A. Kasus Posisi
Apiah seorang anak perempuan berusia 15 tahun yang menjadi korban perdagangan manusia, untuk mengingat kembali awal nestapa yang menimpanya. Awal nestapa itu terjadi di kampungnya sendiri, yakni tawaran kerja yang kemudian menjerumuskannya ke dalam dunia prostitusi di Johor Baru, Malaysia. Berawal dari datangnya seorang perempuan yang menjadi "sponsor tenaga kerja". Perempuan bernama Warpu dan rsquo;ah (30) mendatangi kediaman orangtuanya di Desa Mekarmaya, Cilamaya, Karawang, Jawa Barat atau kira-kira 40 kilometer dari Kota Karawang.
Perempuan belia yang masih bau kencur itu itu menuturkan, pada 17 Juli 2007 lalu, Warpu dan rsquo;ah menawarinya pekerjaan sebagai pelayan sebuah restoran di Malaysia. Awalnya dia mengaku ragu-ragu, namun keesokan harinya, Warpu dan rsquo;ah kembali mendatangi rumah orangtuanya. Warpu’ah datang bersama Nunung (20-an) yang diakui sebagai keponakannya.
"Karena bicaranya meyakinkan, saya jadi tertarik. Apalagi dia bilang akan ada teman yang berangkat bareng kesana. Ya si Nunung itu, yang katanya masih keponakan dia," tutur Apiah lirih.
Hari itu juga, sang sponsor memberinya uang Rp100.000 untuk mengurusi KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan KK (Kartu Keluarga). Selanjutnya atas bantuan perempuan itu pula, tak sulit ia memperoleh KTP dan KK. Malam harinya, pada 18 Juli 2007, Apiah pun diboyong ke rumah sang sponsor di Banyusari, Karawang. Menginap semalam, selanjutnya Apiah dan Nunung diantar sang sponsor menuju Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng, Tangerang, Banten. Dua buah tiket Kartika Airlines dibeli di loket bandara untuk tujuan Batam, Kepulauan Riau. Hanya dua orang itu saja yang melanjutkan ke Batam. Sang sponsor balik kanan alias kembali ke Karawang. Sebelum berpisah, Warpu dan rsquo;ah menjanjikan bahwa keduanya akan dijemput oleh seorang laki-laki di Batam. Lelaki itu bernama panggilan John.
Setibanya di Batam, John pun datang menjemput mereka. Keduanya kemudian diinapkan di sebuah hotel di Batam selama dua minggu untuk pengurusan paspor. Begitu urusan paspor selesai, keduanya diberangkatkan ke Johor Baru, Malaysia, dengan menggunakan kapal laut. Di negeri jiran itu, mereka pun dijemput oleh seorang lelaki lain. Menurut Apiah, setibanya di Johor Baru, dia berpisah tujuan dengan Nunung. Apiah sendiri kemudian ditempatkan di sebuah rumah penampungan.
"Sampai sana sudah malam. Saya langsung disuruh mandi lalu diminta memakai pakaian seksi. Saya menolak, masak untuk jadi pelayan restoran harus berpakaian seksi," katanya.
Rumah itu terletak di Jalan Teratai XIV, Johar Baru itu. Bersama dirinya, terdapat belasan perempuan Indonesia di rumah itu. Kelak kemudian dia tahu siapapun yang ditampung di rumah itu adalah perempuan yang terjebak dalam perdagangan manusia ,untuk dilacurkan secara paksa. Mereka biasanya diajak ke hotel untuk melayani para lelaki hidung belang. Sejak malam itu Apiah "resmi" di-PSK-kan. Dia disuruh melayani setiap lelaki yang menjadi tamu "sang majikan" yang menurutnya bernama Kelvin. Apiah tak berdaya. Setiap geraknya diawasi. Majikannya tak peduli atas kondisinya. Setiap malam ia melayani sebanyak tujuh hingga delapan lelaki hidung belang, yang rata-rata adalah warga Malaysia dari berbagai keturunan. Puncaknya dia pernah dipaksa melayani 18 lelaki hidung belang dalam waktu semalam. Sang majikan tak pernah peduli meskipun Apiah sedang mengalami masa datang bulan.
"Saya bilang saya lagi leang[menstruasi-Red], tapi majikan tetap nggak percaya. Malah diminta minum obat supaya cepat berhenti," tutur Apiah kepada wartawan, Rabu (21/11), di Mapolsek Cimalaya, Karawang.
Selain dipaksa meminum obat untuk mengatasi menstruasi, gadis lugu itu juga sering dipaksa menenggak pil inex saat melayani tamu sang mucikari. Menolak? Semprotan amarah dan caci-maki yang akan segera dia terima.
"Saya dicacimaki. Dibilang saya masih punya utang banyak ,makanya harus terus melayani tamu," katanya.
Nasib baik, nasib buruk, siapa yang tahu? Demikian ungkapan terkenal dari negeri China. Setelah dinistakan hingga berbulan-bulan, Apiah diselamatkan oleh seorang perempuan yang diduga menjadi PSK di kawasan itu.
Sesampainya di Batam Apiah tinggal bersama perempuan yang menyelamatkannya itu. Fitri namanya sebagai warga Ciasem, Subang, Jawa Barat. Menurut Apiah, selama tinggal di Batam dia tidak dipekerjakan sebagai apa pun. Merasa aman, Apiah pun menelpon orangtuanya dan meminta agar segera dijemput di Batam. Menerima telepon dari putri pertamanya, orang tuanya langsung mengontak kerabatnya yang tinggal di Batam. Selanjutnya kerabatnya membawa Apiah pulang ke Karawang.
B. Analisa Kasus
Kasus ini terjadi pada tahun 2007 dimana sudah adanya instrumen hukum nasional yang khusus mengatur masalah perdagangan anak, yaitu UU No. 21 Tahun 2007. Dari definisi mengenai perdagangan orang yang termuat dalam uu tersebut sebetulnya pelaku perdagangan anak diatas telah memenuhi unsur tindakan perekrutan, penampungan, pengiriman dengan penipuan sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain yang dilakukan antar negara, untuk tujuan eksploitasi. Dari kasus tersebut pelaku menawarkan kerja kepada apiah yang mamasih berumur 15 tahun untuk menjadi pelayan di sebuah restoran di Malaysia, yang kemudian setelah mendapat persetujuan baik dari orangtua apiah maupun apiah sendiri lalu setelah urusan surat-surat selesai ia segera diterbangkan ke Johor Baru, Malaysia disana ia sempat ditampung dalam suatu rumah yang kemudian ia menyadari bahwa itu adalah tempat penampungan perempuan yang akan diperdagangakan sebagai pekerja seks komersial.
Semua unsur dalam UU pemberantasan tindak pidana perdagangan orang jelas-jelas sudah terpenuhi, namun bagaimana akhir dari kisah ini setelah Apiah diselamatkan kemudian diantar kembali ke kampungnya, penanganan kasus ini seperti hilang tidak jelas perkembangan dan penyelesaiannya. Dari hal ini terlihat jelas bagaimana kurangnya perlindungan yang diberikan pemerintah terhadap korban perdagangan perempuan, instrumen hukumnya memang sudah ada kemudian bagaimana implementasinya jangankan bagi pelaku yang ada di Malaysia, bagi perekrut yang ada di Indonesia saja seolah-olah sangat sulit untuk disentuh hukum.
Kenyataan yang ada adalah dari kasus tersebut Pada kategori ini, perempuan-perempuan Indonesia telah dijual dan dikirim ke sejumlah destinasi di berbagai negara, termasuk ke Malaysia adalah masih seorang anak, yang mana baik manurut UU Perlindungan anak dan Konvensi hak anak setiap orang yang berada dibawa usia 18 tahun adalah seorang anak. UU No. 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO No. 182 memasukkan perdagangan anak sebagai salah satu bentuk pekerjaan pekerjaan terburuk untuk anak dan telah melarangnya. Selain itu, Fact Sheet No. 14 yang dikeluarkan oleh PBB melalui Office of the High Commissioner of Human Rights juga menagtur Perdagangan manusia merupakan salah satu bentuk Contemporery Forms of Slavery.
Pemerintah Propinsi Jawa Barat sebetulnya juga telah mempunyai instrumen hukum yang menegaskan kembali pelarangan terhadap perdagangan manusia yaitu melalui Surat Keputusan Gubernur No. 43 Tahun 2004 membentuk Komite Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak, dan menyusun Rencana Aksi Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk bagi Anak, Perdagangan Anak dan Eksploitasi Seksual Komersial Anak. Dan sekali lagi praktek perdagangan anak masih tetap saja terjadi di wilayah hukum Propinsi Jawa Barat atau dalam kasus ini tepatnya di daerah Cilamaya, Karawang.
Menurut Harkristuti Harkrisnowo (2003), pengaturan tentang perdagangan orang dalam perundang-undangan Indonesia yang ada, dinilai sangat kurang memadai dikaitkan dengan luasnya pengertian tentang perdagangan orang sehingga tidak dapat digunakan untuk menjaring semua perbuatan dalam batasan yang berlaku sekarang. Menurutnya, ada beberapa pasal dalam KUHP yang dapat digunakan untuk menjaring sebagian perbuatan perdagangan orang walaupun tak lepas dari berbagai kelemahan.
Pelaku perdagangan orang (trafficker) tidak saja melibatkan organisasi kejahatan lintas batas tetapi juga melibatkan lembaga, perseorangan dan bahkan tokoh masyarakat yang seringkali tidak menyadari keterlibatannya dalam kegiatan perdagangan orang (Rosenberg, 2003):
1. Perusahaan perekrut tenaga kerja dengan jaringan agen/calo-calonya di daerah adalah trafficker manakala mereka memfasilitasi pemalsuan KTP dan paspor serta secara ilegal menyekap calon pekerja migran di penampungan, dan menempatkan mereka dalam pekerjaan yang berbeda atau secara paksa memasukkannya ke industri seks.
2. Agen atau calo-calo bisa orang luar tetapi bisa juga seorang tetangga, teman, atau bahkan kepala desa, yang dianggap trafficker manakala dalam perekrutan mereka menggunakan kebohongan, penipuan, atau pemalsuan dokumen.
3. Aparat pemerintah adalah trafficker manakala terlibat dalam pemalsuan dokumen, membiarkan terjadinya pelanggaran dan memfasilitasi penyeberangan melintasi perbatasan secara ilegal.
4. Pemilik atau pengelola rumah bordil, berdasar Pasal 289, 296, dan 506 KUHP, dapat dianggap melanggar hukum terlebih jika mereka memaksa perempuan bekerja di luar kemauannya, menjeratnya dalam libatan utang, menyekap dan membatasi kebebasannya bergerak, tidak membayar gajinya, atau merekrut dan mempekerjakan anak (di bawah 18 tahun).
Penindakan hukum kepada trafficker, sesuai dengan kewenangannya diselenggarakan oleh yang berwajib (Kepolisian, Kejaksaan dan Pengadilan), akan tetapi mengingat perdagangan orang merupakan tindak kejahatan yang beroperasi diam-diam, kepada masyarakat umum, lembaga kemasyarakatan dan LSM, disosialisasikan agar ikut berpartisipasi aktif dalam mengungkap kejahatan ini dengan cara memberikan informasi kepada yang berwenang jika melihat, menyaksikan atau mengindikasi adanya kegiatan perdagangan orang atau hal-hal yang dapat diduga menjurus kepada terjadinya kejahatan itu. Dalam kasus ini sebetulnya dari korban sendiri sudah melaporkan kepada pihak yang berwajib, namun sekali lagi sepertinya tabir perdagangan perempuan yang dalam hal ini sudah bersifat transnasional sepertinya sangat sulit ditembus oleh hukum.
Berdasarkan kenyaataan tersebut diatas, maka sebagai bagian dari transnational organized crime, perdagangan orang tidak dapat diperangi secara partial atau secara sendiri-sendiri oleh masing-masing negara. Negara yang anti perbudakan dan berniat melindungi kehidupan warganegaranya harus bersatu padu bekerjasama memerangi perdagangan orang. Kerjasama antar Pemerintah (G-to-G) antar LSM, organisasi masyarakat dan perseorangan dalam dan luar negeri harus dibina dan dikembangkan sehingga terbentuk kekuatan yang mampu memberantas kejahatan teroganisir tersebut.
--------------
namun sebelum membahas mengenai perdagangan orang yang akan dipaparkan sebagai berikut:
A. Pengertian Perdagangan Manusia
Dimasa lalu perdagangan dipandang sebagai pemindahan perempuan secara paksa ke luar negeri untuk tujuan prostitusi. Namun kemudian perdagangan didefinisikan sebagai perpindahan manusia, dengan atau tanpa persetujuan orang yang bersangkutan, didalam suatu negara atau ke luar negeri untuk semua bentuk perburuhan yang eksploitatif, tidak hanya prostitusi dan perbudakan yang berkedok pernikahan sehingga memperluas definisi itu untuk mencakup lebih banyak isu dan jenis kekerasan . Dengan menyoroti perubahan-perubahan konseptual ini, kita akan mempunyai pengertian yang lebih baik tentang bagaimana hal ini mempengaruhi pemahaman kita tentang perdagang manusia di Indonesia, sehingga sampai pada pemahaman bahwa yang termasuk unsur-unsur kejahatan perdagangan orang adalah adanya suatu proses, cara, dan tujuan yang untuk kemudian akan diatur lebih jelas dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku .
Dalam Pasal 1 UU No. 21 Tahun 2007 memuat tentang pengertian perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibtkan orang lain tereksploitasi. Pengertian yang diberikan oleh UU tentang pemberantasan tindak pidana perdagangan orang ini perumusannya hampir sama dengan yang diatur dalam Pasal 3 protokol, tambahan terhadap konvensi PBB melawan kejahatan terorganisir transnasional tahun 2000. Perumusan yang terdapat dalam Pasal 3 protokol tersebut dijadikan pedoman dalam penyelesaian kasus tindak pidana perdagangan orang sesuai dengan Surat Edaran/ Instruksi JAMPIDUM No. B-185/E/Ejp/03/2005).
Perdagangan orang berbeda dengan penyeludupan orang (people smuggling). Penyelundupan orang lebih menekankan pada pengiriman orang secara illegal dari suatu negara ke negara lain yang menghasilkan keuntungan bagi penyelundup, dalam arti tidak terkandung adanya eksploitasi terhadapnya. Mungkin saja terjadi timbul korban dalam penyelundupan orang, tetapi itu lebih merupakan resiko dari kegiatan yang dilakukan dan bukan merupakan sesuatu yang telah diniatkan sebelumnya. Sementara kalau perdagangan orang dari sejak awal sudah mempunyai tujuan yaitu orang yang dikirim merupakan obyek ekploitasi. Penipuan dan pemaksaan atau kekerasan merupakan unsur yang esensiil dalam perdagangan orang .
Definisi ini dibutuhkan untuk menentukan apakah suatu kasus lalu lintas manusia merupakan trafiking atau migrasi biasa. Definisi dari protokol PBB yang luas ini setidaknya menyediakan perangkat hukum internasional (yang diadopsi ke dalam hukum nasional) untuk menjaring kejahatan perdagangan manusia yang selama ini tidak mudah dijerat oleh hukum yang ada. Dalam hukum Indonesia sendiri jika korban menerima dengan sukarela peristiwa trafiking itu (korban tahu dan menyadari bahwa ia diperdagangkan) tidak bisa ditindak secara hukum. Selama ini yang bisa ditindak adalah perekrutan paksa, yakni korban dibujuk atau dipaksa, disekap, untuk melakukan pekerjaan tertentu yang tidak sesuai dengan janjinya .
B. Sejarah Perdagangan Perempuan Indonesia Ke Malaysia
Kasus-kasus perdagangan perempuan Indonesia, baik yang terjadi di dalam maupun luar negeri sebenarnya bukanlah fenomena baru. Praktik perdagangan perempuan Indonesia bukan merupakan fenomena sosial kontemporer yang muncul pada periode atau kurun waktu tahun-tahun belakangan. Melainkan, praktik perdagangan perempuan Indonesia adalah sebuah realitas historis. Praktik perdagangan perempuan Indonesia ke luar negeri memiliki kisah sejarah yang cukup panjang. Dari segi waktu, praktik-praktik perdagangan semacam ini sudah berlangsung sejak lama. Secara historis, kisah-kisah perempuan Indonesia yang dijadikan sebagai komoditas perdagangan dapat dilacak dan ditelusuri hingga kurun waktu yang relatif jauh ke belakang.
Merujuk kepada sejumlah dokumen berupa nota jual beli manusia yang terdapat di dalam koleksi India Office Records seri R/9 yang mengungkap mengenai kondisi jual beli manusia di bandar Malaka, Malaysia, menunjukkan bahwa perempuan-perempuan Indonesia yang diperdagangkan pada saat itu disebut sebagai budak atau hamba perempuan. Selama kurun waktu pergantian abad, dari abad ke-18 ke abad ke-19, cukup banyak perempuan-perempuan Indonesia yang berasal dari berbagai daerah dan etnis, muncul di dalam berkas-berkas transaksi perdagangan budak
Ilustrasi berikut ini adalah salinan tiga lembar nota jual beli budak perempuan seperti dimaksud, akan ditunjukkan guna mewakili nota-nota jual beli budak perempuan di bandar Malaka. Nota-nota ini hendak diperlihatkan sebagai bukti adanya realitas transaksi perdagangan perempuan Indonesia ke Malaysia pada masa lalu. Peristiwa-peristiwa yang terungkap dalam tiga lembar nota berlangsung dalam kurun waktu dasawarsa terakhir kekuasaan kompeni Belanda di Malaka. Semua nota tersebut aslinya tertulis dalam bahasa Belanda.
Pada tanggal 18 Desember 1786, setidaknya tercatat 3 kali transaksi jual beli budak perempuan Indonesia di Malaka. Salah satu di antaranya tertulis dalam sebuah salinan nota seperti di bawah ini:
Salinan nota 1:
“Den Chinees Tjap Kie, vormaglig alhier heeft zijn aangebragte slavin gent Tjoe Lij/ casta Batta/ verkogt aan den Chinees Tan Houw inw alhier voor Eene Summa van 40 Reallen en heeft de geregtig heeden voldaan
Malacca, Den 18 December 1786
Gezien: Ontfangen
R.B. Hoynck van Papendrecht”
Salinan nota 1 di atas pada intinya menyatakan bahwa pada tanggal 18 Desember 1786 seorang Cina bernama Tjap Kie membawa budak perempuan berasal dari Batak, bernama Tjoe Lij, lalu menjualnya kepada Tan Houw seharga 40 Real. Selanjutnya, pada awal tahun 1787 kembali terjadi transaksi jual beli budak perempuan Indonesia. Transaksi ini berlangsung pada tanggal 20 Februari 1787. Dalam sebuah nota yang dikeluarkan pada tanggal tersebut, seorang budak perempuan Indonesia, juga berasal dari Batak bernama Pantoon dijual seharga 45 Real. Dalam transaksi dinyatakan bahwa Pantoon dijual oleh orang Melayu bernama Karim. Isi lengkap salinan nota yang menerangkan jual beli budak perempuan tersebut tertera seperti di bawah ini:
Salinan nota 2:
Den Malaijer Karim, vormaglig tot Batoebara, heeft zijne aangebragte slavin genaamt Pantoon, casta Batta, verkogt ann den assistant in Dienst den Compagnie alhier G.D. Dieterich, Van eene summa Van 45 Reaalen en heeft de geregtig heeden voldaan.
Malacca den 20 Februarij 1787
Gezien Ontfangen
R.B. Hoynck van Papendrecht”
Selain budak-budak perempuan Indonesia yang berasal dari Batak, budak perempuan asal Melayu juga muncul dalam transaksi jual beli budak perempuan di Malaka seperti yang diperlihatkan oleh sebuah nota jual beli budak perempuan yang dikeluarkan pada tanggal 26 Agustus 1786 di bawah ini:
Salinan nota 3:
Den Malaijer Dahoel inw. tot Siak heeft zijne aangebragte slavin gent Poejoe/ casta Malaijer/ verkogt aan......
Salah satu contoh salinan nota jual beli budak perempuan pada masa kekuasaan Inggris di Malaka dalam tahun 1798 tertulis seperti di bawah ini:
Salinan nota 4:
Malacca 13th November 1798
This is to certify that Naqueda Kahoel/a Malay/ has sold to Anna Nonnis/ a ... woman/ a Batta slave girl named Sismina for the sum of 38 Spanish Dollars. I do hereby certify that the said Anna Nonnis has paid the above sum to Noaqueda Kahoel and that the said Naqueda Kahoel has paid the usual Duty of the Custom House.
Cap pada selembar nota jual beli budak perempuan di Malaka
Sumber: R/9/22/2 f. 235
Sejak akhir abad ke-18, perempuan-perempuan Indonesia yang pada saat itu masih disebut sebagai budak, sudah banyak yang diperdagangkan ke Malaysia. Perdagangan perempuan saat itu telah menembus batas-batas geografis wilayah politik kawasan regional yang sekarang telah menjadi dua negara, yakni Indonesia dan Malaysia. Transaksi perdagangan perempuan Indonesia ke Malaysia pada akhir abad ke-18 berlangsung secara legal dan terang-terangan. Perempuan-perempuan adalah komoditas dan mereka dijual seperti layaknya barang. Sebagai komoditas, perempuan-perempuan yang diperdagangkan memiliki nilai jual dengan rentang harga tertentu dan dibayar secara tunai dengan menggunakan mata uang Real dan Dolar Spanyol.
C. Faktor Pendorong Perdagangan Perempuan
Banyak faktor yang mendorong terjadinya perdagangan manusia khususnya perempuan, misalnya letak geografis Indonesia yang memungkinkan setiap orang untuk keluar dan masuk Indonesia melalui berbagai pintu baik secara legal maupun ilegal. Disatu sisi letak Indonesia yang berada diantara dua benua dan dua samudra serta berupa negara kepulauan, menjadikan Indonesia sebagai negara yang strategis sebagai jalur perdagangan. Namun, saat ini dimana transportasi telah semakin maju posisi Indonesia tersebut tidak lagi terlalu berpengaruh terhadap jalur perdagangan, tetapi kenyataannya masih ada sektor perdagangan yang tetap merasa diuntungkan dengan letak geografis Indonesia tersebut, yaitu sektor perdagangan manusia. Terlebih Indonesia dan Malaysia yang bertetangga dekat semakin memungkinkan terjadinya ditribusi perempuan secara mudah dan nyata, baik lewat jalur laut maupun darat.
Hal yang juga tidak dapat dipungkiri adalah masih banyaknya penduduk Indonesia yang berada dibawah garis kemiskinan, sehingga tiada pilihan bagi mereka selain menerima begitu saja tawaran dari orang yang tidak bertanggungjawab demi sejumlah uang yang sebetulnya tidak seberapa. Kemiskinan ini timbul sebagai akibat dari banyaknya pengangguran, yang mana apabila ditelusuri lebih lagi akan sampai pada faktor dasar yaitu pendidikan yang sangat kurang. Dengan tingkat pendidikan yang minim tersebut mengakibatkan mereka mudah terbujuk para pelaku perdagangan perempuan tanpa menyadari konsekuensi dari keputusan mereka untuk mempercayai para pelaku tersebut. Berdasarkan hal inilah sebetulnya yang menyebabkan Perdagangan manusia bagaikan fenomena gunung es mengingat para korban umumnya merasa bukan menjadi korban kejahatan ini.
Posisi perempuan di Indonesia bisa dibilang masih lemah sebagai akibat dari kultur dan struktur Patriarkhi dalam masyarakat khususnya masyarakat yang masih ada di daerah. Dalam struktur masyarakat yang patriarkhi posisi laki-laki lebih kuat karena dianggap membawa nama keluarga. Oleh karena masih kuatnya kultur patriarkhi ini khususnya pada masyarakat di daerah, maka perempuan seolah-olah tidak mempunyai hak suara untuk menentukan jalan hidupnya sendiri. Hal inilah salah satu pendorong perdagangan perempuan khususnya dari daerah-daerah yang tingkat pendidikannya kurang dan masih memegang kuat buadaya patriarkhi ini.
Selain beberapa faktor yang telah disebutkan diatas ada beberapa faktor lain ang menyebabkan sulitnya penegakkan hukum atas tindak pidana perdaganga manusia, yaitu lemahnya komitmen dan kebijakan negara untuk mencegah dan menanggulangi masalah ini. Hal ini diperparah lagi dengan banyaknya praktek kolusi antara jaringan pelaku perdagangan perempuan, pemilik industri prostitusi dengan aparat negara termasuk aparat keamanan.
D. Instrumen Hukum Perdagangan Perempuan
Saat ini sudah banyak instrumen hukum yang mengatur masalah perdagangan perempuan baik itu instrumen hukum nasional maupun internasional. Hal ini sebeetulnya merupakan hal yang wajar karena tindak pidana perdagangan orang merupakan suatu tindak pidana yang melanggar hak asasi manusia dan sudah bersifat transnasional. Menghadapi kejahatan internasional yang terorganisir dengan sumberdaya yang besar dan sanggup membiayai pengadaan dan operasionalisasi peralatan yang canggih untuk menunjang kegiatan jaringannya, maka Pemerintah dalam mengimplementasikan Rencana Aksi Nasional Penghapusan Perdagangan Perempuan dan Anak (Keppres No. 88 Tahun 2002) juga menempuh strategi penyatuan unsur-unsur penangkal dalam satu jejaring kerja yang kenyal sehingga jaringan tersebut mempunyai kekuatan untuk menghambat dan memberantas transnational organized crime perdagangan orang.
Saat ini telah ada UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang mana dalam Bab V dan VI telah mengatur tentang perlindungan saksi dan korban perdagangan orang serta pencegahan dan penahanannya. Dengan telah diundangkannya UU ini diharapkan penegakkan hukum dan penanganan perdagangan orang khususnya perempuan dapat lebih tegas lagi demi memberikan perlindungan dan penegakkan keadilan di Indonesia.
Selain dari peraturan tersebut diatas tindak pidana perdagangan orang juga banyak diatur dalam peraturan perundang-undangan lain, misalnya Pasal 3, 4, dan 20 UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM; Pasal 297 KUHP; Pasal 525-541 RKUHP 2004; Pasal 9c UU NO. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM; Pasal 80 ayat 3 UU No. 23 Tahun 1999 tentang Kesehatan; Pasal 2 UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang.
Selain itu juga terdapat instrumen hukum internasional yang mengatur perdagangan perempuan, misalnya Pasal 3 Protokol Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk mencegah, memberantas, dan menghukum perdagangan manusia, khususnya perempuan dan anak, suplemen konvensi perserikatan bangsa-bangsa untuk melawan kejahatan lintas batas. Pengaturan dalam protokol PBB ini amat penting karena meliputi proses perekrutan dan pengiriman yang menentukan bagi perdagangan maupun kondisi eksploitatif terhadap korban .
E. Upaya Penanggulangan Perdagangan Perempuan
Budaya patriarki yang masih banyak dianut di masyarakat Indonesia, seringkali “memposisikan” perempuan pada status subordinat, seperti terlihat jika terdapat keterbatasan sumber daya dalam keluarga, maka adik laki-laki yang tetap meneruskan sekolah sedang kakak perempuannya diminta untuk bekerja membantu pekerjaan di rumah dengan argumen bahwa mereka toh nantinya jika menikah juga akan bekerja di dapur. Perubahan sosial-budaya masyarakat memerlukan waktu yang sangat lama bahkan mungkin dalam ukuran generasi sehingga upaya yang berkaitan dengan perubahan sosial-budaya diupayakan melalui pembinaan yang terus-menerus.
Ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender seperti itu ditanggulangi melalui implementasi Ketidaksetaraan dan ketidakadilan gender seperti itu ditanggulangi melalui implementasi Instruksi Presiden RI No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan yang menginstruksikan agar setiap instansi pemerintah mengintegrasikan program pemberdayaan perempuan ke dalam program, sektor dan daerah masingmasing.
Salah satu faktor yang mendorong perdagangan manusia khususnya perempuan adalah faktor kemiskinan. Upaya penanggulangan kemiskinan merupakan salah satu prioritas pembangunan nasional Bangsa Indonesia sebagaimana termuat dalam (Draft) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2005-2009. Selama kurun waktu 5 tahun, jumlah penduduk miskin diharapkan dapat berkurang menjadi 8,2 % pada tahun 2009 serta terciptanya lapangan kerja yang mampu mengurangi pengangguran terbuka menjadi 5,1 % pada tahun 2009 dengan didukung oleh stabilitas ekonomi yang tetap terjaga. Kebijakan penanggulangan kemiskinan diarahkan untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin, meliputi: kecukupan pangan yang bermutu dan terjangkau; pelayanan kesehatan yang bermutu; pelayanan pendidikan dasar yang bermutu dan merata; terbukanya kesempatan kerja dan berusaha; terpenuhinya kebutuhan perumahan dan sanitasi yang layak dan sehat; terpenuhinya kebutuhan air bersih dan aman; terjamin dan terlindunginya hak perorangan dan hak komunal atas tanah; terbukanya akses terhadap pemanfaatan sumber daya alam dan terjaganya lingkungan hidup; terjaminnya rasa aman dari tindak kekerasan; serta meningkatnya partisipasi dalam perumusan kebijakan publik.
Masalah mutu pendidikan dan kurangnya pendidikan bagi perempuan dan anak yang beresiko menjadi korban perdagangan orang, akan ditanggulangi melalui percepatan penuntasan Wajib Belajar 9 Tahun, pendidikan keaksaraan fungsional dengan perluasan akses bagi perempuan; pendidikan non formal yang bermutu untuk masyarakat buta aksara, putus sekolah, dan lainnya; memberikan akses yang lebih besar kepada masyarakat miskin, perdesaan, terpencil dan masyarakat di daerah konflik; dan mengembangkan model pembelajaran untuk program pendidikan luar sekolah (Kelompok Belajar Paket A, B dan C, pendidikan keluarga, Kelompok Belajar Usaha, Program Keaksaraan Fungsional serta Diklat life-skill seperti PRT Plus) yang berorientasi pada peningkatan keterampilan dan kemampuan kewirausahaan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat; meningkatkan penguasaan keterampilan dasar dan keterampilan pengelolaan usaha di bidang jasa dan produksi; dan meningkatkan kualitas lembaga pendidikan baik yang diselenggarakan oleh masyarakat maupun pemerintah.
sungguh seorang pengacara yang berbakat. darah batak yang mengalir dalam dirinya semakin memantapkan langkahnya dalam membela kaum yang terpinggirkan.
BalasHapusayo Raja Saor wujudkan keadilan hukum di Indonesia
thanks
BalasHapus