Memori van Toelichting

Tidak semua karya disini itu saya salin, ada pula yang murni dari analisis pribadi, sehingga tidak memerlukan lagi catatan kaki ataupun daftar pustaka Sedangkan apabila anda tidak senang dengan blog ini karena mungkin anda merasa ada karya anda yang saya terbitkan tidak menyertakan sumber, saya mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya; semua semata-mata hanya kekhilafan, karena motivasi utama saya dalam membuat blog ini adalah "demi kemajuan bangsa Indonesia untuk lebih peka terhadap hukum sebagaimana yang dicita-citakan oleh Bung Karno". Serta yang terpenting ialah adagium, "Ignorantia iuris nocet" yang artinya Ketidaktahuan akan hukum, mencelakakan, semoga blog bermanfaat untuk semua orang untuk sadar hukum.

Disclaimer


Blog ini bukanlah blog ilmiah, dan Informasi yang tersedia di www.raja1987.blogspot.com tidak ditujukan sebagai suatu nasehat hukum,
namun hanya memberikan gambaran umum terhadap suatu informasi atau permasalahan hukum yang sedang dihadapi.

------------------------------

nomor telepon : 0811 9 1111 57
surat elektronik : raja.saor@gmail.com
laman : www.rikifernandes.com

Apakah bank dapat memberikan fasilitas kredit tanpa jaminan?

2 komentar
Agunan sebagai bentuk jaminan hanya untuk mengurangi resiko dan bukanlah kewajiban yang patut dilakukan oleh bank sebagai syarat penyaluran kredit kepada masyarakat. Agunan sebagai salah satu unsur pelengkap dalam pemberian kredit, artinya apabila bank dalam pertimbangan analisa kreditnya telah berkeyakinan terhadap debitur melalui unsur-unsur lainnya (Character  atau watak, Capacity  atau kemapuan, Capital atau modal, Condition of economic atau kondisi ekonomi), maka kredit dapat diberikan tanpa adanya agunan. Hal ini sebenarnya tersirat diatur dalam Pasal 8 (Pejelasan) Undang-Undang Perbankan yaitu :

Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha dari Nasabah Debitur. Mengingat bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan Nasabah Debitur mengembalikan utangnya, agunan dapat hanya berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan. ...

Sehingga dengan demikian, Agunan bukanlah hal yang wajib, dan pada akhirnya diperbolehkanlah Bank memberikan kredit tanpa agunan atau jaminan kebendaan.

Syarat-syarat apa saja yang harus dipenuhi oleh bank sebelum memberikan kredit?

2 komentar
Sebelum memberikan kredit, maka Bank Wajib mempertimbangkan Nasabah Pemohon Kredit dengan cara melakukan Analisa Kredit. Analisa kredit merupakan kewajiban yang diamanahkan oleh Pasal 8 ayat (1) UU Perbankan yang menyatakan sebagai berikut :

Dalam memberikan kredit atau pembiayaan berasarkan Prinsip Syariah, Bank Umum wajib mempunyai keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atau itikad dan kemampuan serta kesanggupan nasabah debitur untuk melunasi utangnya atau mengembalikan pembiayaan dimaksud sesuai dengan yang diperjanjikan.

Adapun ”Analisis” sebagai bahan pertimbangan Bank dalam memberikan Kredit dapat dikhususkan lagi menjadi beberapa faktor pertimbangan yaitu sebagaimana diatur dalam Penjelasan  terhadap Pasal 8  ayat (1) UU Perbankan yang menyebutkan sebagai berikut:

Kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang diberikan oleh bank mengandung risiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah yang sehat. Untuk mengurangi risiko tersebut, jaminan pemberian kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan Nasabah debitur untuk melunasi kewajibannya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk memperoleh keyakinan tersebut, sebelum memberikan kredit, bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dana prospek usaha dari Nasabah debitur. Mengingat bahwa agunan sebagai salah satu unsur pemberian kredit, maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan Nasabah debitur mengembalikan utangnya, agunan hanya dapat berupa barang, proyek, atau hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Tanah yang kepemilikannya didasarkan pada hukum adat, yaitu tanah yang bukti kepemilikannya berupa girik, petuk, dan lain-lain yang sejenis dapat digunakan sebagai agunan. Bank tidak wajib meminta agunan berupa barang yang tidak berkaitan langsung dengan obyek yang dibiayai, yang lazim dikenal dengan agunan tambahan. Di samping itu, bank dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah harus pula memperhatikan hasil Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi perusahaan yang berskala besar dan atau risiko tinggi agar proyek yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan.

Dalam praktek, “watak, kemampuan, modal, agunan, dana prospek usaha dari Nasabah debitur” lebih dikenal dengan Prinsip ”5 C” untuk Bank Umum. Sedangkan untuk Bank Syariha yang menerapkan Prinsip Syariah tetap mempertimbangkan “watak, kemampuan, modal, agunan, dana prospek usaha dari Nasabah debitur” ditambah dengan ”Prinsip Syariah”, atau yang lebih dikenal dengan ”5 C + 1 S ”. Adapun Prinsip 5 C ini adalah sebagai berikut :
  • 1. Character (watak).
  • 2. Capacity (kemapuan).
  • 3. Capital (modal).
  • 4. Condition of economic (kondisi ekonomi).
  • 5. Collateral (jaminan/agunan).
  • S. Syariah (Prinsip Syariah)
Lembaga Kredit yang diberikan bank kepada Nasabahnya, merupakan salah satu bentuk perjanjian. Sehingga dengan demikian patut dipertimbangkan bahwa syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 – Pasal 1337 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disebut sebagai ”KUH Perdata”) merupakan syarat sah Bank dalam memberikan Kredit. Adapun syarat sahnya perjanjian pada intinya adalah:
  • Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Kata “sepakat” tidak boleh disebabkan adanya kekhilafan mengenai hakekat barang yang menjadi pokok persetujuan atau kekhilafan mengenai diri pihak lawannya dalam persetujuan yang dibuat terutama mengingat dirinya orang tersebut; adanya paksaan dimana seseorang melakukan perbuatan karena takut ancaman (Pasal 1324 KUH Perdata); adanya penipuan yang tidak hanya mengenai kebohongan tetapi juga adanya tipu muslihat (Pasal 1328 KUH Perdata). Terhadap perjanjian yang dibuat atas dasar “sepakat” berdasarkan alasan-alasan tersebut, dapat diajukan pembatalan.
  • Cakap untuk membuat perikatan;
Pasal 1330 KUH Perdata menentukan yang tidak cakap untuk membuat perikatan : Orang-orang yang belum dewasa, Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan, Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu. Namun berdasarkan fatwa Mahkamah Agung, melalui Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 5 September 1963, orang-orang perempuan tidak lagi digolongkan sebagai yang tidak cakap, serta Mereka berwenang melakukan perbuatan hukum tanpa bantuan atau izin suaminya.
  • Suatu hal tertentu;
Perjanjian harus menentukan jenis objek yang diperjanjikan. Jika tidak, maka perjanjian itu batal demi hukum. Pasal 1332 KUH Perdata menentukan hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan yang dapat menjadi obyek perjanjian, dan berdasarkan Pasal 1334 KUH Perdata barang-barang yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi obyek perjanjian kecuali jika dilarang oleh undang-undang secara tegas.
  • Suatu sebab atau causa yang halal.
Sahnya causa dari suatu persetujuan ditentukan pada saat perjanjian dibuat. Perjanjian tanpa causa yang halal adalah batal demi hukum, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang.