Memori van Toelichting

Tidak semua karya disini itu saya salin, ada pula yang murni dari analisis pribadi, sehingga tidak memerlukan lagi catatan kaki ataupun daftar pustaka Sedangkan apabila anda tidak senang dengan blog ini karena mungkin anda merasa ada karya anda yang saya terbitkan tidak menyertakan sumber, saya mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya; semua semata-mata hanya kekhilafan, karena motivasi utama saya dalam membuat blog ini adalah "demi kemajuan bangsa Indonesia untuk lebih peka terhadap hukum sebagaimana yang dicita-citakan oleh Bung Karno". Serta yang terpenting ialah adagium, "Ignorantia iuris nocet" yang artinya Ketidaktahuan akan hukum, mencelakakan, semoga blog bermanfaat untuk semua orang untuk sadar hukum.

Disclaimer


Blog ini bukanlah blog ilmiah, dan Informasi yang tersedia di www.raja1987.blogspot.com tidak ditujukan sebagai suatu nasehat hukum,
namun hanya memberikan gambaran umum terhadap suatu informasi atau permasalahan hukum yang sedang dihadapi.

------------------------------

nomor telepon : 0811 9 1111 57
surat elektronik : raja.saor@gmail.com
laman : www.rikifernandes.com

Perlindungan terhadap Kebebasan atas Keyakinan Politik yang Mengancam Ideologi Pancasila

BAB I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Secara historis, pengaturan kejahatan ini terkait erat dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/ MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Atau Ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme. Pasca peristiwa tahun 1965 yang dikenal dengan peristiwa G 30 S, PKI dinilai bermaksud untuk menggantikan ideology Pancasila dengan ideology komunisme, Marxisme, Leninisme atau yang sejenisnya itu. Dalam perjalanannya di masa orde baru, TAP MPRS tersebut cukup ampuh untuk menolak bahkan membabat organisasi-organisasi yang berbasis kiri.

Barulah pada pemerintahan Habibie (awal reformasi) muncul UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara. UU Nomor 27/1999 tersebut secara eksplisit mengatur mengenai larangan penyebaran ideology kiri itu dengan menyelipkan enam buah pasal baru dalam Bab I --tentang Kejahatan Terhadap Keamanan Negara -- KUHP, yaitu di antara Pasal 107 dan Pasal 108, yang dijadikan Pasal 107 a, Pasal 107 b, Pasal 107 c, Pasal 107 d, Pasal 107 e, dan Pasal 107 f . Dalam UU Nomor 27 Tahun 1999 tersebut pada dasarnya diatur dua macam kejahatan, yaitu: kejahatan yang berkaitan dengan penggantian Pancasila sebagai ideology negara dan kejahatan sabotase, terutama sabotase terhadap sarana dan prasana militer dan sabotase terhadap distribusi atau pengadaan bahan pokok.

Disisi lain, negara kita mengenal hak azasi yang terkristalkan di dalam hak bangsa Indonesia, seperti yang terumus dengan jelas di dalam Pembukaan UUD 1945. Negara kita adalah negara kesatuan dengan kemerdekaannya menjamin seluruh hak dan kewajiban kita sesuai dengan peri kemanusiaan dan peri keadilan. Di dalam UUD 1945 masalah hak azasi manusia bukanlah masalah yang mandiri, tetapi dikaitkan dengan hasrat bangsa Indonesia untuk membangun negara yang berkeadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Yang menarik bahwa Hak azasi manusia berdasarkan Batang Tubuh UUD 1945 antara lain memuat mengenai jaminan hak atas kemerdekaan berpendapat yang diuraikan secara ringkas sebagai berikut:

“Pasal 28 mengandung pengakuan atas hak kemerdekaan menyatakan pendapat atau pikiran”.

Realita penerapan Pancasila selama ini yang dipersepsi publik yakni sesungguhnya nilai dasar filsafat Pancasila demikian, telah terjabar secara filosofis-ideologis dan konstitusional di dalam UUD Proklamasi (pra-amandemen) dan teruji dalam dinamika perjuangan bangsa dan sosial politik 1945 – 1998 (1945 – 1949; 1949 – 1950; 1950 – 1959 dan 1959 – 1998). Reformasi 1998 sampai sekarang, mulai amandemen I – IV: 1999 – 2002 cukup mengandung distorsi dan kontroversial secara fundamental (filosofis-ideologis dan konstitusional) sehingga praktek kepemimpinan dan pengelolaan nasional cukup memprihatinkan.

Berdasarkan analisis normatif filosofis-ideologis dan konstitusional demikian, integritas nasional dan NKRI juga memprihatinkan. Karena, berbagai jabaran di dalam amandemen UUD 1945 belum sesuai dengan amanat filosofis-ideologis filsafat Pancasila secara intrinsik. Terbukti, berbagai penyimpangan dalam tatanan dan praktek pengelolaan negara cukup memprihatinkan, terutama dalam fenomena praktek: demokrasi liberal dan ekonomi liberal, serta berbagai kontroversial budaya dan moral sosial politik nasional.

Indonesia adalah negara hukum. kewajiban untuk merenung (refleksi) dan mawas diri untuk melaksanakan evaluasi dan audit nasional mengamanahkan menegakkan integritas NKRI berdasarkan Pancasila – UUD 45 sebagai sistem kenegaraan Pancasila dan sistem ideologi nasional. Pancasila sebagai ideologi nasional haruslah dilindungi, dan hal tantangan ini bisa timbul dari berbagai ideologi selain ideologi pancasila, yakni bisa datang entah dari deologi kapitalis atau idologi komunis, bahkan ideologi Theokratos. Namun disi lain hak atas kebabasan untuk terhadap kebebasan atas keyakinan politik dan mengeluarkan pendapat yang pada hakikatnya tidak membatasi ideologi pendapat tersebut, dalam praktek tetap dibatasi.

B. Pokok Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas, dirumuskan beberapa pokok permasalahan yang akan menjadi fokus pembahasan, yaitu

  1. Apakah perlindungan terhadap ideologi pancasila sebagai dasar negara?
  2. Adakah perlindungan perundang-undangan, kaidah hukum hakim yang memberikan atau tidak kebebasan atas Keyakinan Politik yang mengancam Ideologi Pancasila?

C. Tujuan Penulisan

1. Pembahasan masalah ini ditujukan untuk mengkaji perlindungan terhadap kebebasan atas keyakinan politik sebagai kerangka hak asasi manusia yakni hak kebebasan pribadi dapat mengakomodir kejahatan yang mengancam ideologi pancasila

2. Perlindungan perundang-undangan, kaidah hukum hakim yang memberikan maupun tidak kebebasan atas Keyakinan Politik yang mengancam Ideologi Pancasila.

BAB II

Perlindungan Ideologi Pancasila

A. Ideologi dan Ideologi Pancasila

Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung), secara umum dan beberapa arah filosofis, atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat. Tujuan utama dibalik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik. Secara implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit.

Mengacu pada Philosophisches Wörterbuch (1997), ideologi adalah imagi dan kesadaran dari individu atau kelompok yang berkembang sesuai dengan konteks historis masyarakat. Ideologi juga memerankan sebuah fungsi sosial di masyarakat, yaitu sebagai pemicu motivasi. Maka, Komunisme, Kapitalisme dan bahkan Agama bisa dikategorisasikan sebagai ideologi. Seiring dengan perkembangan historis masyarakat, maka ideologi pun mengalami kerumitan dan keragaman tafsir. Semula, ideologi dianggap netral, namun sejak Marx memblejeti wataknya, terbukti bahwa ideologi juga menyimpan kepalsuan. Marx membongkar ideologi sebagai moda kekuasaan, yang sering digunakan oleh kelas penguasa politik dan kapital untuk menyembunyikan kepentingan-kepentingan kelasnya. Ideologi tak lebih sebagai “kesadaran palsu“, di mana selalu menyembunyikan kebenaran demi kepentingan politik-ekonomi. Ideologi lalu menjadi pembenar dari ambisi kekuasaan. Dalam konteks ini, agama yang sering dianggap berada dalam “langit suci“, bisa pula terjebak menjadi ideologi yang menipu penganutnya sendiri. Penyebabnya adalah elite agama dan politik, yang selalu mengeksploitasi agama demi keuntungan kelasnya sendiri. Sejarah Eropa abad pertengahan dengan peran gereja dan negara yang bercampur menunjukkan kasus tersebut[1].

Bahwa sesungguhnya UUD Negara adalah jabaran dari filsafat negara Pancasila sebagai ideologi nasional Filsafat Pancasila adalah sari dan puncak nilai dalam sosio-budaya bangsa, yang diakui sebagai pandangan hidup bangsa (filsafat hidup, Weltanschauung). Nilai fundamental ini dipraktekkan dalam kehidupan bangsa sepanjang sejarah budaya dan peradabannya. Karenanya, nilai Pancasila teruji kebenaran, kebaikan dan keunggulannya; bahkan memberikan identitas dan integritas nasional Indonesia.

Berdasarkan analisis normatif-filosofis-ideologis bangsa Indonesia, kemudian dirumuskan secara konstitusional di dalam Pembukaan UUD Proklamasi 1945. Kedudukan nilai filsafat Pancasila di dalam Pembukaan UUD tersebut, berfungsi sebagai dasar negara dan ideologi negara; sekaligus sebagai asas kerokhanian negara dan sebagai perwujudan jiwa bangsa (jatidiri bangsa, Volksgeist). Dengan demikian, identitas dan integritas (nasional) Indonesia ialah nilai filsafat Pancasila.

B. Kebebasan dalam Konsep HAM

Jauh sebelum adanya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia[2], HAM telah menjamin adanya kebebasan atas keyakinan politik dan mengeluarkan pendapat sebagi bagian hak fundamental manusia. Dan bahwa pemahaman publik terhadap Hak Asasi Manusia, kebebasan dan demokrasi berjalan beriringan serta tidak terpisahkan satu dan lainnya-semakin demokratis maka manusia semakin bebas[3]. Tetapi inti dari ide kebebasan itu adalah kesadaran sejati dari hakikat manusia, bahwa manusia sebagai manusia adalah bebas sesuai martabat dan rasionalitasnya.

Definisi kontekstual kebebasan pada dunia modern yang pertama-tama merupakan kebebasan individu dari kekuasaan yang sewenang-wenang, yang dalam banyak catatan sejarah berarti kebebasan manusia (individu) dari kelaziman negara yang brutal. Paham hak asasi kebebasan ini pertama kali lahir di Inggris pada abad 17, yang ditandai dengan adanya resistensi (perlawanan aktif) dari rakyat terhadap tradisi-tradisi feodalis kekuasaan, yang pada hakikatnya selalu mengagungkan adanya kekuasaan mutlak kaum ningrat dan para raja-raja. Pada taraf perkembangannya paham ini mengafirmasikan juga setiap pergerakan peradaban zaman yang menuntut perumusan-perumusan sistematis hak asasi manusia dalam pedomannya yang inheren pada hakikat pada harkat dan kemartabatannya sebagai manusia.

Hak ini bukan merupakan dihadiahkan dari negara atau kelompok masyarakat, melainkan hak-hak fundamental yang melekat dalam jiwa dan diri manusia, karena ia (manusia) itu bermartabat. Maka dalam perkembangan sejarah manusia prinsip-prinsip keadilan bagi pembentukkan hukum dan juga praktek hukum mendapat pernyataan dalam beberapa dokumen resmi-dokumen yang terkenal lazimnya dengan nama dokumen hak asasi manusia-yang menjustifikasikan prinsip-prinsip etis dan prinsip nilai moral dari eksistensi manusia yang dituntut untuk dihargai dan dihormati. Terbukti hak-hak dasar manusia telah dirumuskan dengan sistematika perumusan yang utuh, yang termaktub secara eksposif pada beberapa deklarasi International HAM yang berlaku universal. Perumusan norma hukum deklarasi tersebut, digali dari nilai dan norma hukum konstitusi setiap negara anggota PBB. Penggalian norma-norma itu, harus selaras dengan besarnya tuntutan polarisasi peradaban masyarakat, dengan tetap mempertimbangkan garis persinggungan antara nilai-nilai sosio-kultural suatu bangsa dan dinamika politis kehidupan manusia pada diskursus kontekstual yang bersifat konkurensi antara dimensi perubahan-perubahannya, dengan derajat koeksistensi sebagai faktor-faktor penentu, sehingga terjadinya dinamika perubahan sosial yang selalu bergerak linear.

C. Kebebasan dalam Konsep Demokrasi Pancasila

Ketika negara tidak mengakui hak-hak yang dimiliki sebagai manusia itu menunjukkan bahwa dalam negara itu martabat manusia belum diakui sepenuhnya. Inilah rekomendasi dari salah satu tesis dasar dan pengakuan hak asasi manusia dan kebebasannya sebagai wujud eksistensi kemartabatan manusia, sekaligus memverifikasikan pengakuan masyarakat global tentang arti demokrasi dan HAM, bahwa semakin demokratis suatu negara, semakin terjamin juga pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia itu.

Secara garis besar termaktub lima gagasan pokok yang merupakan anasir-anasir empiris dari demokrasi yang didalamnya juga termasuk demokrasi pancasila. Aksioma ini dapat ditarik dari konklusi pada beberapa komposisi preferensi atau nilai-nilai ideologi demokratis itu yang secara hierarkis dapat dilihat pada; pertama, masyarakat dapat menikmati apa yang menjadi hak-hak dasar mereka termasuk hak untuk berserikat, berkumpul (freedom of assembly), hak untuk berpendapat (freedom of speech), dan menikmati press yang bebas (freedom of press); kedua, adanya sistem pemilihan umum yang dilakukan secara teratur dimana para pemilih bebas menentukan pilihannya tanpa adanya unsur paksaan; ketiga, masyarakat dapat mengaktualisasikan dirinya secara maksimal didalam kehidupan politik dengan berpartisipasi dalam politik secara mandiri (autonomous participation) tanpa digerakkan; keempat, adanya rotasi kekuasaan sebagai hasil dari pemilihan umum yang bebas; kelima, adanya rekruitmen politik yang bersifat terbuka (open recruitment) untuk mengisi posisi politik yang penting didalam proses penyelenggaraan negara.

D. Kebebasan keyakinan politik diakui oleh ideologi Pancasila

Dalam negara demokrasi modern-fokus utama gagasan-gagasan utama demokrasi adalah negara-secara inheren termaktub “legitimasi demokrasi”. Dasar pembenarannya dan yang dibenarkan bahwa satu-satunya legitimasi dasar kekuasaan yang sah adalah legitimasi demokrasi, sebagai tipologi kekuasaan berasaskan kesamaan semua anggota masyarakat sebagai manusia dan warga negara, berdasarkan keyakinan bahwa tidak ada orang atau kelompok orang yang begitu saja berhak untuk memerintah orang lain. Jadi dalam pemerintahan demokratis semua hak orang diperhatikan sedemikian rupa dan kebebasan pun dijamin oleh negara. Semua warga negara adalah orang-orang bebas, sehingga dalam negara demokratis, kemerdekaan dan kebebasan merupakan prinsip yang paling utama.

Plato mengatakan,....

...they are free men; the city is full of freedom and liberty of speech, and men in it may do what they like[4]

...mereka adalah orang-orang yang merdeka, negara penuh dengan kemerdekaan dan kebebasan berbicara, dan orang-orang didalamnya boleh melakukan apa yang disukainya.

Sedangkan fasisme sebagai sauatu bentuk kekuasaan yang didirikan suatu “elite” fasis merupakan penguasa yang tidak dapat diganggu gugat. Sementara itu totaliterisme tidak pernah puas memerintah dengan cara-cara dari luar, yaitu lewat negara dan mesin kekerasan, berkat ideologi ini serta peran yang diberikan kepada aparat pemaksa, totaliterisme menemukan suatu cara serta menteror manusia dari dalam[5]. Ini adalah bentuk peran negara menurut konsep neoliberalisme yang mengutamakan developmentalisme, yakni negaralah yang bertanggung jawab dalam pertumbuhan ekonomi dan model pembangunan politik disuatu negara. Model pembangunan atau State-led development ditetapkan sebagai alternatif sejak krisis liberalisme pada zaman kolonialisme tahun 1930-an, dan sejak saat itu negara diberi peran untuk menkadi aktor utama atau diberi wewenang sebagai pengendali ekonomi dan politik[6].

Demokrasi memerlukan sebuah konstitusi dan demokrasi sebagai suatu sistem politik menuntut pemerintahan yang akuntabilitas dengan tetap berpedoman pada preferensi-preferensi nilai kebebasan manuisa. Metodologi sejarah menjustifikasikan “hegemoni masyarakat sipil”[7] selalu dapat menerkemahkan makna kekuasaan dengan perumusan konfigurasi pemisahan kekuasaan (Separation of Powers) sebagai kerangka normatif dari konstitusi dengan mekanisme chek and balance.

Konstitusi dalam kedudukannya sebagai hukum tertinggi memiliki sifat dan kedudukan yang sangat kuat, sehingga produk hukum yang lainnya tidak boleh bertentangan dengan konstitusi. Ini berarti seluruh peraturan hukum yang ada dibawahnya harus dijiwai oleh konstitusi tersebut. Selain kedudukannya sebagai hukum tertinggi suatu negara, konstitusi juga berperan sebagai instrumen-instrumen pokok yang efektif untuk mencegah timbulnya penyalahgunaan kekuasan (abuse of power) dan tujuan menghalalkan segala cara, seperti yang tergambar dalam teori Machiavellian dengan the end justifies the means, oleh tindakan sang penguasa negara.

Nilai fundamental filsafat Pancasila juga menjadi sumber motivasi (niat dan tekad) nasional dalam menegakkan kemerdekaan, kedaulatan dan martabat nasional dalam wujud negara Indonesia Merdeka, yakni Negara Kesatuan Republik Indonesia (berdasarkan) Pancasila sebagai terkandung dalam UUD Proklamasi 45 seutuhnya. Karenanya, secara filosofis-ideologis dan konstitusional, NKRI dapat dinamakan (dengan predikat) sebagai sistem kenegaraan Pancasila --- sejajar dan analog dengan berbagai sistem kenegaraan bangsa-bangsa modern :

a. negara liberalisme-kapitalisme,

b. naziisme,

c. sosialisme;

d. zionisme,

e. komunisme,

f. theokratisme,

g. fundamentalisme;

h. marxisme

i. leninisme

yang berkembang dalam kehidupan internasional. Filsafat Pancasila cukup memberikan kedudukan yang tinggi dan mulia atas kedudukan dan martabat manusia (sila I dan II); karenanya ajaran HAM berdasarkan Pancasila mengutamakan asas normatif theisme-religious:

1. bahwa HAM adalah karunia dan anugerah Maha Pencipta (sila I dan II); sekaligus amanat untuk dinikmati dan disyukuri oleh umat manusia.

2. bahwa menegakkan HAM senantiasa berdasarkan asas keseimbangan dengan kewajiban asasi manusia (KAM). Artinya, HAM akan tegak hanya berkat (umat) manusia menunaikan KAM sebagai amanat Maha Pencipta.

3. kewajiban asasi manusia (KAM) berdasarkan filsafat Pancasila, ialah:

  1. manusia wajib mengakui sumber (HAM: life, liberty, property) adalah Tuhan Maha Pencipta (sila I).
  2. manusia wajib mengakui dan menerima kedaulatan Maha Pencipta atas semesta, termasuk atas nasib dan takdir manusia; dan
  3. manusia wajib berterima kasih dan berkhidmat kepada Maha Pencipta, atas anugerah dan amanat yang dipercayakan kepada (kepribadian) manusia.

Tegaknya ajaran HAM ditentukan oleh tegaknya asas keseimbangan HAM dan KAM; sekaligus sebagai derajat (kualitas) moral dan martabat manusia. Sebagai manusia percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, kita juga bersyukur atas potensi jasmani-rokhani, dan martabat unggul, agung dan mulia manusia berkat anugerah kerokhaniannya ---sebagai terpancar dari akal-budinuraninya--- sebagai subyek budaya (termasuk subyek hukum) dan subyek moral. (M. Noor Syam 2007: 147-160)

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia sebagai suatu standar umum bagi prestasi semua bangsa dan semua negara, dengan tujuan agar setiap individu dan setiap organ masyarakat, yang terus mengingat Deklarasi ini, mengembangkan penghargaan terhadap hak-hak dan kebebasan-kebebasan ini melalui pengajaran dan pendidikan, serta melalui langkah-langkah progresif secara nasional dan internasional untuk menjamin pengakuan serta kepatuhan yang universal dan efektif terhadapnya, dikalangan bangsa-bangsa dari Negara-Negara Anggota maupun di kalangan bangsa-bangsa di wilayah-wilayah yang berada di bawah yurisdiksinya.

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menyatakan Hak Asasi Manusia dalam Pasal 19 menyatakan, ”Setiap orang berhak atas kebebasan beropini dan berekspresi; hak ini meliputi kebebasan untuk memiliki opini tanpa intervensi serta untuk mencari, menerima, dan mengungkapkan informasi serta gagasan melalui media apapun dan tidak terikat garis perbatasan”. Dua kovenan penting tentang Hak Asasi Manusia (HAM) Internasional yaitu Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik (SIPOL) dan Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (EKOSOSBUD) sesungguhnya memuat jenis-jenis hak yang memiliki sifat berbeda dalam pelaksanaannya. Kovenan Hak SIPOL diantaranya memuat hak-hak seperti hak hidup, hak bebas dari perbudakan dan penghambaan, hak untuk tidak dijadikan obyek dari perlakuan penyiksaan-perlakuan atau penghukuman keji, hak untuk diperlakukan secara manusiawi dan tidak direndahkan martabatnya sebagai manusia, hak untuk mendapatkan pemulihan menurut hukum, hak untuk dilindungi dari penerapan hukum pidana karena hutang, hak untuk bebas dari penerapan hukum pidana yang berlaku surut, hak diakui sebagai pribadi didepan hukum, kebebasan berpikir dan berkeyakinan agama. Hak-hak tersebut diatas termasuk hak yang tergolong dalam non derogable rights[8].

Dengan demikian, tidak dibenarkan suatu negara manapun mengurangi, membatasi atau bahkan mengesampaikan pemenuhan dari hak-hak di atas. Jika pembatasan terpaksa harus dilakukan, hanya dan bila hanya syarat-syarat komulatif yang ditentukan oleh Kovenan tersebut dipenuhi oleh negara yang bersangkutan. Syarat komulatif yang dimaksud adalah

  • pertama: sepanjang ada situasi mendesak yang secara resmi dinyatakan sebagai situasi darurat yang mengancam kehidupan bernegara
  • kedua: penangguhan atau pembatasan tersebut tidak boleh didasarkan pada diskriminasi ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama atau asal-usul sosial,
  • ketiga pembatasan dan penangguhan yang dimaksud harus dilaporkan kepada Perserikatan Bangsa Bangsa(PBB).

Pasal 28 A dan Pasal 28 I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua merupakan pengaturan hak asasi manusia, perbedaanya Pasal 28 A Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua hanya mengatur tentang hak hidup seseorang tetapi Pasal 28 I ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 hak asasi manusia tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Hak kebebasan atas Keyakinan Politik dan Hak Asasi Manusia Dalam Peraturan Perundang-undangan untuk bebas terhadap dirinya sendiri bersifat non derogable right. Baik dalam keadaan normal (tidak dalam keadaan darurat, tidak dalam keadaan perang atau tidak dalam keadaan sengketa bersenjata) maupun dalam keadaan tidak normal (keadaan darurat, dalam keadaan perang dan dalam keadaan sengketa bersenjata) hak hidup tidak dapat dikurangi oleh Negara, Pemerintah, maupun masyarakat. Di luar non derogable right, ada pembatasan hak asasi manusia dalam kerangka hukum (peraturan perundang-undangan). Di dalam Pasal 28 J ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 amandemen kedua dijelaskan: Dalam menjalankan hak-hak dan kebebasannya setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi pertimbangan-pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis[9].

BAB III

Perlindungan HAM

A. Kaidah Hukum Nasional

Dilihat dari segi mana pun dan agama apa pun, kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat tidaklah haram, justru dilindungi haknya oleh negara. Kebebasan berpolitik warga negara dijamin pada Undang-undang Dasar Republik Indonesia Pasal 28 E (2), berbunyi:

Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.

Konvenan Ketentuan Internasional tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 Ayat 1 dan 2, berbunyi:

  1. Setiap orang berhak untuk meyakini pendapatnya tanpa campur tangan pihak lain.
  2. Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat; hak ini juga termasuk kebebasan untuk mendapatkan, menerima, dan memberikan informasi dan ide apa pun, tanpa memerhatikan medianya, baik secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, dalam bentuk seni, atau melalui media lainnya, sesuai dengan pilihannya.

UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Pasal 23 Ayat 1 dan 2, berbunyi:

  1. Setiap orang bebas untuk memilih dan mempunyai keyakinan politiknya.
  2. Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektonik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.

Selain itu, di Al-Qur’an dijelaskan mengenai kebebasan yang menjadi hak bagi setiap individu, yaitu dalam surat Al-Qalam ayat 38-39, berbunyi:

  1. Ayat 38: “inna lakum fihi lama takhayyaruna”

(bahwa di dalamnya kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu suka untukmu).

  1. Ayat 39: “am lakum aimanun alaina baligatun ila yaumil qiyamahti innalakum lama tahkumana”

(atau apakah kamu memperoleh janji-janji yang diperkuat dengan sumpah dari Kami, yang tetap berlaku sampai hari Kiamat; sesungguhnya kamu benar-benar dapat mengambil keputusan (sekehendakmu)).

Secara sederhana, Hak Asasi Manusia (HAM) adalah hak yang dimiliki oleh setiap umat manusia sejak terlahir di dunia. Hak tersebut menyatu dalam diri seseorang tanpa mengenal bangsa, warna kulit, agama, afiliasi politik dan lain-lainnya. Semua orang terlahir dengan hak yang sama tanpa pengecualian.

Menurut Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (DUHAM), semua orang dilahirkan merdeka dan memunyai martabat dan hak-hak yang sama. Sementara, Undang-Undang No. 39/1999 tentang HAM menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikatnya dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Hak Asasi Manusia memiliki beberapa prinsip, yaitu:

  1. Universal
  2. Saling terkait
  3. Tidak terpisahkan
  4. Kesetaraan dan non-diskriminasi
  5. Hak Serta Kewajiban Negara
  6. Tidak dapat diambil oleh siapa pun

Undang-Undang Dasar 1945 amandemen ke-2, Bab XA pasal 28 yang kemudian dikuatkan juga oleh Undang-Undang No. 39/1999 tentang HAM itu, adalah jawaban dari berbagai pelanggaran HAM yang terjadi sejak Indonesia merdeka, bahkan jauh sebelumnya. Kenyataan pelaksanaan penghormatan, perlindungan atau pengakuan dan penegakkan nilai-nilai HAM masih jauh dari memuaskan selama lebih dari enam puluh tahun usia Republik Indonesia. Semakin hari semakin banyak pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.

Jadi, dapat dikatakan bahwa Undang-Undang No. 39/1999 tentang HAM adalah jawaban situasi HAM yang buruk atas perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status sosial dan politik serta lainnya. Perilaku tidak adil dan diskriminatif tersebut merupakan pelanggaran HAM, baik yang bersifat vertikal (dilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya) maupun horizontal (antar warga negara sendiri) dan tidak sedikit yang masuk dalam pelanggaran HAM berat (Gross Violation of Human Rights)[10].

Pada tahun 2005, Indonesia telah merativikasi (1) konvenan Internasioan tentang hak-hak sipil dan politik (UU No. 12 Tahun 2005) serta (2) konvenan Internasional tentang hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (UU No. 11 Tahun 2005) adalah intrumen-intrusmen utama mengenai HAM dan yang lazim di sebut sebagai Internastional Bill of Human Raigh (prasasti internasional tentang HAM). Dua hal itu adalah inti dari instrument-instrumen utama mengenai HAM . Indonesia sebagai negara yang telah menadatangani Konvenan HAM di PBB, maka telah membentuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) untuk melindungi dan menegakkan HAM di Indonesia.

Konsepsi-konsepsi hak politik yang berangkat dari hak kebebasan pribadi terdahulu biasanya memandang fungsi hak politik adalah untuk menjaga agar pemerintah tidak mengganggu rakyat. Penyalah gunaan kekuasaan politik dinilai sebagai soal pelanggaran pemerintah untuk melakukan sesuatu yang seharusnya tidak mereka lakukan, dan bukan merupakan soal kegagalan pemerintah untuk melakukan sesuatu yang seharusnya mereka lakukan. Kewajiban-kewajiban yang lahir dari hak-hak ini sebagian besar adalah kewajiban negatif (negative duties) -- yaitu kewajiban-kewajiban untuk menahan diri, atau kewajiban untuk tidak melakukan sesuatu. Kewajiban positif (positive duties) sebagian besar ditemukan dalam kewajiban pemerintah untuk melindungi hak-hak rakyat dari gangguan internal dan eksternal. Hak atas perlindungan hukum (hak atas sidang pengadilan yang adil, kebebasan dari penangkapan sewenang-wenang, kebebasan dari penganiayaan dan dari hukuman kejam) dipandang sebagai penangkal bagi penyalah gunaan sistem hukum. Penyalahgunaan-penyalahgunaan sistem hukum ini mencakup manipulasi sistem hukum untuk menguntungkan sekutu serta merugikan musuh penguasa, memenjarakan lawan politik, dan memerintah lewat teror.

B. Upaya Perlindungan HAM yang disediakan oleh Negara

Indonesia telah memberikan pemaparan tentang upaya Pemerintah RI untuk memperkuat pemajuan dan perlindungan HAM di tanah air dihadapan Dewan HAM PBB pada hari Rabu, 9 April 2008 melalui mekanisme baru Universal Periodic Review (UPR) Dewan HAM. Indonesia merupakan salah satu dari 16 negara pertama yang menjalankan mekanisme UPR pada sesi pertama yang berlangsung pada tanggal 7-18 April 2008. Hal tersebut tidak terlepas dari kinerja Komnas HAM yang menjadi perpanjangan tangan pemerintah. Sebagaimana disebutkan dalam UU HAM, bahwa Komnas HAM adalah lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi ham. Selanjutnya oleh UU Ham dinyatakan pula[11], bahwa Komnas Ham bertujuan :

a. mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan ham sesuai dengan Pancasila, Undang-Undang Dasar l945, dan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia ; dan

b. meningkatkan perlindungan dan penegakan hak asasi manusia guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

HAM hendaknya dipahami bukan hanya hak sipil dan politik saja namun juga meliputi isu-isu ekonomi, sosial dan kebudayaan. Terhadap hal-hal tersebut negara sebagai pengemban amanah konstitusi punya kewajiban untuk memenuhi dan melindungi HAM rakyatnya. secara jelas dan tegas untuk melaksanakan amanat Undang-undang Dasar 1945, Majelis Permusyarwaratan Rakyat melalui Ketetapan MPR Nomor XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, telah menugaskan kepada Lembaga-lembaga Tinggi Negara dan seluruh aparatur Pemerintah, untuk menghormati, menegakkan dan menyebarluaskan pemahaman mengenai hak asasi manusia kepada seluruh masyarakat. Telah terbentuk juga Undang-undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang diikuti dengan pengukuhan melalui Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia.

Dari payung hukum yang tercantum tadi dalam rangka perlindungan HAM perlu digarisbawahi bahwa pemerintah berperan sangat penting. Dalam kenyataannya, ganti rugi, kompensasi, restitusi, dan rehabilitasi, dalam pasal-pasal UU yang penulis sebutkan sebagian besar merupakan perintah UU, termasuk perintah dari UU 13/2006. Meskipun ada juga disebutkan adanya tanggung jawab pihak ketiga atau pelaku. Akan tetapi, untuk mendorong implementasi tanggung jawab pihak ketiga sebagai pelaku, pemerintah harus berperan melalui kebijakan yang mengikat. Tentunya dengan pemberian sanksi jika tidak dijalankan pihak ketiga atau pelaku. Namun, peran pemerintah dibatasi secara ketat oleh UU dan konstitusi. Karena pada asasnya, HAM sipil politik merupakan hak-hak negatif (negative right). Artinya, hak-hak dan kebebasan yang dijamin di dalamnya akan dapat terpenuhi apabila peran negara terbatasi atau terlihat minus. Hal ini penting diutarakan mengingat masih banyak pelanggaran HAM dilakukan pemerintah terhadap warga negaranya. Sedangkan untuk HAM Ekonomi, Sosial, Budaya, merupakan hak-hak positif (positive rights) yang justru menuntut negara berperan maksimal dalam pemenuhannya[12].

Ketentuan-ketentuan HAM telah menjadi ketentuan-ketentuan konstitusi di dalam UUD 1945 (perubahan kedua yang mengadopsi pasal-pasal tentang pemajuan, perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara terutama pemerintah. Oleh karenanya setiap ada pelanggaran HAM, maka negaralah dalam hal ini pemerintah, yanbg harus bertanggungjawab karena mereka mempunyai kewajiban atau state responsibility yang mengandung konsekuensi bahwa ketentuan-ketentuan tersebut harus dilaksanakan secara konsisten dan harmonis dalam segala bentuk kebijakan, peraturan dan administrasi penyelenggaraan pemerintahan Negara RI dari tingkat Pusat, Daerah, Kabupaten/Kota sampai ke Kelurahan/Desa.

Selanjutnya langkah kongrit negara dalam melindungi HAM ialah dengan memberikan fasilitas pengaduan kepada siapa saja untuk bisa mengadu apabila ia melihat adanya pelanggaran HAM. Komnas HAM saat ini sedang mengembangkan sistem pelayanan pengaduan berbasis teknologi, yaitu online melalui log in ke website Komnas HAM di www.komnasham.go.id Selain itu, dalam rangka mendekatkan pelayanan kepada masyarakat, Komnas HAM secara bertahap telah mendirikan Perwakilan/Kantor Perwakilan Komnas HAM di daerah. Cara-cara yang dapat ditempuh juga bermacam-macam yakni Setelah lengkapnya keterangan dan bahan tersebut pengaduan dapat dikirimkan melalui berbagai macam cara[13], yakni : a. diantar langsung ke Komnas HAM; b. dikirim melalui jasa pos atau kurir; atau c. dikirim melalui faksimile ke nomor : 021-3160629; d. dikirim melalui e-mail ke pengaduan@komnasham.go.id.

Komnas HAM menindaklanjuti setiap laporan yang masuk, berdasarkan Peraturan Perundang-undangan. Hal ini diejawantahkan dalam sebuah Visi Komnas Ham yakni Visi yang bertemakan, “Terwujudnya penegakan Hak Asasi Manusia menuju masyarakat aman, damai, adil, demokratis dan sejahtera”. Adapun misi dari visi tersebut ialah:

a. Penyiapan perumusan kebijakan Departemen di bidang pembinaan, kerja sama pemajuan, perlindungan, dan sistem informasi serta pemantauan dan evaluasi hak asasi manusia;

b. Pelaksanaan kebijakan di bidang pembinaan, kerjasama pemajuan, perlindungan dan pemenuhan, sistem informasi serta pemantauan dan evaluasi hak asasi manusia sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku;

c. Perumusan standar, norma, pedoman, kriteria dan peraturan di bidang pembinaan, kerjasama pemajuan, perlindungan dan pemenuhan, sistem informasi serta pemantauan dan evaluasi hak asasi manusia;

d. Pemberian bimbingan teknis dan evaluasi; e. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal;

e. Pengkoordinasian pelaksanaan kegiatan rencana aksi nasional hak asasi manusia dengan instansi terkait.

Namun adapula dalam pengamatan saya beberapa Peraturan Perundang-undangan, keputusan badan tata usaha negara, serta kaidah hukum hakim yang justru melarang kebebasan tersebut apabila dipandang dari segi :

C. Peraturan yang menderogat kebebasan atas keyakinan politik

Negara berkewajiban menghormati dan menjamin kebebasan beragama atau berkepercayaan semua individu di dalam wilayah kekuasaannya tanpa membedakan suku, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, dan keyakinan, politik atau pendapat[14], penduduk asli atau pendatang, serta asal usulnya. Dalam konsep HAM, hak kebebasan beragama masuk ke ranah hak sipil dan hak politik.

Namun apabila melihat pada RUU KUHP, maka Marxisme dan Leninisme dilarang apabila disebarkan dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Adapun pengecualian untuk keperluan ilmian, penerapan ajaran tersebut tidak dilarang. Memasukkan larangan ajaran Marx dan Lenin dalam RUU KUHP[15] bukanlah hal yang baru. Adnan Buyung Nasution (2009)[16], dalam diskusi sosialisasi RUU KUHP menyebutkan pencantuman pasal larangan penyebarluasan ajaran Marx dan Lenin dalam RUU KUHP tersebut sebagai hal yang tidak perlu lagi.

Ajaran marxisme dan leninisme seharusnya baru dilarang apabila dimaksudkan untuk mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara. Selain itu, baru dapat dipidana jika paham dari Marx dan Lenin ini dipakai untuk menggulingkan pemerintah yang sah. Persyaratan adanya dolus specialis ini digunakan untuk menetralisir larangan terhadap dua ajaran diatas. Dalam kerangka yang tidak jauh berbeda, penerapan ajaran tersebut dapat dipidana apabila menimbulkan tindak pidana politik yang mengakibatkan timbulnya kerusuhan dalam masyarakat atau timbulnya korban jiwa. Sebaliknya, apabila ajaran ini digunakan untuk pernyataan pendapat melalui alat cetak ataupun kajian ilmiah, lanjut Muladi, maka tidak dapat digolongkan ke dalam larangan atas ajaran Marx dan Lenin, dengan memasukkan marxisme dan leninisme sebagai tindak pidana merupakan konsekuensi dipertahankannya TAP MPR No.XVIII/98 tentang Penegasan Pancasila Sebagai Dasar Negara. Dengan masih dimasukkannya larangan menerapkan ajaran marxisme dan leninisme untuk hal-hal tertentu dimaksudkan sebagai pertahanan terhadap ideologi negara. Muladi (2009), ideologi dalam suatu negara adalah hal yang sangat penting oleh karena itu tidak boleh ada keraguan dalam penerapannya.

D. Kaidah Hukum yang menderogat kebebasan atas keyakinan politik

Perkara Nomor 6/PUU-V/2007 merupakan salah satu tonggal awal diujinya pasal-pasal Pasal 107 dan Pasal 108, yang dijadikan Pasal 107 a, Pasal 107 b, Pasal 107 c, Pasal 107 d, Pasal 107 e. Dr. R. Panji Utomo adalah Direktur Forum Komunikasi Antar Barak (FORAK) dalam permohonannya kepada Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa pasal-pasal tersebut bertentangan dengan UUD yang salah satunya ialah bertentangan dengan [17]

(3)”Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan

mengeluarkan pendapat”

Ketika melihat pada putusan akan semakin jelas bahwa Berdasarkan seluruh uraian di atas, maka telah terang bagi Mahkamah bahwa ketentuan aquo, di satu pihak, tidak menjamin adanya kepastian hukum sehingga bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945, di pihak lain, sebagai konsekuensinya, juga secara tidak proporsional menghalang-halangi kemerdekaan untuk menyatakan pikiran dan sikap serta kemerdekaan menyampaikan pendapat sehingga bertentangan dengan Pasal 28 dan 28E Ayat (2) dan 15 Ayat (3) UUD 1945. Dengan demikian, dalil Pemohon sepanjang menyangkut bertentangannya Pasal 154 dan 155 KUHP dengan Pasal 28, Pasal 28E Ayat (2) dan Ayat (3) UUD 1945, harus dinyatakan beralasan.

Dalam pertimbangan hukum putusan dimaksud dikatakan, antara lain, “Indonesia sebagai suatu Negara hukum yang demokratis, berbentuk republik, dan berkedaulatan rakyat, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia sebagaimana telah ditentukan dalam UUD 1945, tidak relevan lagi jika dalam KUHPidananya masih memuat pasal-pasal seperti Pasal 134, Pasal 136 bis, dan Pasal 137 yang menegasi prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.

BAB IV

Kesimpulan dan Saran

A. Kesimpulan

Bahwa kebebasan atas keyakinan politik yang mengancam ideologi pancasila merupakan hal yang perlu dibatasi. Hal ini semata-mata merupakan perwujudan ketahanan ideologi indonesia. Bahwa kebebasan atas keyakinan politik di Indonesia pernah mengalami pasang surut yang ditandai dengan derogasi hak tertentu dengan alasan fakta sejarah Indonesia yang tidak menginginkan adanya ideologi tertentu yang bertentangan dengan Pancasila. Namun hak ini tetap dihargai dengan adanya pengaturan hukum, bahkan perlindungan dari negara untuk menegakkan rasa keadilan terhadap eksistensi hak keyakinan politik sebagai bagian dari hak atas kebebasan pribadi.

B. Saran

Harus diakui Indonesia memerlukan adanya pembatasan yang tegas dalam bentuk peraturan yang setara dengan undang-undang untuk membatasi hak keyakinan politik sebagi kerangka hak atas kebebasan pribadi. Namun apabila mengutup Pidato presiden pertama RI Soekarno pada 17 Juni 1954 di Istana Negara, Dalam pidato berjudul "Anjuran kepada Segenap Bangsa" tersebut, Soekarno mengatakan, "Jangan Pancasila diakui oleh sesuatu partai. Jangan ada sesuatu partai berkata Pancasila adalah asasku. PNI tetaplah kepada asas Marhaenisme dan PNI boleh berkata justru karena PNI berasas Marhaenisme, oleh karena itulah PNI mempertahankan Pancasila sebagai dasar negara. Tapi, jangan berkata PNI berdasarkan Pancasila. Sebab, jikalau dikatakan Pancasila adalah satu ideologi partai, lalu partai-partai lain tidak mau. Oleh karena itu, aku ulangi lagi, Pancasila adalah dasar negara dan harus kita pertahankan sebagai dasar negara, jika tidak mau mengalami bahaya besar terpecahnya negara ini.” Sebagai konsekuensi logis, pembatasan serta perlindungan HAM harus bersumber pada ketahanan Indonesia dari sudut ideologi yakni ideologi PANCASILA.

DAFTAR PUSTAKA

Arendt, Hannah. Asal-Usul Totaliterisme, Jilid III. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 1995.

Abu, Tamrin. Jurnal Legislasi Nasional. Vol. 4 No. 4 - Desember 2007.

Fakih, Mansour. Bebas Dari Liberalisme. Insits Press. Yogyakarta. 2003.Zakaria, Fred. Gramsci, Antonio. Catatatan-Catatan Politik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 1999.

Rapar, J.H. Political Philosophy, Plato, Aristoteles, Agustinus, Machiavelli. Free Press. New York. 1985.

Masa Depan Kebebasan, Penyimpangan Demokrasi di Amerika dan Negara Latin. Ina Publikata. Jakarta. 2004.

Prihandono, Bambang K. Revisi KUHP: Jauh sari Semangat Rekonsiliasi.

Zakaria, Fred. Masa Depan Kebebasan, Penyimpangan Demokrasi di Amerika dan Negara Latin. Ina Publikata. Jakarta. 2004.

http://legal.daily-thought.info/2007/03/apakah-derogable-rights-dan-non-derogable-rights-itu/

http://www.mail-archive.com/jaker@yahoogroups.com/msg00297.html http://jakarta.indymedia.org/newswire.php?story_id=2052

http://www.mission-indonesia.org/modules/news.php?lang=en&newsid=196

http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=47156

http://www.komnasham.go.id/portal/id/content/pengaduan-ke-komnas-ham

http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=12526&cl=Berita

Al-Quran ayat 38-39

Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia

Kovenan tentang Hak Sipil dan Politik

UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

UU Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan Terhadap Keamanan Negara

Undang-undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia

Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/ MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia


[1] Prihandono, Bambang K. Revisi KUHP: Jauh sari Semangat Rekonsiliasi. http://www.mail-archive.com/jaker@yahoogroups.com/msg00297.html

[2] The Virginia Bill of Right (1776), tentang pemberontakan dan perlawanan rakyat Amerika Utara terhadap kolonialisme Inggris menghasilkan suatu dokumen mengenai kebebasan pribadi manusia terhadap kekuasaan negara. Manusia berhak untuk menikmati hidup, kebebasan, dan kebahagiaan (life, liberty, the pursuit of happines)

[3] Zakaria, Fred. Masa Depan Kebebasan, Penyimpangan Demokrasi di Amerika dan Negara Latin. Ina Publikata. Jakarta. 2004. hal; 23.

[4] Rapar, J.H. Political Philosophy, Plato, Aristoteles, Agustinus, Machiavelli. Free Press. New York. 1985. hal; 56.

[5] Arendt, Hannah. Asal-Usul Totaliterisme, Jilid III. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. 1995. hal; 34.

[6] Fakih, Mansour. Bebas Dari Liberalisme. Insits Press. Yogyakarta. 2003. hal; 68.

[7] Gramsci, Antonio. Catatatan-Catatan Politik. Pustaka Pelajar. Yogyakarta. 1999. ha; 194.

[8] http://legal.daily-thought.info/2007/03/apakah-derogable-rights-dan-non-derogable-rights-itu/

[9] Abu, Tamrin. Jurnal Legislasi Nasional. Vol. 4 No. 4 - Desember 2007. hal 67

[10] http://jakarta.indymedia.org/newswire.php?story_id=2052

[11] http://www.mission-indonesia.org/modules/news.php?lang=en&newsid=196

[12] http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=47156

[13] Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. http://www.komnasham.go.id/portal/id/content/pengaduan-ke-komnas-ham

[14] lihat pasal 24 (1) UU, No.39/1999: ‘setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai,’ pasal 101; ‘setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak menyampaikan laporan atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia’…dst,;

[15] RUU KUHPidana diatur pada Bab I tentang Tindak Pidana Terhadap Keamanan Negara, yaitu:

mengenai penyebaran ajaran komunisme/marxisme-Leninisme (Pasal 212 dan 213), dan mengenai

peniadaan dan penggantian ideologi Pancasila (Pasal 214).

Pasal 212

• Setiap orang yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan, dan/atau melalui mediaapa pun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai dasar negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun.

• Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, dipidana dengan pidana penjara paling

lama 10 (sepuluh) tahun.

• Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan luka-luka berat dan kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.

• Setiap orang yang melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang mengakibatkan matinya orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun

• Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikecualikan jika perbuatan itu dilakukan untuk semata-mata hanya kegiatan ilmiah.

Pasal 213

Dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun setiap orang yang:

(1)mendirikan organisasi yang diketahui atau patut diduga keras menganut ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme;

(2) mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah dasar negara; atau

(3) mengadakan hubungan dengan atau memberikan bantuan kepada organisasi, baik di dalam maupun di luar negeri, yang diketahuinya berasaskan ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud menggulingkan pemerintah yang sah.

[16] http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=12526&cl=Berita

[17] Pasal 28D ayat (1), “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. Pasal 28E ayat (2) ”Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya”.




0 komentar: