Awak Kapal berkewarganegaraan Indonesia.
(2) Kegiatan angkutan penyeberangan antara Negara Republik Indonesia dan negara tetangga dilakukan berdasarkan perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara yang bersangkutan.
(3) Angkutan penyeberangan yang dilakukan antara dua negara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) hanya dapat dilakukan oleh kapal berbendera Indonesia dan/atau kapal berbendera negara yang bersangkutan.
Pasal 22
(1) Angkutan penyeberangan merupakan angkutan yang berfungsi sebagai jembatan yang menghubungkan jaringan jalan atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan untuk mengangkut penumpang dan kendaraan beserta muatannya.
(2) Penetapan lintas angkutan penyeberangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. pengembangan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan;
b. fungsi sebagai jembatan;
c. hubungan antara dua pelabuhan, antara pelabuhan dan terminal, dan antara dua terminal penyeberangan dengan jarak tertentu;
d. tidak mengangkut barang yang diturunkan dari kendaraan pengangkutnya;
e. Rencana Tata Ruang Wilayah; dan
f. jaringan trayek angkutan laut sehingga dapat mencapai optimalisasi keterpaduan angkutan antar-dan intramoda.
(3) Angkutan penyeberangan dilaksanakan dengan menggunakan trayek tetap dan teratur.
Pasal 23
Ketentuan lebih lanjut mengenai kegiatan angkutan penyeberangan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Angkutan di Perairan untuk Daerah Masih Tertinggal
dan/atau Wilayah Terpencil
Pasal 24
(1) Angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil wajib dilaksanakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(2) Angkutan di perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan pelayaran-perintis dan penugasan.
(3) Pelayaran-perintis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan dengan biaya yang disediakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(4) Penugasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan kepada perusahaan angkutan laut nasional dengan mendapatkan kompensasi dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sebesar selisih antara biaya produksi dan tarif yang ditetapkan Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sebagai kewajiban pelayanan publik.
(5) Pelayaran-perintis dan penugasan dilaksanakan secara terpadu dengan sektor lain berdasarkan pendekatan pembangunan wilayah.
(6) Angkutan perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil dievaluasi oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah setiap tahun.
Pasal 25
Pelayaran-perintis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 dapat dilakukan dengan cara kontrak jangka panjang dengan perusahaan angkutan di perairan menggunakan kapal berbendera Indonesia yang memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal yang diawaki oleh warga negara Indonesia.
Pasal 26
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayaran-perintis dan penugasan pada angkutan di perairan untuk daerah masih tertinggal dan/atau wilayah terpencil diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Perizinan Angkutan
Pasal 27
Untuk melakukan kegiatan angkutan di perairan orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha wajib memiliki izin usaha.
Pasal 28
(1) Izin usaha angkutan laut diberikan oleh:
a. bupati/walikota yang bersangkutan bagi badan usaha yang berdomisili dalam wilayah kabupaten/kota dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota;
b. gubernur provinsi yang bersangkutan bagi badan usaha yang berdomisili dalam wilayah provinsi dan beroperasi pada lintas pelabuhan antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi; atau
c. Menteri bagi badan usaha yang melakukan kegiatan pada lintas pelabuhan antarprovinsi dan internasional.
(2) Izin usaha angkutan laut pelayaran-rakyat diberikan oleh:
a. bupati/walikota yang bersangkutan bagi orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berdomisili dalam wilayah kabupaten/kota dan beroperasi pada lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota; atau
b. gubernur yang bersangkutan bagi orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berdomisili dan beroperasi pada lintas pelabuhan antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi, pelabuhan antarprovinsi, dan pelabuhan internasional.
(3) Izin usaha angkutan sungai dan danau diberikan oleh:
a. bupati/walikota sesuai dengan domisili orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha; atau
b. Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha yang berdomisili di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
(4) Selain memiliki izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) untuk angkutan sungai dan danau kapal yang dioperasikan wajib memilki izin trayek yang diberikan oleh:
a. bupati/walikota yang bersangkutan bagi kapal yang melayani trayek dalam wilayah kabupaten/kota;
b. gubernur provinsi yang bersangkutan bagi kapal yang melayani trayek antarkabupaten/kota dalam wilayah provinsi; atau
c. Menteri bagi kapal yang melayani trayek antarprovinsi dan/atau antarnegara.
(5) Izin usaha angkutan penyeberangan diberikan oleh:
a. bupati/walikota sesuai dengan domisili badan usaha; atau
b. Gubernur Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta untuk badan usaha yang berdomisili di Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
(6) Selain memilik izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk angkutan penyeberangan, kapal yang dioperasikan wajib memiliki persetujuan pengoperasian kapal yang diberikan oleh:
a. bupati/walikota yang bersangkutan bagi kapal yang melayani lintas pelabuhan dalam wilayah kabupaten/kota;
b. gubernur provinsi yang bersangkutan bagi kapal yang melayani lintas pelabuhan antarkabupaten/kota dalam provinsi; dan
c. Menteri bagi kapal yang melayani lintas pelabuhan antarprovinsi dan/atau antarnegara.
Pasal 29
(1) Untuk mendapatkan izin usaha angkutan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) badan usaha wajib memiliki kapal berbendera Indonesia dengan ukuran sekurang-kurangnya GT 175 (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage).
(2) Orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan usaha dapat melakukan kerja sama dengan perusahaan angkutan laut asing atau badan hukum asing atau warga negara asing dalam bentuk usaha patungan (joint venture) dengan membentuk perusahaan angkutan laut yang memiliki kapal berbendera Indonesia paling sedikit 1 (satu) unit kapal dengan ukuran GT 5000 (lima ribu Gross Tonnage) dan diawaki oleh awak berkewarganegaraan Indonesia.
Pasal 30
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perizinan angkutan di perairan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketujuh
Usaha Jasa Terkait dengan Angkutan di Perairan
Pasal 31
(1) Untuk kelancaran kegiatan angkutan di perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dapat diselenggarakan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan.
(2) Usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. bongkar muat barang;
b. jasa pengurusan transportasi;
c. angkutan perairan pelabuhan;
d. penyewaan peralatan angkutan laut atau peralatan jasa terkait dengan angkutan laut;
e. tally mandiri;
f. depo peti kemas;
g. pengelolaan kapal (ship management);
h. perantara jual beli dan/atau sewa kapal (ship broker);
i. keagenan Awak Kapal (ship manning agency);
j. keagenan kapal; dan
k. perawatan dan perbaikan kapal (ship repairing and maintenance).
Pasal 32
(1) Usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dilakukan oleh badan usaha yang didirikan khusus untuk itu.
(2) Selain badan usaha yang didirikan khusus untuk itu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kegiatan bongkar muat dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional hanya untuk kegiatan bongkar muat barang tertentu untuk kapal yang dioperasikannya.
(3) Selain badan usaha yang didirikan khusus untuk itu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) kegiatan angkutan perairan pelabuhan dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional.
(4) Kegiatan tally yang bukan tally mandiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) huruf e dapat dilakukan oleh perusahaan angkutan laut nasional, perusahaan bongkar muat, atau perusahaan jasa pengurusan transportasi, terbatas hanya untuk kegiatan cargodoring, receiving/delivery, stuffing, dan stripping peti kemas bagi kepentingannya sendiri.
Pasal 33
Setiap badan usaha yang didirikan khusus untuk usaha jasa terkait sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1) wajib memiliki izin usaha.
Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan perizinan usaha jasa terkait dengan angkutan di perairan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedelapan
Tarif Angkutan dan Usaha Jasa Terkait
Pasal 35
(1) Tarif angkutan di perairan terdiri atas tarif angkutan penumpang dan tarif angkutan barang.
(2) Tarif angkutan penumpang kelas ekonomi ditetapkan oleh Pemerintah.
(3) Tarif angkutan penumpang nonekonomi ditetapkan oleh penyelenggara angkutan berdasarkan tingkat pelayanan yang diberikan.
(4) Tarif angkutan barang ditetapkan oleh penyedia jasa angkutan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa angkutan sesuai dengan jenis, struktur, dan golongan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 36
Tarif usaha jasa terkait ditetapkan oleh penyedia jasa terkait berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan penyedia jasa terkait sesuai dengan jenis, struktur, dan golongan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 37
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis, struktur, dan golongan tarif angkutan dan usaha jasa terkait diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesembilan
Kewajiban dan Tanggung Jawab Pengangkut
Paragraf 1
Wajib Angkut
Pasal 38
(1) Perusahaan angkutan di perairan wajib mengangkut penumpang dan/atau barang terutama angkutan pos yang disepakati dalam perjanjian pengangkutan.
(2) Perjanjian pengangkutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan karcis penumpang dan dokumen muatan.
(3) Dalam keadaan tertentu Pemerintah memobilisasi armada niaga nasional.
Pasal 39
Ketentuan lebih lanjut mengenai wajib angkut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 2
Tanggung Jawab Pengangkut
Pasal 40
(1) Perusahaan angkutan di perairan bertangggung jawab terhadap keselamatan dan keamanan penumpang dan/atau barang yang diangkutnya.
(2) Perusahaan angkutan di perairan bertanggung jawab terhadap muatan kapal sesuai dengan jenis dan jumlah yang dinyatakan dalam dokumen muatan dan/atau perjanjian atau kontrak pengangkutan yang telah disepakati.
Pasal 41
(1) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 dapat ditimbulkan sebagai akibat pengoperasian kapal, berupa:
a. kematian atau lukanya penumpang yang diangkut;
b. musnah, hilang, atau rusaknya barang yang diangkut;
c. keterlambatan angkutan penumpang dan/atau barang yang diangkut; atau
d. kerugian pihak ketiga.
(2) Jika dapat membuktikan bahwa kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, dan huruf d bukan disebabkan oleh kesalahannya, perusahaan angkutan di perairan dapat dibebaskan sebagian atau seluruh tanggung jawabnya.
(3) Perusahaan angkutan di perairan wajib mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan melaksanakan asuransi perlindungan dasar penumpang umum sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 42
(1) Perusahaan angkutan di perairan wajib memberikan fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah usia 5 (lima) tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia.
(2) Pemberian fasilitas khusus dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut biaya tambahan.
Pasal 43
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab pengangkut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 3
Pengangkutan Barang Khusus dan Barang Berbahaya
Pasal 44
Pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya wajib dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 45
(1) Barang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 dapat berupa:
a. kayu gelondongan (logs);
b. barang curah;
c. rel; dan
d. ternak.
(2) Barang berbahaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 berbentuk:
a. bahan cair;
b. bahan padat; dan
c. bahan gas.
(3) Barang berbahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diklasifikasikan sebagai berikut:
a. bahan atau barang peledak (explosives);
b. gas yang dimampatkan, dicairkan, atau dilarutkan dengan tekanan (compressed gases, liquified or dissolved under pressure);
c. cairan mudah menyala/terbakar (flammable liquids);
d. bahan/barang padat mudah menyala/terbakar (flammable solids);
e. bahan atau barang pengoksidasi (oxidizing substances);
f. bahan atau barang beracun dan mudah menular (toxic and infectious substances);
g. bahan atau barang radioaktif (radioactive material);
h. bahan atau barang perusak (corrosive substances); dan
i. berbagai bahan atau zat berbahaya lainnya (miscellaneous dangerous substances).
Pasal 46
Pengangkutan barang berbahaya dan barang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 wajib memenuhi persyaratan:
a. pengemasan, penumpukan, dan penyimpanan di pelabuhan, penanganan bongkar muat, serta penumpukan dan penyimpanan selama berada di kapal;
b. keselamatan sesuai dengan peraturan dan standar, baik nasional maupun internasional bagi kapal khusus pengangkut barang berbahaya; dan
c. pemberian tanda-tanda tertentu sesuai dengan barang berbahaya yang diangkut.
Pasal 47
Pemilik, operator, dan/atau agen perusahaan angkutan laut yang mengangkut barang berbahaya dan barang khusus wajib menyampaikan pemberitahuan kepada Syahbandar sebelum kapal pengangkut barang khusus dan/atau barang berbahaya tiba di pelabuhan.
Pasal 48
Badan Usaha Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan wajib menyediakan tempat penyimpanan atau penumpukan barang berbahaya dan barang khusus untuk menjamin keselamatan dan kelancaran arus lalu lintas barang di pelabuhan serta bertanggung jawab terhadap penyusunan sistem dan prosedur penanganan barang berbahaya dan barang khusus di pelabuhan.
Pasal 49
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkutan barang khusus dan barang berbahaya diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesepuluh
Angkutan Multimoda
Pasal 50
(1) Angkutan perairan dapat merupakan bagian dari angkutan multimoda yang dilaksanakan oleh badan usaha angkutan multimoda.
(2) Kegiatan angkutan perairan dalam angkutan multimoda dilaksanakan berdasarkan perjanjian yang dilaksanakan antara penyedia jasa angkutan perairan dan badan usaha angkutan multimoda dan penyedia jasa moda lainnya.
Pasal 51
(1) Angkutan multimoda dilakukan oleh badan usaha yang telah mendapat izin khusus untuk melakukan angkutan multimoda dari Pemerintah.
(2) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung jawab (liability) terhadap barang sejak diterimanya barang sampai diserahkan kepada penerima barang.
Pasal 52
Pelaksanaan angkutan multimoda dilakukan berdasarkan 1 (satu) dokumen yang diterbitkan oleh penyedia jasa angkutan multimoda.
Pasal 53
(1) Tanggung jawab penyedia jasa angkutan multimoda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (2) meliputi kehilangan atau kerusakan yang terjadi pada barang serta keterlambatan penyerahan barang.
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dikecualikan dalam hal penyedia jasa angkutan multimoda dapat membuktikan bahwa dirinya atau agennya secara layak telah melaksanakan segala tindakan untuk mencegah terjadinya kehilangan, kerusakan barang, serta keterlambatan penyerahan barang.
(3) Tanggung jawab penyedia jasa angkutan multimoda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat terbatas.
Pasal 54
Penyedia jasa angkutan multimoda wajib mengasuransikan tanggung jawabnya.
Pasal 55
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kesebelas
Pemberdayaan Industri Angkutan Perairan Nasional
Pasal 56
Pengembangan dan pengadaan armada angkutan perairan nasional dilakukan dalam rangka memberdayakan angkutan perairan nasional dan memperkuat industri perkapalan nasional yang dilakukan secara terpadu dengan dukungan semua sektor terkait.
Pasal 57
(1) Pemberdayaan industri angkutan perairan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 wajib dilakukan oleh Pemerintah dengan:
a. memberikan fasilitas pembiayaan dan perpajakan;
b. memfasilitasi kemitraan kontrak jangka panjang antara pemilik barang dan pemilik kapal; dan
c. memberikan jaminan ketersediaan bahan bakar minyak untuk angkutan di perairan.
(2) Perkuatan industri perkapalan nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 wajib dilakukan oleh Pemerintah dengan:
a. menetapkan kawasan industri perkapalan terpadu;
b. mengembangkan pusat desain, penelitian, dan pengembangan industri kapal nasional;
c. mengembangkan standardisasi dan komponen kapal dengan menggunakan sebanyak-banyaknya muatan lokal dan melakukan alih teknologi;
d. mengembangkan industri bahan baku dan komponen kapal;
e. memberikan insentif kepada perusahaan angkutan perairan nasional yang membangun dan/atau mereparasi kapal di dalam negeri dan/atau yang melakukan pengadaan kapal dari luar negeri;
f. membangun kapal pada industri galangan kapal nasional apabila biaya pengadaannya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah;
g. membangun kapal yang pendanaannya berasal dari luar negeri dengan menggunakan sebanyak-banyaknya muatan lokal dan pelaksanaan alih teknologi; dan
h. memelihara dan mereparasi kapal pada industri perkapalan nasional yang biayanya dibebankan kepada Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah.
Pasal 58
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemberdayaan industri angkutan perairan dan perkuatan industri perkapalan nasional diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua belas
Sanksi Administratif
Pasal 59
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2), Pasal 9 ayat (8), Pasal 28 ayat (4) dan ayat (6), Pasal 33 dapat dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan;
b. denda administratif;
c. pembekuan izin atau pembekuan sertifikat; atau
d. pencabutan izin atau pencabutan sertifikat.
(2) Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 11 ayat (4) dan Pasal 13 ayat (6) dapat dikenakan sanksi administratif berupa tidak diberikan pelayanan jasa kepelabuhanan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI
HIPOTEK DAN PIUTANG-PELAYARAN
YANG DIDAHULUKAN
Bagian Kesatu
Hipotek
Pasal 60
(1) Kapal yang telah didaftarkan dalam Daftar Kapal Indonesia dapat dijadikan jaminan utang dengan pembebanan hipotek atas kapal.
(2) Pembebanan hipotek atas kapal dilakukan dengan pembuatan akta hipotek oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal.
(3) Setiap akta hipotek diterbitkan 1 (satu) Grosse Akta Hipotek yang diberikan kepada penerima hipotek.
(4) Grosse Akta Hipotek sebagaimana dimaksud pada ayat (3) mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap.
(5) Dalam hal Grosse Akta Hipotek hilang dapat diterbitkan grosse akta pengganti berdasarkan penetapan pengadilan.
Pasal 61
(1) Kapal dapat dibebani lebih dari 1 (satu) hipotek.
(2) Peringkat masing-masing hipotek ditentukan sesuai dengan tanggal dan nomor urut akta hipotek.
Pasal 62
Pengalihan hipotek dari penerima hipotek kepada penerima hipotek yang lain dilakukan dengan membuat akta pengalihan hipotek oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal di tempat kapal didaftarkan dan dicatat dalam Daftar Induk Pendaftaran Kapal.
Pasal 63
(1) Pencoretan hipotek (roya) dilakukan oleh Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal atas permintaan tertulis dari penerima hipotek.
(2) Dalam hal permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh pemberi hipotek, permintaan tersebut dilampiri dengan surat persetujuan pencoretan dari penerima hipotek.
Pasal 64
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembebanan hipotek diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Piutang-Pelayaran yang Didahulukan
Pasal 65
(1) Apabila terdapat gugatan terhadap piutang yang dijamin dengan kapal, pemilik, pencarter, atau operator kapal harus mendahulukan pembayaran piutang-pelayaran yang didahulukan.
(2) Piutang-pelayaran yang didahulukan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yaitu sebagai berikut:
a. untuk pembayaran upah dan pembayaran lainnya kepada Nakhoda, Anak Buah Kapal, dan awak pelengkap lainnya dari kapal dalam hubungan dengan penugasan mereka di kapal, termasuk biaya repatriasi dan kontribusi asuransi sosial yang harus dibiayai;
b. untuk membayar uang duka atas kematian atau membayar biaya pengobatan atas luka-luka badan, baik yang terjadi di darat maupun di laut yang berhubungan langsung dengan pengoperasian kapal;
c. untuk pembayaran biaya salvage atas kapal;
d. untuk biaya pelabuhan dan alur-pelayaran lainnya serta biaya pemanduan; dan
e. untuk membayar kerugian yang ditimbulkan oleh kerugian fisik atau kerusakan yang disebabkan oleh pengoperasian kapal selain dari kerugian atau kerusakan terhadap muatan, peti kemas, dan barang bawaan penumpang yang diangkut di kapal.
(3) Piutang-pelayaran yang didahulukan tidak dapat dibebankan atas kapal untuk menjamin gugatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b dan huruf e apabila tindakan tersebut timbul sebagai akibat dari:
a. kerusakan yang timbul dari angkutan minyak atau bahan berbahaya dan beracun lainnya melalui laut; dan
b. bahan radioaktif atau kombinasi antara bahan radioaktif dengan bahan beracun, eksplosif atau bahan berbahaya dari bahan bakar nuklir, produk, atau sampah radioaktif.
Pasal 66
(1) Pembayaran piutang-pelayaran yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65 diutamakan dari pembayaran piutang gadai, hipotek, dan piutang-piutang yang terdaftar.
(2) Pemilik, pencarter, pengelola, atau operator kapal harus mendahulukan pembayaran terhadap biaya yang timbul selain dari pembayaran piutang-pelayaran yang didahulukan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65.
(3) Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa:
a. biaya yang timbul dari pengangkatan kapal yang tenggelam atau terdampar yang dilakukan oleh Pemerintah untuk menjamin keselamatan pelayaran atau perlindungan lingkungan maritim; dan
b. biaya perbaikan kapal yang menjadi hak galangan atau dok (hak retensi) jika pada saat penjualan paksa kapal sedang berada di galangan atau dok yang berada di wilayah hukum Indonesia.
(4) Piutang-pelayaran sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 65 mempunyai jenjang prioritas sesuai dengan urutannya, kecuali apabila klaim biaya salvage kapal telah timbul terlebih dahulu mendahului klaim yang lain, biaya salvage menjadi prioritas yang lebih dari piutang-pelayaran yang didahulukan lainnya.
BAB VII
KEPELABUHANAN
Bagian Kesatu
Tatanan Kepelabuhanan Nasional
Paragraf 1
Umum
Pasal 67
(1) Tatanan Kepelabuhanan Nasional diwujudkan dalam rangka penyelenggaraan pelabuhan yang andal dan berkemampuan tinggi, menjamin efisiensi, dan mempunyai daya saing global untuk menunjang pembangunan nasional dan daerah yang ber-Wawasan Nusantara.
(2) Tatanan Kepelabuhanan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sistem kepelabuhanan secara nasional yang menggambarkan perencanaan kepelabuhanan berdasarkan kawasan ekonomi, geografi, dan keunggulan komparatif wilayah, serta kondisi alam.
(3) Tatanan Kepelabuhanan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. peran, fungsi, jenis, dan hierarki pelabuhan;
b. Rencana Induk Pelabuhan Nasional; dan
c. lokasi pelabuhan.
Paragraf 2
Peran, Fungsi, Jenis, dan Hierarki Pelabuhan
Pasal 68
Pelabuhan memiliki peran sebagai:
a. simpul dalam jaringan transportasi sesuai dengan hierarkinya;
b. pintu gerbang kegiatan perekonomian;
c. tempat kegiatan alih moda transportasi;
d. penunjang kegiatan industri dan/atau perdagangan;
e. tempat distribusi, produksi, dan konsolidasi muatan atau barang; dan
f. mewujudkan Wawasan Nusantara dan kedaulatan negara.
Pasal 69
Pelabuhan berfungsi sebagai tempat kegiatan:
a. pemerintahan; dan
b. pengusahaan.
Pasal 70
(1) Jenis pelabuhan terdiri atas:
a. pelabuhan laut; dan
b. pelabuhan sungai dan danau.
(2) Pelabuhan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a mempunyai hierarki terdiri atas:
a. pelabuhan utama;
b. pelabuhan pengumpul; dan
c. pelabuhan pengumpan.
Paragraf 3
Rencana Induk Pelabuhan Nasional
Pasal 71
(1) Rencana Induk Pelabuhan Nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 ayat (3) huruf b merupakan pedoman dalam penetapan lokasi, pembangunan, pengoperasian, pengembangan pelabuhan, dan penyusunan Rencana Induk Pelabuhan.
(2) Rencana Induk Pelabuhan Nasional disusun dengan memperhatikan:
a. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;
b. potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah;
c. potensi sumber daya alam; dan
d. perkembangan lingkungan strategis, baik nasional maupun internasional.
(3) Rencana Induk Pelabuhan Nasional memuat:
a. kebijakan pelabuhan nasional; dan
b. rencana lokasi dan hierarki pelabuhan.
(4) Menteri menetapkan Rencana Induk Pelabuhan Nasional untuk jangka waktu 20 (dua puluh) tahun.
(5) Rencana Induk Pelabuhan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat ditinjau kembali 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
(6) Dalam hal terjadi perubahan kondisi lingkungan strategis akibat bencana yang ditetapkan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan Rencana Induk Pelabuhan Nasional dapat ditinjau kembali lebih dari 1 (satu) kali dalam 5 (lima) tahun.
Paragraf 4
Lokasi Pelabuhan
Pasal 72
(1) Penggunaan wilayah daratan dan perairan tertentu sebagai lokasi pelabuhan ditetapkan oleh Menteri sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan Nasional.
(2) Lokasi pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja (DLKr) dan Daerah Lingkungan Kepentingan (DLKp) pelabuhan.
Pasal 73
(1) Setiap pelabuhan wajib memiliki Rencana Induk Pelabuhan.
(2) Rencana Induk Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan memperhatikan:
a. Rencana Induk Pelabuhan Nasional;
b. Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi;
c. Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota;
d. keserasian dan keseimbangan dengan kegiatan lain terkait di lokasi pelabuhan;
e. kelayakan teknis, ekonomis, dan lingkungan; dan
f. keamanan dan keselamatan lalu lintas kapal.
Pasal 74
(1) Rencana Induk Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) meliputi rencana peruntukan wilayah daratan dan rencana peruntukan wilayah perairan.
(2) Rencana peruntukan wilayah daratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasar pada kriteria kebutuhan:
a. fasilitas pokok; dan
b. fasilitas penunjang.
(3) Rencana peruntukan wilayah perairan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berdasar pada kriteria kebutuhan:
a. fasilitas pokok; dan
b. fasilitas penunjang.
Pasal 75
(1) Rencana Induk Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 73 ayat (1) dilengkapi dengan Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan.
(2) Batas Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan koordinat geografis untuk menjamin kegiatan kepelabuhanan.
(3) Daerah Lingkungan Kerja pelabuhan, terdiri atas:
a. wilayah daratan yang digunakan untuk kegiatan fasilitas pokok dan fasilitas penunjang; dan
b. wilayah perairan yang digunakan untuk kegiatan alur-pelayaran, tempat labuh, tempat alih muat antarkapal, kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal, kegiatan pemanduan, tempat perbaikan kapal, dan kegiatan lain sesuai dengan kebutuhan.
(4) Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan merupakan perairan pelabuhan di luar Daerah Lingkungan Kerja perairan yang digunakan untuk alur-pelayaran dari dan ke pelabuhan, keperluan keadaan darurat, pengembangan pelabuhan jangka panjang, penempatan kapal mati, percobaan berlayar, kegiatan pemanduan, fasilitas pembangunan, dan pemeliharaan kapal.
(5) Daratan dan/atau perairan yang ditetapkan sebagai Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikuasai oleh negara dan diatur oleh penyelenggara pelabuhan.
(6) Pada Daerah Lingkungan Kerja pelabuhan yang telah ditetapkan, diberikan hak pengelolaan atas tanah dan/atau pemanfaatan perairan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 76
(1) Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan untuk pelabuhan laut ditetapkan oleh:
a. Menteri untuk pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul setelah mendapat rekomendasi dari gubernur dan bupati/walikota akan kesesuaian dengan tata ruang wilayah provinsi dan kabupaten/kota; dan
b. gubernur atau bupati/walikota untuk pelabuhan pengumpan.
(2) Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan untuk pelabuhan sungai dan danau ditetapkan oleh bupati/walikota.
Pasal 77
Suatu wilayah tertentu di daratan atau di perairan dapat ditetapkan oleh Menteri menjadi lokasi yang berfungsi sebagai pelabuhan, sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota serta memenuhi persyaratan kelayakan teknis dan lingkungan.
Pasal 78
Ketentuan lebih lanjut mengenai pedoman dan tata cara penetapan Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Penyelenggaraan Kegiatan di Pelabuhan
Paragraf 1
Umum
Pasal 79
Kegiatan pemerintahan dan pengusahaan di pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 diselenggarakan secara terpadu dan terkoordinasi.
Paragraf 2
Kegiatan Pemerintahan di Pelabuhan
Pasal 80
(1) Kegiatan pemerintahan di pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 meliputi:
a. pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan;
b. keselamatan dan keamanan pelayaran; dan/atau
c. kepabeanan;
d. keimigrasian;
e. kekarantinaan.
(2) Selain kegiatan pemerintahan di pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdapat kegiatan pemerintahan lainnya yang keberadaannya bersifat tidak tetap.
(3) Pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilaksanakan oleh penyelenggara pelabuhan.
(4) Fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan oleh Syahbandar.
(5) Fungsi kepabeanan, keimigrasian, dan kekarantinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, huruf d, dan huruf e dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Paragraf 3
Penyelenggara Pelabuhan
Pasal 81
(1) Penyelenggara pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (3) yaitu terdiri atas:
a. Otoritas Pelabuhan; atau
b. Unit Penyelenggara Pelabuhan.
(2) Otoritas Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dibentuk pada pelabuhan yang diusahakan secara komersial.
(3) Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud ayat (1) huruf b dibentuk pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial.
(4) Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dapat merupakan Unit Penyelenggara Pelabuhan Pemerintah dan unit penyelenggara pelabuhan pemerintah daerah.
Pasal 82
(1) Otoritas Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf a dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Menteri.
(2) Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf b dibentuk dan bertanggung jawab kepada:
a. Menteri untuk Unit Penyelenggara Pelabuhan Pemerintah; dan
b. gubernur atau bupati/walikota untuk Unit Penyelenggara Pelabuhan pemerintah daerah.
(3) Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) dibentuk untuk 1 (satu) atau beberapa pelabuhan.
(4) Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berperan sebagai wakil Pemerintah untuk memberikan konsesi atau bentuk lainnya kepada Badan Usaha Pelabuhan untuk melakukan kegiatan pengusahaan di pelabuhan yang dituangkan dalam perjanjian.
(5) Hasil konsesi yang diperoleh Otoritas Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan pendapatan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(6) Otoritas Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf a dalam pelaksanaannya harus berkoordinasi dengan pemerintah daerah.
Pasal 83
(1) Untuk melaksanakan fungsi pengaturan dan pembinaan, pengendalian, dan pengawasan kegiatan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1) huruf a Otoritas Pelabuhan mempunyai tugas dan tanggung jawab:
a. menyediakan lahan daratan dan perairan pelabuhan;
b. menyediakan dan memelihara penahan gelombang, kolam pelabuhan, alur-pelayaran, dan jaringan jalan;
c. menyediakan dan memelihara Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran;
d. menjamin keamanan dan ketertiban di pelabuhan;
e. menjamin dan memelihara kelestarian lingkungan di pelabuhan;
f. menyusun Rencana Induk Pelabuhan, serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan;
g. mengusulkan tarif untuk ditetapkan Menteri, atas penggunaan perairan dan/atau daratan, dan fasilitas pelabuhan yang disediakan oleh Pemerintah serta jasa kepelabuhanan yang diselenggarakan oleh Otoritas Pelabuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
h. menjamin kelancaran arus barang.
(2) Selain tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Otoritas Pelabuhan melaksanakan kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan yang diperlukan oleh pengguna jasa yang belum disediakan oleh Badan Usaha Pelabuhan.
Pasal 84
Untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 Otoritas Pelabuhan mempunyai wewenang:
a. mengatur dan mengawasi penggunaan lahan daratan dan perairan pelabuhan;
b. mengawasi penggunaan dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan;
c. mengatur lalu lintas kapal ke luar masuk pelabuhan melalui pemanduan kapal; dan
d. menetapkan standar kinerja operasional pelayanan jasa kepelabuhanan.
Pasal 85
Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) diberi hak pengelolaan atas tanah dan pemanfaatan perairan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 86
Aparat Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan merupakan pegawai negeri sipil yang mempunyai kemampuan dan kompetensi di bidang kepelabuhanan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan.
Pasal 87
Unit Penyelenggara Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 ayat (1) huruf b mempunyai tugas dan tanggung jawab:
a. menyediakan dan memelihara penahan gelombang, kolam pelabuhan, dan alur-pelayaran;
b. menyediakan dan memelihara Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran;
c. menjamin keamanan dan ketertiban di pelabuhan;
d. memelihara kelestarian lingkungan di pelabuhan;
e. menyusun Rencana Induk Pelabuhan, serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan;
f. menjamin kelancaran arus barang; dan
g. menyediakan fasilitas pelabuhan.
Pasal 88
(1) Dalam mendukung kawasan perdagangan bebas dapat diselenggarakan pelabuhan tersendiri.
(2) Penyelenggaraan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kawasan perdagangan bebas.
(3) Pelaksanaan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran pada pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini.
Pasal 89
Ketentuan lebih lanjut mengenai Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 4
Kegiatan Pengusahaan di Pelabuhan
Pasal 90
(1) Kegiatan pengusahaan di pelabuhan terdiri atas penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan dan jasa terkait dengan kepelabuhanan.
(2) Penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang.
(3) Penyediaan dan/atau pelayanan jasa kapal, penumpang, dan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri atas:
a. penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga untuk bertambat;
b. penyediaan dan/atau pelayanan pengisian bahan bakar dan pelayanan air bersih;
c. penyediaan dan/atau pelayanan fasilitas naik turun penumpang dan/atau kendaraan;
d. penyediaan dan/atau pelayanan jasa dermaga untuk pelaksanaan kegiatan bongkar muat barang dan peti kemas;
e. penyediaan dan/atau pelayanan jasa gudang dan tempat penimbunan barang, alat bongkar muat, serta peralatan pelabuhan;
f. penyediaan dan/atau pelayanan jasa terminal peti kemas, curah cair, curah kering, dan Ro-Ro;
g. penyediaan dan/atau pelayanan jasa bongkar muat barang;
h. penyediaan dan/atau pelayanan pusat distribusi dan konsolidasi barang; dan/atau
i. penyediaan dan/atau pelayanan jasa penundaan kapal.
(4) Kegiatan jasa terkait dengan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan yang menunjang kelancaran operasional dan memberikan nilai tambah bagi pelabuhan.
Pasal 91
(1) Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) pada pelabuhan yang diusahakan secara komersial dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan sesuai dengan jenis izin usaha yang dimilikinya.
(2) Kegiatan pengusahaan yang dilakukan oleh Badan Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan untuk lebih dari satu terminal.
(3) Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) pada pelabuhan yang belum diusahakan secara komersial dilaksanakan oleh Unit Penyelenggara Pelabuhan.
(4) Dalam keadaan tertentu, terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya pada pelabuhan yang diusahakan Unit Penyelenggara Pelabuhan dapat dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan berdasarkan perjanjian.
(5) Kegiatan jasa terkait dengan kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) dapat dilakukan oleh orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan usaha.
Pasal 92
Kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan yang dilaksanakan oleh Badan Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (1) dilakukan berdasarkan konsesi atau bentuk lainnya dari Otoritas Pelabuhan, yang dituangkan dalam perjanjian.
Paragraf 5
Badan Usaha Pelabuhan
Pasal 93
Badan Usaha Pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 berperan sebagai operator yang mengoperasikan terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya.
Pasal 94
Dalam melaksanakan kegiatan penyediaan dan/atau pelayanan jasa kepelabuhanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 90 ayat (1) Badan Usaha Pelabuhan berkewajiban:
a. menyediakan dan memelihara kelayakan fasilitas pelabuhan;
b. memberikan pelayanan kepada pengguna jasa pelabuhan sesuai dengan standar pelayanan yang ditetapkan oleh Pemerintah;
c. menjaga keamanan, keselamatan, dan ketertiban pada fasilitas pelabuhan yang dioperasikan;
d. ikut menjaga keselamatan, keamanan, dan ketertiban yang menyangkut angkutan di perairan;
e. memelihara kelestarian lingkungan;
f. memenuhi kewajiban sesuai dengan konsesi dalam perjanjian; dan
g. mematuhi ketentuan peraturan perundang-undangan, baik secara nasional maupun internasional.
Pasal 95
Ketentuan lebih lanjut mengenai Badan Usaha Pelabuhan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 6
Pembangunan dan Pengoperasian Pelabuhan
Pasal 96
(1) Pembangunan pelabuhan laut dilaksanakan berdasarkan izin dari:
a. Menteri untuk pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul; dan
b. gubernur atau bupati/walikota untuk pelabuhan pengumpan.
(2) Pembangunan pelabuhan laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi persyaratan teknis kepelabuhanan, kelestarian lingkungan, dan memperhatikan keterpaduan intra-dan antarmoda transportasi.
Pasal 97
(1) Pelabuhan laut hanya dapat dioperasikan setelah selesai dibangun dan memenuhi persyaratan operasional serta memperoleh izin.
(2) Izin mengoperasikan pelabuhan laut diberikan oleh:
a. Menteri untuk pelabuhan utama dan pelabuhan pengumpul; dan
b. gubernur atau bupati/walikota untuk pelabuhan pengumpan.
Pasal 98
(1) Pembangunan pelabuhan sungai dan danau wajib memperoleh izin dari bupati/walikota.
(2) Pembangunan pelabuhan sungai dan danau sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan berdasarkan persyaratan teknis kepelabuhanan, kelestarian lingkungan, dengan memperhatikan keterpaduan intra- dan antarmoda transportasi.
(3) Pelabuhan sungai dan danau hanya dapat dioperasikan setelah selesai dibangun dan memenuhi persyaratan operasional serta memperoleh izin.
(4) Izin mengoperasikan pelabuhan sungai dan danau diberikan oleh bupati/walikota.
Pasal 99
Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan pembangunan dan pengoperasian pelabuhan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Paragraf 7
Tanggung Jawab Ganti Kerugian
Pasal 100
(1) Orang perseorangan warga negara Indonesia dan/atau badan usaha yang melaksanakan kegiatan di pelabuhan bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas setiap kerusakan pada bangunan dan/atau fasilitas pelabuhan yang diakibatkan oleh kegiatannya.
(2) Pemilik dan/atau operator kapal bertanggung jawab untuk mengganti kerugian atas setiap kerusakan pada bangunan dan/atau fasilitas pelabuhan yang diakibatkan oleh kapal.
(3) Untuk menjamin pelaksanaan tanggung jawab atas ganti kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemilik dan/atau operator kapal yang melaksanakan kegiatan di pelabuhan wajib memberikan jaminan.
Pasal 101
(1) Badan Usaha Pelabuhan bertanggung jawab terhadap kerugian pengguna jasa atau pihak ketiga lainnya karena kesalahan dalam pengoperasian pelabuhan.
(2) Pengguna jasa pelabuhan atau pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berhak mengajukan tuntutan ganti kerugian.
Bagian Ketiga
Terminal Khusus dan Terminal
untuk Kepentingan Sendiri
Pasal 102
(1) Untuk menunjang kegiatan tertentu di luar Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan dapat dibangun terminal khusus.
(2) Untuk menunjang kegiatan tertentu di dalam Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan dapat dibangun terminal untuk kepentingan sendiri.
Pasal 103
Terminal khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1):
a. ditetapkan menjadi bagian dari pelabuhan terdekat;
b. wajib memiliki Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan tertentu; dan
c. ditempatkan instansi Pemerintah yang melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, serta instansi yang melaksanakan fungsi pemerintahan sesuai dengan kebutuhan.
Pasal 104
(1) Terminal khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 102 ayat (1) hanya dapat dibangun dan dioperasikan dalam hal:
a. pelabuhan terdekat tidak dapat menampung kegiatan pokok tersebut; dan
b. berdasarkan pertimbangan ekonomis dan teknis operasional akan lebih efektif dan efisien serta lebih menjamin keselamatan dan keamanan pelayaran apabila membangun dan mengoperasikan terminal khusus.
(2) Untuk membangun dan mengoperasikan terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dipenuhi persyaratan teknis kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, dan kelestarian lingkungan dengan izin dari Menteri.
(3) Izin pengoperasian terminal khusus diberikan untuk jangka waktu maksimal 5 (lima) tahun dan dapat diperpanjang selama memenuhi persyaratan berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 105
Terminal khusus dilarang digunakan untuk kepentingan umum kecuali dalam keadaan darurat dengan izin Menteri.
Pasal 106
Terminal khusus yang sudah tidak dioperasikan sesuai dengan izin yang telah diberikan dapat diserahkan kepada Pemerintah atau dikembalikan seperti keadaan semula atau diusulkan untuk perubahan status menjadi terminal khusus untuk menunjang usaha pokok yang lain atau menjadi pelabuhan.
Pasal 107
(1) Terminal khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 yang diserahkan kepada Pemerintah dapat berubah statusnya menjadi pelabuhan setelah memenuhi persyaratan:
a. sesuai dengan Rencana Induk Pelabuhan Nasional;
b. layak secara ekonomis dan teknis operasional;
c. membentuk atau mendirikan Badan Usaha Pelabuhan;
d. mendapat konsesi dari Otoritas Pelabuhan;
e. keamanan, ketertiban, dan keselamatan pelayaran; dan
f. kelestarian lingkungan.
(2) Dalam hal terminal khusus berubah status menjadi pelabuhan, tanah daratan dan/atau perairan, fasilitas penahan gelombang, kolam pelabuhan, alur-pelayaran, dan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran yang dikuasai dan dimiliki oleh pengelola terminal khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan dan dikuasai oleh negara.
Pasal 108
Ketentuan lebih lanjut mengenai terminal khusus dan perubahan status terminal khusus diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Penarifan
Pasal 109
Setiap pelayanan jasa kepelabuhanan dikenakan tarif sesuai dengan jasa yang disediakan.
Pasal 110
(1) Tarif yang terkait dengan penggunaan perairan dan/atau daratan serta jasa kepelabuhanan yang diselenggarakan oleh Otoritas Pelabuhan ditetapkan oleh Otoritas Pelabuhan setelah dikonsultasikan dengan Menteri.
(2) Tarif jasa kepelabuhanan yang diusahakan oleh Badan Usaha Pelabuhan ditetapkan oleh Badan Usaha Pelabuhan berdasarkan jenis, struktur, dan golongan tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah dan merupakan pendapatan Badan Usaha Pelabuhan.
(3) Tarif jasa kepelabuhanan bagi pelabuhan yang diusahakan secara tidak komersial oleh Pemerintah ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah dan merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
(4) Tarif jasa kepelabuhanan bagi pelabuhan yang diusahakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan merupakan penerimaan daerah.
Bagian Kelima
Pelabuhan yang Terbuka bagi Perdagangan Luar Negeri
Pasal 111
(1) Kegiatan pelabuhan untuk menunjang kelancaran perdagangan yang terbuka bagi perdagangan luar negeri dilakukan oleh pelabuhan utama.
(2) Penetapan pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan pertimbangan:
a. pertumbuhan dan pengembangan ekonomi nasional;
b. kepentingan perdagangan internasional;
c. kepentingan pengembangan kemampuan angkutan laut nasional;
d. posisi geografis yang terletak pada lintasan pelayaran internasional;
e. Tatanan Kepelabuhanan Nasional;
f. fasilitas pelabuhan;
g. keamanan dan kedaulatan negara; dan
h. kepentingan nasional lainnya.
(3) Terminal khusus tertentu dapat digunakan untuk melakukan kegiatan perdagangan luar negeri.
(4) Terminal khusus tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memenuhi persyaratan:
a. aspek administrasi;
b. aspek ekonomi;
c. aspek keselamatan dan keamanan pelayaran;
d. aspek teknis fasilitas kepelabuhanan;
e. fasilitas kantor dan peralatan penunjang bagi instansi pemegang fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran, instansi bea cukai, imigrasi, dan karantina; dan
f. jenis komoditas khusus.
(5) Pelabuhan dan terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri ditetapkan oleh Menteri.
Pasal 112
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (4), dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda administratif.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif serta besarnya denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 113
Ketentuan lebih lanjut mengenai pelabuhan dan terminal khusus yang terbuka bagi perdagangan luar negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Peran Pemerintah Daerah
Pasal 114
Peran pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 dilakukan untuk memberikan manfaat bagi pemerintah daerah.
Pasal 115
(1) Upaya untuk memberikan manfaat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 pemerintah daerah mempunyai peran, tugas, dan wewenang sebagai berikut:
a. mendorong pengembangan kawasan perdagangan, kawasan industri, dan pusat kegiatan perekonomian lainnya;
b. mengawasi terjaminnya kelestarian lingkungan di pelabuhan;
c. ikut menjamin keselamatan dan keamanan pelabuhan;
d. menyediakan dan memelihara infrastruktur yang menghubungkan pelabuhan dengan kawasan perdagangan, kawasan industri, dan pusat kegiatan perekonomian lainnya;
e. membina masyarakat di sekitar pelabuhan dan memfasilitasi masyarakat di wilayahnya untuk dapat berperan serta secara positif terselenggaranya kegiatan pelabuhan;
f. menyediakan pusat informasi muatan di tingkat wilayah;
g. memberikan izin mendirikan bangunan di sisi daratan; dan
h. memberikan rekomendasi dalam penetapan lokasi pelabuhan dan terminal khusus.
(2) Dalam hal pemerintah daerah tidak dapat melaksanakan atau menyalahgunakan peran, tugas, dan wewenang, Pemerintah mengambil alih peran, tugas, dan wewenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
KESELAMATAN DAN KEAMANAN PELAYARAN
Bagian Kesatu
Umum
Pasal 116
(1) Keselamatan dan keamanan pelayaran meliputi keselamatan dan keamanan angkutan di perairan, pelabuhan, serta perlindungan lingkungan maritim.
(2) Penyelenggaraan keselamatan dan keamanan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah.
Bagian Kedua
Keselamatan dan Keamanan Angkutan Perairan
Pasal 117
(1) Keselamatan dan keamanan angkutan perairan yaitu kondisi terpenuhinya persyaratan:
a. kelaiklautan kapal; dan
b. kenavigasian.
(2) Kelaiklautan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a wajib dipenuhi setiap kapal sesuai dengan daerah-pelayarannya yang meliputi:
a. keselamatan kapal;
b. pencegahan pencemaran dari kapal;
c. pengawakan kapal;
d. garis muat kapal dan pemuatan;
e. kesejahteraan Awak Kapal dan kesehatan penumpang;
f. status hukum kapal;
g. manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal; dan
h. manajemen keamanan kapal.
(3) Pemenuhan setiap persyaratan kelaiklautan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan sertifikat dan surat kapal.
Pasal 118
Kenavigasian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1) huruf b terdiri atas:
a. Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran;
b. Telekomunikasi-Pelayaran;
c. hidrografi dan meteorologi;
d. alur dan perlintasan;
e. pengerukan dan reklamasi;
f. pemanduan;
g. penanganan kerangka kapal; dan
h. salvage dan pekerjaan bawah air.
Pasal 119
(1) Untuk menjamin keselamatan dan keamanan angkutan perairan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (1) Pemerintah melakukan perencanaan, pengadaan, pengoperasian, pemeliharaan, dan pengawasan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dan Telekomunikasi-Pelayaran sesuai dengan ketentuan internasional, serta menetapkan alur-pelayaran dan perairan pandu.
(2) Untuk menjamin keamanan dan keselamatan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dan Telekomunikasi-Pelayaran, Pemerintah menetapkan zona keamanan dan keselamatan di sekitar instalasi bangunan tersebut.
Bagian Ketiga
Keselamatan dan Keamanan Pelabuhan
Pasal 120
Pembangunan dan pengoperasian pelabuhan dilakukan dengan tetap memperhatikan keselamatan dan keamanan kapal yang beroperasi di pelabuhan, bongkar muat barang, dan naik turun penumpang serta keselamatan dan keamanan pelabuhan.
Pasal 121
Keselamatan dan keamanan pelabuhan yaitu kondisi terpenuhinya manajemen keselamatan dan sistem pengamanan fasilitas pelabuhan meliputi:
a. prosedur pengamanan fasilitas pelabuhan;
b. sarana dan prasarana pengamanan pelabuhan;
c. sistem komunikasi; dan
d. personel pengaman.
Pasal 122
Setiap pengoperasian kapal dan pelabuhan wajib memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan serta perlindungan lingkungan maritim.
Bagian Keempat
Perlindungan Lingkungan Maritim
Pasal 123
Perlindungan lingkungan maritim yaitu kondisi terpenuhinya prosedur dan persyaratan pencegahan dan penanggulangan pencemaran dari kegiatan:
a. kepelabuhanan;
b. pengoperasian kapal;
c. pengangkutan limbah, bahan berbahaya, dan beracun di perairan;
d. pembuangan limbah di perairan; dan
e. penutuhan kapal.
BAB IX
KELAIKLAUTAN KAPAL
Bagian Kesatu
Keselamatan Kapal
Pasal 124
(1) Setiap pengadaan, pembangunan, dan pengerjaan kapal termasuk perlengkapannya serta pengoperasian kapal di perairan Indonesia harus memenuhi persyaratan keselamatan kapal.
(2) Persyaratan keselamatan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. material;
b. konstruksi;
c. bangunan;
d. permesinan dan perlistrikan;
e. stabilitas;
f. tata susunan serta perlengkapan termasuk perlengkapan alat penolong dan radio; dan
g. elektronika kapal.
Pasal 125
(1) Sebelum pembangunan dan pengerjaan kapal termasuk perlengkapannya, pemilik atau galangan kapal wajib membuat perhitungan dan gambar rancang bangun serta data kelengkapannya.
(2) Pembangunan atau pengerjaan kapal yang merupakan perombakan harus sesuai dengan gambar rancang bangun dan data yang telah mendapat pengesahan dari Menteri.
(3) Pengawasan terhadap pembangunan dan pengerjaan perombakan kapal dilakukan oleh Menteri.
Pasal 126
(1) Kapal yang dinyatakan memenuhi persyaratan keselamatan kapal diberi sertifikat keselamatan oleh Menteri.
(2) Sertifikat keselamatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. sertifikat keselamatan kapal penumpang;
b. sertifikat keselamatan kapal barang; dan
c. sertifikat kelaikan dan pengawakan kapal penangkap ikan.
(3) Keselamatan kapal ditentukan melalui pemeriksaan dan pengujian.
(4) Terhadap kapal yang telah memperoleh sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan penilikan secara terus-menerus sampai kapal tidak digunakan lagi.
(5) Pemeriksaan dan pengujian serta penilikan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) wajib dilakukan oleh pejabat pemerintah yang diberi wewenang dan memiliki kompetensi.
Pasal 127
(1) Sertifikat kapal tidak berlaku apabila:
a. masa berlaku sudah berakhir;
b. tidak melaksanakan pengukuhan sertifikat (endorsement);
c. kapal rusak dan dinyatakan tidak memenuhi persyaratan keselamatan kapal;
d. kapal berubah nama;
e. kapal berganti bendera;
f. kapal tidak sesuai lagi dengan data teknis dalam sertifikat keselamatan kapal;
g. kapal mengalami perombakan yang mengakibatkan perubahan konstruksi kapal, perubahan ukuran utama kapal, perubahan fungsi atau jenis kapal;
h. kapal tenggelam atau hilang; atau
i. kapal ditutuh (scrapping).
(2) Sertifikat kapal dibatalkan apabila:
a. keterangan dalam dokumen kapal yang digunakan untuk penerbitan sertifikat ternyata tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya;
b. kapal sudah tidak memenuhi persyaratan keselamatan kapal; atau
c. sertifikat diperoleh secara tidak sah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembatalan sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 128
(1) Nakhoda dan/atau Anak Buah Kapal harus memberitahukan kepada Pejabat Pemeriksa Keselamatan Kapal apabila mengetahui bahwa kondisi kapal atau bagian dari kapalnya, dinilai tidak memenuhi persyaratan keselamatan kapal.
(2) Pemilik, operator kapal, dan Nakhoda wajib membantu pelaksanaan pemeriksaan dan pengujian.
Pasal 129
(1) Kapal berdasarkan jenis dan ukuran tertentu wajib diklasifikasikan pada badan klasifikasi untuk keperluan persyaratan keselamatan kapal.
(2) Badan klasifikasi nasional atau badan klasifikasi asing yang diakui dapat ditunjuk melaksanakan pemeriksaan dan pengujian terhadap kapal untuk memenuhi persyaratan keselamatan kapal.
(3) Pengakuan dan penunjukan badan klasifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Menteri.
(4) Badan klasifikasi yang ditunjuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib melaporkan kegiatannya kepada Menteri.
Pasal 130
(1) Setiap kapal yang memperoleh sertifikat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (1) wajib dipelihara sehingga tetap memenuhi persyaratan keselamatan kapal.
(2) Pemeliharaan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara berkala dan sewaktu-waktu.
(3) Dalam keadaan tertentu Menteri dapat memberikan pembebasan sebagian persyaratan yang ditetapkan dengan tetap memperhatikan keselamatan kapal.
Pasal 131
(1) Kapal sesuai dengan jenis, ukuran, dan daerah-pelayarannya wajib dilengkapi dengan perlengkapan navigasi dan/atau navigasi elektronika kapal yang memenuhi persyaratan.
(2) Kapal sesuai dengan jenis, ukuran, dan daerah-pelayarannya wajib dilengkapi dengan perangkat komunikasi radio dan kelengkapannya yang memenuhi persyaratan.
Pasal 132
(1) Kapal sesuai dengan jenis, ukuran, dan daerah-pelayarannya wajib dilengkapi dengan peralatan meteorologi yang memenuhi persyaratan.
(2) Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menyampaikan informasi cuaca sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Nakhoda yang sedang berlayar dan mengetahui adanya cuaca buruk yang membahayakan keselamatan berlayar wajib menyebarluaskannya kepada pihak lain dan/atau instansi Pemerintah terkait.
Pasal 133
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengesahan gambar dan pengawasan pembangunan kapal, serta pemeriksaan dan sertifikasi keselamatan kapal diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedua
Pencegahan Pencemaran dari Kapal
Pasal 134
(1) Setiap kapal yang beroperasi di perairan Indonesia harus memenuhi persyaratan pencegahan dan pengendalian pencemaran.
(2) Pencegahan dan pengendalian pencemaran ditentukan melalui pemeriksaan dan pengujian.
(3) Kapal yang dinyatakan memenuhi persyaratan pencegahan dan pengendalian pencemaran diberikan sertifikat pencegahan dan pengendalian pencemaran oleh Menteri.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan pencemaran dari kapal diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketiga
Pengawakan Kapal
Pasal 135
Setiap kapal wajib diawaki oleh Awak Kapal yang memenuhi persyaratan kualifikasi dan kompetensi sesuai dengan ketentuan nasional dan internasional.
Pasal 136
(1) Nakhoda dan Anak Buah Kapal untuk kapal berbendera Indonesia harus warga negara Indonesia.
(2) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diberikan izin sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 137
(1) Nakhoda untuk kapal motor ukuran GT 35 (tiga puluh lima Gross Tonnage) atau lebih memiliki wewenang penegakan hukum serta bertanggung jawab atas keselamatan, keamanan, dan ketertiban kapal, pelayar, dan barang muatan.
(2) Nakhoda untuk kapal motor ukuran kurang dari GT 35 (tiga puluh lima Gross Tonnage) dan untuk kapal tradisional ukuran kurang dari GT 105 (seratus lima Gross Tonnage) dengan konstruksi sederhana yang berlayar di perairan terbatas bertanggung jawab atas keselamatan, keamanan dan ketertiban kapal, pelayar, dan barang muatan.
(3) Nakhoda tidak bertanggung jawab terhadap keabsahan atau kebenaran materiil dokumen muatan kapal.
(4) Nakhoda wajib menolak dan memberitahukan kepada instansi yang berwenang apabila mengetahui muatan yang diangkut tidak sesuai dengan dokumen muatan.
(5) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Nakhoda untuk kapal motor ukuran GT 35 (tiga puluh lima Gross Tonnage) atau lebih diberi tugas dan kewenangan khusus, yaitu:
a. membuat catatan setiap kelahiran;
b. membuat catatan setiap kematian; dan
c. menyaksikan dan mencatat surat wasiat.
(6) Nakhoda wajib memenuhi persyaratan pendidikan, pelatihan, kemampuan, dan keterampilan serta kesehatan.
Pasal 138
(1) Nakhoda wajib berada di kapal selama berlayar.
(2) Sebelum kapal berlayar, Nakhoda wajib memastikan bahwa kapalnya telah memenuhi persyaratan kelaiklautan dan melaporkan hal tersebut kepada Syahbandar.
(3) Nakhoda berhak menolak untuk melayarkan kapalnya apabila mengetahui kapal tersebut tidak memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2).
(4) Pemilik atau operator kapal wajib memberikan keleluasaan kepada Nakhoda untuk melaksanakan kewajibannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 139
Untuk tindakan penyelamatan, Nakhoda berhak menyimpang dari rute yang telah ditetapkan dan mengambil tindakan lainnya yang diperlukan.
Pasal 140
(1) Dalam hal Nakhoda untuk kapal motor ukuran GT 35 (tiga puluh lima Gross Tonnage) atau lebih yang bertugas di kapal sedang berlayar untuk sementara atau untuk seterusnya tidak mampu melaksanakan tugas, mualim I menggantikannya dan pada pelabuhan berikut yang disinggahinya diadakan penggantian Nakhoda.
(2) Apabila mualim I sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak mampu menggantikan Nakhoda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mualim lainnya yang tertinggi dalam jabatan sesuai dengan sijil menggantikan dan pada pelabuhan berikut yang disinggahinya diadakan penggantian Nakhoda.
(3) Dalam hal penggantian Nakhoda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disebabkan halangan sementara, penggantian tidak mengalihkan kewenangan dan tanggung jawab Nakhoda kepada pengganti sementara.
(4) Apabila seluruh mualim dalam kapal berhalangan menggantikan Nakhoda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengganti Nakhoda ditunjuk oleh dewan kapal.
(5) Dalam hal penggantian Nakhoda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disebabkan halangan tetap, Nakhoda pengganti sementara mempunyai kewenangan dan tanggung jawab sebagaimana diatur dalam Pasal 137 ayat (1) dan ayat (3).
Pasal 141
(1) Nakhoda untuk kapal motor ukuran GT 35 (tiga puluh lima Gross Tonnage) atau lebih dan Nakhoda untuk kapal penumpang, wajib menyelenggarakan buku harian kapal.
(2) Nakhoda untuk kapal motor ukuran GT 35 (tiga puluh lima Gross Tonnage) atau lebih wajib melaporkan buku harian kapal kepada pejabat pemerintah yang berwenang dan/atau atas permintaan pihak yang berwenang untuk memperlihatkan buku harian kapal dan/atau memberikan salinannya.
(3) Buku harian kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dijadikan sebagai alat bukti di pengadilan.
Pasal 142
(1) Anak Buah Kapal wajib menaati perintah Nakhoda secara tepat dan cermat dan dilarang meninggalkan kapal tanpa izin Nakhoda.
(2) Dalam hal Anak Buah Kapal mengetahui bahwa perintah yang diterimanya tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, maka yang bersangkutan berhak mengadukan kepada pejabat pemerintah yang berwenang.
Pasal 143
(1) Nakhoda berwenang memberikan tindakan disiplin atas pelanggaran yang dilakukan setiap Anak Buah Kapal yang:
a. meninggalkan kapal tanpa izin Nakhoda;
b. tidak kembali ke kapal pada waktunya;
c. tidak melaksanakan tugas dengan baik;
d. menolak perintah penugasan;
e. berperilaku tidak tertib; dan/atau
f. berperilaku tidak layak.
(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 144
(1) Selama perjalanan kapal, Nakhoda dapat mengambil tindakan terhadap setiap orang yang secara tidak sah berada di atas kapal.
(2) Nakhoda mengambil tindakan apabila orang dan/atau yang ada di dalam kapal akan membahayakan keselamatan kapal dan Awak Kapal.
(3) Tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 145
Setiap orang dilarang mempekerjakan seseorang di kapal dalam jabatan apa pun tanpa disijil dan tanpa memiliki kompetensi dan keterampilan serta dokumen pelaut yang dipersyaratkan.
Pasal 146
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyijilan, pengawakan kapal, dan dokumen pelaut diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keempat
Garis Muat Kapal dan Pemuatan
Pasal 147
(1) Setiap kapal yang berlayar harus ditetapkan garis muatnya sesuai dengan persyaratan.
(2) Penetapan garis muat kapal dinyatakan dalam Sertifikat Garis Muat.
(3) Pada setiap kapal sesuai dengan jenis dan ukurannya harus dipasang Marka Garis Muat secara tetap sesuai dengan daerah-pelayarannya.
Pasal 148
(1) Setiap kapal sesuai dengan jenis dan ukurannya harus dilengkapi dengan informasi stabilitas untuk memungkinkan Nakhoda menentukan semua keadaan pemuatan yang layak pada setiap kondisi kapal.
(2) Tata cara penanganan, penempatan, dan pemadatan muatan barang serta pengaturan balas harus memenuhi persyaratan keselamatan kapal.
Pasal 149
(1) Setiap peti kemas yang akan dipergunakan sebagai bagian dari alat angkut wajib memenuhi persyaratan kelaikan peti kemas.
(2) Tata cara penanganan, penempatan, dan pemadatan peti kemas serta pengaturan balas harus memenuhi persyaratan keselamatan kapal.
Pasal 150
Ketentuan lebih lanjut mengenai garis muat dan pemuatan diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Kesejahteraan Awak Kapal
dan Kesehatan Penumpang
Pasal 151
(1) Setiap Awak Kapal berhak mendapatkan kesejahteraan yang meliputi:
a. gaji;
b. jam kerja dan jam istirahat;
c. jaminan pemberangkatan ke tempat tujuan dan pemulangan ke tempat asal;
d. kompensasi apabila kapal tidak dapat beroperasi karena mengalami kecelakaan;
e. kesempatan mengembangkan karier;
f. pemberian akomodasi, fasilitas rekreasi, makanan atau minuman; dan
g. pemeliharaan dan perawatan kesehatan serta pemberian asuransi kecelakaan kerja.
(2) Kesejahteraan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam perjanjian kerja antara Awak Kapal dengan pemilik atau operator kapal sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 152
(1) Setiap kapal yang mengangkut penumpang wajib menyediakan fasilitas kesehatan bagi penumpang.
(2) Fasilitas kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. ruang pengobatan atau perawatan;
b. peralatan medis dan obat-obatan; dan
c. tenaga medis.
Pasal 153
Ketentuan lebih lanjut mengenai perjanjian kerja dan persyaratan fasilitas kesehatan penumpang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keenam
Status Hukum Kapal
Pasal 154
Status hukum kapal dapat ditentukan setelah melalui proses:
a. pengukuran kapal;
b. pendaftaran kapal; dan
c. penetapan kebangsaan kapal.
Pasal 155
(1) Setiap kapal sebelum dioperasikan wajib dilakukan pengukuran oleh pejabat pemerintah yang diberi wewenang oleh Menteri.
(2) Pengukuran kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan menurut 3 (tiga) metode, yaitu:
a. pengukuran dalam negeri untuk kapal yang berukuran panjang kurang dari 24 (dua puluh empat) meter;
b. pengukuran internasional untuk kapal yang berukuran panjang 24 (dua puluh empat) meter atau lebih; dan
c. pengukuran khusus untuk kapal yang akan melalui terusan tertentu.
(3) Berdasarkan pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan Surat Ukur untuk kapal dengan ukuran tonase kotor sekurang-kurangnya GT 7 (tujuh Gross Tonnage).
(4) Surat Ukur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan oleh Menteri dan dapat dilimpahkan kepada pejabat yang ditunjuk.
Pasal 156
(1) Pada kapal yang telah diukur dan mendapat Surat Ukur wajib dipasang Tanda Selar.
(2) Tanda Selar harus tetap terpasang di kapal dengan baik dan mudah dibaca.
Pasal 157
(1) Pemilik, operator kapal, atau Nakhoda harus segera melaporkan secara tertulis kepada Menteri apabila terjadi perombakan kapal yang menyebabkan perubahan data yang ada dalam Surat Ukur.
(2) Apabila terjadi perubahan data sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pengukuran ulang kapal harus segera dilakukan.
Pasal 158
(1) Kapal yang telah diukur dan mendapat Surat Ukur dapat didaftarkan di Indonesia oleh pemilik kepada Pejabat Pendaftar dan Pencatat Balik Nama Kapal yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Kapal yang dapat didaftar di Indonesia yaitu:
a. kapal dengan ukuran tonase kotor sekurang-kurangnya GT 7 (tujuh Gross Tonnage);
b. kapal milik warga negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; dan
c. kapal milik badan hukum Indonesia yang merupakan usaha patungan yang mayoritas sahamnya dimiliki oleh warga negara Indonesia.
(3) Pendaftaran kapal dilakukan dengan pembuatan akta pendaftaran dan dicatat dalam daftar kapal Indonesia.
(4) Sebagai bukti kapal telah terdaftar, kepada pemilik diberikan grosse akta pendaftaran kapal yang berfungsi pula sebagai bukti hak milik atas kapal yang telah didaftar.
(5) Pada kapal yang telah didaftar wajib dipasang Tanda Pendaftaran.
Pasal 159
(1) Pendaftaran kapal dilakukan di tempat yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Pemilik kapal bebas memilih salah satu tempat pendaftaran kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk mendaftarkan kapalnya.
Pasal 160
(1) Kapal dilarang didaftarkan apabila pada saat yang sama kapal itu masih terdaftar di tempat pendaftaran lain.
(2) Kapal asing yang akan didaftarkan di Indonesia harus dilengkapi dengan surat keterangan penghapusan dari negara bendera asal kapal.
Pasal 161
(1) Grosse akta pendaftaran kapal yang rusak, hilang, atau musnah dapat diberikan grosse akta baru sebagai pengganti.
(2) Grosse akta pengganti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diberikan oleh pejabat pendaftar dan pencatat balik nama kapal pada tempat kapal didaftarkan berdasarkan penetapan pengadilan negeri.
Pasal 162
(1) Pengalihan hak milik atas kapal wajib dilakukan dengan cara balik nama di tempat kapal tersebut semula didaftarkan.
(2) Balik nama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dengan membuat akta balik nama dan dicatat dalam daftar induk kapal yang bersangkutan.
(3) Sebagai bukti telah terjadi pengalihan hak milik atas kapal kepada pemilik yang baru diberikan grosse akta balik nama kapal.
Pasal 163
(1) Kapal yang didaftar di Indonesia dan berlayar di laut diberikan Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia oleh Menteri.
(2) Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam bentuk:
a. Surat Laut untuk kapal berukuran GT 175 (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage) atau lebih;
b. Pas Besar untuk kapal berukuran GT 7 (tujuh Gross Tonnage) sampai dengan ukuran kurang dari GT 175 (seratus tujuh puluh lima Gross Tonnage); atau
c. Pas Kecil untuk kapal berukuran kurang dari GT 7 (tujuh Gross Tonnage).
(3) Kapal yang hanya berlayar di perairan sungai dan danau diberikan pas sungai dan danau.
Pasal 164
Kapal negara dapat diberi Surat Tanda Kebangsaan Kapal Indonesia.
Pasal 165
(1) Kapal berkebangsaan Indonesia wajib mengibarkan bendera Indonesia sebagai tanda kebangsaan kapal.
(2) Kapal yang bukan berkebangsaan Indonesia dilarang mengibarkan bendera Indonesia sebagai tanda kebangsaannya.
Pasal 166
(1) Setiap kapal yang berlayar di perairan Indonesia harus menunjukkan identitas kapalnya secara jelas.
(2) Setiap kapal asing yang memasuki pelabuhan, selama berada di pelabuhan dan akan bertolak dari pelabuhan di Indonesia, wajib mengibarkan bendera Indonesia selain bendera kebangsaannya.
Pasal 167
Kapal berkebangsaan Indonesia dilarang mengibarkan bendera negara lain sebagai tanda kebangsaan.
Pasal 168
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengukuran dan penerbitan surat ukur, tata cara, persyaratan, dan dokumentasi pendaftaran kapal, serta tata cara dan persyaratan penerbitan Surat Tanda Kebangsaan Kapal diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketujuh
Manajemen Keselamatan dan Pencegahan Pencemaran
dari Kapal
Pasal 169
(1) Pemilik atau operator kapal yang mengoperasikan kapal untuk jenis dan ukuran tertentu harus memenuhi persyaratan manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal.
(2) Kapal yang telah memenuhi persyaratan manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi sertifikat.
(3) Sertifikat manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa Dokumen Penyesuaian Manajemen Keselamatan (Document of Compliance/DOC) untuk perusahaan dan Sertifikat Manajemen Keselamatan (Safety Management Certificate/SMC) untuk kapal.
(4) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan setelah dilakukan audit eksternal oleh pejabat pemerintah yang memiliki kompetensi atau lembaga yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah.
(5) Sertifikat Manajemen Keselamatan dan Pencegahan Pencemaran diterbitkan oleh pejabat yang ditunjuk oleh Menteri.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara audit dan penerbitan sertifikat manajemen keselamatan dan pencegahan pencemaran dari kapal diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedelapan
Manajemen Keamanan Kapal
Pasal 170
(1) Pemilik atau operator kapal yang mengoperasikan kapal untuk ukuran tertentu harus memenuhi persyaratan manajemen keamanan kapal.
(2) Kapal yang telah memenuhi persyaratan manajemen keamanan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberi sertifikat.
(3) Sertifikat Manajemen Keamanan Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa Sertifikat Keamanan Kapal Internasional (International Ship Security Certificate/ISSC).
(4) Sertifikat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan setelah dilakukan audit eksternal oleh pejabat pemerintah yang memiliki kompetensi atau lembaga yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah.
(5) Sertifikat Manajemen Keamanan Kapal diterbitkan oleh pejabat berwenang yang ditunjuk oleh Menteri.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara audit dan penerbitan sertifikat manajemen keamanan kapal diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kesembilan
Sanksi Administratif
Pasal 171
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 125 ayat (1), Pasal 129 ayat (1) dan ayat (4), Pasal 130 ayat (1), Pasal 132 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 137 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 141 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 152 ayat (1), Pasal 156 ayat (1), Pasal 160 ayat (1), Pasal 162 ayat (1), dan Pasal 165 ayat (1) dikenakan sanksi administratif, berupa:
a. peringatan;
b. denda administratif;
c. pembekuan izin atau pembekuan sertifikat;
d. pencabutan izin atau pencabutan sertifikat;
e. tidak diberikan sertifikat; atau
f. tidak diberikan Surat Persetujuan Berlayar.
(2) Pejabat pemerintah yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 126 ayat (5) dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB X
KENAVIGASIAN
Bagian Kesatu
Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran
Pasal 172
(1) Pemerintah bertanggung jawab untuk menjaga keselamatan dan keamanan pelayaran dengan menyelenggarakan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran sesuai dengan perkembangan teknologi.
(2) Selain untuk menjaga keselamatan dan keamanan pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dapat pula dipergunakan untuk kepentingan tertentu lainnya.
(3) Penyelenggaraan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan dan standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(4) Dalam keadaan tertentu, pengadaan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran sebagai bagian dari penyelenggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dapat dilaksanakan oleh badan usaha.
(5) Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran yang diadakan oleh badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diawasi oleh Pemerintah.
(6) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (4) wajib:
a. memelihara dan merawat Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran;
b. menjamin keandalan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dengan standar yang telah ditetapkan; dan
c. melaporkan kepada Menteri tentang pengoperasian Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran.
Pasal 173
Pengoperasian Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dilaksanakan oleh petugas yang memenuhi persyaratan kesehatan, pendidikan, dan keterampilan yang dibuktikan dengan sertifikat.
Pasal 174
Setiap orang dilarang merusak atau melakukan tindakan apa pun yang mengakibatkan tidak berfungsinya Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran serta fasilitas alur-pelayaran di laut, sungai, dan danau.
Pasal 175
(1) Pemilik dan/atau operator kapal bertanggung jawab pada setiap kerusakan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dan hambatan di laut, sungai, dan danau yang disebabkan oleh pengoperasian kapalnya.
(2) Tanggung jawab Pemilik dan/atau operator kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kewajiban untuk segera memperbaiki atau mengganti sehingga fasilitas tersebut dapat berfungsi kembali seperti semula.
(3) Perbaikan dan penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam batas waktu 60 (enam puluh) hari kalender sejak kerusakan terjadi.
Pasal 176
(1) Kapal yang berlayar di perairan Indonesia dikenai biaya pemanfaatan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
(2) Biaya pemanfaatan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran tidak dikenakan bagi kapal negara dan kapal tertentu.
Pasal 177
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Telekomunikasi-Pelayaran
Pasal 178
(1) Pemerintah wajib menjaga keselamatan dan keamanan pelayaran dengan menyelenggarakan Telekomunikasi-Pelayaran sesuai dengan perkembangan informasi dan teknologi.
(2) Penyelenggaraan sistem Telekomunikasi-Pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan dan standar sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengadaan Telekomunikasi-Pelayaran sebagai bagian dari penyelenggaraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat dilaksanakan oleh badan usaha.
(4) Telekomunikasi-Pelayaran yang diadakan oleh badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diawasi oleh Pemerintah.
(5) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (3) wajib:
a. memelihara dan merawat Telekomunikasi-Pelayaran;
b. menjamin keandalan Telekomunikasi-Pelayaran dengan standar yang telah ditetapkan; dan
c. melaporkan kepada Menteri tentang pengoperasian Telekomunikasi-Pelayaran.
Pasal 179
Pengoperasian Telekomunikasi-Pelayaran dilaksanakan oleh petugas yang memenuhi persyaratan kesehatan, pendidikan, dan keterampilan yang dibuktikan dengan sertifikat.
Pasal 180
Setiap orang dilarang merusak atau melakukan tindakan apa pun yang mengakibatkan tidak berfungsinya Telekomunikasi-Pelayaran serta fasilitas alur-pelayaran di laut, sungai, dan danau.
Pasal 181
(1) Pemilik dan/atau operator kapal bertanggung jawab pada setiap kerusakan Telekomunikasi-Pelayaran dan hambatan di laut, sungai dan danau yang disebabkan oleh pengoperasian kapalnya.
(2) Tanggung jawab Pemilik dan/atau operator kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa kewajiban untuk segera memperbaiki atau mengganti sehingga fasilitas tersebut dapat berfungsi kembali seperti semula.
(3) Perbaikan.
(3) Perbaikan dan penggantian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan dalam batas waktu 60 (enam puluh) hari kalender sejak kerusakan terjadi.
Pasal 182
(1) Kapal yang berlayar di perairan Indonesia dikenai biaya pemanfaatan Telekomunikasi-Pelayaran yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak.
(2) Biaya pemanfaatan Telekomunikasi-Pelayaran dikenakan bagi seluruh kapal.
Pasal 183
(1) Pemerintah wajib memberikan pelayanan komunikasi marabahaya, komunikasi segera, dan keselamatan serta siaran tanda waktu standar.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan komunikasi marabahaya, komunikasi segera, dan keselamatan serta siaran tanda waktu standar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 184
Ketentuan lebih lanjut tentang penyelenggaraan Telekomunikasi-Pelayaran diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Hidrografi dan Meteorologi
Pasal 185
Pemerintah melaksanakan survei dan pemetaan hidrografi untuk pemutakhiran data pada buku petunjuk-pelayaran, peta laut, dan peta alur-pelayaran sungai dan danau.
Pasal 186
(1) Pemerintah wajib memberikan pelayanan meteorologi meliputi antara lain:
a. pemberian informasi mengenai keadaan cuaca dan laut serta prakiraannya;
b. kalibrasi dan sertifikasi perlengkapan pengamatan cuaca di kapal; dan
c. bimbingan teknis pengamatan cuaca di laut kepada Awak Kapal tertentu untuk menunjang masukan data meteorologi.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelayanan meteorologi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Alur dan Perlintasan
Pasal 187
(1) Alur dan perlintasan terdiri atas:
a. alur-pelayaran di laut; dan
b. alur-pelayaran sungai dan danau.
(2) Alur-pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dicantumkan dalam peta laut dan buku petunjuk-pelayaran serta diumumkan oleh instansi yang berwenang.
(3) Pada alur-pelayaran sungai dan danau ditetapkan kriteria klasifikasi alur.
(4) Penetapan kriteria klasifikasi alur-pelayaran sungai dan danau dilakukan dengan memperhatikan saran dan pertimbangan teknis dari Menteri yang terkait.
Pasal 188
(1) Penyelenggaraan alur-pelayaran dilaksanakan oleh Pemerintah.
(2) Badan usaha dapat diikutsertakan dalam sebagian penyelenggaraan alur-pelayaran.
(3) Untuk penyelenggaraan alur-pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah wajib:
a. menetapkan alur-pelayaran;
b. menetapkan sistem rute;
c. menetapkan tata cara berlalu lintas; dan
d. menetapkan daerah labuh kapal sesuai dengan kepentingannya.
Pasal 189
(1) Untuk membangun dan memelihara alur-pelayaran dan kepentingan lainnya dilakukan pekerjaan pengerukan dengan memenuhi persyaratan teknis.
(2) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. keselamatan berlayar;
b. kelestarian lingkungan;
c. tata ruang perairan; dan
d. tata pengairan untuk pekerjaan di sungai dan danau.
Pasal 190
(1) Untuk kepentingan keselamatan dan kelancaran berlayar pada perairan tertentu, Pemerintah menetapkan sistem rute yang meliputi:
a. skema pemisah lalu lintas di laut;
b. rute dua arah;
c. garis haluan yang dianjurkan;
d. rute air dalam;
e. daerah yang harus dihindari;
f. daerah lalu lintas pedalaman; dan
g. daerah kewaspadaan.
(2) Penetapan sistem rute sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada:
a. kondisi alur-pelayaran; dan
b. pertimbangan kepadatan lalu lintas.
(3) Sistem rute sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dicantumkan dalam peta laut dan buku petunjuk-pelayaran dan diumumkan oleh instansi yang berwenang.
Pasal 191
Tata cara berlalu lintas di perairan dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 192
Setiap alur-pelayaran wajib dilengkapi dengan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dan Telekomunikasi-Pelayaran.
Pasal 193
(1) Selama berlayar Nakhoda wajib mematuhi ketentuan yang berkaitan dengan:
a. tata cara berlalu lintas;
b. alur-pelayaran;
c. sistem rute;
d. daerah-pelayaran lalu lintas kapal; dan
e. Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran.
(2) Nakhoda yang berlayar di perairan Indonesia pada wilayah tertentu wajib melaporkan semua informasi melalui Stasiun Radio Pantai (SROP) terdekat.
Pasal 194
(1) Pemerintah menetapkan Alur Laut Kepulauan Indonesia dan tata cara penggunaannya untuk perlintasan yang sifatnya terus menerus, langsung, dan secepatnya bagi kapal asing yang melalui perairan Indonesia.
(2) Penetapan Alur Laut Kepulauan Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan memperhatikan:
a. ketahanan nasional;
b. keselamatan berlayar;
c. eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam;
d. jaringan kabel dan pipa dasar laut;
e. konservasi sumber daya alam dan lingkungan;
f. rute yang biasanya digunakan untuk pelayaran internasional;
g. tata ruang laut; dan
h. rekomendasi organisasi internasional yang berwenang.
(3) Semua kapal asing yang menggunakan Alur Laut Kepulauan Indonesia dalam pelayarannya tidak boleh menyimpang kecuali dalam keadaan darurat.
(4) Pemerintah mengawasi lalu lintas kapal asing yang melintasi Alur Laut Kepulauan Indonesia.
(5) Pemerintah menetapkan lokasi Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dan Telekomunikasi-Pelayaran untuk melakukan pemantauan terhadap lalu lintas kapal asing yang melalui Alur Laut Kepulauan Indonesia.
Pasal 195
Untuk kepentingan keselamatan berlayar di perairan Indonesia:
a. Pemerintah harus menetapkan dan mengumumkan zona keamanan dan zona keselamatan pada setiap lokasi kegiatan yang dapat mengganggu keselamatan berlayar;
b. setiap membangun, memindahkan, dan/atau membongkar bangunan atau instalasi harus memenuhi persyaratan keselamatan dan mendapatkan izin dari Pemerintah;
c. setiap bangunan atau instalasi dimaksud dalam huruf b, yang sudah tidak digunakan wajib dibongkar oleh pemilik bangunan atau instalasi;
d. pembongkaran sebagaimana dimaksud dalam huruf c dilaksanakan dengan ketentuan yang berlaku dan dilaporkan kepada Pemerintah untuk diumumkan; dan
e. pemilik atau operator yang akan mendirikan bangunan atau instalasi sebagaimana dimaksud dalam huruf c wajib memberikan jaminan.
Pasal 196
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan penetapan alur dan perlintasan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Pengerukan dan Reklamasi
Pasal 197
(1) Untuk kepentingan keselamatan dan keamanan pelayaran, desain dan pekerjaan pengerukan alur-pelayaran dan kolam pelabuhan, serta reklamasi wajib mendapat izin Pemerintah.
(2) Pekerjaan pengerukan alur-pelayaran dan kolam pelabuhan serta reklamasi dilakukan oleh perusahaan yang mempunyai kemampuan dan kompetensi dan dibuktikan dengan sertifikat yang diterbitkan oleh instansi yang berwenang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai desain dan pekerjaan pengerukan alur-pelayaran, kolam pelabuhan, dan reklamasi serta sertifikasi pelaksana pekerjaan diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keenam
Pemanduan
Pasal 198
(1) Untuk kepentingan keselamatan dan keamanan berlayar, serta kelancaran berlalu lintas di perairan dan pelabuhan, Pemerintah menetapkan perairan tertentu sebagai perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa.
(2) Setiap kapal yang berlayar di perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa wajib menggunakan jasa pemanduan.
(3) Penyelenggaraan pemanduan dilakukan oleh Otoritas Pelabuhan atau Unit Penyelenggara Pelabuhan dan dapat dilimpahkan kepada Badan Usaha Pelabuhan yang memenuhi persyaratan.
(4) Penyelenggaraan pemanduan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dipungut biaya.
(5) Dalam hal Pemerintah belum menyediakan jasa pandu di perairan wajib pandu dan perairan pandu luar biasa, pengelolaan dan pengoperasian pemanduan dapat dilimpahkan kepada pengelola terminal khusus yang memenuhi persyaratan dan memperoleh izin dari Pemerintah.
(6) Biaya pemanduan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dibebaskan bagi:
a. kapal perang; dan
b. kapal negara yang digunakan untuk tugas pemerintahan.
Pasal 199
(1) Petugas Pandu wajib memenuhi persyaratan kesehatan, keterampilan, serta pendidikan dan pelatihan yang dibuktikan dengan sertifikat.
(2) Petugas Pandu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan tugasnya berdasarkan pada standar keselamatan dan keamanan pelayaran.
(3) Pemanduan terhadap kapal tidak mengurangi wewenang dan tanggung jawab Nakhoda.
Pasal 200
Pengelola terminal khusus atau Badan Usaha Pelabuhan yang mengelola dan mengoperasikan pemanduan, wajib membayar persentase dari pendapatan yang berasal dari jasa pemanduan kepada Pemerintah sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Pasal 201
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan perairan pandu, persyaratan dan kualifikasi petugas pandu, serta penyelenggaraan pemanduan diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketujuh
Kerangka Kapal
Pasal 202
(1) Pemilik kapal dan/atau Nakhoda wajib melaporkan kerangka kapalnya yang berada di perairan Indonesia kepada instansi yang berwenang.
(2) Kerangka kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang posisinya mengganggu keselamatan berlayar, harus diberi Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran sebagai tanda dan diumumkan oleh instansi yang berwenang.
Pasal 203
(1) Pemilik kapal wajib menyingkirkan kerangka kapal dan/atau muatannya yang mengganggu keselamatan dan keamanan pelayaran paling lama 180 (seratus delapan puluh) hari kalender sejak kapal tenggelam.
(2) Pemerintah wajib mengangkat, menyingkirkan, atau menghancurkan seluruh atau sebagian dari kerangka kapal dan/atau muatannya atas biaya pemilik apabila dalam batas waktu yang ditetapkan Pemerintah, pemilik tidak melaksanakan tanggung jawab dan kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pemilik kapal yang lalai melaksanakan kewajiban dalam batas waktu yang ditetapkan Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sehingga mengakibatkan terjadinya kecelakaan pelayaran, wajib membayar ganti kerugian kepada pihak yang mengalami kecelakaan.
(4) Pemerintah wajib mengangkat dan menguasai kerangka kapal dan/atau muatannya yang tidak diketahui pemiliknya dalam batas waktu yang telah ditentukan.
(5) Untuk menjamin kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) pemillik kapal wajib mengasuransikan kapalnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan pengangkatan kerangka kapal dan/atau muatannya diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kedelapan
Salvage dan Pekerjaan Bawah Air
Pasal 204
(1) Kegiatan salvage dilakukan terhadap kerangka kapal dan/atau muatannya yang mengalami kecelakaan atau tenggelam.
(2) Setiap kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air harus memperoleh izin dan memenuhi persyaratan teknis keselamatan dan keamanan pelayaran dari Menteri.
Pasal 205
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan salvage dan pekerjaan bawah air diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kesembilan
Sanksi Administratif
Pasal 206
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 172 ayat (6), Pasal 178 ayat (5), Pasal 193 ayat (2), Pasal 198 ayat (2), Pasal 200 dikenakan sanksi administratif, berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan izin atau pembekuan sertifikat; atau
c. pencabutan izin atau pencabutan sertifikat.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XI
SYAHBANDAR
Bagian Kesatu
Fungsi, Tugas, dan Kewenangan Syahbandar
Pasal 207
(1) Syahbandar melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran yang mencakup, pelaksanaan, pengawasan dan penegakan hukum di bidang angkutan di perairan, kepelabuhanan, dan perlindungan lingkungan maritim di pelabuhan.
(2) Selain melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Syahbandar membantu pelaksanaan pencarian dan penyelamatan (Search and Rescue/SAR) di pelabuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Syahbandar diangkat oleh Menteri setelah memenuhi persyaratan kompetensi di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran serta kesyahbandaran.
Pasal 208
(1) Dalam melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 ayat (1) Syahbandar mempunyai tugas:
a. mengawasi kelaiklautan kapal, keselamatan, keamanan dan ketertiban di pelabuhan;
b. mengawasi tertib lalu lintas kapal di perairan pelabuhan dan alur-pelayaran;
c. mengawasi kegiatan alih muat di perairan pelabuhan;
d. mengawasi kegiatan salvage dan pekerjaan bawah air;
e. mengawasi kegiatan penundaan kapal;
f. mengawasi pemanduan;
g. mengawasi bongkar muat barang berbahaya serta limbah bahan berbahaya dan beracun;
h. mengawasi pengisian bahan bakar;
i. mengawasi ketertiban embarkasi dan debarkasi penumpang;
j. mengawasi pengerukan dan reklamasi;
k. mengawasi kegiatan pembangunan fasilitas pelabuhan;
l. melaksanakan bantuan pencarian dan penyelamatan;
m. memimpin penanggulangan pencemaran dan pemadaman kebakaran di pelabuhan; dan
n. mengawasi pelaksanaan perlindungan lingkungan maritim.
(2) Dalam melaksanakan penegakan hukum di bidang keselamatan dan keamanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 ayat (1) Syahbandar melaksanakan tugas sebagai Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 209
Dalam melaksanakan fungsi dan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 dan Pasal 208 Syahbandar mempunyai kewenangan:
a. mengkoordinasikan seluruh kegiatan pemerintahan di pelabuhan;
b. memeriksa dan menyimpan surat, dokumen, dan warta kapal;
c. menerbitkan persetujuan kegiatan kapal di pelabuhan;
d. melakukan pemeriksaan kapal;
e. menerbitkan Surat Persetujuan Berlayar;
f. melakukan pemeriksaan kecelakaan kapal;
g. menahan kapal atas perintah pengadilan; dan
h. melaksanakan sijil Awak Kapal.
Pasal 210
(1) Untuk melaksanakan fungsi keselamatan dan keamanan pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 207 ayat (1) dibentuk kelembagaan Syahbandar.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan kelembagaan Syahbandar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kedua
Koordinasi Kegiatan Pemerintahan
di Pelabuhan
Pasal 211
(1) Syahbandar memiliki kewenangan tertinggi melaksanakan koordinasi kegiatan kepabeanan, keimigrasian, kekarantinaan, dan kegiatan institusi pemerintahan lainnya.
(2) Koordinasi yang dilaksanakan oleh Syahbandar sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dalam rangka pengawasan dan penegakan hukum di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran.
Pasal 212
(1) Dalam melaksanakan keamanan dan ketertiban di pelabuhan sesuai dengan ketentuan konvensi internasional, Syahbandar bertindak selaku komite keamanan pelabuhan (Port Security Commitee).
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Syahbandar dapat meminta bantuan kepada Kepolisian Republik Indonesia dan/atau Tentara Nasional Indonesia.
(3) Bantuan keamanan dan ketertiban di pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) di bawah koordinasi dalam kewenangan Syahbandar.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pelaksanaan keamanan dan ketertiban serta permintaan bantuan di pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Ketiga
Pemeriksaan dan Penyimpanan Surat,
Dokumen, dan Warta Kapal
Pasal 213
(1) Pemilik, Operator Kapal, atau Nakhoda wajib memberitahukan kedatangan kapalnya di pelabuhan kepada Syahbandar.
(2) Setiap kapal yang memasuki pelabuhan wajib menyerahkan surat, dokumen, dan warta kapal kepada Syahbandar seketika pada saat kapal tiba di pelabuhan untuk dilakukan pemeriksaan.
(3) Setelah dilakukan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) surat, dokumen, dan warta kapal disimpan oleh Syahbandar untuk diserahkan kembali bersamaan dengan diterbitkannya Surat Persetujuan Berlayar.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemberitahuan kedatangan kapal, pemeriksaan, penyerahan, serta penyimpanan surat, dokumen, dan warta kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 214
Nakhoda wajib mengisi, menandatangani, dan menyampaikan warta kapal kepada Syahbandar berdasarkan format yang telah ditentukan oleh Menteri.
Pasal 215
Setiap kapal yang memasuki pelabuhan, selama berada di pelabuhan, dan pada saat meninggalkan pelabuhan wajib mematuhi peraturan dan melaksanakan petunjuk serta perintah Syahbandar untuk kelancaran lalu lintas kapal serta kegiatan di pelabuhan.
Bagian Keempat
Persetujuan Kegiatan Kapal di Pelabuhan
Pasal 216
(1) Kapal yang melakukan kegiatan perbaikan, percobaan berlayar, kegiatan alih muat di kolam pelabuhan, menunda, dan bongkar muat barang berbahaya wajib mendapat persetujuan dari Syahbandar.
(2) Kegiatan salvage, pekerjaan bawah air, pengisian bahan bakar, pengerukan, reklamasi, dan pembangunan pelabuhan wajib dilaporkan kepada Syahbandar.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara memperoleh persetujuan dan pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kelima
Pemeriksaan Kapal
Pasal 217
Syahbandar berwenang melakukan pemeriksaan kelaiklautan dan keamanan kapal di pelabuhan.
Pasal 218
(1) Dalam keadaan tertentu, Syahbandar berwenang melakukan pemeriksaan kelaiklautan kapal dan keamanan kapal berbendera Indonesia di pelabuhan.
(2) Syahbandar berwenang melakukan pemeriksaan kelaiklautan dan keamanan kapal asing di pelabuhan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemeriksaan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keenam
Surat Persetujuan Berlayar
Pasal 219
(1) Setiap kapal yang berlayar wajib memiliki Surat Persetujuan Berlayar yang dikeluarkan oleh Syahbandar.
(2) Surat Persetujuan Berlayar tidak berlaku apabila kapal dalam waktu 24 (dua puluh empat) jam, setelah persetujuan berlayar diberikan, kapal tidak bertolak dari pelabuhan.
(3) Surat Persetujuan Berlayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak diberikan pada kapal atau dicabut apabila ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 117 ayat (2), Pasal 125 ayat (2), Pasal 130 ayat (1), Pasal 134 ayat (1), Pasal 135, Pasal 149 ayat (2), Pasal 169 ayat (1), Pasal 213 ayat (2), dan Pasal 215 dilanggar.
(4) Syahbandar dapat menunda keberangkatan kapal untuk berlayar karena tidak memenuhi persyaratan kelaiklautan kapal atau pertimbangan cuaca.
(5) Ketentuan mengenai tata cara penerbitan Surat Persetujuan Berlayar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Ketujuh
Pemeriksaan Pendahuluan Kecelakaan Kapal
Pasal 220
(1) Syahbandar melakukan pemeriksaan terhadap setiap kecelakaan kapal untuk mencari keterangan dan/atau bukti awal atas terjadinya kecelakaan kapal.
(2) Pemeriksaan kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pemeriksaan pendahuluan.
Pasal 221
(1) Pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal berbendera Indonesia di wilayah perairan Indonesia dilakukan oleh Syahbandar atau pejabat pemerintah yang ditunjuk.
(2) Pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal berbendera Indonesia di luar perairan Indonesia dilaksanakan oleh Syahbandar atau pejabat pemerintah yang ditunjuk setelah menerima laporan kecelakaan kapal dari Perwakilan Pemerintah Republik Indonesia dan/atau dari pejabat pemerintah negara setempat yang berwenang.
(3) Hasil pemeriksaan pendahuluan kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 220 dapat diteruskan kepada Mahkamah Pelayaran untuk dilakukan pemeriksaan lanjutan.
Bagian Kedelapan
Penahanan Kapal
Pasal 222
(1) Syahbandar hanya dapat menahan kapal di pelabuhan atas perintah tertulis pengadilan.
(2) Penahanan kapal berdasarkan perintah tertulis pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan berdasarkan alasan:
a. kapal yang bersangkutan terkait dengan perkara pidana; atau
b. kapal yang bersangkutan terkait dengan perkara perdata.
Pasal 223
(1) Perintah penahanan kapal oleh pengadilan dalam perkara perdata berupa klaim-pelayaran dilakukan tanpa melalui proses gugatan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penahanan kapal di pelabuhan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Kesembilan
Sijil Awak Kapal
Pasal 224
(1) Setiap orang yang bekerja di kapal dalam jabatan apa pun harus memiliki kompetensi, dokumen pelaut, dan disijil oleh Syahbandar.
(2) Sijil Awak Kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan tahapan:
a. penandatanganan perjanjian kerja laut yang dilakukan oleh pelaut dan perusahaan angkutan laut diketahui oleh Syahbandar; dan
b. berdasarkan penandatanganan perjanjian kerja laut, Nakhoda memasukkan nama dan jabatan Awak Kapal sesuai dengan kompetensinya ke dalam buku sijil yang disahkan oleh Syahbandar.
Bagian Kesepuluh
Sanksi Administratif
Pasal 225
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 213 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 214, dan Pasal 215 dikenakan sanksi administratif, berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan izin atau pembekuan sertifikat; atau
c. pencabutan izin.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XII
PERLINDUNGAN LINGKUNGAN MARITIM
Bagian Kesatu
Penyelenggara Perlindungan Lingkungan Maritim
Pasal 226
(1) Penyelenggaraan perlindungan lingkungan maritim dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Penyelenggaraan perlindungan lingkungan maritim sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui:
a. pencegahan dan penanggulangan pencemaran dari pengoperasian kapal; dan
b. pencegahan dan penanggulangan pencemaran dari kegiatan kepelabuhanan.
(3) Selain pencegahan dan penanggulangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) perlindungan lingkungan maritim juga dilakukan terhadap:
a. pembuangan limbah di perairan; dan
b. penutuhan kapal.
Bagian Kedua
Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran
dari Pengoperasian Kapal
Pasal 227
Setiap Awak Kapal wajib mencegah dan menanggulangi terjadinya pencemaran lingkungan yang bersumber dari kapal.
Pasal 228
(1) Kapal dengan jenis dan ukuran tertentu yang dioperasikan wajib dilengkapi peralatan dan bahan penanggulangan pencemaran minyak dari kapal yang mendapat pengesahan dari Pemerintah.
(2) Kapal dengan jenis dan ukuran tertentu yang dioperasikan wajib dilengkapi pola penanggulangan pencemaran minyak dari kapal yang mendapat pengesahan dari Pemerintah.
Pasal 229
(1) Setiap kapal dilarang melakukan pembuangan limbah, air balas, kotoran, sampah, serta bahan kimia berbahaya dan beracun ke perairan.
(2) Dalam hal jarak pembuangan, volume pembuangan, dan kualitas buangan telah sesuai dengan syarat yang ditetapkan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan, ketentuan pada ayat (1) dapat dikecualikan.
(3) Setiap kapal dilarang mengeluarkan gas buang melebihi ambang batas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 230
(1) Setiap Nakhoda atau penanggung jawab unit kegiatan lain di perairan bertanggung jawab menanggulangi pencemaran yang bersumber dari kapal dan/atau kegiatannya.
(2) Setiap Nakhoda atau penanggung jawab unit kegiatan lain di perairan wajib segera melaporkan kepada Syahbandar terdekat dan/atau unsur Pemerintah lain yang terdekat mengenai terjadinya pencemaran perairan yang disebabkan oleh kapalnya atau yang bersumber dari kegiatannya, apabila melihat adanya pencemaran dari kapal, dan/atau kegiatan lain di perairan.
(3) Unsur Pemerintah lainnya yang telah menerima informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib meneruskan laporan mengenai adanya pencemaran perairan kepada Syahbandar terdekat atau kepada institusi yang berwenang.
(4) Syahbandar segera meneruskan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada institusi yang berwenang untuk penanganan lebih lanjut.
Pasal 231
(1) Pemilik atau operator kapal bertanggung jawab terhadap pencemaran yang bersumber dari kapalnya.
(2) Untuk memenuhi tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pemilik atau operator kapal wajib mengasuransikan tanggung jawabnya.
Pasal 232
Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran akibat pengoperasian kapal diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 233
(1) Pengangkutan limbah bahan berbahaya dan beracun dengan kapal wajib memperhatikan spesifikasi kapal untuk pengangkutan limbah.
(2) Spesifikasi kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan tata cara pengangkutan limbah bahan berbahaya dan beracun wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh Menteri.
(3) Kapal yang mengangkut limbah bahan berbahaya dan beracun wajib memiliki standar operasional dan prosedur tanggap darurat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Bagian Ketiga
Pencegahan dan Penanggulangan Pencemaran
dari Kegiatan Kepelabuhanan
Pasal 234
Pengoperasian pelabuhan wajib memenuhi persyaratan untuk mencegah timbulnya pencemaran yang bersumber dari kegiatan di pelabuhan.
Pasal 235
(1) Setiap pelabuhan wajib memenuhi persyaratan peralatan penanggulangan pencemaran sesuai dengan besaran dan jenis kegiatan.
(2) Setiap pelabuhan wajib memenuhi persyaratan bahan penanggulangan pencemaran sesuai dengan besaran dan jenis kegiatan.
(3) Otoritas Pelabuhan wajib memiliki standar dan prosedur tanggap darurat penanggulan pencemaran.
Pasal 236
Otoritas Pelabuhan, Unit Penyelenggara Pelabuhan, Badan Usaha Pelabuhan, dan pengelola terminal khusus wajib menanggulangi pencemaran yang diakibatkan oleh pengoperasian pelabuhan.
Pasal 237
(1) Untuk menampung limbah yang berasal dari kapal di pelabuhan, Otoritas Pelabuhan, Unit Penyelenggara Pelabuhan, Badan Usaha Pelabuhan, dan Pengelola Terminal Khusus wajib dan bertanggung jawab menyediakan fasilitas penampungan limbah.
(2) Manajemen pengelolaan limbah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pengangkutan limbah ke tempat pengumpulan, pengolahan, dan pemusnahan akhir dilaksanakan berdasarkan ketentuan yang ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang lingkungan hidup.
Pasal 238
Ketentuan lebih lanjut mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran di pelabuhan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Pembuangan Limbah di Perairan
Pasal 239
(1) Pembuangan limbah di perairan hanya dapat dilakukan pada lokasi tertentu yang ditetapkan oleh Menteri dan memenuhi persyaratan tertentu.
(2) Pembuangan limbah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaporkan kepada institusi yang tugas dan fungsinya di bidang penjagaan laut dan pantai.
Pasal 240
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembuangan limbah di perairan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Penutuhan Kapal
Pasal 241
(1) Penutuhan kapal wajib memenuhi persyaratan perlindungan lingkungan maritim.
(2) Lokasi penutuhan kapal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan oleh Menteri.
Pasal 242
Persyaratan perlindungan lingkungan maritim untuk kegiatan penutuhan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 diatur dengan Peraturan Menteri.
Bagian Keenam
Sanksi Administratif
Pasal 243
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 230 ayat (2), Pasal 233 ayat (3), Pasal 234, Pasal 235, Pasal 239 ayat (2) dikenakan sanksi administratif berupa:
a. peringatan;
b. denda administratif;
c. pembekuan izin; atau
d. pencabutan izin.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIII
KECELAKAAN KAPAL SERTA PENCARIAN DAN PERTOLONGAN
Bagian Kesatu
Bahaya Terhadap Kapal
Pasal 244
(1) Bahaya terhadap kapal dan/atau orang merupakan kejadian yang dapat menyebabkan terancamnya keselamatan kapal dan/atau jiwa manusia.
(2) Setiap orang yang mengetahui kejadian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib segera melakukan upaya pencegahan, pencarian dan pertolongan serta melaporkan kejadian kepada pejabat berwenang terdekat atau pihak lain.
(3) Nakhoda wajib melakukan tindakan pencegahan dan penyebarluasan berita kepada pihak lain apabila mengetahui di kapalnya, kapal lain, atau adanya orang dalam keadaan bahaya.
(4) Nakhoda wajib melaporkan bahaya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada:
a. Syahbandar pelabuhan terdekat apabila bahaya terjadi di wilayah perairan Indonesia; atau
b. Pejabat Perwakilan Republik Indonesia terdekat dan pejabat pemerintah negara setempat yang berwenang apabila bahaya terjadi di luar wilayah perairan Indonesia.
Bagian Kedua
Kecelakaan Kapal
Pasal 245
Kecelakaan kapal merupakan kejadian yang dialami oleh kapal yang dapat mengancam keselamatan kapal dan/atau jiwa manusia berupa:
a. kapal tenggelam;
b. kapal terbakar;
c. kapal tubrukan; dan
d. kapal kandas.
Pasal 246
Dalam hal terjadi kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 setiap orang yang berada di atas kapal yang mengetahui terjadi kecelakaan dalam batas kemampuannya harus memberikan pertolongan dan melaporkan kecelakaan tersebut kepada Nakhoda dan/atau Anak Buah Kapal.
Pasal 247
Nakhoda yang mengetahui kecelakaan kapalnya atau kapal lain wajib mengambil tindakan penanggulangan, meminta dan/atau memberikan pertolongan, dan menyebarluaskan berita mengenai kecelakaan tersebut kepada pihak lain.
Pasal 248
Nakhoda yang mengetahui kecelakaan kapalnya atau kapal lain wajib melaporkan kepada:
a. Syahbandar pelabuhan terdekat apabila kecelakaan kapal terjadi di dalam wilayah perairan Indonesia; atau
b. Pejabat Perwakilan Republik Indonesia terdekat dan pejabat pemerintah negara setempat yang berwenang apabila kecelakaan kapal terjadi di luar wilayah perairan Indonesia.
Pasal 249
Kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 245 merupakan tanggung jawab Nakhoda kecuali dapat dibuktikan lain.
Bagian Ketiga
Mahkamah Pelayaran
Pasal 250
(1) Mahkamah Pelayaran dibentuk oleh dan bertanggung jawab kepada Menteri.
(2) Mahkamah Pelayaran memiliki susunan organisasi dan tata kerja yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri.
Pasal 251
Mahkamah Pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 250, memiliki fungsi untuk melaksanakan pemeriksaan lanjutan atas kecelakaan kapal dan menegakkan kode etik profesi dan kompetensi Nakhoda dan/atau perwira kapal setelah dilakukan pemeriksaan pendahuluan oleh Syahbandar.
Pasal 252
Mahkamah Pelayaran berwenang memeriksa tubrukan yang terjadi antara kapal niaga dengan kapal niaga, kapal niaga dengan kapal negara, dan kapal niaga dengan kapal perang.
Pasal 253
(1) Dalam melaksanakan pemeriksaan lanjutan kecelakaan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 251, Mahkamah Pelayaran bertugas:
a. meneliti sebab kecelakaan kapal dan menentukan ada atau tidak adanya kesalahan atau kelalaian dalam penerapan standar profesi kepelautan yang dilakukan oleh Nakhoda dan/atau perwira kapal atas terjadinya kecelakaan kapal; dan
b. merekomendasikan kepada Menteri mengenai pengenaan sanksi administratif atas kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh Nakhoda dan/atau perwira kapal.
(2) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, berupa:
a. peringatan; atau
b. pencabutan sementara Sertifikat Keahlian Pelaut.
Pasal 254
(1) Dalam pemeriksaan lanjutan Mahkamah Pelayaran dapat menghadirkan pejabat pemerintah di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran dan pihak terkait lainnya.
(2) Dalam pemeriksaan lanjutan, pemilik, atau operator kapal wajib menghadirkan Nakhoda dan/atau Anak Buah Kapal.
(3) Pemilik, atau operator kapal yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dikenakan sanksi berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan izin; atau
c. pencabutan izin.
Pasal 255
Ketentuan lebih lanjut mengenai fungsi, kewenangan, dan tugas Mahkamah Pelayaran serta tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Keempat
Investigasi Kecelakaan Kapal
Pasal 256
(1) Investigasi kecelakaan kapal dilakukan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi untuk mencari fakta guna mencegah terjadinya kecelakaan kapal dengan penyebab yang sama.
(2) Investigasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap setiap kecelakaan kapal.
(3) Investigasi yang dilakukan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak untuk menentukan kesalahan atau kelalaian atas terjadinya kecelakaan kapal.
Pasal 257
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas Komite Nasional Keselamatan Transportasi serta tata cara pemeriksaan dan investigasi kecelakaan kapal diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Bagian Kelima
Pencarian dan Pertolongan
Pasal 258
(1) Pemerintah bertanggung jawab melaksanakan pencarian dan pertolongan terhadap kecelakaan kapal dan/atau orang yang mengalami musibah di perairan Indonesia.
(2) Kapal atau pesawat udara yang berada di dekat atau melintasi lokasi kecelakaan, wajib membantu usaha pencarian dan pertolongan terhadap setiap kapal dan/atau orang yang mengalami musibah di perairan Indonesia.
(3) Setiap orang yang memiliki atau mengoperasikan kapal yang mengalami kecelakaan kapal, bertanggung jawab melaksanakan pencarian dan pertolongan terhadap kecelakaan kapalnya.
Pasal 259
Tanggung jawab pelaksanaan pencarian dan pertolongan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258 ayat (1) dikoordinasikan dan dilakukan oleh institusi yang bertanggung jawab di bidang pencarian dan pertolongan.
Pasal 260
Ketentuan lebih lanjut mengenai pencarian dan pertolongan diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XIV
SUMBER DAYA MANUSIA
Pasal 261
(1) Penyelenggaraan dan pengembangan sumber daya manusia di bidang pelayaran dilaksanakan dengan tujuan tersedianya sumber daya manusia yang profesional, kompeten, disiplin, dan bertanggung jawab serta memenuhi standar nasional dan internasional.
(2) Penyelenggaraan dan pengembangan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup perencanaan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan pelatihan, penempatan, pengembangan pasar kerja, dan perluasan kesempatan berusaha.
(3) Penyelenggaraan dan pengembangan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan terhadap aparatur Pemerintah dan masyarakat.
(4) Sumber daya manusia di bidang pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. sumber daya manusia di bidang angkutan di perairan;
b. sumber daya manusia di bidang kepelabuhanan;
c. sumber daya manusia di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran; dan
d. sumber daya manusia di bidang perlindungan lingkungan maritim.
Pasal 262
(1) Pendidikan dan pelatihan di bidang pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 ayat (2) diselenggarakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat melalui jalur pendidikan formal dan nonformal.
(2) Jalur pendidikan formal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan dalam jenjang pendidikan menengah dan perguruan tinggi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Jalur pendidikan nonformal merupakan lembaga pelatihan dalam bentuk balai pendidikan dan pelatihan di bidang pelayaran.
Pasal 263
(1) Pendidikan dan pelatihan di bidang pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 ayat (2) merupakan tanggung jawab Pemerintah, pembinaannya dilakukan oleh Menteri dan menteri yang bertanggung jawab di bidang pendidikan nasional sesuai dengan kewenangannya.
(2) Pemerintah dan pemerintah daerah mengarahkan, membimbing, mengawasi, dan membantu penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan di bidang pelayaran sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan pelayaran.
Pasal 264
(1) Pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia di bidang pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 261 ayat (2) disusun dalam model pendidikan dan pelatihan yang ditetapkan oleh Menteri.
(2) Model pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. jenis dan jenjang pendidikan dan pelatihan;
b. peserta pendidikan dan pelatihan;
c. hak dan kewajiban pendidikan dan pelatihan;
d. kurikulum dan metode pendidikan dan pelatihan;
e. tenaga pendidik dan pelatih;
f. prasarana dan sarana pendidikan dan pelatihan;
g. standardisasi penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan;
h. pembiayaan pendidikan dan pelatihan; dan
i. pengendalian dan pengawasan terhadap pendidikan dan pelatihan.
Pasal 265
Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan dan pelatihan di bidang pelayaran yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
Pasal 266
(1) Perusahaan angkutan di perairan wajib menyediakan fasilitas praktik berlayar di kapal untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di bidang angkutan perairan.
(2) Perusahaan angkutan di perairan, Badan Usaha Pelabuhan, dan instansi terkait wajib menyediakan fasilitas praktik di pelabuhan atau di lokasi kegiatannya untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia di bidang pelayaran.
(3) Perusahaan angkutan di perairan, organisasi, dan badan usaha yang mendapatkan manfaat atas jasa profesi pelaut wajib memberikan kontribusi untuk menunjang tersedianya tenaga pelaut yang andal.
(4) Kontribusi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa:
a. memberikan beasiswa pendidikan;
b. membangun lembaga pendidikan sesuai dengan standar internasional;
c. melakukan kerja sama dengan lembaga pendidikan yang ada; dan/atau
d. mengadakan perangkat simulator, buku pelajaran, dan terbitan maritim yang mutakhir.
Pasal 267
Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 266 ayat (1) dan ayat (3) dikenakan sanksi administratif, berupa:
a. peringatan;
b. denda administratif;
c. pembekuan izin; atau
d. pencabutan izin.
Pasal 268
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan dan pengembangan sumber daya manusia, tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif, serta besarnya denda administratif diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XV
SISTEM INFORMASI PELAYARAN
Pasal 269
(1) Sistem informasi pelayaran mencakup pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, penyajian, serta penyebaran data dan informasi pelayaran untuk:
a. mendukung operasional pelayaran;
b. meningkatkan pelayanan kepada masyarakat atau publik; dan
c. mendukung perumusan kebijakan di bidang pelayaran.
(2) Sistem informasi pelayaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah.
(3) Pemerintah daerah menyelenggarakan sistem informasi pelayaran sesuai dengan kewenangannya berdasarkan pedoman dan standar yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Pasal 270
Sistem informasi pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 269 mencakup:
a. sistem informasi angkutan di perairan paling sedikit memuat:
1) usaha dan kegiatan angkutan di perairan;
2) armada dan kapasitas ruang kapal nasional;
3) muatan kapal dan pangsa muatan kapal nasional;
4) usaha dan kegiatan jasa terkait dengan angkutan di perairan; dan
5) trayek angkutan di perairan.
b. sistem informasi pelabuhan paling sedikit memuat:
1) kedalaman alur dan kolam pelabuhan;
2) kapasitas dan kondisi fasilitas pelabuhan;
3) arus peti kemas, barang, dan penumpang di pelabuhan;
4) arus lalu lintas kapal di pelabuhan;
5) kinerja pelabuhan;
6) operator terminal di pelabuhan;
7) tarif jasa kepelabuhanan; dan
8) Rencana Induk Pelabuhan dan/atau rencana pembangunan pelabuhan.
c. sistem informasi keselamatan dan keamanan pelayaran paling sedikit memuat:
1) kondisi angin, arus, gelombang, dan pasang surut;
2) kapasitas Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran, Telekomunikasi-Pelayaran, serta alur dan perlintasan;
3) kapal negara di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran;
4) sumber daya manusia bidang kepelautan;
5) daftar kapal berbendera Indonesia;
6) kerangka kapal di perairan Indonesia;
7) kecelakaan kapal; dan
8) lalu lintas kapal di perairan.
d. sistem informasi perlindungan lingkungan maritim paling sedikit memuat:
1) keberadaan bangunan di bawah air (kabel laut dan pipa laut);
2) lokasi pembuangan limbah; dan
3) lokasi penutuhan kapal.
e. sistem informasi sumber daya manusia dan peran serta masyarakat di bidang pelayaran paling sedikit memuat:
1) jumlah dan kompetensi sumber daya manusia di bidang pelayaran; dan
2) kebijakan yang diterbitkan oleh Pemerintah di bidang pelayaran.
Pasal 271
Penyelenggaraan sistem informasi pelayaran dilakukan dengan membangun dan mengembangkan jaringan informasi secara efektif, efisien, dan terpadu yang melibatkan pihak terkait dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi.
Pasal 272
(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan di bidang pelayaran wajib menyampaikan data dan informasi kegiatannya kepada Pemerintah dan/atau pemerintah daerah.
(2) Pemerintah dan/atau pemerintah daerah melakukan pemutakhiran data dan informasi pelayaran secara periodik untuk menghasilkan data dan informasi yang sesuai dengan kebutuhan, akurat, terkini, dan dapat dipertanggungjawabkan.
(3) Data dan informasi pelayaran didokumentasikan dan dipublikasikan serta dapat diakses dan digunakan oleh masyarakat yang membutuhkan dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi.
(4) Pengelolaan sistem informasi pelayaran oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dapat dilakukan melalui kerja sama dengan pihak lain.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyampaian dan pengelolaan sistem informasi pelayaran diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 273
(1) Setiap orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 272 ayat (1) dapat dikenakan sanksi administratif, berupa:
a. peringatan;
b. pembekuan izin; atau
c. pencabutan izin.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur pengenaan sanksi administratif serta besarnya denda administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XVI
PERAN SERTA MASYARAKAT
Pasal 274
(1) Dalam rangka meningkatkan penyelenggaraan pelayaran secara optimal masyarakat memiliki kesempatan yang sama dan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam kegiatan pelayaran.
(2) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
a. memantau dan menjaga ketertiban penyelenggaraan kegiatan pelayaran;
b. memberi masukan kepada Pemerintah dalam penyempurnaan peraturan, pedoman, dan standar teknis di bidang pelayaran;
c. memberi masukan kepada Pemerintah, pemerintah daerah dalam rangka pembinaan, penyelenggaraan, dan pengawasan pelayaran;
d. menyampaikan pendapat dan pertimbangan kepada pejabat yang berwenang terhadap kegiatan penyelenggaraan kegiatan pelayaran yang mengakibatkan dampak penting terhadap lingkungan; dan/atau
e. melaksanakan gugatan perwakilan terhadap kegiatan pelayaran yang mengganggu, merugikan, dan/atau membahayakan kepentingan umum.
(3) Pemerintah mempertimbangkan dan menindaklanjuti terhadap masukan, pendapat, dan pertimbangan yang disampaikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, huruf c, dan huruf d.
(4) Dalam melaksanakan peran serta sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masyarakat ikut bertanggung jawab menjaga ketertiban serta keselamatan dan keamanan pelayaran.
Pasal 275
(1) Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 274 ayat (2) dapat dilakukan secara perseorangan, kelompok, organisasi profesi, badan usaha, atau organisasi kemasyarakatan lain sesuai dengan prinsip keterbukaan dan kemitraan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
BAB XVII
PENJAGAAN LAUT DAN PANTAI
(SEA AND COAST GUARD)
Pasal 276
(1) Untuk menjamin terselenggaranya keselamatan dan keamanan di laut dilaksanakan fungsi penjagaan dan penegakan peraturan perundang-undangan di laut dan pantai.
(2) Pelaksanaan fungsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh penjaga laut dan pantai.
(3) Penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri.
Pasal 277
(1) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (1) penjaga laut dan pantai melaksanakan tugas:
a. melakukan pengawasan keselamatan dan keamanan pelayaran;
b. melakukan pengawasan, pencegahan, dan penanggulangan pencemaran di laut;
c. pengawasan dan penertiban kegiatan serta lalu lintas kapal;
d. pengawasan dan penertiban kegiatan salvage, pekerjaan bawah air, serta eksplorasi dan eksploitasi kekayaan laut;
e. pengamanan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran; dan
f. mendukung pelaksanaan kegiatan pencarian dan pertolongan jiwa di laut.
(2) Dalam melaksanakan fungsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 ayat (1) penjaga laut dan pantai melaksanakan koordinasi untuk:
a. merumuskan dan menetapkan kebijakan umum penegakan hukum di laut;
b. menyusun kebijakan dan standar prosedur operasi penegakan hukum di laut secara terpadu;
c. kegiatan penjagaan, pengawasan, pencegahan dan penindakan pelanggaran hukum serta pengamanan pelayaran dan pengamanan aktivitas masyarakat dan Pemerintah di wilayah perairan Indonesia; dan
d. memberikan dukungan teknis administrasi di bidang penegakan hukum di laut secara terpadu.
Pasal 278
(1) Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277, penjaga laut dan pantai mempunyai kewenangan untuk:
a. melaksanakan patroli laut;
b. melakukan pengejaran seketika (hot pursuit);
c. memberhentikan dan memeriksa kapal di laut; dan
d. melakukan penyidikan.
(2) Dalam melaksanakan kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d penjaga laut dan pantai melaksanakan tugas sebagai pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kewenangan penjaga laut dan pantai diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 279
(1) Dalam rangka melaksanakan tugasnya penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 277 didukung oleh prasarana berupa pangkalan armada penjaga laut dan pantai yang berlokasi di seluruh wilayah Indonesia, dan dapat menggunakan kapal dan pesawat udara yang berstatus sebagai kapal negara atau pesawat udara negara.
(2) Penjaga laut dan pantai wajib memiliki kualifikasi dan kompetensi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
(3) Pelaksanaan penjagaan dan penegakan hukum di laut oleh penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib menggunakan dan menunjukkan identitas yang jelas.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai identitas penjaga laut dan pantai diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 280
Aparat penjagaan dan penegakan peraturan di bidang pelayaran yang tidak menggunakan dan menunjukkan identitas yang jelas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 279 ayat (3), dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang kepegawaian.
Pasal 281
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan serta organisasi dan tata kerja penjaga laut dan pantai sebagaimana dimaksud dalam Pasal 276 diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB XVIII
PENYIDIKAN
Pasal 282
(1) Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia dan penyidik lainnya, pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi yang lingkup tugas dan tanggung jawabnya di bidang pelayaran diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini.
(2) Dalam pelaksanaan tugasnya pejabat pegawai negeri sipil tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik polisi Negara Republik Indonesia.
Pasal 283
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 berwenang melakukan penyidikan tindak pidana di bidang pelayaran.
(2) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang:
a. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan sehubungan dengan tindak pidana di bidang pelayaran;
b. menerima laporan atau keterangan dari seseorang tentang adanya tindak pidana di bidang pelayaran;
c. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
d. melakukan penangkapan dan penahanan terhadap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang pelayaran;
e. meminta keterangan dan bukti dari orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang pelayaran;
f. memotret dan/atau merekam melalui media audiovisual terhadap orang, barang, kapal atau apa saja yang dapat dijadikan bukti adanya tindak pidana di bidang pelayaran;
g. memeriksa catatan dan pembukuan yang diwajibkan menurut Undang-Undang ini dan pembukuan lainnya yang terkait dengan tindak pidana pelayaran;
h. mengambil sidik jari;
i. menggeledah kapal, tempat dan memeriksa barang yang terdapat di dalamnya apabila dicurigai adanya tindak pidana di bidang pelayaran;
j. menyita benda-benda yang diduga keras merupakan barang yang digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang pelayaran;
k. memberikan tanda pengaman dan mengamankan apa saja yang dapat dijadikan sebagai bukti sehubungan dengan tindak pidana di bidang pelayaran;
l. mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara tindak pidana di bidang pelayaran;
m. menyuruh berhenti orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang pelayaran serta memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
n. mengadakan penghentian penyidikan; dan
o. melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
(3) Penyidik pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada penuntut umum melalui pejabat penyidik polisi Negara Republik Indonesia.
BAB XIX
KETENTUAN PIDANA
Pasal 284
Setiap orang yang mengoperasikan kapal asing untuk mengangkut penumpang dan/atau barang antarpulau atau antarpelabuhan di wilayah perairan Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 285
Setiap orang yang melayani kegiatan angkutan laut khusus yang mengangkut muatan barang milik pihak lain dan atau mengangkut muatan atau barang milik pihak lain dan/atau mengangkut muatan atau barang umum tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 286
(1) Nakhoda angkutan sungai dan danau yang melayarkan kapalnya ke laut tanpa izin dari Syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 ayat (6) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengakibatkan kematian seseorang, Nakhoda dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).
Pasal 287
Setiap orang yang mengoperasikan kapal pada angkutan di perairan tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 288
Setiap orang yang mengoperasikan kapal pada angkutan sungai dan danau tanpa izin trayek sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 289
Setiap orang yang mengoperasikan kapal pada angkutan penyeberangan tanpa memiliki persetujuan pengoperasian kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (6) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 290
Setiap orang yang menyelenggarakan usaha jasa terkait tanpa memiliki izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 291
Setiap orang yang tidak melaksanakan kewajibannya untuk mengangkut penumpang dan/atau barang terutama angkutan pos sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 292
Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 293
Setiap orang yang tidak memberikan fasilitas khusus dan kemudahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 294
(1) Setiap orang yang mengangkut barang khusus dan barang berbahaya tidak sesuai dengan persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang dan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu milyar lima ratus juta rupiah).
Pasal 295
Setiap orang yang mengangkut barang berbahaya dan barang khusus yang tidak menyampaikan pemberitahuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 296
Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 297
(1) Setiap orang yang membangun dan mengoperasikan pelabuhan sungai dan danau tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Setiap orang yang memanfaatkan garis pantai untuk melakukan kegiatan tambat kapal dan bongkar muat barang atau menaikkan dan menurunkan penumpang untuk kepentingan sendiri di luar kegiatan di pelabuhan, terminal khusus dan terminal untuk kepentingan sendiri tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 339 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 298
Setiap orang yang tidak memberikan jaminan atas pelaksanaan tanggung jawab ganti rugi dalam melaksanakan kegiatan di pelabuhan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 299
Setiap orang yang membangun dan mengoperasikan terminal khusus tanpa izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 104 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 300
Setiap orang yang menggunakan terminal khusus untuk kepentingan umum tanpa memiliki izin dari Menteri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 301
Setiap orang yang mengoperasikan terminal khusus untuk melayani perdagangan dari dan ke luar negeri tanpa memenuhi persyaratan dan belum ada penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (4) dan ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 302
(1) Nakhoda yang melayarkan kapalnya sedangkan yang bersangkutan mengetahui bahwa kapal tersebut tidak laik laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 117 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang dan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 303
(1) Setiap orang yang mengoperasikan kapal dan pelabuhan tanpa memenuhi persyaratan keselamatan dan keamanan pelayaran serta perlindungan lingkungan maritim sebagaimana dimaksud dalam pasal 122 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kematian seseorang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 304
Setiap orang yang tidak membantu pelaksanaan pemeriksaan dan pengujian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 128 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 305
Setiap orang yang tidak memelihara kapalnya sehingga tidak memenuhi sesuai persyaratan keselamatan kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 130 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 306
Setiap orang yang mengoperasikan kapal yang tidak memenuhi persyaratan perlengkapan navigasi dan/atau navigasi elektronika kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 307
Setiap orang yang mengoperasikan kapal tanpa dilengkapi dengan perangkat komunikasi radio dan kelengkapannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 131 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 308
Setiap orang yang mengoperasikan kapal tidak dilengkapi dengan peralatan meteorologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 309
Nakhoda yang sedang berlayar dan mengetahui adanya cuaca buruk yang membahayakan keselamatan berlayar namun tidak menyebarluaskannya kepada pihak lain dan/atau instansi Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 132 ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 310
Setiap orang yang mempekerjakan Awak Kapal tanpa memenuhi persyaratan kualifikasi dan kompetensi sebagaimana dimaksud dalam pasal 135 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 311
Setiap orang yang menghalang-halangi keleluasaan Nakhoda untuk melaksanakan kewajibannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 138 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 312
Setiap orang yang mempekerjakan seseorang di kapal dalam jabatan apa pun tanpa disijil dan tanpa memiliki kompetensi dan keterampilan serta dokumen pelaut yang dipersyaratkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 145 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 313
Setiap orang yang menggunakan peti kemas sebagai bagian dari alat angkut tanpa memenuhi persyaratan kelaikan peti kemas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 ayat (1) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 314
Setiap orang yang tidak memasang tanda pendaftaran pada kapal yang telah terdaftar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 158 ayat (5) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 315
Nakhoda yang mengibarkan bendera negara lain sebagai tanda kebangsaan dimaksud dalam Pasal 167 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 316
(1) Setiap orang yang dengan sengaja merusak atau melakukan tindakan yang mengakibatkan tidak berfungsinya Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dan fasilitas alur-pelayaran di laut, sungai dan danau serta Telekomunikasi-Pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 dipidana dengan pidana:
a. penjara paling lama 12 (dua belas) tahun jika hal itu dapat mengakibatkan bahaya bagi kapal berlayar atau denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah);
b. penjara paling lama 15 (lima belas) tahun, jika hal itu dapat mengakibatkan bahaya bagi kapal berlayar dan perbuatan itu berakibat kapal tenggelam atau terdampar dan/atau denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah); atau
c. penjara seumur hidup atau penjara untuk waktu tertentu paling lama 20 (dua puluh) tahun, jika hal itu dapat mengakibatkan bahaya bagi kapal berlayar dan berakibat matinya seseorang.
(2) Setiap orang yang karena kelalaiannya menyebabkan tidak berfungsinya Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dan fasilitas alur-pelayaran di laut, sungai dan danau dan Telekomunikasi-Pelayaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 174 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) jika hal itu mengakibatkan bahaya bagi kapal berlayar.
Pasal 317
Nakhoda yang tidak mematuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 193 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 318
Setiap orang yang melakukan pekerjaan pengerukan serta reklamasi alur-pelayaran dan kolam pelabuhan tanpa izin Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 197 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 319
Petugas pandu yang melakukan pemanduan tanpa memiliki sertifikat sebagaimana dimaksud dalam pasal 199 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 320
Pemilik kapal dan/atau Nakhoda yang tidak melaporkan kerangka kapalnya yang berada di perairan Indonesia kepada instansi yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 321
Pemilik kapal yang tidak menyingkirkan kerangka kapal dan/atau muatannya yang mengganggu keselamatan dan keamanan pelayaran dalam batas waktu yang ditetapkan Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 203 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 322
Nakhoda yang melakukan kegiatan perbaikan, percobaan berlayar, kegiatan alih muat di kolam pelabuhan, menunda, dan bongkar muat barang berbahaya tanpa persetujuan dari Syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 216 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 323
(1) Nakhoda yang berlayar tanpa memiliki Surat Persetujuan Berlayar yang dikeluarkan oleh Syahbandar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 219 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengakibatkan kecelakaan kapal sehingga mengakibatkan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengakibatkan kecelakaan kapal sehingga mengakibatkan kematian dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 324
Setiap Awak Kapal yang tidak melakukan pencegahan dan penanggulangan terhadap terjadinya pencemaran lingkungan yang bersumber dari kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 227 dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 325
(1) Setiap orang yang melakukan pembuangan limbah air balas, kotoran, sampah atau bahan lain ke perairan di luar ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
(2) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mengakibatkan kematian seseorang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp2.500.000.000,00 (dua miliar lima ratus juta rupiah).
Pasal 326
Setiap orang yang mengoperasikan kapalnya dengan mengeluarkan gas buang melebihi ambang batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 327
Setiap orang yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 231 ayat (2) dipidana dengan pidana kurungan paling lama 6 (enam) bulan dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 328
Setiap orang yang melakukan pengangkutan limbah bahan berbahaya dan beracun tanpa memperhatikan spesifikasi kapal sebagaimana dimaksud dalam pasal 233 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 329
Setiap orang yang melakukan penutuhan kapal dengan tidak memenuhi persyaratan perlindungan lingkungan maritim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 241 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda paling banyak Rp300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah).
Pasal 330
Nakhoda yang mengetahui adanya bahaya dan kecelakaan di kapalnya, kapal lain, atau setiap orang yang ditemukan dalam keadaan bahaya, yang tidak melakukan tindakan pencegahan dan menyebarluaskan berita mengenai hal tersebut kepada pihak lain, tidak melaporkan kepada Syahbandar atau Pejabat Perwakilan RI terdekat dan pejabat pemerintah negara setempat yang berwenang apabila bahaya dan kecelakaan terjadi di luar wilayah perairan Indonesia serta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 ayat (3) dan ayat (4), Pasal 247 dan Pasal 248 dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
Pasal 331
Setiap orang yang berada di atas kapal yang mengetahui terjadi kecelakaan dalam batas kemampuannya tidak memberikan pertolongan dan melaporkan kecelakaan kepada Nakhoda dan/atau Anak Buah Kapal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 246 dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
Pasal 332
Setiap orang yang mengoperasikan kapal atau pesawat udara yang tidak membantu usaha pencarian dan pertolongan terhadap setiap orang yang mengalami musibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 258 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 333
(1) Tindak pidana di bidang pelayaran dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.
(2) Dalam hal tindak pidana di bidang pelayaran dilakukan oleh suatu korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
Pasal 334
Dalam hal panggilan terhadap korporasi, maka pemanggilan untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus berkantor, di tempat korporasi itu beroperasi, atau di tempat tinggal pengurus.
Pasal 335
Dalam hal tindak pidana di bidang pelayaran dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda yang ditentukan dalam Bab ini.
Pasal 336
(1) Setiap pejabat yang melanggar suatu kewajiban khusus dari jabatannya atau pada waktu melakukan tindak pidana menggunakan kekuasaan, kesempatan, atau sarana yang diberikan kepadanya karena jabatan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
(2) Selain pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pelaku dapat dikenai pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya.
BAB XX
KETENTUAN LAIN-LAIN
Pasal 337
Ketentuan ketenagakerjaan di bidang pelayaran dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.
Pasal 338
Ketentuan mengenai pendidikan dan pelatihan sumber daya manusia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 263 dan Pasal 264, berlaku secara mutatis mutandis untuk bidang transportasi.
Pasal 339
(1) Setiap orang yang memanfaatkan garis pantai untuk membangun fasilitas dan/atau melakukan kegiatan tambat kapal dan bongkar muat barang atau menaikkan dan menurunkan penumpang untuk kepentingan sendiri di luar kegiatan di pelabuhan, terminal khusus, dan terminal untuk kepentingan sendiri wajib memiliki izin.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan prosedur perizinan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.
Pasal 340
Kewenangan penegakan hukum pada perairan Zona Ekonomi Eksklusif dilaksanakan oleh Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB XXI
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 341
Kapal asing yang saat ini masih melayani kegiatan angkutan laut dalam negeri tetap dapat melakukan kegiatannya paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.
Pasal 342
Administrator Pelabuhan dan Kantor Pelabuhan tetap melaksanakan tugas dan fungsinya sampai dengan terbentuknya lembaga baru berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 343
Pelabuhan umum, pelabuhan penyeberangan, pelabuhan khusus, dan dermaga untuk kepentingan sendiri, yang telah diselenggarakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran kegiatannya tetap dapat diselenggarakan dengan ketentuan peran, fungsi, jenis, hierarki, dan statusnya wajib disesuaikan dengan Undang-Undang ini paling lama 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.
Pasal 344
(1) Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Pemerintah, pemerintah daerah, dan Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan pelabuhan tetap menyelenggarakan kegiatan pengusahaan di pelabuhan berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku, kegiatan usaha pelabuhan yang dilaksanakan oleh Pemerintah, pemerintah daerah, dan Badan Usaha Milik Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
(3) Kegiatan pengusahaan di pelabuhan yang telah diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara tetap diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara dimaksud.
Pasal 345
(1) Perjanjian atau kerja sama di dalam Daerah Lingkungan Kerja antara Badan Usaha Milik Negara yang telah menyelenggarakan usaha pelabuhan dengan pihak ketiga tetap berlaku.
(2) Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, perjanjian atau kerja sama Badan Usaha Milik Negara dengan pihak ketiga dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang ini.
Pasal 346
Penjagaan dan penegakan hukum di laut dan pantai serta koordinasi keamanan di laut tetap dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sampai dengan terbentuknya Penjagaan Laut dan Pantai.
BAB XXII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 347
Peraturan Pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya dari Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.
Pasal 348
Otoritas pelabuhan, Unit Penyelenggara Pelabuhan, dan Syahbandar harus terbentuk paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.
Pasal 349
Rencana Induk Pelabuhan Nasional harus ditetapkan oleh Pemerintah paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.
Pasal 350
Pelabuhan utama yang berfungsi sebagai pelabuhan hub internasional harus ditetapkan oleh Pemerintah paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.
Pasal 351
(1) Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan yang telah ada sebelum Undang-Undang ini, harus selesai dievaluasi dan disesuaikan dengan Undang-Undang ini paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.
(2) Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan yang belum ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran harus sudah ditetapkan dalam waktu paling lambat 2 (dua) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.
Pasal 352
Penjagaan Laut dan Pantai harus sudah terbentuk paling lambat 3 (tiga) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.
Pasal 353
Pada saat Undang-Undang ini berlaku semua peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti dengan yang baru berdasarkan Undang-Undang ini.
Pasal 354
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3493) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 355
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 7 Mei 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 7 Mei 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI
No. 4849 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 64)
P E N J E L A S A N
A T A S
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2008
TENTANG
P E L A Y A R A N
I. UMUM
Berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, Negara Kesatuan Republik Indonesia telah dianugerahi sebagai negara kepulauan yang terdiri atas beribu pulau, sepanjang garis khatulistiwa, di antara dua benua dan dua samudera sehingga mempunyai posisi dan peranan penting dan strategis dalam hubungan antarbangsa.
Posisi strategis Negara Kesatuan Republik Indonesia harus dimanfaatkan secara maksimal sebagai modal dasar pembangunan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 untuk mewujudkan Indonesia yang aman, damai, adil, dan demokratis, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Dalam rangka pelaksanaan pembangunan nasional dan perwujudan Wawasan Nusantara, perlu disusun sistem transportasi nasional yang efektif dan efisien, dalam menunjang dan sekaligus menggerakkan dinamika pembangunan, meningkatkan mobilitas manusia, barang, dan jasa, membantu terciptanya pola distribusi nasional yang mantap dan dinamis, serta mendukung pengembangan wilayah dan lebih memantapkan perkembangan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, turut mendukung pertahanan dan keamanan, serta peningkatan hubungan internasional.
Transportasi merupakan sarana untuk memperlancar roda perekonomian, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, dalam rangka memantapkan perwujudan Wawasan Nusantara, meningkatkan serta mendukung pertahanan dan keamanan negara, yang selanjutnya dapat mempererat hubungan antarbangsa.
Pentingnya transportasi tersebut tercermin pada penyelenggaraannya yang mempengaruhi semua aspek kehidupan bangsa dan negara serta semakin meningkatnya kebutuhan jasa angkutan bagi mobilitas orang dan barang dalam negeri serta ke dan dari luar negeri.
Di samping itu, transportasi juga berperan sebagai penunjang, pendorong, dan penggerak bagi pertumbuhan daerah yang memiliki potensi sumber daya alam yang besar tetapi belum berkembang, dalam upaya peningkatan dan pemerataan pembangunan serta hasil-hasilnya.
Menyadari pentingnya peran transportasi tersebut, angkutan laut sebagai salah satu moda transportasi harus ditata dalam satu kesatuan sistem transportasi nasional yang terpadu dan mampu mewujudkan penyediaan jasa transportasi yang seimbang sesuai dengan tingkat kebutuhan dan tersedianya pelayanan angkutan yang selamat, aksesibilitas tinggi, terpadu, kapasitas mencukupi, teratur, lancar dan cepat, mudah dicapai, tepat waktu, nyaman, tarif terjangkau, tertib, aman, polusi rendah, dan efisien.
Angkutan laut yang mempunyai karakteristik pengangkutan secara nasional dan menjangkau seluruh wilayah melalui perairan perlu dikembangkan potensi dan ditingkatkan peranannya sebagai penghubung antarwilayah, baik nasional maupun internasional termasuk lintas batas, karena digunakan sebagai sarana untuk menunjang, mendorong, dan menggerakkan pembangunan nasional dalam upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat serta menjadi perekat Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mengingat penting dan strategisnya peranan angkutan laut yang menguasai hajat hidup orang banyak, maka keberadaannya dikuasai oleh negara yang pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
Dalam perjalanan waktu, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran perlu dilakukan penyesuaian karena telah terjadi berbagai perubahan paradigma dan lingkungan strategis, baik dalam sistem ketatanegaraan Indonesia seperti penerapan otonomi daerah atau adanya kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Selain itu, pengertian istilah "pelayaran" sebagai sebuah sistem pun telah berubah dan terdiri dari angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim, yang selanjutnya memerlukan penyesuaian dengan kebutuhan dan perkembangan zaman serta ilmu pengetahuan dan teknologi agar dunia pelayaran dapat berperan di dunia internasional.
Atas dasar hal-hal tersebut di atas, maka disusunlah Undang-Undang tentang Pelayaran yang merupakan penyempurnan dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992, sehingga penyelenggaraan pelayaran sebagai sebuah sistem dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya kepada seluruh rakyat, bangsa dan negara, memupuk dan mengembangkan jiwa kebaharian, dengan mengutamakan kepentingan umum, dan kelestarian lingkungan, koordinasi antara pusat dan daerah, serta pertahanan keamanan negara.
Undang-Undang tentang Pelayaran yang memuat empat unsur utama yakni angkutan di perairan, kepelabuhanan, keselamatan dan keamanan pelayaran, serta perlindungan lingkungan maritim dapat diuraikan sebagai berikut:
a. pengaturan untuk bidang angkutan di perairan memuat prinsip pelaksanaan asas cabotage dengan cara pemberdayaan angkutan laut nasional yang memberikan iklim kondusif guna memajukan industri angkutan di perairan, antara lain adanya kemudahan di bidang perpajakan, dan permodalan dalam pengadaan kapal serta adanya kontrak jangka panjang untuk angkutan;
Dalam rangka pemberdayaan industri angkutan laut nasional, dalam Undang-Undang ini diatur pula mengenai hipotek kapal. Pengaturaan ini merupakan salah satu upaya untuk meyakinkan kreditor bahwa kapal Indonesia dapat dijadikan agunan berdasarkan peraturan perundang-undangan, sehingga diharapkan perusahaan angkutan laut nasional akan mudah memperoleh dana untuk pengembangan armadanya;
b. pengaturan untuk bidang kepelabuhanan memuat ketentuan mengenai penghapusan monopoli dalam penyelenggaraan pelabuhan, pemisahan antara fungsi regulator dan operator serta memberikan peran serta pemerintah daerah dan swasta secara proposional di dalam penyelenggaraan kepelabuhanan;
c. pengaturan untuk bidang keselamatan dan keamanan pelayaran memuat ketentuan yang mengantisipasi kemajuan teknologi dengan mengacu pada konvensi internasional yang cenderung menggunakan peralatan mutakhir pada sarana dan prasarana keselamatan pelayaran, di samping mengakomodasi ketentuan mengenai sistem keamanan pelayaran yang termuat dalam "International Ship and Port Facility Security Code"; dan
d. pengaturan untuk bidang perlindungan lingkungan maritim memuat ketentuan mengenai pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan laut yang bersumber dari pengoperasian kapal dan sarana sejenisnya dengan mengakomodasikan ketentuan internasional terkait seperti "International Convention for the Prevention of Pollution from Ships".
Selain hal tersebut di atas, yang juga diatur secara tegas dan jelas dalam Undang-Undang ini adalah pembentukan institusi di bidang penjagaan laut dan pantai (Sea and Coast Guard) yang dibentuk dan bertanggung jawab kepada Presiden dan secara teknis operasional dilaksanakan oleh Menteri. Penjaga laut dan pantai memiliki fungsi komando dalam penegakan aturan di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran, dan fungsi koordinasi di bidang penegakan hukum di luar keselamatan pelayaran. Penjagaan laut dan pantai tersebut merupakan pemberdayaan Badan Koordinasi Keamanan Laut dan perkuatan Kesatuan Penjagaan Laut dan Pantai. Diharapkan dengan pengaturan ini penegakan aturan di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran dapat dilaksanakan secara terpadu dan terkoordinasi dengan baik sehingga tidak terjadi tumpang tindih kewenangan penegakan hukum di laut yang dapat mengurangi citra Indonesia dalam pergaulan antarbangsa.
Terhadap Badan Usaha Milik Negara yang selama ini telah menyelenggarakan kegiatan pengusahaan pelabuhan tetap dapat menyelenggarakan kegiatan yang sama dengan mendapatkan pelimpahan kewenangan Pemerintah, dalam upaya meningkatkan peran Badan Usaha Milik Negara guna mendukung pertumbuhan ekonomi.
Dengan diundangkannya Undang-Undang tentang Pelayaran ini, berbagai ketentuan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan lain yang berkaitan dengan pelayaran, antara lain Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Wetboek van Koophandel), Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim Tahun 1939, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982), Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dan sepanjang menyangkut aspek keselamatan dan keamanan pelayaran tunduk pada pengaturan Undang-Undang tentang Pelayaran ini.
Dalam Undang-Undang ini diatur hal-hal yang bersifat pokok, sedangkan yang bersifat teknis dan operasional akan diatur dalam Peraturan Pemerintah dan peraturan pelaksanaan lainnya.
II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas
Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud "asas manfaat" adalah pelayaran harus dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kesejahteraan rakyat dan pengembangan bagi warga negara, serta upaya peningkatan pertahanan dan keamanan negara.
Huruf b
Yang dimaksud "asas usaha bersama dan kekeluargaan" adalah penyelenggaraan usaha di bidang pelayaran dilaksanakan untuk mencapai tujuan nasional yang dalam kegiatannya dapat dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat dan dijiwai oleh semangat kekeluargaan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "asas persaingan sehat" adalah penyelenggaraan angkutan perairan di dalam negeri harus mampu mengembangkan usahanya secara mandiri, kompetitif, dan profesional.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "asas adil dan merata tanpa diskriminasi" adalah penyelenggaraan pelayaran harus dapat memberikan pelayanan yang adil dan merata kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat tanpa membedakan suku, agama, dan keturunan serta tingkat ekonomi.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "asas keseimbangan, keserasian, dan keselarasan" adalah pelayaran harus diselenggarakan sedemikian rupa sehingga terdapat keseimbangan, keserasian, dan keselarasan antara sarana dan prasarana, antara kepentingan pengguna dan penyedia jasa, antara kepentingan individu dan masyarakat, serta antara kepentingan nasional dan international.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "asas kepentingan umum" adalah penyelenggaraan pelayaran harus mengutamakan kepentingan masyarakat luas.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "asas keterpaduan" adalah pelayaran harus merupakan kesatuan yang bulat dan utuh, terpadu, saling menunjang, dan saling mengisi baik intra-maupun antarmoda transportasi.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "asas tegaknya hukum" adalah Undang-Undang ini mewajibkan kepada Pemerintah untuk menegakkan dan menjamin kepastian hukum serta mewajibkan kepada setiap warga negara Indonesia untuk selalu sadar dan taat kepada hukum dalam penyelenggaraan pelayaran.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "asas kemandirian" adalah pelayaran harus bersendikan kepada kepribadian bangsa, berlandaskan pada kepercayaan akan kemampuan dan kekuatan sendiri, mengutamakan kepentingan nasional dalam pelayaran dan memperhatikan pangsa muatan yang wajar dalam angkutan di perairan dari dan ke luar negeri.
Huruf j
Yang dimaksud dengan "asas berwawasan lingkungan hidup" adalah penyelenggaraan pelayaran harus dilakukan berwawasan lingkungan.
Huruf k
Yang dimaksud dengan "asas kedaulatan negara" adalah penyelenggaraan pelayaran harus dapat menjaga keutuhan wilayah Negara Republik Indonesia.
Huruf l
Yang dimaksud dengan "asas kebangsaan" adalah penyelenggaraan pelayaran harus dapat mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pasal 3
Cukup jelas
Pasal 4
Termasuk dalam Perairan Indonesia adalah perairan daratan antara lain sungai, danau, waduk, kanal, dan terusan.
Yang dimaksud dengan "kapal" pada huruf b dan huruf c adalah:
a. kapal yang digerakkan oleh angin adalah kapal layar;
b. kapal yang digerakkan dengan tenaga mekanik adalah kapal yang mempunyai alat penggerak mesin, misalnya kapal motor, kapal uap, kapal dengan tenaga matahari, dan kapal nuklir;
c. kapal yang ditunda atau ditarik adalah kapal yang bergerak dengan menggunakan alat penggerak kapal lain;
d. kendaraan berdaya dukung dinamis adalah jenis kapal yang dapat dioperasikan di permukaan air atau di atas permukaan air dengan menggunakan daya dukung dinamis yang diakibatkan oleh kecepatan dan/atau rancang bangun kapal itu sendiri, misalnya jet foil, hidro foil, hovercraft, dan kapal-kapal cepat lainnya yang memenuhi kriteria tertentu;
e. kendaraan di bawah permukaan air adalah jenis kapal yang mampu bergerak di bawah permukaan air; dan
f. alat apung dan bangunan terapung yang tidak berpindah-pindah adalah alat apung dan bangunan terapung yang tidak mempunyai alat penggerak sendiri, serta ditempatkan di suatu lokasi perairan tertentu dan tidak berpindah-pindah untuk waktu yang sama, misalnya hotel terapung, tongkang akomodasi (acomodation barge) untuk menunjang kegiatan lepas pantai dan tongkang penampung minyak (oil storage barge), serta unit pengeboran lepas pantai berpindah (mobile offshore drilling units/modu).
Pasal 5
Ayat (1)
Pengertian dikuasai oleh negara adalah bahwa negara mempunyai hak penguasaan atas penyelenggaraan pelayaran yang perwujudannya meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 6
Cukup jelas
Pasal 7
Cukup jelas
Pasal 8
Ayat (1)
Penggunaan kapal berbendera Indonesia oleh perusahaan angkutan laut nasional dimaksudkan dalam rangka pelaksanaan asas cabotage guna melindungi kedaulatan negara (sovereignity) dan mendukung perwujudan Wawasan Nusantara serta memberikan kesempatan berusaha yang seluas-luasnya bagi perusahaan angkutan laut nasional dalam memperoleh pangsa muatan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 9
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "intramoda" meliputi angkutan laut dalam negeri, angkutan laut luar negeri, angkutan laut khusus, dan angkutan pelayaran-rakyat.
Yang dimaksud dengan "antarmoda" adalah keterpaduan transportasi darat, transportasi laut, dan transportasi udara.
Intra dan antarmoda tersebut merupakan satu kesatuan transportasi nasional.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "trayek tetap dan teratur (liner)" adalah pelayanan angkutan laut yang dilakukan secara tetap dan teratur dengan berjadwal dan menyebutkan pelabuhan singgah.
Yang dimaksud dengan "trayek tidak tetap dan tidak teratur (tramper)" adalah pelayanan angkutan laut yang dilakukan secara tidak tetap dan tidak teratur.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "jaringan trayek" adalah kumpulan dari trayek-trayek yang menjadi satu kesatuan pelayanan angkutan penumpang dan/atau barang dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Penyusunan jaringan trayek tetap dan teratur dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan usaha kepada pengguna jasa dan penyedia jasa angkutan laut.
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan "keseimbangan permintaan dan tersedianya ruangan kapal (supply and demand)" adalah terwujudnya pelayanan pada suatu trayek yang dapat diukur dengan tingkat faktor muat (load factor) tertentu.
Penyelenggaraan angkutan laut yang telah melakukan keperintisan dengan menempatkan kapalnya pada jaringan trayek tetap dan teratur perlu diberikan proteksi sampai batas waktu tertentu.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas
Pasal 10
Cukup jelas
Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pangsa muatan yang wajar" adalah bahwa wajar tidak selalu dalam arti memperoleh bagian yang sama (equal share), tetapi memperoleh pangsa sebagaimana ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan, misalnya dalam perjanjian bilateral, konvensi internasional yang diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia dan peraturan lainnya. Khusus untuk barang-barang milik Pemerintah perlu diupayakan agar pengangkutannya dilaksanakan oleh perusahaan angkutan laut nasional.
Perusahaan angkutan laut nasional dapat melakukan kerja sama dengan perusahaan angkutan laut asing untuk menetapkan perjanjian perolehan pangsa muatan (fair share agreement).
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "perusahaan nasional" adalah perusahaan angkutan laut nasional dan badan usaha yang khusus didirikan untuk kegiatan keagenan yang memenuhi persyaratan yang telah ditentukan.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "secara berkesinambungan" adalah bahwa kegiatan angkutan laut ke atau dari pelabuhan Indonesia yang terbuka untuk perdagangan luar negeri yang dilakukan oleh perusahaan angkutan laut asing secara terus menerus dan tidak terputus.
Pasal 12
Cukup jelas
Pasal 13
Ayat (1)
Termasuk dalam kegiatan angkutan laut khusus antara lain kegiatan angkutan yang dilakukan oleh usaha bidang industri, pariwisata, pertambangan, pertanian serta kegiatan khusus seperti penelitian, pengerukan, kegiatan sosial, dan sebagainya, serta tidak melayani pihak lain dan tidak mengangkut barang-barang umum.
Angkutan laut khusus baik dalam negeri maupun luar negeri dapat diselenggarakan dalam rangka memenuhi kebutuhan yang karena sifat muatannya belum dapat diselenggarakan oleh penyedia jasa angkutan laut umum.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan izin operasi adalah izin yang diberikan kepada pelaksana kegiatan angkutan laut khusus berkaitan dengan pengoperasian kapalnya guna menunjang usaha pokoknya.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Pasal 14
Cukup jelas
Pasal 15
Ayat (1)
Usaha masyarakat dalam ketentuan ini adalah usaha yang dilakukan oleh warga negara Indonesia dan/atau badan hukum Indonesia dengan mendorong usaha-usaha yang bersifat kooperatif.
Usaha masyarakat tersebut memiliki ciri dan sifat tradisional yaitu mengandung nilai-nilai budaya bangsa yang tidak hanya terdapat pada cara pengelolaan usaha serta pengelolanya misalnya mengenai hubungan kerja antarpemilik kapal dengan awak kapal, tetapi juga pada jenis dan bentuk kapal yang digunakan. Hal-hal tersebut perlu dilestarikan dan dikembangkan dengan memperhatikan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Yang dimaksud dengan "karakteristik tersendiri" yaitu antara lain sebagai berikut:
a. ukuran dan tipe kapal yang tertentu (pinisi, lambo, nade, dan lete);
b. tenaga penggerak angin dengan menggunakan layar atau mesin dengan tenaga kurang dari 535 TK atau 535 TK X 0,736 = 393,76 KW;
c. pengawakan yang mempunyai kualifikasi berbeda dengan kualifikasi yang ditetapkan bagi kapal;
d. lingkup operasinya dapat menjangkau daerah terpencil yang tidak memiliki fasilitas pelabuhan dan kedalaman air yang rendah serta negara yang berbatasan; dan
e. Kegiatan bongkar muat dilakukan dengan tenaga manusia (padat karya).
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "orang perseorangan warga negara Indonesia" adalah orang perorangan (pribadi) yang memenuhi persyaratan untuk berusaha di bidang angkutan laut pelayaran-rakyat.
Persyaratan tersebut antara lain Kartu Tanda Penduduk, surat laik kapal sungai dan danau, keterangan domisili, dll.
Pasal 16
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan sebagai salah satu upaya memberikan pelindungan terhadap kelangsungan usaha angkutan laut pelayaran-rakyat, dan diarahkan untuk memenuhi tuntutan pasar, di samping melakukan kegiatan angkutan, dapat pula melakukan kegiatan bongkar muat dan kegiatan ekspedisi muatan, tanpa mengurangi pembinaan terhadap unsur-unsur angkutan lainnya di perairan.
Ayat (2)
Pengembangan angkutan laut pelayaran-rakyat dapat dilakukan oleh Pemerintah dalam bentuk pengaturan, bimbingan, dan pelatihan dengan memanfaatkan karakteristiknya.
Angkutan laut pelayaran-rakyat dapat melayari angkutan sungai dan danau sepanjang memenuhi persyaratan alur dan kedalaman sungai dan danau.
Yang dimaksud dengan "meningkatkan kemampuannya sebagai lapangan usaha angkutan laut nasional dan lapangan kerja" adalah dengan memberikan kemudahan mendapatkan permodalan dari lembaga keuangan.
Ayat (3)
Kegiatan angkutan laut pelayaran-rakyat selain melakukan kegiatan angkutan pelayaran rakyat di wilayah perairan Indonesia, juga dapat menyinggahi pelabuhan negara tetangga (lintas batas) yang berbatasan dalam rangka melakukan kegiatan perdagangan tradisional antarnegara.
Pasal 17
Cukup jelas
Pasal 18
Ayat (1)
Penggunaan kapal berbendera Indonesia oleh perusahaan angkutan sungai dan danau di dalam negeri dimaksudkan dalam rangka pelaksanaan asas cabotage guna melindungi kedaulatan negara (sovereignity) dan mendukung perwujudan Wawasan Nusantara di negara kepulauan Indonesia.
Yang dimaksud dengan "orang perseorangan warga negara Indonesia" adalah orang perorangan (pribadi) yang memenuhi persyaratan untuk berusaha di bidang angkutan sungai dan danau.
Persyaratan antara lain Kartu Tanda Penduduk, surat laik kapal sungai dan danau, dan keterangan domisili.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "perjanjian antara Pemerintah Republik Indonesia dan pemerintah negara tetangga" adalah perjanjian yang telah disepakati antarnegara yang memuat antara lain persyaratan kapal, kuota kapal, dan persyaratan administrasi.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "intramoda" dalam kegiatan angkutan sungai dan danau adalah angkutan penyeberangan.
Yang dimaksud dengan "antarmoda" adalah keterpaduan transportasi darat, transportasi laut, dan transportasi udara.
Intra maupun antarmoda tersebut merupakan satu kesatuan transportasi nasional.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "trayek tetap" adalah pelayanan angkutan sungai dan danau yang dilakukan secara tetap dan teratur dengan berjadwal dan menyebutkan pelabuhan singgah.
Yang dimaksud dengan "trayek tidak tetap dan tidak teratur" adalah pelayanan angkutan sungai dan danau yang dilakukan secara tidak tetap dan tidak teratur.
Ayat (6)
Yang dimaksud "izin dari Syahbandar" adalah persetujuan berlayar.
Pasal 19
Cukup jelas
Pasal 20
Cukup jelas
Pasal 21
Ayat (1)
Penggunaan kapal berbendera Indonesia oleh perusahaan angkutan penyeberangan di dalam negeri dimaksudkan dalam rangka pelaksanaan asas cabotage guna melindungi kedaulatan negara (sovereignity) dan mendukung perwujudan Wawasan Nusantara.
Ayat (2)
Kegiatan angkutan penyeberangan antara Negara Republik Indonesia dengan negara tetangga asing dilaksanakan menurut asas timbal-balik (reciprocal).
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan "jarak tertentu" adalah bahwa tidak semua daratan yang dipisahkan oleh perairan dihubungkan oleh angkutan penyeberangan, tetapi daratan yang dihubungkan merupakan pengembangan jaringan jalan dan/atau jaringan jalur kereta api yang dipisahkan oleh perairan, dengan tetap memenuhi karakteristik angkutan penyeberangan.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 23
Cukup jelas
Pasal 24
Ayat (1)
Pelaksanaan angkutan ke dan dari wilayah terpencil biasanya secara komersial kurang menguntungkan sehingga pelaksana angkutan pada umumnya tidak tertarik untuk melayani rute-rute demikian.
Oleh sebab itu, guna mengembangkan daerah-daerah tersebut dan menembus isolasi, angkutan ke dan dari daerah terpencil dan belum berkembang dengan daerah yang sudah berkembang atau maju diselenggarakan oleh Pemerintah dengan mengikutsertakan pelaksana angkutan di perairan, baik swasta maupun koperasi.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "secara terpadu dengan lintas sektoral berdasarkan pendekatan pembangunan wilayah" adalah bahwa penyusunan usulan trayek angkutan laut perintis dikoordinasikan oleh pemerintah daerah dengan mengikutsertakan instansi terkait serta memperhatikan keterpaduan dengan program sektor lain seperti antara lain perdagangan, perkebunan, transmigrasi, perikanan, pariwisata, pendidikan, dan pertanian dalam rangka pengembangan potensi daerah.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 25
Yang dimaksud dengan "kontrak jangka panjang" adalah paling sedikit untuk jangka waktu lima tahun yang dimaksudkan untuk memberikan jaminan agar perusahaan angkutan laut yang menyelenggarakan pelayaran-perintis dapat melakukan peremajaan kapal.
Pasal 26
Cukup jelas
Pasal 27
Kewajiban memiliki izin usaha dalam melakukan kegiatan angkutan di perairan dimaksudkan sebagai alat pembinaan, pengendalian, dan pengawasan angkutan di perairan untuk memberikan kepastian usaha dan perlindungan hukum bagi penyedia dan pengguna jasa.
Pasal 28
Cukup jelas
Pasal 29
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "GT" adalah singkatan dari Gross Tonnage yang berarti, isi kotor kapal secara keseluruhan yang dihitung sesuai dengan ketentuan konvensi internasional tentang pengukuran kapal (International Tonnage Measurement of Ships) tahun 1969.
Ayat (2)
Dalam rangka mengembangkan industri pelayaran nasional dimungkinkan adanya investasi dari asing, sedangkan mengenai kepemilikan tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan di bidang penanaman modal.
Pasal 30
Cukup jelas
Pasal 31
Cukup jelas
Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud "barang tertentu" adalah barang milik penumpang, barang curah cair yang dibongkar atau dimuat melalui pipa, barang curah kering yang dibongkar atau dimuat melalui conveyor atau sejenisnya, barang yang diangkut melalui kapal Ro-Ro, dan semua jenis barang di pelabuhan yang tidak terdapat perusahaan bongkar muat. Sementara itu, untuk bongkar muat barang selain yang disebutkan di atas harus dilakukan oleh perusahaan bongkar muat.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "cargodoring" adalah pekerjan melepaskan barang dari tali atau jala-jala (ex tackle) di dermaga dan mengangkut dari dermaga ke gundang/lapangan penumpukan selanjutnya menyusun di gundang/lapangan penumpukan atau sebaliknya.
Yang dimaksud dengan "receiving/delivery" adalah pekerjaan memindahkan barang dan timbunan/tempat penumpukan di gundang/lapangan penumpukan dan menyerahkan sampai tersusun di atas kendaraan di pintu gundang/lapangan penumpukan atau sebaliknya.
Yang dimaksud dengan "stuffing" adalah pekerjaan penumpukan ke dalam peti kemas yang dilakukan di gudang atau lapangan penumpukan.
Yang dimaksud dengan "stripping" adalah pekerjaan pembongkaran dari dalam peti kemas yang dilakukan di gudang atau di lapangan penumpukan.
Pasal 33
Cukup jelas
Pasal 34
Cukup jelas
Pasal 35
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Jenis tarif merupakan suatu pungutan atas setiap pelayanan yang diberikan oleh penyelenggara angkutan laut kepada pengguna jasa angkutan laut.
Struktur tarif merupakan kerangka tarif yang dikaitkan dengan tatanan waktu dan satuan ukuran dari setiap jenis pelayanan jasa angkutan dalam satu paket angkutan.
Golongan tarif merupakan penggolongan tarif yang ditetapkan berdasarkan jenis pelayanan, klasifikasi, dan fasilitas yang disediakan oleh penyelenggara angkutan.
Pasal 36
Cukup jelas
Pasal 37
Cukup jelas
Pasal 38
Ayat (1)
Ketentuan ini dimaksudkan agar perusahaan angkutan tidak membedakan perlakuan terhadap pengguna jasa angkutan sepanjang yang bersangkutan telah memenuhi perjanjian pengangkutan yang disepakati.
Perjanjian pengangkutan harus dilengkapi dengan dokumen pengangkutan sebagaimana ditetapkan dalam perjanjian internasional maupun peraturan perundang-undangan nasional.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "dokumen muatan" adalah Bill of Lading atau Konosemen dan Manifest.
Ayat (3)
Yang dimaksud dalam "keadaan tertentu" adalah seperti bencana alam, kecelakaan di laut, kerusuhan sosial yang berdampak nasional, dan negara dalam keadaan bahaya setelah dinyatakan resmi oleh Pemerintah.
Pasal 39
Cukup jelas
Pasal 40
Cukup jelas
Pasal 41
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "kematian atau lukanya penumpang yang diangkut" adalah matinya atau lukanya penumpang yang diakibatkan oleh kecelakaan selama dalam pengangkutan dan terjadi di dalam kapal, dan/atau kecelakan pada saat naik ke atau turun dari kapal, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Huruf b
Tanggung jawab tersebut sesuai dengan perjanjian pengangkutan dan peraturan perundang-undangan.
Huruf c
Tanggung jawab tersebut meliputi antara lain memberikan pelayanan kepada penumpang dalam batas kelayakan selama menunggu keberangkatan dalam hal terjadi keterlambatan pemberangkatan karena kelalaian perusahaan angkutan di perairan.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "pihak ketiga" adalah orang perseorangan warga negara Indonesia atau badan hukum yang tidak ada kaitannya dengan pengoperasian kapal, tetapi meninggal atau luka atau menderita kerugian akibat pengoperasian kapal.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "asuransi perlindungan dasar" adalah asuransi sebagaimana diatur di dalam ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perasuransian.
Pasal 42
Ayat (1)
Pelayanan khusus bagi penumpang yang menyandang cacat wanita hamil, anak di bawah usia 5 (lima) tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia dimaksudkan agar mereka juga dapat menikmati pelayanan angkutan dengan baik.
Yang dimaksud dengan "fasilitas khusus" dapat berupa penyediaan jalan khusus di pelabuhan dan sarana khusus untuk naik ke atau turun dari kapal, atau penyediaan ruang yang disediakan khusus bagi penempatan kursi roda atau sarana bantu bagi orang sakit yang pengangkutannya mengharuskan dalam posisi tidur.
Yang dimaksud dengan "cacat" misalnya penumpang yang menggunakan kursi roda karena lumpuh, cacat kaki, atau tuna netra dan sebagainya.
Tidak termasuk dalam pengertian orang sakit dalam ketentuan ini adalah orang yang menderita penyakit menular sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan "orang lanjut usia" adalah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 43
Cukup jelas
Pasal 44
Cukup jelas
Pasal 45
Cukup jelas
Pasal 46
Yang dimaksud dengan "kapal khusus yang mengangkut barang berbahaya" adalah kapal yang dirancang khusus untuk mengangkut barang berbahaya yang antara lain berupa gas, minyak bumi, bahan kimia (chemical), dan radioaktif.
Pasal 47
Cukup jelas
Pasal 48
Cukup jelas
Pasal 49
Cukup jelas
Pasal 50
Cukup jelas
Pasal 51
Cukup jelas
Pasal 52
Cukup jelas
Pasal 53
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "tanggung jawab operator bersifat terbatas" adalah tanggung jawab operator transportasi multimoda terhadap kerugian yang disebabkan oleh keterlambatan penyerahan adalah terbatas pada suatu jumlah yang sebanding dengan 2 (dua) setengah kali biaya angkut yang harus dibayar atas barang yang terlambat, tetapi tidak melebihi jumlah biaya angkut yang harus dibayar berdasarkan kontrak transportasi multimoda.
Keseluruhan jumlah tanggung jawab yang menjadi beban operator transportasi multimoda tidak boleh melebihi batas tanggung jawab yang diakibatkan oleh kerugian total terhadap barang.
Pasal 54
Cukup jelas
Pasal 55
Cukup jelas
Pasal 56
Cukup jelas
Pasal 57
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pemberian fasilitas di bidang pembiayaan dan perpajakan" adalah:
a. mengembangkan lembaga keuangan nonbank khusus untuk pembiayaan pengadaan armada niaga nasional;
b. memfasilitasi tersedianya pembiayaan bagi pengembangan armada niaga nasional baik yang berasal dari perbankan dan lembaga keuangan nonbank dengan kondisi pinjaman yang menarik; dan
c. memberikan insentif fiskal bagi pengembangan dan pengadaan armada angkutan perairan nasional.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "kawasan industri perkapalan terpadu" adalah pusat industri yang meliputi antara lain fasilitas pembangunan, perawatan, perbaikan, dan pemeliharaan, yang terintegrasi dengan industri penunjangnya, seperti material kapal, permesinan, dan perlengkapan kapal.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Yang dimaksud "bahan baku dan komponen kapal" antara lain material, suku cadang, dan perlengkapan kapal.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Pasal 58
Cukup jelas
Pasal 59
Cukup jelas
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "kekuatan eksekutorial" adalah pemegang hipotek dapat menggunakan grosse akta hipotek sebagai landasan hukum untuk melaksanakan eksekusi tanpa melalui proses gugatan di pengadilan.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 61
Cukup jelas
Pasal 62
Cukup jelas
Pasal 63
Cukup jelas
Pasal 64
Cukup jelas
Pasal 65
Cukup jelas
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Biaya salvage diprioritaskan dari piutang-pelayaran yang didahulukan lainnya agar tidak mengganggu alur-pelayaran dan kolam pelabuhan yang dapat menghambat kelancaran lalu lintas kapal.
Pasal 67
Cukup jelas
Pasal 68
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "pintu gerbang kegiatan perekonomian" adalah sarana perkembangan perekonomian daerah, nasional, dan kegiatan perdagangan internasional.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Pasal 69
Cukup jelas
Pasal 70
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pelabuhan laut" adalah pelabuhan yang dapat digunakan untuk melayani angkutan laut dan/atau angkutan penyeberangan.
Huruf b
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Pelabuhan utama berfungsi sebagai:
a. pelabuhan internasional; dan
b. pelabuhan hub internasional.
Pelabuhan internasional adalah pelabuhan utama yang terbuka untuk perdagangan luar negeri.
Pelabuhan hub internasional adalah pelabuhan utama yang terbuka untuk perdagangan luar negeri dan berfungsi sebagai pelabuhan alih muat (transhipment) barang antarnegara.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Pasal 71
Cukup jelas
Pasal 72
Cukup jelas
Pasal 73
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "kelayakan teknis" antara lain mengenai kondisi perairan (gelombang, arus, kedalaman, dan pasang surut) dan kondisi lahan (kontur permukaan tanah).
Yang dimaksud dengan "kelayakan lingkungan" adalah tempat yang akan digunakan untuk lokasi pelabuhan tidak menganggu lingkungan dan sesuai dengan peruntukannya.
Pasal 74
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud "fasilitas pokok" antara lain dermaga, gundang, lapangan penumpukan, terminal penumpang, terminal peti kemas, terminal Ro-Ro, fasilitas penampungan dan pengolahan limbah, fasilitas bunker, fasilitas pemadam kebakaran, fasilitas gudang untuk bahan atau barang berbahaya dan beracun, fasilitas pemeliharaan dan perbaikan peralatan, serta Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran.
Huruf b
Yang dimaksud "fasilitas penunjang" antara lain kawasan perkantoran, fasilitas pos dan telekomunikasi, fasilitas pariwisata dan perhotelan, instalasi air bersih, listrik dan telekomunikasi, jaringan jalan dan rel kereta api, jaringan air limbah, drainase dan sampah, tempat tunggu kendaraan bermotor, kawasan perdagangan, kawasan industri, dan fasilitas umum lainnya (peribadatan, taman, tempat rekreasi, olahraga, jalur hijau, dan kesehatan).
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "fasilitas pokok" antara lain alur-pelayaran, perairan tempat labuh, kolam pelabuhan untuk kebutuhan sandar dan olah gerak kapal, perairan tempat alih muat kapal, perairan untuk kapal yang mengangkut bahan atau barang berbahaya, perairan untuk kegiatan karantina, perairan alur penghubung intrapelabuhan, perairan pandu, dan perairan untuk kapal pemerintah.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "fasilitas penunjang" antara lain perairan untuk fasilitas pembangunan dan pemeliharaan kapal, perairan tempat uji coba kapal (percobaan berlayar), perairan tempat kapal mati, perairan untuk keperluan darurat, dan perairan untuk kegiatan rekreasi (wisata air).
Pasal 75
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "koordinat geografis" adalah koordinat yang ditentukan dengan lintang dan bujur.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "dikuasai oleh negara" adalah bahwa negara mempunyai hak penguasaan atas penyelenggaraan daratan dan/atau perairan yang ditetapkan sebagai Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan yang perwujudannya meliputi aspek pengaturan, pengendalian, dan pengawasan.
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 76
Ayat (1)
Penetapan Rencana Induk Pelabuhan serta Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan untuk pelabuhan laut pengumpan regional ditetapkan oleh gubernur, sedangkan pelabuhan pengumpan lokal ditetapkan oleh bupati/walikota.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 77
Cukup jelas
Pasal 78
Cukup jelas
Pasal 79
Cukup jelas
Pasal 80
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "kegiatan pemerintahan lainnya" antara lain kegiatan kehutanan dan pertambangan yang diselenggarakan oleh instansi yang berwenang dalam rangka mencegah pembalakan liar (illegal logging) dan penambangan liar (illegal mining) yang ke luar masuk melalui pelabuhan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 81
Cukup jelas
Pasal 82
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
1 (satu) Otoritas Pelabuhan dan Unit Penyelenggara Pelabuhan dapat membawahi beberapa pelabuhan (cluster).
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan bentuk lainnya, antara lain, persewaan lahan, pergundangan, dan penumpukan.
Dalam perjanjian paling sedikit memuat hak dan kewajiban para pihak, kinerja yang harus dicapai oleh Badan Usaha Pelabuhan, dan jangka waktu konsesi.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 83
Cukup jelas
Pasal 84
Cukup jelas
Pasal 85
Cukup jelas
Pasal 86
Cukup jelas
Pasal 87
Cukup jelas
Pasal 88
Cukup jelas
Pasal 89
Cukup jelas
Pasal 90
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "kegiatan yang menunjang kelancaran operasional dan memberikan nilai tambah bagi pelabuhan", antara lain perkantoran, fasilitas pariwisata dan perhotelan, instalasi air bersih, listrik dan telekomunikasi, jaringan air limbah dan sampah, pelayanan bunker, dan tempat tunggu kendaraan bermotor.
Pasal 91
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" adalah apabila ternyata terdapat Badan Usaha Pelabuhan yang mampu memanfaatkan terminal dan fasilitas pelabuhan lainnya untuk melayani kegiatan yang memberikan manfaat komersial.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 92
Cukup jelas
Pasal 93
Cukup jelas
Pasal 94
Cukup jelas
Pasal 95
Cukup jelas
Pasal 96
Ayat (1)
Pada pelabuhan pengumpan regional izin diberikan oleh gubernur, sedangkan pada pelabuhan pengumpan lokal izin diberikan oleh bupati.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 97
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "persyaratan operasional" adalah Standar Operasional Pelabuhan, sumber daya manusia yang mengoperasikan, kesiapan instansi lain seperti karantina, bea cukai, dan imigrasi sesuai kebutuhan.
Ayat (2)
Pada pelabuhan pengumpan regional izin diberikan oleh gubernur, sedangkan pada pelabuhan pengumpan lokal izin diberikan oleh bupati.
Pasal 98
Cukup jelas
Pasal 99
Cukup jelas
Pasal 100
Cukup jelas
Pasal 101
Cukup jelas
Pasal 102
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kegiatan tertentu" adalah kegiatan untuk menunjang kegiatan usaha pokok yang tidak terlayani oleh pelabuhan karena sifat barang atau kegiatannya memerlukan pelayanan khusus atau karena lokasinya jauh dari pelabuhan.
Kegiatan usaha pokok yang dimaksud antara lain adalah:
a. pertambangan;
b. energi;
c. kehutanan;
d. pertanian;
e. perikanan;
f. industri; dan
g. dok dan galangan kapal.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 103
Cukup jelas
Pasal 104
Cukup jelas
Pasal 105
Cukup jelas
Pasal 106
Cukup jelas
Pasal 107
Cukup jelas
Pasal 108
Cukup jelas
Pasal 109
Cukup jelas
Pasal 110
Cukup jelas
Pasal 111
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "aspek administrasi" adalah rekomendasi dari gubernur, bupati/walikota, dan Syahbandar setempat.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "aspek ekonomi" adalah menunjang industri tertentu, dengan arus barang khusus bervolume besar.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "aspek keselamatan dan keamanan pelayaran" adalah dipenuhinya kedalaman perairan dan kolam pelabuhan, Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran, stasiun radio pantai, termasuk sarana dan prasarana, serta sumber daya manusia.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "aspek teknis fasilitas kepelabuhanan" adalah fasilitas pokok, fasilitas penunjang, serta fasilitas pencegahan dan penanggulangan pencemaran.
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 112
Cukup jelas
Pasal 113
Cukup jelas
Pasal 114
Cukup jelas
Pasal 115
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "peraturan perundang-undangan" adalah peraturan mengenai pemerintahan daerah.
Pasal 116
Cukup jelas
Pasal 117
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Yang dimaksud dengan "Manajemen Keselamatan dan Pencegahan Pencemaran dari kapal" adalah satu kesatuan sistem dan prosedur serta mekanisme yang tertulis dan terdokumentasi bagi perusahaan angkutan laut dan kapal niaga untuk pengaturan, pengelolaan, pengawasan, dan peninjauan ulang serta peningkatan terus menerus dalam rangka memastikan dan mempertahankan terpenuhinya seluruh kesesuaian terhadap standar keselamatan dan pencegahan pencemaran yang dipersyaratkan dalam ketentuan internasional yang terkait dengan manajemen keselamatan kapal dan pencegahan pencemaran.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "Manajemen Keamanan Kapal" adalah satu kesatuan sistem dan prosedur dan mekanisme yang tertulis dan terdokumentasi bagi perusahaan angkutan laut dan kapal niaga untuk pengaturan, pengelolaan, pengawasan, dan peninjauan ulang serta peningkatan terus menerus dalam rangka memastikan terpenuhinya seluruh kesesuaian terhadap kesiapan kapal menghadapi, mempertahankan, dan menjaga keamanan kapal dalam rangka meningkatkan keselamatan kapal.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 118
Cukup jelas
Pasal 119
Ayat (1)
Yang dimaksud "ketentuan internasional" adalah ketentuan yang diterbitkan oleh International Authority of Lighthouse Association (IALA), antara lain yang mengatur standardisasi serta kecukupan dan keandalan Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran (SBNP) dan International Telecommunication Union (ITU) dan International Maritime Pilotage Association (IMPA).
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 120
Cukup jelas
Pasal 121
Sistem pengamanan fasilitas pelabuhan adalah prosedur pengamanan di fasilitas pelabuhan pada semua tingkatan keamanan (security level).
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Sarana dan prasarana pengamanan fasilitas pelabuhan meliputi pagar pengaman, pos penjagaan, peralatan monitor, peralatan detektor, peralatan komunikasi, dan penerangan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "Sistem komunikasi" adalah tata cara berhubungan atau komunikasi internal fasilitas pelabuhan, komunikasi antara koordinator keamanan pelabuhan dengan fasilitas pelabuhan dan dengan instansi terkait.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "Personel pengaman" adalah personel yang memiliki pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan pengamanan sesuai dengan manajemen pengamanan (International Ship and Port Facility Security Code/ISPS Code).
Pasal 122
Cukup jelas
Pasal 123
Cukup jelas
Pasal 124
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pengadaan kapal", adalah kegiatan memasukkan kapal dari luar negeri, baik kapal bekas maupun kapal baru untuk didaftarkan dalam daftar kapal Indonesia.
Yang dimaksud dengan "pembangunan kapal" adalah pembuatan kapal baru baik di dalam negeri maupun di luar negeri yang langsung berbendera Indonesia.
Yang dimaksud dengan "pengerjaan kapal" adalah tahapan pekerjaan dan kegiatan pada saat dilakukan perombakan, perbaikan, dan perawatan kapal.
Yang dimaksud dengan "perlengkapan kapal" adalah bagian-bagian yang termasuk dalam perlengkapan navigasi, alat penolong, penemu (smoke detector) dan pemadam kebakaran, radio dan elektronika kapal, dan peta-peta serta publikasi nautika, serta perlengkapan pengamatan meteorologi untuk kapal dengan ukuran dan daerah pelayaran tertentu.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 125
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "perombakan" adalah perombakan konstruksi dan memerlukan pengesahan gambar dan perhitungan konstruksi karena mengubah fungsi, stabilitas, struktur, dan dimensi kapal.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 126
Ayat (1)
Sertifikat keselamatan diberikan kepada semua jenis kapal ukuran GT 7 (tujuh Gross Tonnage) atau lebih kecuali:
a. kapal perang;
b. kapal negara; dan
c. kapal yang digunakan untuk keperluan olah raga.
Ayat (2)
Huruf a
Jenis-jenis sertifikat kapal penumpang antara lain:
l. Sertifikat Keselamatan Kapal Penumpang (meliputi keselamatan konstruksi, perlengkapan, dan radio kapal); dan
2. Sertifikat Pembebasan (sertifikat yang memperbolehkan bebas dari beberapa persyaratan yang harus dipenuhi).
Huruf b
Jenis-jenis sertifikat keselamatan kapal barang sesuai dengan SOLAS 1974 antara lain:
1. Sertifikat Keselamatan Kapal Barang;
2. Sertifikat Keselamatan Konstruksi Kapal Barang;
3. Sertifikat Keselamatan Perlengkapan Kapal Barang;
4. Sertifikat Keselamatan Radio Kapal Barang; dan
5. Sertifikat Pembebasan (sertifikat yang memperbolehkan bebas dari beberapa persyaratan yang harus dipenuhi).
Huruf c
Sertifikat kelaikan dan pengawakan kapal penangkap ikan sebagai bukti terpenuhinya persyaratan keselamatan kapal dan pengawakan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "pejabat pemerintah" adalah pejabat pemeriksa keselamatan kapal yang mempunyai kualifikasi dan keahlian di bidang keselamatan yang diangkat oleh Menteri.
Pasal 127
Cukup jelas
Pasal 128
Cukup jelas
Pasal 129
Cukup jelas
Pasal 130
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "sewaktu waktu" adalah di luar jadwal yang ditentukan untuk perawatan berkala, karena adanya kebutuhan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah diberikannya keringanan terhadap persyaratan keselamatan kapal dalam kondisi sebagai berikut:
a. kapal yang melakukan percobaan berlayar;
b. kapal yang digunakan dalam penanggulangan bencana;
c. kapal berlayar dalam cuaca buruk dan/atau mengalami musibah yang mengakibatkan rusak atau hilangnya perlengkapan kapal;
d. kapal yang digunakan untuk melaksanakan kegiatan pencarian dan pertolongan;
e. kapal berlayar menuju galangan untuk perbaikan (docking); atau
f. kapal dengan jenis, kategori, ukuran, konstruksi, atau bahan utamanya, dengan mempertimbangkan daerah-pelayarannya tidak efisien apabila harus memasang perlengkapan keselamatan tertentu atau alat komunikasi tertentu.
Sebagai contoh kapal dengan jenis, kategori, ukuran, konstruksi, atau bahan utamanya, harus memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan internasional, tetapi karena daerah-pelayarannnya lokal dan dekat maka persyaratan peralatan keselamatannya dapat disesuaikan dengan kebutuhan.
Pasal 131
Cukup jelas
Pasal 132
Cukup jelas
Pasal 133
Cukup jelas
Pasal 134
Cukup jelas
Pasal 135
Cukup jelas
Pasal 136
Cukup jelas
Pasal 137
Cukup jelas
Pasal 138
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "operator kapal" adalah setiap orang yang berdasarkan alas hak tertentu dengan pemilik kapal mengoperasikan kapal.
Pasal 139
Yang dimaksud dengan "menyimpang dari rute" adalah tindakan yang dilakukan oleh Nakhoda dalam rangka penyelamatan dalam hal terjadinya gangguan cuaca seperti badai tropis (tropical cyclone) atau taifun (hurricane).
Yang dimaksud dengan "tindakan lainnya yang diperlukan" yaitu tindakan yang harus dilakukan Nakhoda untuk melakukan pertolongan setelah mendengar isyarat bahaya (distress signal) dari kapal lain yang menyatakan "I'm in danger and required immediate assitance" (Convention on the International Regulations for Preventing Collisions at Sea, 1972/COLREGs).
Pasal 140
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "dewan kapal" adalah dewan yang dibentuk di atas kapal yang terdiri atas perwira kapal dengan tugas membantu dan memberikan saran kepada pengganti sementara Nakhoda dalam menjalankan kewenangannya.
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 141
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "buku harian kapal (log book)" adalah catatan yang memuat keterangan mengenai berbagai hal yang terkait dengan operasional kapal.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "dapat dijadikan alat bukti" adalah buku harian kapal merupakan catatan otentik sehingga dapat digunakan untuk membuktikan terjadinya peristiwa atau keberadaan seseorang di kapal.
Pasal 142
Cukup jelas
Pasal 143
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Yang dimaksud dengan "berperilaku yang tidak layak" antara lain:
a. mempengaruhi orang lain untuk mogok kerja, terlambat melakukan dinas jaga dan/atau melawan perintah atasan;
b. mengucapkan kata-kata yang bersifat menghina, memfitnah, dan/atau tidak santun;
c. memiliki minuman keras, material pornografi, dan/atau obat terlarang; atau
d. berjudi, mabuk, dan tindakan asusila.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 144
Cukup jelas
Pasal 145
Cukup jelas
Pasal 146
Cukup jelas
Pasal 147
Cukup jelas
Pasal 148
Cukup jelas
Pasal 149
Cukup jelas
Pasal 150
Cukup jelas
Pasal 151
Cukup jelas
Pasal 152
Cukup jelas
Pasal 153
Cukup jelas
Pasal 154
Cukup jelas
Pasal 155
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "metode pengukuran dalam negeri" adalah metode pengukuran yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia yang diterapkan pada kapal-kapal Indonesia yang tidak tunduk pada ketentuan Konvensi Internasional tentang Pengukuran Kapal (International on Tonnage Measurement of Ship 1969/TMS 1969).
Huruf b
Yang dimaksud dengan "metode pengukuran internasional" adalah metode pengukuran yang ditetapkan oleh pemerintah Indonesia berdasarkan Konvensi Internasional tentang Pengukuran Kapal (International on Tonnage Measurement of Ship 1969/TMS 1969).
Huruf c
Yang dimaksud dengan "metode pengukuran khusus" dipergunakan untuk pengukuran dan penentuan tonase kapal yang akan melewati terusan tertentu antara lain metode pengukuran terusan Suez dan metode pengukuran terusan Panama.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 156
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "tanda selar" adalah rangkaian huruf dan angka yang terdiri dari GT, angka yang menunjukan besarnya tonase kotor, nomor surat ukur, dan kode pengukuran dari pelabuhan yang menerbitkan surat ukur.
Contoh:
GT: Singkatan dari Gross Tonnage
123: Angka tonase kotor kapal
No.: Singkatan dari nomor
45: Nomor surat ukur
Ba: Kode pengukuran dari pelabuhan yang menerbitkan surat ukur (Ba adalah kode pengukuran dari pelabuhan Tanjung Priok).
Pasal 157
Cukup jelas
Pasal 158
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "pendaftaran kapal" adalah pendaftaran hak milik atas kapal sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "grosse akta pendaftaran" adalah salinan resmi dari minut (asli dari akta pendaftaran).
Bukti hak milik atas kapal merupakan dokumen kepemilikan yang disampaikan oleh pemilik kapal pada saat mendaftarkan kapalnya antara lain berupa:
1. Bagi kapal bangunan baru
a) kontrak pembangunan kapal;
b) berita acara serah terima kapal; dan
c) surat keterangan galangan.
2. Bagi kapal yang pernah didaftar di negara lain
a) bill of sale; dan
b) protocol of delivery and acceptance.
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "tanda pendaftaran" merupakan rangkaian angka dan huruf yang terdiri atas angka tahun pendaftaran, kode pengukuran dari tempat kapal didaftar, nomor urut akta pendaftaran, dan kode kategori kapal.
Contoh:
2008 : Tahun pendaftaran kapal
Pst: Kode pengukuran dari tempat kapal di daftar
No.: Nomor
4999: Nomor akta pendaftaran kapal
L: Kode kategori kapal (L kode kategori untuk kapal laut, N kode kategori untuk kapal nelayan, P kode kategori untuk kapal pedalaman yaitu kapal yang berlayar di sungai dan danau).
Pasal 159
Cukup jelas
Pasal 160
Cukup jelas
Pasal 161
Cukup jelas
Pasal 162
Cukup jelas
Pasal 163
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "Surat Laut", "Pas Besar", dan "Pas Kecil" adalah Surat Tanda Kebangsaan Kapal yang diberikan sebagai legalitas untuk dapat mengibarkan bendera Indonesia sebagai bendera kebangsaan kapal termasuk kapal penangkap ikan.
Ayat (3)
Yang dimaksud "perairan sungai dan danau" meliputi sungai, danau, waduk, kanal, terusan, dan rawa.
Pasal 164
Cukup jelas
Pasal 165
Cukup jelas
Pasal 166
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "identitas kapal" adalah nama kapal dan pelabuhan tempat kapal didaftar yang dicantumkan pada badan kapal, bendera kebangsaan yang dikibarkan pada buritan kapal sesuai dengan Surat Tanda Kebangsaan yang diberikan oleh Pemerintah negara yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 167
Cukup jelas
Pasal 168
Cukup jelas
Pasal 169
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kapal untuk jenis dan ukuran tertentu" adalah kapal barang dengan ukuran GT 500 (lima ratus Gross Tonnage) atau lebih dan kapal penumpang semua ukuran yang melakukan pelayaran internasional, sedangkan untuk kapal yang berlayar di dalam negeri jenis dan ukurannya akan ditetapkan tersendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "lembaga yang diberikan kewenangan oleh Pemerintah" adalah badan klasifikasi yang diakui Pemerintah.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 170
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "ukuran tertentu" adalah kapal barang dengan ukuran GT 500 (lima ratus Gross Tonnage) atau lebih dan kapal penumpang semua ukuran yang melakukan pelayaran internasional, sedangkan untuk kapal yang berlayar di dalam negeri jenis dan ukurannya akan ditetapkan tersendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Untuk kapal yang berlayar di dalam negeri pengaturan mengenai sertifikat ditetapkan tersendiri.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 171
Cukup jelas
Pasal 172
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "kepentingan tertentu lainnya" antara lain penandaan wilayah negara di pulau terluar antara lain berupa menara suar.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah sesuai dengan ketentuan nasional dan memperhatikan ketentuan internasional.
Ketentuan nasional yaitu Standar Nasional Indonesia yang berkaitan dengan Sistem Pelampungan "A" (standar navigasi yang mengacu pada standar Eropa).
Ketentuan internasional yaitu:
1) United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 82) yang berkaitan dengan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI);
2) Safety of Life at Sea (SOLAS) yang berkaitan dengan keselamatan navigasi (Safety of Navigation-Chapter V);
3) Ketentuan yang dikeluarkan oleh International Maritime Organization (IMO) yang berkaitan dengan Resolusi tentang keselamatan navigasi (Safety of Navigation);
4) Ketentuan yang dikeluarkan oleh International Hydrography Organization (IHO) yang berkaitan dengan hidrografi; dan
5) Ketentuan yang dikeluarkan oleh International Association Marine Aids to Navigation and Lighthouse Authorities (IALA) yang berkaitan dengan rekomendasi Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" adalah apabila Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran dipergunakan untuk mendukung kegiatan yang bukan untuk kepentingan umum antara lain anjungan minyak (oil platform), pengerukan, salvage, dan terminal khusus di lokasi tertentu.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 173
Cukup jelas
Pasal 174
Cukup jelas
Pasal 175
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "hambatan" adalah keadaan yang dapat mengganggu atau menghalangi lalu lintas angkutan di perairan antara lain kerangka kapal di alur-pelayaran.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 176
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "kapal tertentu" adalah kapal perang, kapal negara, kapal rumah sakit, kapal yang memasuki suatu pelabuhan khusus untuk keperluan meminta pertolongan atau kapal yang memberi pertolongan jiwa manusia, kapal yang melakukan percobaan berlayar, dan kapal swasta yang melakukan tugas pemerintahan.
Pasal 177
Cukup jelas
Pasal 178
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" adalah ketentuan nasional dan ketentuan internasional di bidang telekomunikasi, antara lain:
1. Ketentuan nasional yaitu Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi; dan
2. Ketentuan internasional, yaitu International Telecommunication Union (ITU) yang telah diratifikasi terakhir dengan Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2004 tentang Pengesahan Instruments Amending The Constitution and The Convention of The International Telecommunication Union, Marrakesh, 2002 (Instrumen Perubahan Konstitusi dan Konvensi Perhimpunan Telekomunikasi Internasional, Marrakesh 2002) dan International Maritime Organization (IMO).
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 179
Cukup jelas
Pasal 180
Cukup jelas
Pasal 181
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "hambatan" antara lain adalah adanya gangguan frekuensi yang penggunaannya tidak sesuai dengan peruntukannya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 182
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 183
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "komunikasi marabahaya" adalah komunikasi yang menunjukkan adanya stasiun atau unit bergerak atau orang lain dalam keadaan benar-benar bahaya dan membutuhkan pertolongan segera (MAYDAY MAYDAY MAYDAY).
Yang dimaksud dengan "komunikasi segera" adalah komunikasi yang berisikan informasi untuk meminta pertolongan terhadap orang yang sakit di atas kapal atau informasi untuk meminta pertolongan terhadap orang jatuh di laut (PAN PAN PAN).
Yang dimaksud dengan "komunikasi keselamatan" adalah komunikasi yang berisi informasi tentang:
a. adanya pergeseran posisi Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran;
b. padamnya Sarana Bantu Navigasi-Pelayaran;
c. adanya pengeboran minyak pada suatu posisi di alur-pelayaran;
d. munculnya sebuah karang;
e. adanya benda terapung yang membahayakan-pelayaran;
f. dukungan untuk operasi pencarian dan pertolongan (Search and Rescue); atau
g. pelaporan adanya kapal misterius (phantom ship) (SECURITY SECURITY SECURITY).
Yang dimaksud dengan "siaran tanda waktu standar" adalah pancaran tanda waktu untuk kapal-kapal, stasiun pantai, dan pihak lain yang memerlukan informasi waktu dan mencocokkan kronometer.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 184
Cukup jelas
Pasal 185
Cukup jelas
Pasal 186
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan "awak kapal tertentu" adalah perwira nautika yang bertanggung jawab terhadap keadaan cuaca.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 187
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 188
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "sebagian penyelenggaraan alur-pelayaran" adalah alur yang menuju ke terminal khusus.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 189
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "kepentingan lainnya" antara lain pembangunan pelabuhan, penahan gelombang, penambangan, dan bangunan lainnya yang memerlukan pekerjaan pengerukan yang dapat mengakibatkan terganggunya alur-pelayaran.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 190
Cukup jelas
Pasal 191
Cukup jelas
Pasal 192
Cukup jelas
Pasal 193
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "wilayah tertentu" antara lain perairan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI), jalur Traffic Separation Scheme (TSS), area Ship to Ship Transfer (STS), perairan yang telah ditetapkan Ship Reporting System (SRS).
Yang dimaksud dengan "semua informasi" adalah informasi yang berkaitan dengan keselamatan dan keamanan pelayaran.
Pasal 194
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "terus menerus, langsung, dan secepatnya" adalah berlayar dari laut bebas melintas perairan Indonesia dan langsung menuju ke laut bebas lainnya sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nations Convention on the Law of the Sea, 1982 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut).
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "keadaan darurat" adalah kapal yang mengalami musibah atau memberikan pertolongan kepada orang atau kapal yang sedang mengalami musibah.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 195
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Yang dimaksud dengan "memberikan jaminan" adalah kewajiban bagi pemilik atau operator untuk memiliki jaminan asuransi atau menempatkan sejumlah uang sebagai jaminan untuk menggantikan biaya pembongkaran bangunan atau instalasi yang tidak digunakan lagi oleh pemilik atau operator.
Pasal 196
Cukup jelas
Pasal 197
Cukup jelas
Pasal 198
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "perairan wajib pandu" adalah suatu wilayah perairan yang karena kondisinya wajib dilakukan pemanduan bagi kapal berukuran GT 500 (lima ratus Gross Tonnage) atau lebih.
Yang dimaksud dengan "perairan pandu luar biasa" adalah suatu wilayah perairan yang karena kondisi perairannya tidak wajib dilakukan pemanduan tetapi apabila Nakhoda memerlukan dapat mengajukan permintaan jasa pemanduan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pelimpahan pemanduan kepada Badan Usaha Pelabuhan dilaksanakan pada pelabuhan yang diusahakan secara komersial atau terminal khusus.
Yang dimaksud dengan "dapat dilimpahkan" adalah untuk memenuhi kebutuhan, sesuai persyaratan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan serta dapat dicabut apabila pelaksanaan tugasnya tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Pasal 199
Cukup jelas
Pasal 200
Cukup jelas
Pasal 201
Cukup jelas
Pasal 202
Cukup jelas
Pasal 203
Cukup jelas
Pasal 204
Cukup jelas
Pasal 205
Cukup jelas
Pasal 206
Cukup jelas
Pasal 207
Ayat (1)
Pelaksanaan penegakan hukum di bidang keselamatan dan keamanan pelayaran oleh Syahbandar dilakukan di dalam wilayah Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Persyaratan kompetensi berlaku juga pada Syahbandar di pelabuhan perikanan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.
Pasal 208
Cukup jelas
Pasal 209
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Yang dimaksud dengan "penerbitan persetujuan kegiatan kapal di pelabuhan" antara lain menerbitkan izin untuk kegiatan pengelasan, pembersihan tangki (tank cleaning), perpindahan sandar kapal, melarang atau mengizinkan orang naik ke atas kapal, dan alih muat barang.
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Pasal 210
Cukup jelas
Pasal 211
Cukup jelas
Pasal 212
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "ketentuan internasional" adalah mengenai sistem keamanan kapal dan fasilitas pelabuhan (International Ship and Port Facility Security Code/ISPS Code).
Yang dimaksud dengan "Syahbandar bertindak selaku komite keamanan pelabuhan (port security commitee)" adalah Syahbandar atas nama Pemerintah selaku Designated Authority (DA) berwenang menentukan tingkat keamanan di pelabuhan (security level).
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "dapat meminta bantuan" adalah Syahbandar berhak meminta dukungan dan bantuan apabila diperlukan antara lain jika terjadi tindak pidana atau kriminal.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 213
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "surat dan dokumen kapal" antara lain Surat Ukur, Surat Tanda Kebangsaan Kapal, Sertifikat Keselamatan, Sertifikat Garis Muat, Sertifikat Pengawakan Kapal, dan dokumen muatan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Pasal 214
Yang dimaksud dengan "warta kapal" adalah informasi tentang kondisi umum kapal dan muatannya (ship condition).
Pasal 215
Yang dimaksud dengan "petunjuk serta perintah Syahbandar" antara lain menolak kedatangan kapal, memerintahkan perpindahan kapal, dan menentukan tempat labuh jangkar.
Pasal 216
Cukup jelas
Pasal 217
Cukup jelas
Pasal 218
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "dalam keadaan tertentu" adalah apabila Syahbandar mendapat laporan adanya indikasi bahwa kapal tidak memenuhi persyaratan kelaiklautan dan keamanan.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "ketentuan peraturan perundang-undangan" meliputi konvensi internasional yang mengatur mengenai port state control.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 219
Ayat (1)
Surat Persetujuan Berlayar yang dalam kelaziman internasional disebut port clearance diterbitkan setelah dipenuhinya persyaratan kelaiklautan kapal dan kewajiban lainnya.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Pasal 220
Cukup jelas
Pasal 221
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud "dapat" adalah apabila dari hasil pemeriksaan pendahuluan terdapat keterangan dan/atau bukti awal mengenai kesalahan atau kelalaian yang dilakukan oleh Nakhoda dan/atau perwira kapal.
Pasal 222
Cukup jelas
Pasal 223
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "klaim-pelayaran (maritime claim)" sesuai dengan ketentuan mengenai penahanan kapal (arrest of ships), timbul karena:
a. kerugian atau kerusakan yang disebabkan oleh pengoperasian kapal;
b. hilangnya nyawa atau luka parah yang terjadi baik di daratan atau perairan atau laut yang diakibatkan oleh pengoperasian kapal;
c. kerusakan terhadap lingkungan, kapalnya, atau barang muatannya sebagai akibat kegiatan operasi salvage atau perjanjian tentang salvage;
d. kerusakan atau ancaman kerusakan terhadap lingkungan, garis pantai atau kepentingan lainnya yang disebabkan oleh kapal, termasuk biaya yang diperlukan untuk mengambil langkah pencegahan kerusakan terhadap lingkungan, kapalnya, atau barang muatannya, serta untuk pemulihan lingkungan sebagai akibat terjadinya kerusakan yang timbul;
e. biaya-biaya atau pengeluaran yang berkaitan dengan pengangkatan, pemindahan, perbaikan, atau terhadap kapal, termasuk juga biaya penyelamatan kapal dan awak kapal;
f. biaya pemakaian atau pengoperasian atau penyewaan kapal yang tertuang dalam perjanjian pencarteran (charter party) atau lainnya;
g. biaya pengangkutan barang atau penumpang di atas kapal, yang tertuang dalam perjanjian pencarteran atau lainnya;
h. kerugian atau kerusakan barang termasuk peti/koper yang diangkut di atas kapal;
i. kerugian dan kerusakan kapal dan barang karena terjadinya peristiwa kecelakaan di laut (general average);
j. biaya penarikan kapal (towage);
k. biaya pemanduan (pilotage);
l. biaya barang-barang, perlengkapan, kebutuhan kapal, Bahan Bakar Minyak atau bunker, peralatan kapal termasuk peti kemas yang disediakan untuk pelayanan dan kebutuhan kapal untuk pengoperasian, pengurusan, penyelamatan atau pemeliharaan kapal;
m. biaya pembangunan, pembangunan ulang atau rekondisi, perbaikan, mengubah atau melengkapi kebutuhan kapal;
n. biaya pelabuhan, kanal, galangan, bandar, alur pelayaran, dan atau biaya-biaya pungutan lainnya;
o. gaji dan lainnya yang terutang bagi Nakhoda, perwira dan Anak Buah Kapal serta lainnya yang dipekerjakan di atas kapal termasuk biaya untuk repatriasi, asuransi sosial untuk kepentingan mereka;
p. pembiayaan atau disbursements yang dikeluarkan untuk kepentingan kapal atas nama pemilik kapal;
q. premi asuransi (termasuk "mutual insurance call") kapal yang harus dibayar oleh pemilik kapal atau pencarter kapal tanpa Anak Buah Kapal atau bare boat (demise charterer);
r. komisi, biaya, perantara atau broker atau keagenan yang harus dibayar berkaitan dengan kapal atas nama pemilik kapal tanpa Anak Buah Kapal (demise charterer);
s. biaya sengketa berkenaan dengan status kepemilikan kapal;
t. biaya sengketa yang terjadi di antara rekan pemilikan kapal (co-owner) berkenaan dengan pengoperasian dan penghasilan atau hasil tambang kapal;
u. biaya gadai atau hipotek kapal atau pembebanan lain yang sifatnya sama atas kapal; dan
v. biaya sengketa yang timbul dari perjanjian penjualan kapal.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 224
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "dokumen pelaut" adalah dokumen identitas pelaut dan perjanjian kerja laut. Dokumen identitas pelaut antara lain terdiri atas Buku Pelaut dan Kartu Identitas Pelaut.
Yang dimaksud dengan "disijil" adalah dimasukkan dalam buku daftar awak kapal yang disebut buku sijil yang berisi daftar awak kapal yang bekerja di atas kapal sesuai dengan jabatannya dan tanggal naik turunnya yang disahkan oleh Syahbandar.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 225
Cukup jelas
Pasal 226
Cukup jelas
Pasal 227
Cukup jelas
Pasal 228
Cukup jelas
Pasal 229
Cukup jelas
Pasal 230
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "penanggung jawab unit kegiatan lain di perairan" antara lain pengelola unit pengeboran minyak dan fasilitas penampungan minyak di perairan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "institusi yang berwenang untuk penanganan lebih lanjut" adalah institusi yang menangani pengendalian pencemaran secara nasional.
Pasal 231
Cukup jelas
Pasal 232
Cukup jelas
Pasal 233
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan limbah bahan berbahaya dan beracun termasuk juga limbah radioaktif.
Pasal 234
Cukup jelas
Pasal 235
Cukup jelas
Pasal 236
Cukup jelas
Pasal 237
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "limbah" antara lain dapat berupa limbah minyak, bahan kimia, bahan berbahaya dan beracun, sampah, serta kotoran.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 238
Cukup jelas
Pasal 239
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "lokasi tertentu" adalah pembuangan limbah tidak boleh dilakukan pada alur-pelayaran, kawasan lindung, kawasan suaka alam, taman nasional, taman wisata alam, kawasan cagar budaya dan ilmu pengetahuan, sempadan pantai, kawasan terumbu karang, kawasan mangrove, kawasan perikanan dan budidaya, kawasan pemukiman, dan daerah sensitif terhadap pencemaran.
Yang dimaksud dengan "pembuangan limbah" termasuk juga berupa kerangka kapal.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 240
Cukup jelas
Pasal 241
Ayat (1)
Yang dimaksud "penutuhan kapal" adalah kegiatan pemotongan dan penghancuran kapal yang tidak digunakan lagi dengan aman dan berwawasan lingkungan (safe and environmentally sound manner).
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 242
Cukup jelas
Pasal 243
Cukup jelas
Pasal 244
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "bahaya" adalah ancaman yang disebabkan oleh faktor eksternal dan internal dari kapal.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "orang" termasuk juga orang yang berada di menara suar yang ditemukan dalam keadaan bahaya.
Yang dimaksud dengan "pihak lain" antara lain Nakhoda kapal lain yang berada di sekitar lokasi bahaya, stasiun radio pantai dan pejabat berwenang terdekat yang memilki kewenangan untuk menindaklanjuti proses kecelakaan tersebut.
Ayat (4)
Pelaporan oleh Nakhoda dilakukan untuk setiap bahaya bagi keselamatan kapal, baik yang terjadi di dalam maupun luar negeri, baik yang mengakibatkan atau dapat mengakibatkan kerusakan pada alur atau bangunan di perairan yang dapat mengganggu keselamatan berlayar maupun tidak.
Yang dimaksud dengan "melaporkan" adalah menyampaikan berita bahaya bagi keselamatan kapal dengan cara sistem telekomunikasi antara lain melalui Stasiun Radio Pantai, Vessel Traffic Information System (VTIS), semaphore, morse serta sarana lain yang dapat digunakan untuk menyampaikan berita atau menarik perhatian bagi pihak lain.
Pasal 245
Cukup jelas
Pasal 246
Cukup jelas
Pasal 247
Yang dimaksud dengan "pihak lain" antara lain Nakhoda kapal lain yang berada di sekitar lokasi kecelakaan, stasiun radio pantai dan pejabat berwenang terdekat yang memiliki kewenangan untuk menindaklanjuti proses kecelakaan tersebut.
Pasal 248
Yang dimaksud dengan "melaporkan" adalah menyampaikan berita kecelakaan kapal dengan cara sistem telekomunikasi antara lain melalui Stasiun Radio Pantai, Vessel Traffic Information System (VTIS), semaphore, morse serta sarana lain yang dapat digunakan untuk menyampaikan berita atau menarik perhatian bagi pihak lain.
Pasal 249
Yang dimaksud dengan "dibuktikan lain" adalah berdasarkan pembuktian telah dilakukan upaya dan melaksanakan kewajiban berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Pasal 250
Cukup jelas
Pasal 251
Cukup jelas
Pasal 252
Cukup jelas
Pasal 253
Cukup jelas
Pasal 254
Cukup jelas
Pasal 255
Cukup jelas
Pasal 256
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan Komite Nasional Keselamatan Transportasi adalah institusi yang diberi kewenangan untuk melakukan investigasi sebab terjadinya kecelakaan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Hasil investigasi yang dilakukan oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi disampaikan kepada Menteri yang disertai dengan rekomendasi untuk memperbaiki kebijakan yang terkait dengan sistem, sarana dan prasarana transportasi, serta sumber daya manusia.
Pasal 257
Cukup jelas
Pasal 258
Cukup jelas
Pasal 259
Cukup jelas
Pasal 260
Cukup jelas
Pasal 261
Cukup jelas
Pasal 262
Cukup jelas
Pasal 263
Cukup jelas
Pasal 264
Cukup jelas
Pasal 265
Cukup jelas
Pasal 266
Cukup jelas
Pasal 267
Cukup jelas
Pasal 268
Cukup jelas
Pasal 269
Ayat (1)
Sistem informasi pelayaran bertujuan untuk memberikan informasi di bidang angkutan perairan dan kepelabuhanan serta terjaminnya keselamatan dan keamanan pelayaran dan memberikan perlindungan lingkungan maritim.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 270
Cukup jelas
Pasal 271
Cukup jelas
Pasal 272
Cukup jelas
Pasal 273
Cukup jelas
Pasal 274
Cukup jelas
Pasal 275
Cukup jelas
Pasal 276
Cukup jelas
Pasal 277
Cukup jelas
Pasal 278
Cukup jelas
Pasal 279
Cukup jelas
Pasal 280
Cukup jelas
Pasal 281
Cukup jelas
Pasal 282
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "penyidik lainnya" adalah penyidik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan antara lain Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 283
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan " melakukan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab" adalah bahwa dalam melaksanakan tugasnya penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 284
Cukup jelas
Pasal 285
Cukup jelas
Pasal 286
Cukup jelas
Pasal 287
Cukup jelas
Pasal 288
Cukup jelas
Pasal 289
Cukup jelas
Pasal 290
Cukup jelas
Pasal 291
Cukup jelas
Pasal 292
Cukup jelas
Pasal 293
Cukup jelas
Pasal 294
Cukup jelas
Pasal 295
Cukup jelas
Pasal 296
Cukup jelas
Pasal 297
Cukup jelas
Pasal 298
Cukup jelas
Pasal 299
Cukup jelas
Pasal 300
Cukup jelas
Pasal 301
Cukup jelas
Pasal 302
Cukup jelas
Pasal 303
Cukup jelas
Pasal 304
Cukup jelas
Pasal 305
Cukup jelas
Pasal 306
Cukup jelas
Pasal 307
Cukup jelas
Pasal 308
Cukup jelas
Pasal 309
Cukup jelas
Pasal 310
Cukup jelas
Pasal 311
Cukup jelas
Pasal 312
Cukup jelas
Pasal 313
Cukup jelas
Pasal 314
Cukup jelas
Pasal 315
Cukup jelas
Pasal 316
Cukup jelas
Pasal 317
Cukup jelas
Pasal 318
Cukup jelas
Pasal 319
Cukup jelas
Pasal 320
Cukup jelas
Pasal 321
Cukup jelas
Pasal 322
Cukup jelas
Pasal 323
Cukup jelas
Pasal 324
Cukup jelas
Pasal 325
Cukup jelas
Pasal 326
Cukup jelas
Pasal 327
Cukup jelas
Pasal 328
Cukup jelas
Pasal 329
Cukup jelas
Pasal 330
Cukup jelas
Pasal 331
Cukup jelas
Pasal 332
Cukup jelas
Pasal 333
Cukup jelas
Pasal 334
Cukup jelas
Pasal 335
Cukup jelas
Pasal 336
Cukup jelas
Pasal 337
Cukup jelas
Pasal 338
Cukup jelas
Pasal 339
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "izin" adalah izin untuk membangun fasilitas yang diterbitkan oleh pemerintah daerah dan izin operasional yang tunduk pada Undang-Undang ini.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 340
Cukup jelas
Pasal 341
Cukup jelas
Pasal 342
Cukup jelas
Pasal 343
Cukup jelas
Pasal 344
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Penentuan waktu 3 (tiga) tahun dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk memberikan waktu yang cukup bagi Pemerintah merencanakan pengembangan pelabuhan dan Badan Usaha Milik Negara. Untuk keperluan pengembangan tersebut atas perintah Menteri dilakukan:
a. evaluasi aset Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan usaha pelabuhan; dan
e. audit secara menyeluruh terhadap aset Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan usaha pelabuhan.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "tetap diselenggarakan oleh Badan Usaha Milik Negara" adalah Badan Usaha Milik Negara yang didirikan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 1991, Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1991, Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 1991, dan Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 1991, tetap menyelenggarakan kegiatan usaha di pelabuhan yang meliputi:
a. kegiatan yang diatur dalam Pasal 90 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) Undang-Undang ini;
b. penyediaan kolam pelabuhan sesuai dengan peruntukannya berdasarkan pelimpahan dari Pemerintah dan ketentuan peraturan perundang-undangan;
c. pelayanan jasa pemanduan berdasarkan pelimpahan dari Pemerintah dan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
d. penyediaan dan pengusahaan tanah sesuai kebutuhan berdasarkan pelimpahan dari Pemerintah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
Pasal 345
Cukup jelas
Pasal 346
Cukup jelas
Pasal 347
Cukup jelas
Pasal 348
Cukup jelas
Pasal 349
Cukup jelas
Pasal 350
Yang dimaksud dengan "harus ditetapkan" adalah menetapkan beberapa pelabuhan utama sebagai hub internasional termasuk juga mengevaluasi pelabuhan hub internasional yang telah ditetapkan sebelum Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 351
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "dievaluasi dan disesuaikan" termasuk keberadaan pelabuhan perikanan yang berada di dalam Daerah Lingkungan Kerja dan Daerah Lingkungan Kepentingan pelabuhan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 352
Cukup jelas
Pasal 353
Cukup jelas
Pasal 354
Cukup jelas
Pasal 355
Cukup jelas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar