Namun, tarif cukai rokok yang tinggi bisa menyebabkan perokok mengurangi konsumsi, membuat perokok berhenti dan mencegah perokok baru.
Rokok terus jadi sorotan. Setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) berencana mengeluarkan fatwa rokok haram, kini pemerintah berancang-ancang ingin menaikan kembali tarif cukai rokok. Tujuannya tentu seragam, yakni mengurangi konsumsi rokok yang kondisinya sudah kronis.
Peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia (LD-FEUI) Abdillah Hasan mengungkapkan, ada beberapa manfaat yang diperoleh dari peningkatan tarif cukai. Antara lain penerimaan negara akan naik, mencegah non perokok terutama orang miskin untuk mulai merokok, menurunkan konsumsi rokok terutama perokok miskin yang sensitif terhadap harga, mencegah dan mengentaskan kemiskinan, serta mencegah kematian yang terkait dengan konsumsi rokok.
Dibandingkan dengan 66 industri lainnya, jelas Abdillah, kontribusi industri rokok terhadap penerimaan negara semakin turun. “Pada 1995 tercatat kontribusi industri rokok cuma 2%, sedangkan 2005 menurun menjadi 1,5%,” ujarnya ketika menjadi pembicara dalam Seminar Ekonomi Tembakau di Indonesia, di Jakarta (21/8).
Peneliti lain LD-FEUI, Diahhadi Setyonaluri menegaskan, peningkatan tarif cukai tembakau yang tinggi adalah cara yang paling efektif untuk mengurangi kerugian kesehatan dan ekonomi akibat dampak tembakau. “Prakteknya, cukai diterapkan dengan orientasi penerimaan negara.”
Dalam Undang-Undang No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai disebutkan, tujuan pemerintah menetapkan cukai tembakau yakni untuk mengurangi konsumsi rokok dan mengendalikan distribusi produk tembakau, karena bisa berakibat buruk bagi kesehatan.
Sebelumnya, Menteri Keuangan telah menetapkan kebijakan terkait cukai rokok melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 134 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas PMK No. 43 Tahun 2005 tentang Penetapan Harga Dasar dan Tarif Cukai Hasil Tembakau. PMK yang ditetapkan pada 1 November 2007 itu menyebutkan, tarif cukai rokok spesifik baik buatan dalam negeri maupun impor sebesar Rp35 miliar per batang. Kecuali, untuk jenis sigaret kretek tangan (SKT) buatan dalam negeri sebesar Rp30 miliar per batang.
Menko Perekonomian Sri Mulyani Indrawati yang hadir dalam seminar itu menuturkan, kebijakan mengenai tarif cukai dalam RAPBN 2009 masih meneruskan kebijakan tahun ini dengan tarif rata-rata sebesar 37%. Menurutnya, kenaikan tarif cukai yang terlalu tinggi hanya memberi insentif bagi peredaran pita cukai palsu. “Jadi untuk 2009 perubahan radikal seperti yang diminta LD-FEUI mungkin belum bisa diakomodasi,” jelasnya.
Sri Mulyani menjelaskan, dalam jangka pendek, kebijakan mengenai penerimaan negara dari cukai sudah dibicarakan dengan beberapa stakeholder dan sejumlah departemen terkait, seperti Departemen Perindustrian, Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, serta Departemen Kesehatan.
Ada beberapa hal penting yang menurut Sri Mulyani sedang dilakukan pemerintah. Pertama, dana bagi hasil (DBH) ke pemerintah daerah (pemda) untuk membuat kebijakan transisi atau peralihan dari industri-industri tembakau untuk bisa memperoleh alternatif aktifitas. Kedua, pemerintah sedang memperbaiki birokrasi aparat, terutama yang berhubungan dengan penegakan hukum, seperti Kepolisian, Kejaksaan, dan pemda.
“Kenaikan tarif yang sangat besar pasti akan memberikan pengaruh yang dimensinya banyak sekali. Pada akhirnya pemerintah berharap manfaat maksimal baik dalam bentuk penerimaan negara, kesehatan, keadilan dapat terealisasikan. Dan pemerintah akan membuat tahapan-tahapan agar semua ini mampu dijalankan secara konsisten,” wanita yang juga menjabat Menteri Keuangan ini.
Tarif cukai Indonesia terendah
Kepala LD-FEUI Suahasil Nazara, menjelaskan tarif cukai tembakau di Indonesia relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara lain. “Selama ini tarif cukai tembakau di Indonesia adalah 37%, sedangkan rata-rata negara Asia dan Pasifik sudah mencapai 51%. India 55%, Thailand 75%, dan Filipina 55%.”
Menurutnya, Indonesia masih punya peluang untuk menaikkan tarif cukai hingga batas maksimum yang diperbolehkan UU Cukai yakni sebesar 57%. Pasalnya, kata dia, dengan kenaikan sebesar itu, dapat mencegah 2,4 juta kematian akibat rokok dan menambah penerimaan negara dari cukai sebesar Rp29,1 triliun hingga Rp59,3 triliun.
Sri Utari Setyawati, Direktur Eksekutif Indonesian Forum of Parliamentarians on Population and Development (IFPPD), menjelaskan bahwa awalnya di dalam RUU Cukai, tarif yang dikenakan adalah 65%, tapi karena belum diketuk palu dan dilobi akhirnya jatuh pada angka 57%.
Ari -panggilan akrab Sri Utari- menambahkan, jika tarif cukai kurang dari 65% maka akan mengurangi efektifitas dalam mencegah konsumsi rokok. Selain itu, yang menjadi kendala tarif cukai tidak dapat dioptimalkan adalah karena adanya hukum pajak berjenjang. Tujuan pajak berjenjang itu, menurut Ari, supaya pemerintah melindungi industri kecil.
“Berlakunya hukum pajak berjenjang yang bertujuan melindungi industri kecil harus ditinjau kembali. Pasalnya, imbas dari pajak berjenjag itu adalah industri kecil rokok hanya dikenakan pajak 4% bahkan ada yang bebas dikenakan pajak,” ujarnya kepada hukumonline.
Ari menjelaskan, pada dasarnya falsafah cukai itu adalah membuat produk mahal, sehingga akses terhadap produk tersebut kecil. “Karenanya, produk yang tersentuh cukai adalah rokok, minuman keras, dan judi. Sebab produk tersebut memilki potensi merusak fisik dan mental.” Oleh karena itu, Ari mendesak pemerintah agar membuat pengaturan yang jelas dan tegas soal cukai.
Dibuat oleh Fernandes Raja Saor
dan diunduh dari http://hukumonline.com/detail.asp?id=19979&cl=Berita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar