Kata Pengantar
Pertama kali kami sebagai penyusun makalah ini ingin mengucapkan rasa syukur dan terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat yang dilimpahkan olehnya kepada kami selama penyusunan makalah ini hingga makalah yang berjudul “Kajian Perkawinan Beda Agama” ini dapat terselesaikan tepat pada waktunya.
Makalah ini pada dasarnya menjabarkan mengenai tentang konsep dan pengertian dari perkawinan beda agama, segi hukumnya, serta studi kasus yang terjadi di masyarakat. Semua ini disusun berdasarkan teori-teori yang ada dan fakta-fakta yang terjadi di lapangan.
Seperti kata pepatah “Tiada gading yang tak retak”, kami tetap mengakui bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kelemahan. Hal ini mungkin dapat disebabkan oleh keterbatasan sumber dan waktu yang kami punya. Oleh karena itu kami meminta pengertian dari para pembaca sekalian untuk dapat memaklumi segala kekurangan yang ada dalam makalah ini.
Harapan kami adalah agar pembaca puas setelah membaca makalah ini dan dapat memperoleh informasi dan manfaat yang sebesar-besarnya darinya. Akhir kata, kami sebagai penyusun menyampaikan permohonan maaf apabila ada perkataan yang salah di dalam makalah ini. Sekian dan selamat membaca.
Penyusun
Depok, November 2005
BAB I
PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang
Di dalam kondisi masyarakat Indonesia yang beragam, dari segi suku, agama, dan ras, terdapat berbagai macam masalah yang timbul di dalamnya. Seperti misalnya masalah di dalam pembagian harta warisan dalam keluarga, masalah mengenai jenis adat apa yang berlaku dalam suatu aturan keluarga.
Salah satu masalah yang menjadi sorotan dalam konflik-konflik yang timbul dalam masyarakat sekarang ini ialah, dimana sering kita jumpai terjadinya pelangsungan Pernikahan Beda Agama. Kalau kita mau meninjau lebih jauh mengenai
Negara Indonesia merupakan negara dengan wilayah yang luas dan terbentuk dari ribuan pulau dari Sabang sampai Merauke.Dalam wilayah yang luas dan banyak terpisahkan oleh lautan itu, hidup golongan-golongan masyarat yang berbeda latar belakang satu sama lain.Di dalam kondisi masyarakat Indonesia yang beragam tersebut, baik dari segi budaya, suku, ras, agama, kontak antar satu golongan masyarakat satu dengan yang lain sudah tentu tidak dapat dihindarkan. Kontak antar masyarakat yang berbeda latar belakang ini pada kemudian hari menimbulkan adanya suatu fenomena dalam masyarakt yaitu berupa perkawinan campuran.
Salah satu perkawinan campuran yang paling banyak mengundang perdebatan adalah perkawinan campuran antara pasangan yang memiliki agama yang berbeda. Masalahnya, dengan perkawinan beda agama akan terjadi suatu perbedaan prinsipil dalam perkawinan itu sehingga dikhawatirkan akan menimbulkan berbagai masalah yang rumit untuk diselesaikan di kemudian hari. Ole karena itu kemudian hal ini banyak mendapat tentangan dari masyarakat luas, tetapi juga oleh hukum positif di negara kita serta hukum agama yang mereka anut. Walau tidak dapat dipungkiri ada saja pihak yang pro terhadap keberadaan perkawinan beda agama ini.
Islam sendiri sebagai agama yang dianut oleh mayoritas penduduk di Indonesia sebenarnya juga menentang keras mengenai keberadaan perkawinan antar agama di dalam masyarakat Indonesia saat ini. Sangat dilarang bagi umat Islam untuk menikahi pasangan yang non muslim. Larangan ini dapat kita jumpai dalam sumber-sumber hukum Islam yang menyebutkannya secara implisit maupun eksplisit.
Namun ada juga pertentangan dalam Islam sendiri mengenai penafsiran sumber-sumber hukum Islam tersebut yang menyangkut perkawinan beda agama. Ada mazhab yang memberikan sedikit kelonggaran dalam pelaksanaan perkawinan beda agama dengan kondisi-kondisi yang sudah ditentukan sebelumnya. Sementara mazhab yang lain secara tegas menentang segala bentuk perkawinan antara muslim dengan non-muslim.
Dengan adanya berbagai perbedaan pandangan mengenai perkawinan beda agama ini, maka tim penyusun makalah ini tertarik untuk membahas lebih dalam mengenai perkawinan beda agama di Indonesia, terutama dilihat dari perspektif hukum Islam. Hal ini dikarenakan tidak dapat kita pungkiri, sebagian besar masyarakat Indonesia menganut agama Islam sehingga sudah barang tentu hukum Islam diperhitungkan sebagai salah satu sistem hukum yang banyak hidup di tengah masyarakat Indonesia.Dengan begitu hukum Islam dapat menjadi salah satu tolak ukur dalam menilai masalah perkawinan beda agama ini.
I.2. Inti Permasalahan
1.2.1. Apa konsep dan pengertian dari pengertian beda agama?
1.2.2. Apa saja sumber-sumber hukum yang mengatur tentang perkawinan beda agama?
1.2.3. Bagaimana pandangan agama dan masyarakat terhadap perkawinan beda agama?
I.3 Tujuan
1.3.1. Untuk mengerti mengenai konsep dan pengertian dari pengertian beda agama.
1.3.2. Mengetahui sumber-sumber hukum yang mengatur tentang perkawinan beda agama
1.3.3. Mengetahui pandangan agama dan masyarakat terhadap perkawinan beda agama.
BAB II
ISI
II. 1. Konsep dan Pengertian Perkawinan Campuran
Pernikahan beda agama pada dasarnya berarti pernikahan yang dilang-sungkan antar pasangan yang berbeda agama satu sama lain.Pernikahan bernuansa keragaman ini banyak terjadi dan kita jumpai di dalam kehidupan bermasyarakat. Mungkin contoh yang banyak terekspos ke masyarakat luas hanyalah pernikahan atau perkawinan dari pasangan para selebriti kita. Ambillah beberapa contoh dari pasangan suami istri, Nurul Arifin-Mayong; Ira Wibowo-Katon Bagaskara; Dewi Yull-Rae Sahetapy (yang akhirnya Rae menjadi Muslim, tetapi kini telah bercerai dengan Dewi), Nia Zulkarnaen-Ari Siasaleh. Perkawinan yang dilakukan oleh mereka tidak lagi didasarkan pada satu akidah agama, melainkan hanya pada cinta. Seolah cinta semata yang menjadi dasar suatu pernikahan. Masalah agama dalam beberapa argumen pasangan-pasangan seperti itu kira-kira dapat dirumuskan begini, "Agama tidak boleh dibawa-bawa, oleh karena agama adalah urusan pribadi seseorang. Yang terpenting kita saling mencintai apa tidak?"
Berdasarkan hukum munakahat yang diajarkan Islam kepada para penganutnya ialah perkawinan (pernikahan) yang dibenarkan oleh Allah SWT adalah suatu perkawinan yang didasarkan pada satu akidah, di samping cinta dan ketulusan hati dari keduanya. Dengan landasan dan naungan keterpaduan itu, kehidupan suami-istri akan tenteram, penuh rasa cinta dan kasih sayang. Keluarga mereka akan bahagia dan kelak memperoleh keturunan yang sejahtera lahir batin.
Berdasarkan ajaran Islam, deskripsi kehidupan suami-istri di atas akan dapat terwujud bila suami-istri memiliki keyakinan agama yang sama, sebab keduanya berpegang teguh untuk melaksanakan satu ajaran agama, yaitu Islam. Tetapi sebaliknya, jika suami-istri berbeda agama maka akan timbul berbagai kesulitan di lingkungan keluarga, misalnya dalam hal pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan tatakrama makan/minum, pembinaan tradisi keagamaan, dan lain sebagainya.
Islam dengan tegas melarang seorang wanita Islam kawin dengan seorang pria non-Muslim, baik musyrik maupun Ahlulkitab. Dan seorang pria Islam secara pasti dilarang menikahi seorang wanita musyrik. Kedua bentuk perkawinan tersebut mutlak diharamkan. Mengapa? Karena pernikahan yang berlanjut kepada lembaga keluarga bisa menjadi institusi penting dan strategis untuk memindahkan dan menanamkan nilai-nilai agama yang diyakini kebenarannya. Banyaknya kasus murtad atau pemurtadan antara lain melalui perkawinan beda agama. Adapun yang menjadi persoalan sejak zaman sahabat Rasulullah hingga abad modern ini adalah perkawinan antarpria Islam dengan wanita Ahlulkitab atau Kitabiyah. Berdasarkan zahir ayat 221 pada Surat Al-Baqarah/2, menurut pandangan kebanyakan ulama, pernikahan seorang Muslim dengan Kitabiyah diperbolehkan. Namun sebagian ulama mengharamkannya atas dasar sikap musyrik Kitabiyah. Dan masih banyak sekali ulama yang melarang sebab pada akhirnya kelak fitnah atau mafsadat dari bentuk perkawinan tersebut akan sangat mudah sekali muncul.
Untuk memperjelas maksud dari isi serta tujuan akhir beberapa pemikiran yang telah dikemukakan sebelumnya, maka penulis akan melihatnya dari beberapa pandangan ulama mengenai beberapa teks ayat atau hadis Nabi Muhammad saw; Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dan kesimpulan serta saran yang akan diajukan.
Pandangan ulama
Perkawinan adalah urusan muamalah. Sesuai dengan kaidah hukum Islam, hukum asal dari persoalan muamalah adalah mubah (boleh) hingga ditemukan dalil-dalil syar'i yang mengharamkannya (Al-ashl fi al-asyya' al-ibahah illa ma dalla addalil 'ala tahrimihi). Jika demikian, hukum asal perkawinan beda agama adalah boleh hingga ditemukan dalil-dalil yang mengharamkannya. Dalil dalil yang menjadi rujukan mengenai perkawinan beda agama adalah Alquran surat Al-Baqarah/2:221, Al-Maidah/5:5, dan Al-Mumtahanah/60:10.
Dari kajian mendalam terhadap tiga ayat ini dengan didukung kajian sunah, perilaku sahabat, pendapat-pendapat ulama terdahulu, dan pertimbangan sosiokultural maka terlahirlah ketetapan hukum mengenai perkawinan beda agama itu. Bagi pemikir yang sampai pada kesimpulan bahwa ayat-ayat di atas diduga berkehendak melarang perkawinan beda agama maka akan menetapkan hukum haram. Bagi pemikir yang sampai pada kesimpulan bahwa ayat-ayat di atas diduga tidak berkehendak melarang perkawinan beda agama maka akan menetapkan hukum mubah (boleh). Perbedaan ketetapan hukum ini terjadi karena pemahaman yang berbeda mengenai definisi dan batasan term musyrik dan ahlulkitab. Karena memang tidak ada kesepakatan ulama mengenai kelompok mana saja yang masuk dalam kategori musyrik dan ahlulkitab.
Di bawah ini beberapa ketetapan hukum mengenai perkawinan beda agama.
(1) Hukum perkawinan wanita Muslim dengan pria non-Muslim
Sayid Sabiq (Fiqh As-Sunnah, jilid II:95) mengatakan bahwa ulama fikih sepakat mengharamkan perkawinan perempuan Muslim dengan pria non-Muslim dari golongan mana pun sebagaimana dilansir dalam Q.S. Al-Baqarah/2:221. Menurut Ali Ash-Shabuni (Rawai Al-Bayan -tafsir Ayat Al-Ahkam min Al-Quran, Juz I:289) Q.S. Al-Mumtahanah/60:10 mengandung kemutlakan yang mencakup juga ahlulkitab dan non-Muslim lainnya termasuk murtad dari Islam.
Maulana Muhammad Ali (Quran Suci: Teks Arab Terjemah dan Tafsir, terjemahan, 1993:119) mengatakan bahwa Alquran sebenarnya tidak menyebutkan secara tegas larangan perkawinan wanita Muslim dengan pria non-Muslim. Namun dalam praktiknya mayoritas umat Islam sejak dulu memang menolak model perkawinan tersebut. Ketidaksetujuan itu semata-mata didasari atas ijtihad bahwa seorang wanita Muslim yang menikah dengan pria non-Muslim akan menemukan banyak problem jika tinggal dalam keluarga non-Muslim.
Mahmoud Muhammad Toha sebagaimana dikutip oleh muridnya Abdullahi Ahmed An-Naim (Dekonstruksi Syari'ah/2001:345-346) berpendapat bahwa larangan pengharaman perkawinan model ini karena dependensi wanita kepada pria terutama dalam bidang ekonomi dan keamanan. Namun untuk konteks sekarang di mana wanita dan pria memiliki kebebasan dan kemampuan tanggung jawab yang sama di depan hukum, larangan ini sudah tidak berlaku lagi.
Sejalan dengan itu, penelitian sosial yang dilakukan Noryamin Aini mengenai praktik perkawinan beda agama di Yogyakarta mendapatkan hasil mengejutkan. Di mana figur ibu secara konsisten sangat dominan membawa anak-anaknya memeluk agama yang dianutnya. Data ini meruntuhkan asumsi dan mitos klasik seperti yang dikutip Maulana Muhammad Ali. Untuk itu, tidak ada lagi alasan empiris yang dapat dijadikan dasar melarang perkawinan beda agama. (Gatra: 21 Juni 2003).
Zainun Kamal berpendapat bahwa wanita Muslim boleh menikah dengan pria non-Muslim mana pun selain pria kafir musyrik Quraisy. Menurutnya, Q.S. Al-Mumtahanah/60:10 bermaksud melarang perkawinan wanita Muslim dengan pria kafir musyrik Quraisy, bukan lainnya. Pendapat ini diambil dari Ibnu Katsir, Tafsir Alquran Al-Adzim, Jilid 4 hal 19, Al- Zamakhsyari, Al-Kasysyaf, Jilid 4 hal 92 dan Al-Fakhruddin Al-Razi, Tafsir Al-Kabir, Jilid 29 hal 305.
(2) Hukum perkawinan pria Muslim dengan wanita musyrik dan Ahlulkitab.
Ibnu Umar berpendapat bahwa hukum perkawinan pria Muslim dengan wanita ahlulkitab adalah haram. Sama haramnya dengan perempuan musyrik. Alasannya karena perempuan ahlulkitab juga berlaku syirik dengan menuhankan Isa. Alasan lain karena ayat yang membolehkan perkawinan ini Q.S. Al-Maidah/5:5 dianulir (naskh) dengan Q.S. Al-Baqarah/2:221. (lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, Juz II:36).
Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal melarang perkawinan pria Muslim dengan wanita musyrik dan membolehkan dengan wanita Yahudi dan Nashrani. (Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam/1996:50). Sekalipun ahlulkitab tersebut meyakini trinitas tidak menjadi persoalan karena yang tepenting mereka mempunyai kitab samawi dan tetap berstatus sebagai ahlulkitab. (Al-Jaziri, Kitab al-Fiqh 'ala al-Mazahib al-Ar'ba'ah, Juz IV:176).
Rasyid Ridha berpandangan bahwa maksud dari Q.S. Al-Baqarah/2:221 dan Al-Mumtahanah/60:10 adalah untuk melarang perkawinan pria Muslim dengan wanita musyrik Arab. Dengan demikian kebolehannya bukan hanya menikah dengan perempuan Yahudi dan Nasrani saja, melainkan juga dengan wanita-wanita mana pun. Baik Majusi, Shabi'ah, Hindu, Budha, orang-orang Cina dan Jepang sekalipun. Karena menurutnya mereka itu termasuk ahlulkitab yang berisi tauhid sampai sekarang. (Muhammmad Abduh dan Rasyid Ridha, Tafsir Al-Manar, Jilid VI:193)
Menurut UU Perkawinan
Sejak diberlakukannya Undang-Undang Pemerintah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 mengenai perkawinan seperti disebut pada Pasal 66 UUP, maka semua ketentuan-ketentua perkawinan terdahulu seperti GHR, HOCI dan Hukum Perdata Barat (Burgelijk wetboek) serta peraturan perkawinan lainnya sepanjang telah diatur dalam undang-undang tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi.
Pasal 2 (1) UUP berbunyi, "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu". Di dalam penjelasan UUP itu dinyatakan bahwa, "Dengan perumusan Pasal 2 (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-undang Dasar 1945". Prof. Dr. Hazairin, S.H. secara tegas menafsirkan pasal 2 (1), "Bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar hukum-hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang Kristen dan bagi orang Hindu atau Hindu-Buddha seperti dijumpai di Indonesia".
Perkawinan campuran karena berbeda agama selalu hangat dan pelik untuk dibicarakan karena itu berhubungan dengan akidah dan hukum. Dalam bukunya, Rusli (1984) menyatakan bahwa "perkawinan antaragama tersebut merupakan ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita yang berbeda agama, menyebabkan tersangkutnya dua peraturan yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai dengan hukum agamanya masing-masing, dengan tujuan untuk membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa".
Oleh karena itu, di kalangan para ahli dan praktisi hukum, kita jumpai ada tiga mazhab yang berbeda dalam memandang Undang-undang Perkawinan bila dihubungkan dengan perkawinan antardua orang yang berbeda agama. Mazhab pertama mengatakan bahwa perkawinan antaragama merupakan pelanggaran terhadap undang-undang Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 8 huruf (f), di mana pasal tersebut berbunyi, "Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin".
Mazhab kedua berpendapat bahwa perkawinan antaragama adalah sah dan dapat dilangsungkan karena telah tercakup dalam perkawinan campuran. Sehingga pendukung mazhab ini berargumen bahwa Pasal 57 yang mengatur tentang perkawinan campuran menitikberatkan pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Karena itu, pasal ini tidak saja mengatur perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan melainkan juga antara dua orang yang berbeda agama. Dan untuk pelaksanaannya dilakukan menurut tata cara yang diatur oleh Pasal 6 Peraturan Perkawinan Campuran (GHR).
Sedangkan mazhab ketiga menyatakan bahwa perkawinan antaragama sama sekali tidak diatur dalam UUP nomor 1 tahun 1974 dengan anggapan bahwa peraturan-peraturan lama sepanjang Undang-undang itu belum mengatur masih dapat diberlakukan. Dengan demikian untuk persoalan perkawinan antaragama haruslah merujuk kepada Peraturan Perkawinan Campuran.
Dari ketiga mazhab di atas maka penulis mengemukakan pandangan bahwa sebaiknya penentuan boleh tidaknya perkawinan antarorang yang berbeda agama sehingga lebih baik, aman dan tidak menimbulkan masalah haruslah dikembalikan pada hukum agama. Artinya, bila hukum agama menyatakan sebuah perkawinan dikatakan boleh atau tidak, maka seharusnya hukum negara mengikutinya. Jadi, untuk perkawinan antaragama, penentuan boleh tidaknya bergantung pada hukum agama dan seluruh pemeluk agamanya wajib menaatinya.
Merujuk pada Undang-undang Perkawinan nomor 1 tahun 1974 Pasal 2 (1) jo. 8 (f) terhadap beberapa hal di atas, maka cenderung menyerahkan sepenuhnya kepada hukum agama masing-masing pihak untuk menentukan diperbolehkan atau dilarangnya perkawinan antaragama. Untuk itulah maka agama-agama selain Islam yang diakui eksistensinya di Indonesia memiliki pandangan yang sedikit berbeda.
Oleh karena, (1) Agama Katholik pada prinsipnya melarang dilakukannya perkawinan antaragama, kecuali dalam hal-hal tertentu Uskup dapat memberikan dispensasi untuk melakukan perkawinan antaragama; (2) Agama Protestan membolehkan dilakukannya perkawinan antaragama dengan syarat bahwa pihak yang bukan Protestan harus membuat surat pernyataan tidak berkeberatan perkawinannya dilangsungkan di gereja Protestan, dan (3) Agama Hindu dan Buddha melarang dilakukannya perkawinan antaragama.
ikut ambil untuk materi debat, ya ^^
BalasHapusizin ambil materi untuk tambahan proposal ya ^^
BalasHapus