Di salah satu perbatasan antara Perancis dengan Spanyol terdapat satu wilayah yang ingin memerdekakan diri hanya karena perbedaan kebudayaan dan bahasa. Hal ini akan terasa janggal apabila dikolerasikan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Indonesia merupakan negara dengan beribu bahasa dan kebudayaan. Bisa dimungkinkan wilayah yang hanya terpisah beberapa kilometer saja dapat terjadi kebudayaan yang berbeda satu sama lain secara signifikan. Sehingga tidak jarang orang Indonesia mendefinisikan dirinya sebagai satuan-satuan geografis tertentu.
Bentuk geografis yang beragam pulalah yang menyebabkan identifikasi bangsa Indonesia sangat bias. Seorang Indonesia akan lebih bangga menyebut dirinya, “Batak”, “Sunda”, ataupun “Padang” daripada menyebut nama bangsa ini yaitu “Indonesia”. Identifikasi diri terhadap suku-suku yang dipisahkan oleh bentang geografis inilah yang rawan sekali untuk terjadinya potensi konflik. Tanpa disadari sekarang memang belum ada masalah kemasyarakatan yang timbul, namun disisi lain seorang sosiolog dapat melihat ada deviasi dari masyarakat akan pengakuan kata “Indonesia”.
Secara sosiologis, maka suatu masalah sosial yang timbul, apabila terjadi ketidak serasian antara nilai-nilai yang berlaku dengan kenyataan yang akan dihadapi atau dialami. Suatu masalah sosial tidak perlu bersumber pada aspek-aspek sosial dalam masyarakat, oleh karena yang menjadi kriterium adalah akibatnya yang mengganggu keutuhan masyarakat ataupun warga-warganya.
Ruang Lingkup
Ruang Lingkup permasalahan yang dibahas hanya mengenai
Metedologi Penulisan
Penulis menggunakan metodologi observasi dalam melakukan penulisan ini. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan dari penulis akan sumber-sumber yang bisa diketahui dan didapatkan.
Batasan Masalah
Masalah hubungan antar suku bangsa mungkin saja terjadi secra paralel dengan hubungan antar agama. Untuk keperluan tulisan ini diadakan pembatasan pada hubungan antar bangsa saja; jadi mengenai hubungan antar agama dapat dikemukakan secar khusus pada kesempatan yang lain.
BAB II
Pembahasan Umum
Pluralisme Masyarakat Indonesia
Indonesia merupakan Negara yang sangat kompleks. Istilah pluralisme ini diterapkan , terhadap masyarakat-masyarakat –masyarakat yang mencakup aneka macam suku bangsa (ethnic –group) yang masing-masing mempunyai kebudayaan khusus (sub-culture). Suku bangsa itu sendiri merupakan kesatuan-kesatuan manusia yang terikat oleh kesadaran akan kesatuan sistem sosial dan kebudayaan (yang tidak jarang didukung oleh bahasa tertentu di kalangan suku bangsa tersebut)
Indonesia sendiri menurut Esser, Berg, St Takdir Alisjahbana terdiri dari lebih dari 200 sampai 250 suku bangsa di Indonesia. Sepanjang mengenai pluralisme tersebut, maka masalah yang dihadapi di Indonesia bukanlah terutama soal pengintegrasian keturunan asing, akan tetapi justru masalah pengintegrasian suku-suku bangsa tersebut menjadi bangsa Indonesia
Masalah hubungan antar suku bangsa
Masalah hubungan antar suku bangsa dapat dikualifikasikan sebagai bagian dari tertib makro. Masalah in mungkin terjadi pada masyarakat sederhana , madya, maupun modern dan golongan pribumi atau non-pibumi (khususnya golongan Cina).
Mengenai hubungan antar suku bangsa biasanya mungkin saja timbul beberapa masalah sebagai beikut: suatu suku memekasakan unsur-unsur kebudayaan khusus dan agama yang dianutnya pada suku bangsa lain; suatu suku ingin mendominasi secara politis; persaingan untuk mendapatkan lapangan mata pencaharian yang sama; dan yang terakhir adalah adanya potensi konflik yang terpendam.
Di Indonesia masalah sosialnya sudah jelas, bahwa setiap suku bangsa mempunyai kebudayaan khusus dan sistem sosial yang berbeda-beda . sehingga secara sosiologis perlakuannya harus berbeda pula. Sehingga nilai rasa untuk satu suku tidaklah dianggap pas bagi suku lainnya dan sebaliknya. Sikap toleransi sangat dibutuhkan dalam pergaulan antar suku.
BAB III
Pembahasan Khusus
Wawasan Nusantara
Dalam perkembangan kebudayaan kebangsaan harus diletakkan kata “ambvalensi, rupa-rupa adalah kata kunci juga dalam membuka kompleks kerumitan perumusan strategi kebudayaan bangsa. Polemik kebudayaan yang berlangsung 50 tahun silam, tak kurang adalah ambivalensi dini dalam kolektifitas sikap kita yang satu pihak ingin merumuskan cita-cita secara adekuat agar masa depan bangsa tak jatuh dalam kekeliruan, di pihak lain menunjukan kekuatiran akan resiko yang pastilah terdapat dalam setiap kebijakan terpilih mana pun.
Wawasan Bahari merupakan sebagai kerangka utama pengembangan kebudayaan harus diletakkkan. Dalam kenyataannya Wawasan Nusantara masih harus diisi oleh sekian implementasi justru di tingkat kebudayaan dalam artian aksi , sehingga terbentuklah serat-serat baru anyaman kebudayaan.
Ditengah-tengah bangsa kita terus-menerus menerima pengaruh luar yang sangat kuat karena tertunjang ata tidak oleh kenyataan geografi itu, dlam pada itu perlu disadari adanya banyak di antara kelompok-kelompok masyarakat di negri ini yang masih berfikir dalam acuan “ budaya pulau”-nya sendiri. Bila hal tersebut dibiarkan maka akan terjadi damak-dampak penurunan nilai budaya yang pada akhirnya dapt menimbulkan disintegrasi bangsa.
Wawasan nusantara pula dapat dijadikan landasan untuk mengembangkan pola pikir. Pola pikir yang baik akan memberikan manfaat yang besar untuk pengembangan Negara ini. Dalam tiga faktor penting pembangun pola pikir akni kondisi global, tradisi dan wawasan nusantara. Maka letak wawasan nusantara haruslah pada dasar dari strategi kebudayaan kebangsaan, kepekatan tradisi dan kekenesan yang sering muncul dari kondisi global akan memperoleh pengaturan oleh sila-sila Pancasila.
“culture is that complex whole which includes knowladge, belief, art, morals, law, custom and any other capabillities acquired by man as a member of society”.
Pancasila sebagai Landasan
Pembaasan mengenai Pancasila dewasa ini tidaklah begitu menarik perhatian publik. Namun hal ini dapat dilihat sangat muah untuk di introduksikan ke dalam kebudayaan. Memandang kebudayaan yang beragam menggunakan kacamata Pancasila pastinya menghasilkan kebudayaan baru yang bersifat trandensi dari kebudayaan barat maupun sosialis marxistik. Prof. Sartono Kartodirijo menegaskan pentingnya eksplorasi epistemik Pancasila justru dalam keperluan perumusan kultur alternatif bagi kemelut dan krisis kultural dan tingkat dunia.
Penting untuk diingat bahwa dalam telaah struktural yang sebahagian dideskripsikan sebagai klaim kepemilikan suatu budaya, dijadikan sebagai tombak kekuatan anonim yang menelan kedirian manusia. Manusia akan cepat sekali lenyap apabila hidup dalam strukturalisme yang mendewakan pada sistem. Kecenderungan adalah deterministik karena manusia bukanlah subjek melainkan objek yang bisa dieksploitasikan oleh kekuatan yang justru membelenggunya.
Pancasila dapat dijadikan tujuan hidup bangsa kita. Sebagai warga negaea yang baik kita tidak akan memerosotkan Pancasila hanya menjadi “semboyan kosong” atau bahan “propaganda” murah. Pancasila , karena merupakan pandangan hidup, merupakan dasar dan tujuan, maka Pancasila itu harus kita laksanakan dalam segala segi kehidupan dalam tata pergaulan bangsa Indonesia
Perdamaian sebagai etos Kebudayaan
Strategi kebudayaan yang bagaimana yang pantas dikemukakan dalam gerak kebersamaan mengisi kebutuhan akan penataan kembali hubungan manusia dengan manusia lainnya, tentulah perlu dipikirkan oleh sebagai disiplin dalam semangat solidaritas yang mengatasi segala pertimbangan ad hoc. Satu hal kiranya jelas, bahwa di bagian hilir usaha tersebut perlu dikaitakan dengan usaha-usaha menghindari kondisi konfliksional masyarakat nusantara yang akan mengakibatkan keungkinan kehancuran. Pada sektor kebudayaannlah diperlukan adanyakesepakatan kultural guna merumuskan suatu etos bagi kebudayaan mondial yang bakal mencegah kerusakan; tak lain adalah perdamaian sebagai pilihan eksplisit yang relevan. Olehkarena itu kebudayaan dewasa ini makin diisi oleh ilmu pengetahuan dan pada gilirannya harus pula menjadi sikap hidup di kalangan para ilmuwan.
Dengan itulah maka perkembangan kebudayaan dan peradaban manusia akan lebih mengacu pada titik persatuan yang di dalamnya terkandung daya-daya integratif yang akan diakomodasikan sejumlah ke-bhineka-an. Secara skematis dapat diikuti petunjuk di bawah ini sebagai pengantar ke dalam elaborasi permasalahan yang diperlukan.
BAB IV
Kesimpulan dan Saran
Daftar Pustaka
Koentjaraningrat. 1979. Manusia dan kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Sutrisno, Slamet . 1988. Pancasila Kebudayaan dan Kebangsaan. Yogyakarta: Liberty
Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers
Soekanto, Soerjono . 1983. Beberapa Aspek Sosio Yuridis Masyarakat. Bandung: Alumni
Ogburn, William dan Mayer F. Nimkoff. 1960. A Handbook of Sociology. London. Arbor Scienti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar