Hukum Tata Negara dan Hukum Pidana
-------------------------------------------------
MK Tolak Permohonan Uji Materiil Pasal KUHP
Hukum Tata Negara dan Hukum Pidana
-------------------------------------------------
Liputan6.com, Jakarta: Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materiil beberapa pasal Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang diajukan dua wartawan, Bersihar Lubis (Koran Tempo) dan Risang Bima Wijaya (Radar Yogya). Penolakan itu disampaikan pimpinan majelis hakim Harjono, di Gedung MK, Jakarta, Jumat (15/8).
Dalam permohonan uji materiilnya, pemohon meminta MK untuk menyatakan beberapa pasal KUHP bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28E dan Pasal 28 UUD 1945, dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pasal-pasal yang dimaksud adalah Pasal 310 ayat (1) KUHP sepanjang anak kalimat "pidana penjara paling lama sembilan bulan atau", dan Pasal 310 ayat (2) sepanjang anak kalimat "pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau". Pasal 311 ayat (1) sepanjang anak kalimat "dengan pidana penjara paling lama empat tahun, Pasal 316, dan Pasal 207 KUHP beserta penjelasannya,
Majelis hakim konstitusi berpendapat, jika yang dimaksud oleh pemohon pasal-pasal itu meniadakan atau menghilangkan hak kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani, anggapan demikian tidaklah benar. Majelis hakim menambahkan, konstitusi menjamin hak-hak tersebut dan karena itu negara wajib melindunginya.
Karena adanya kewajiban untuk melindungi hak konstitusional itulah menurut majelis, negara dibenarkan membatasi kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani, hak untuk mengeluarkan pendapat, dan bebas berkomunikasi.(ADO/ANTARA)
Hukum Tata Negara dan Hukum Pidana
PEMIMPIN Umum Harian Radar Yogya Risang Bima Wijaya, dan kolumnis Bersihar Lubis mengajukan permohonan uji materi Pasal 310, 311, 316 dan Pasal 207 KUHP tentang fitnah, penghinaan, dan pencemaran nama baik dengan lisan atau tulisan.
"Pasal-pasal tersebut tidak sesuai dengan konstitusi, terutama pasal 28E ayat (2) dan (3), serta 28F. Sehingga masyarakat Indonesia, khususnya wartawan tidak mudah dipidana karena melakukan hak dan atau kewenangan konstitusional yang telah dijamin dalam UUD 1945 berikut perubahan-perubahannya," ujar Hendrayana, SH, selaku kuasa hukum kedua pemohon usai mendaftarkan permohonanya di Mahkamah Konstitusi (MK), kemarin (7/5).
Menurut Direktur Eksekutif LBH Pers itu, ancaman pidana penjara terhadap wartawan yang masih banyak bertebaran di dalam KUHP telah menebar ketakutan dan meningkatkan sensor diri dalam diri para pemohon. Sesuatu hal yang sebenarnya akan merugikan kepentingan masyarakat secara luas di masa depan.
Adapun niatan untuk mengajukan uji materi oleh Bersihar adalah ketika dirinya divonis satu bulan penjara dengan masa percobaan tiga bulan, karena menulis opini yang berjudul "Kisah Interogator yang Dungu". Opini tersebut dimuat di Koran Tempo edisi 17 Maret 2007 yang mengkritik penarikan buku sejarah oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
Sedangkan Risang Bima Wijaya, terpaksa dihukum penjara selama enam bulan, setelah Mahkamah Agung (MA) menolak permohonan kasasinya. Penolakan kasasi itu terkait pencemaran nama baik terhadap Dirut PT BP Kedaulatan Rakyat, Dr H Soemadi M Wonohito.
Khusus untuk Bersihar, Hendrayana menjelaskan, dikenai Pasal 207 KUHP. Dan Risang dikenakan tiga pasal yakni 310, 316, 311 KUHP hingga harus dipenjara.
"Para pemohon meminta agar sepanjang anak kalimat pidana penjara untuk dinyatakan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," ungkap Anggara Koordinator Tim Pembela LBH Pers yang menampingi pemohon dan Hendrayana saat pendaftaran. Anggara juga menjelaskan pihaknya tidak ikut menghilangkan kekuatan hukum pidana denda karena nominalnya kecil. "Masa Anda tidak mampu membayar seribu perak."
Baik kuasa hukum dan pemohon pun sepakat, bahwa pasal 207 KUHP mengenai pencemaran nama baik, harus mengikuti putusan MK mengenai pasal penghinaan presiden yang tertuang dalam 134,136,137 KUHP. Dan mulai kemarin, pengajuan permohonan uji materi telah terdaftar dengan No.195/PAN/MK/V/2008. (Siagian Priska Cesillia)
Hukum Tata Negara dan Hukum Pidana
-------------------------------------------------
Sumber www.jurnalnasional.com
Foto www.google.co.id
Hukum Tata Negara dan Hukum Pidana
-------------------------------------------------
Tak dapat disangkal, era keterbukaan informasi memberi dukungan besar terhadap kebebasan pers. Rangkaian peraturan seperti UU Pers dan UU Keterbukaan Informasi Publik menjadi legitimasi gerakan para wartawan dalam mencari berita. Situasi yang kondusif ini tentu patut dipertahankan dengan berbagai cara, terutama dengan meminimalisir atau bahkan menghilangkan berbagai ancaman represif terhadap pers.
Pasal 310 ayat (1) dan (2) KUHP adalah salah satu ancaman itu. Kalangan pers kerap kali menganggap dua ketentuan tersebut sebagai “jebakan” yang dapat mengubah berita menjadi bencana. Ancaman pidananya memang relatif ringan, maksimal hanya 16 bulan penjara dan denda Rp4500. Uniknya, Pasal 310 tidak hanya memuat ancaman tetapi juga “celah” untuk lolos dari jerat pidana. Ayat (3) menyatakan “Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis jika perbuatan jelas dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk membela diri”.
Keberadaan Pasal 310 ayat (3) inilah yang menjadi pusat pembahasan disertasi doktoral Amir Syamsuddin. Disertasi berjudul “Tinjauan Yuridis Unsur Kepentingan Umum Menurut Pasal 310 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) di Indonesia sebagai Alasan Penghapus Pidana (Strafuitsluitingsgrond)” dipresentasikan Amir di kampus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Senin lalu (21/7).
Sehari setelah promosi doktoralnya (22/7), hukumonline berkesempatan mewawancara Amir bertempat di kantornya di bilangan Sudirman Jakarta. Secara mendalam, advokat yang terbilang sudah senior ini mengupas pandangannya mengenai kepentingan umum sebagai dasar penghapus pidana. Berikut kutipannya:
Hukum Tata Negara dan Hukum Pidana
-------------------------------------------------
Bisa dijelaskan, mengapa tema disertasi yang diangkat adalah Pasal 310 ayat (3) KUHP?
Sementara, kalangan pers selalu beretorika bahwa KUHP itu mengkriminalisasi karya jurnalistik, saya muncul dengan satu artikel. Mungkin setahun atau dua tahun lalu, di situ saya katakan KUHP kita itu berpihak kepada pers. Kan muncul pertanyaan tiba-tiba, kok aneh ya? Ternyata tidak disadari, bahwa yang sebetulnya yang saya maksudkan adalah ketentuan pasal 310 ayat (3) KUHP itu. Dimana kepentingan umum itu bisa menjadi alasan penghapus pidana. Jadi unsur 310 ayat (1) dan ayat (2) tidak dapat dapat dipidana karena ketentuan Pasal 310 ayat (3) sebagai alasan penghapus pidana.
Masalahnya, kepentingan umum seperti apa? Kriteria kepentingan umum seperti apa? Sementara ketentuan KUHP sudah berlaku begitu lama. Kalau mau ditelusuri lagi sejarahnya, itu merupakan warisan Code Penal Perancis. Kok ada unsur kepentingan umum sebagai dasar penghapus pidana yang bisa membebaskan orang?
Sebetulnya 310 ayat (3) itu tidak mengatur masalah pers. Pasal 310 ayat (2) juga tidak, karena mengatur tindak pidana pada umumnya dengan cara publikasi. Pasal 310 ayat (1) kan mengatur pencemaran nama baik. Kemudian ayat (2)-nya mengatur secara tertulis. Yang mungkin terkena adalah kegiatan-kegiatan yang melakukan publikasi. Itulah antara lain, pers. Jadi keliru bila orang menafsirkan, bahwa ayat 310 ayat (2) dan (3) itu mengatur delik pers. Itu keliru. Kebetulan sekali bahwa pers melakukan kegiatan publikasi itu. Jadi sebenarnya ketentuan itu untuk setiap orang pada umumnya. Namun publikasi itu kan selalu dikaitkan dengan pers.
Sekarang, kenapa kasus pers yang terjadi di negara kita itu tidak pernah membahas konsep kepentingan umum secara mendalam? Bahkan di MK sedang diuji Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP. Saya tidak jelas apa tujuannya menguji. Apa untuk supaya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat?
Hukum Tata Negara dan Hukum Pidana
-------------------------------------------------
Pada kenyataannya, bukankah memang ada sebagian kalangan yang menganggap Pasal 310 dan 311 KUHP adalah pasal momok?
Itu keliru. Disertasi saya untuk meluruskan hal itu. Kalau Pasal 310 dan 311 KUHP dihapuskan, apa akan muncul kekosongan hukum? Delik pencemaran dan fitnah jadi tidak ada yang mengatur. Saya tidak mengerti apa supaya masyarakat pers tidak terikat pada Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP karena sudah ada ketentuan UU No. 40/1999 (tentang Pers)? Kalau jawabannya iya, maka itu saya anggap keliru.
Sekarang kita masuk ke UU Pers, ya. Pasal yang diatur pemidanaannya adalah Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 5 ayat (1) dan (2). Pasal 4 itu kan mengatur mengenai censorship bagi kalangan pers. Pasal 5 ayat (1) kalau tidak salah bunyinya pers nasional dalam memberitakan berita atau opini berkewajiban menghormati norma-norma agama, kesusilaan, dan asas praduga tidak bersalah. Pasal 5 ayat (2) adalah pers wajib melayani hak jawab. Nah, kita memasuki ketentuan pidana di Pasal 18. Subjek di Pasal 5 kan pers nasional. Tapi di Pasal 18, subjeknya adalah perusahaan pers. Sekarang dimana kedudukan seorang jurnalis kalau dia melakukan kesalahan? Di Pasal 5 pun pers nasional, tetap lembaganya. Jadi bagaimana bisa muncul satu kesimpulan bahwa UU Pers mengesampingkan ketentuan KUHP Pasal 310? Karena yang diatur adalah satu hal yang berbeda. Pasal 310 mengatur pencemaran nama baik, sementara UU Pers mengatur pidana administrasi.
Hukum Tata Negara dan Hukum Pidana
-------------------------------------------------
Jadi, ini sebenarnya dua hal yang berbeda, tapi orang suka mengaturnya menjadi satu?
Boleh saja diatur menjadi satu, tapi jangan sekali-sekali menerjemahkan bahwa Pasal 310 itu adalah delik pers. Mencemarkan nama orang bisa dilakukan setiap orang. Pers bisa terkait dengan Pasal 310 karena ada unsur tertulis. Tapi jangan lupa diberikan perlindungan kepada pers terhadap apa yang ditulis. Walaupun seluruh unsur terbukti, seperti dengan sengaja, mencemarkan nama baik orang, melanggar kehormatan orang, dengan cara tertulis. Tapi lihat Pasal 310 ayat (3) ada unsur penghapus pidana. Untuk kepentingan umum, tidak bisa dipidana.
Pasal 310 memang tidak masuk ke sistematika kelompok dasar-dasar penghapus pidana dalam doktrin pidana umum. Kepentingan umum tidak bisa diartikan sembarangan. Harus dilihat secara kontekstual, peristiwanya bagaimana sehingga bisa dianggap kepentingan umum. Misalnya dalam pemberitaan yang terkait dengan terorisme kan berkaitan dengan kepentingan umum. Apabila yang diberitakan kemudian tidak terbukti terlibat terorisme dan mengajukan gugatan perdata, dalam Pasal 1376 KUHPer juga diatur kalau untuk kepentingan umum tidak bisa digugat. Kalau pers terlalu takut digugat, fungsi pers sebagai penyalur informasi tidak berjalan.
Hukum Tata Negara dan Hukum Pidana
-------------------------------------------------
Jadi, apa latarbelakang pers terkesan takut digugat?
Saya kira karena ini UU (Pers) yang pasalnya sulit diterapkan, barangkali. Istilahnya mungkin tidak operasional. Kenyataannya seperti itu. Lebih baik kita bicara soal kepentingan umum lagi. Kembali ke kepentingan umum. Untuk memperjelas kepentingan umum ini, saya coba memberi patokan atau batasan. Patokannya, mula-mula saya menggunakan patokan keterlibatan publik. Dimulai dengan pertanyaan, atau suatu pernyataan, bahwa segala hal atau keadaan yang potensial merugikan publik. Itu patokan keterlibatan publik.
Kemudian saya masuk ke kriterianya, kepentingan publik adalah kegiatan yang berkaitan dengan sarana atau prasarana untuk tujuan publik dan/atau kegunaan publik. Contohnya, membangun sarana gedung pengadilan, kepentingan publiknya adalah apakah memenuhi aturan pengadaan barang, tidak adanya permainan informasi. Prasarananya, misalnya pembangunan jalan. Lalu kita masuk dalam kegiatan, tentu berkaitan dengan manusianya. Misalnya mutasi hakimnya, itu tentu menjadi pengamatan untuk kepentingan umum. Kemudian produknya, jangan sampai pengadilan disebut kuburan bagi pers atau kasus-kasus korupsi. Dan juga putusan-putusannya. Selalu ada dimensi kepentingan umum disana. Kalau pers menyadari kriteria itu, tidak ada alasan bagi pers untuk merasa kecut.
Pers punya senjata lagi satu selain kriteria tadi, yaitu kode etik jurnalis. Seperti cover bothsides dan profesionalisme. Terakhir, nuraninya. Apa keuntungannya masyarakat saya beritakan informasi ini, dia akan pertanyakan pada nuraninya. Simpel kan? Itu yang coba saya rangkum dalam disertasi saya. Saya harap masih ada peneliti-peneliti selanjutnya. Penelitian ini, tentang kepentingan umum ini, diakui di FHUI belum ada. Satu lagi hal, sebenarnya kalau pers ingin mengangkat hak dan kebebasannya, tentunya harus mempertimbangkan kewajibannya. Jangan mengorbankan orang lain.
Kebebasan pers itu bukan urusan pers sendiri, itu kepentingan semua orang. Diskusi yang eksklusif tidak akan berhasil, terutama bila tidak melalui diskursus ilmiah. Karena kalau melalui diskursus ilmiah akan dapat mempengaruhi pengambil keputusan di DPR. Percuma kita menggalang ide kalau tidak menjadi produk politik. Saya tidak melihat masyarakat pers berhasil memasukkan kepentingan mereka dalam UU ITE. Retorika pers sangat kuat. Tapi kalau anda sudah melukai anda melalui pemberitaan, apa anda mengharapkan anda dibalas melalui pemberitaan juga. Harus ada aturan yang tertib dalam melaksanakan hak dan kewajiban saya. Jurnalis yang professional tidak akan begitu. Namun itu masih utopis sekali. Kendala eksternalnya adalah belum ada penguasaan yang baku dari aparat hukum mengenai kepentingan umum itu sendiri. Meskipun banyak kasus pers, tapi belum ada putusan yang dapat menjadi tonggak yang cukup bagus yang mengulas konsep kepentingan umum. Belum ada yang sampai mendalam.
Hukum Tata Negara dan Hukum Pidana
-------------------------------------------------
Mengapa anda begitu tertarik membahas seluk-beluk dunia pers?
Saya pernah menjadi pengacara untuk TEMPO, SRIWIJAYA POST, dan KOMPAS terkait dengan delik pers. Saya menjadi luas wawasannya mengenai pers dengan mendengarkan keterangan para ahli. Ahli-ahli yang dihadirkan memang tokoh-tokoh pers. Karena saya menyusun disertasi, saya coba menggali dari berbagai peraturan perundang-undangan. Termasuk fungsi sosial dari hukum agraria dan pranata sosial. Pranata politik untuk memberikan identitas kepentingan publik yang berjangka panjang. Dari situ saya masuk ke intinya. Misalnya tujuan daripada negara adalah menyelenggarakan kepentingan umum. Bila gagal menyelenggarakan kepentingan umum, akan muncul fenomena-fenomena gangguan umum dan gangguan terhadap kepentingan sosial. Kenapa saya begitu luas, karena abstrak mengenai kepentingan umum begitu tidak dipahaminya sehingga saya harus menggali dari berbagai segi. Saya juga turun ke pengadilan-pengadilan di Jakarta, Surabaya, dan Medan. Ternyata tidak ada satupun ada kasus yang terkait dengan Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU No. 40/1999 yang maju ke pengadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar