Memori van Toelichting

Tidak semua karya disini itu saya salin, ada pula yang murni dari analisis pribadi, sehingga tidak memerlukan lagi catatan kaki ataupun daftar pustaka Sedangkan apabila anda tidak senang dengan blog ini karena mungkin anda merasa ada karya anda yang saya terbitkan tidak menyertakan sumber, saya mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya; semua semata-mata hanya kekhilafan, karena motivasi utama saya dalam membuat blog ini adalah "demi kemajuan bangsa Indonesia untuk lebih peka terhadap hukum sebagaimana yang dicita-citakan oleh Bung Karno". Serta yang terpenting ialah adagium, "Ignorantia iuris nocet" yang artinya Ketidaktahuan akan hukum, mencelakakan, semoga blog bermanfaat untuk semua orang untuk sadar hukum.

Disclaimer


Blog ini bukanlah blog ilmiah, dan Informasi yang tersedia di www.raja1987.blogspot.com tidak ditujukan sebagai suatu nasehat hukum,
namun hanya memberikan gambaran umum terhadap suatu informasi atau permasalahan hukum yang sedang dihadapi.

------------------------------

nomor telepon : 0811 9 1111 57
surat elektronik : raja.saor@gmail.com
laman : www.rikifernandes.com

Contoh Usul Penelitian PERLINDUNGAN SAKSI DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

0 komentar

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebelum diundangkannya UU Nomor 13 tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, Perlindungan terhadap saksi peradilan mendapatkan sorotan yang sangat tajam dari masyarakat karena lembaga peradilan tertinggi tidak tergerak untuk melakukan langkah-langkah pembenahan peradilan. Baru kemudian tahun 1998-an muncul kembali dan menjadi wacana yang semakin kuat dan solid sejak adanya desakan penyatuan atap bagi hakim, yang tentunya memerlukan pengawasan eksternal dari lembaga yang mandiri agar cita-cita untuk mewujudkan peradilan yang jujur, bersih, transparan dan profesional dapat tercapai.
Seiring dengan tuntutan reformasi peradilan, pada Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang membahas perubahan ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, disepakati beberapa perubahan dan penambahan pasal yang berkenaan dengan kekuasaan kehakiman, termasuk di dalamnya Komisi Yudisial yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Berdasarkan pada amandemen ketiga itulah dibentuk Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial yang disahkan di Jakarta pada 13 Agustus 2004.
Pembentukan Komisi Yudisial terkait erat dengan usaha-usaha untuk melakukan perbaikan dalam mekanisme sistem pemerintahan di Indonesia. Fungsi yang diberikan kepada Komisi Yudisial bertujuan untuk membuat badan peradilan di Indonesia mempunyai kinerja yang tinggi dan bersih sehinga penegakan hukum (Law Inforcement) dapat diselenggarakan. Tidak dapat disangkal bahwa penegakan hokum adalah persyaratan bagi terjadinya perbaikan di bidang-bidang lainya, sehingga dapat dikatakan bahwa tanpa penegakkan hukum tidak mungkin dilakukan usaha-usaha untuk mengatasi krisis multidimensional yang melanda Indonesia selama hampir sepuluh tahun terakhir ini.

B. Pokok Permasalahan


• Bagaimana pengaturan normatif perlindungan saksi saat ini?
• Mengapa setelah reformasi, berdirinya lembaga-lembaga kuasi negara, termasuk Komisi Yudisial belum mampu menghilangkan secara signifikan praktek tercela korupsi di tubuh lembaga-lembaga penegak hokum?

II. TUJUAN PENELITIAN

A. Tujuan Umum

Penelitian ini dibuat agar pembaca dapat mengetahui sejarah, latar belakang, tujuan, fungsi, visi dan misi Komisi Yudisial. Penelitian ini juga membahas tentang keefektifan Komisi Yudisial di dalam kekuasaan kehakiman Indonesia yang dapat menginformasikan kepada pembaca agar lebih mengetahui perkembangan mengenai Komisi Yudisial. Makalah ini diharapkan dapat mengkomunikasikan apa yang telah, sedang dan akan dilakukan oleh Komisi Yudisial. Diharapkan dengan makalah ini, pembaca dapat memberikan apresiasi terhadap ikhtiar yang telah, sedang dan akan dilakukan Komisi Yudisial dan berperan serta dalam kegiatan pembaruan hukum. Penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat ( Public Trust ) terhadap kinerja Komisi Yudisial

B. Tujuan Khusus

1. Menjelaskan kondisi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia sebelum dan setelah adanya Komisi Yudisial
2. Mengetahui dan menjelaskan mengenai kedudukan, wewenang, dan fungsi Komisi Yudisial dalam sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia.
.
III. TINJAUAN PUSTAKA

Untuk memperoleh pengetahuan baik pengetahuan yang mendasar maupun yang mendalam mengenai aspek yang relevan dalam penelitian ini, diperlukan suatu tinjauan pustaka agar diperoleh bahan teoritis dan konsepsional. Tinjauan pustaka tersebut yaitu:

A.
Judul : Mengenal Hukum
Pengarang : Prof.Dr.Sudikno Mertokusumo, SH.
Penerbit : Yogyakarta, Liberty
Tahun Terbit : 2003
Jumlah Halaman : 189
Buku ini adalah buku pertama atau buku pengantar yang akan menjelaskan apa itu hukum, bagaimana hukum itu, dan ilmu dasar hukum. Buku ini termasuk di dalam tinjauan pustaka karena penelitian ini adalah penelitian hukum, jadi pengertian-pengertian serta ilmu dasar harus dipahami agar tidak mengalami kekeliruan yang bersifat mendasar.

B.
Judul : Pengantar Hukum Tata Negara
Pengarang : Krishnayanda Wiryowerdoyo, SH.MH.
Penerbit : FHUI
Tahun Terbit : 1998
Jumlah Halaman : 307
Buku ini menjelaskan bagaimana sistem Hukum Tata Negara di Indonesia. Meskipun buku ini disusun saat UUD 1945 belum diamandemen, namun buku ini dapat menjelaskan bagaimana Hukum Tata Negara itu sendiri, karena di dalamnya memuat konsep lembaga negara, dan dapat menjadi sumber informasi saat penulis ingin membandingkan kondisi tata usaha negara sebelum amandemen UUD 1945, serta sesudah UUD 1945 diamandemen.

C.
Judul : Hukum Administrasi Negara
Pengarang : Prof. Safri Nugraha, SH.LLM.PhD
Penerbit : FHUI
Tahun Terbit : 2007
Jumlah Halaman : 413
Buku ini mengulas secara ringkas dan padat mengenai dasar dari Ilmu Hukum Administrasi negara. Dimana dalam hukum administrasi negara menjelaskan mengenai bagaimana keadaan negara saat telah menjalankan fungsinya. Hal tersebut yang ingin diketahui oleh penulis dan keterkaitannya dengan topik penulisan karya ilmiah ini. Buku ini sudah disusun saat setelah UUD 1945 telah diamandemen. Sehingga buku ini dapat memberikan informasi mengenai keadaan administrasi negara atau kondisi negara saat telah menjalankan fungsinya saat sekarang ini, mengingat Komisi Yudisial dibentuk setelah amandemen UUD 1945.

D.
Judul : Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan
Keempat
Pengarang : Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH.
Penerbit : FHUI
Tahun Terbit : 2002
Jumlah Halaman : 64
Buku ini memuat perbandingan yang jelas, pasal demi pasal tentang perubahahan UUD1945 sebelum diamandemen dan setelah diamandemen. Selain hanya memuat perubahannya, buku ini sangat jelas dalam menjelaskan makna dari pasal-pasal yang membutuhkan penjelasan lebih lanjut, yang tertuang dalam footnote-footnote buku ini. Buku ini sangat berguna dalam penulisan karena tentang. Komisi Yudisial yang menjadi pokok pembicaraan diatur di dalamnya. Lalu buku ini dapat menjadi patokan utama saat penulis ingin membandingkan pengaturan perundang-undangan sebelum dan sesudah UUD 1945 diamandemen.
E.
Judul : Bunga Rampai Refleksi Satu Tahun Komisi Yudisial
Indonesia
Pengarang : Muh. Busyro Muqoddas
Penerbit : Komisi Yudisial Republik Indonesia
Tahun Terbit : 2006
Jumlah Halaman : 537
Buku ini berisikan seluk beluk mengenai Komisi Yudisial seperti kedudukan wewenang dan fungsi Komisi Yudusial itu sendiri. Buku ini juga membuka wacana bagi penulis mengenai keterkaitan antara Komisi Yudisial terhadap Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Karena di dalam buku ini juga banyak membahas mengenai kehakiman di Indonesia. Buku ini memberikan informasi yang sangat akurat karena buku ini diterbitkan langsung oleh Komisi Yudisial.

V. KERANGKA TEORI DAN KONSEP

Pada penelitian ini, dalam membahas permasalahannya akan dibatasi dengan memberikan pengertian atas istilah yang terkait. Pembatasan ini bertujuan agar jawaban permasalahan yang dibahas dapat lebih terarah dan terbatas pada perumusan definisi-definisi tertentu.
Komisi Yudisial menurut UU No.22 tahun 2004 adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Mahkamah Agung menurut UU No.22 tahun 2004 adalah pelaku kekuasaan kehakiman sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia yang selanjutnya disebut DPR menurut UU No.22 tahun 2004 adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Hakim Agung menurut UU No.22 tahun 2004 adalah hakim anggota pada Mahkamah Agung.
Hakim menurut UU No.22 tahun 2004 adalah Hakim Agung dan hakim pada badan peradilan di semua lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung serta hakim Mahkamah Konstitusi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Lingkungan Peradilan menurut UU No.22 tahun 2004 adalah badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara, serta pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut.

VI. METODE PENELITIAN

Metode penelitian yang dilakukan penulis untuk melakukan penelitian ini adalah metode penelitian normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka, atau disebut juga penelitian kepustakaan, penelitian ini bertujuan untuk memahami adanya hubungan antara hukum positif serta norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini dikarenakan penulis memang melakukan penelitian ini berdasarkan penelitian kepustakaan dengan alat pengumpul data berupa studi dokumen tanpa melakukan wawancara ataupun metode questioner serta pengumpulan data primer lainnya. Selanjutnya apabila dilihat dari tipe penelitiannya, penelitian ini bersifat eksplanatoris, yaitu penelitian yang dimaksudkan untuk menguji hipotesa-hipotesa tertentu karena apabila dilihat dari pokok permasalahannya maka dapat disimpulkan masalah sudah terjadi dan telah menjadi persoalan, penelitian ini berusaha untuk menjelaskan permasalahan yang terjadi serta mencari hubungan sebab akibat dari pokok permasalahan tersebut. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder, yaitu data yang mencakup dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku harian dan seterusnya. Kemudian bahan hukum yang digunakan mencakup bahan hukum primer yang terdiri dari Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial.
Serta peraturan pemerintah dan keputusan-keputusan menteri yang terkait dengan pokok permasalahan dalam penelitian ini. Kemudian penulis juga menggunakan bahan hukum sekunder yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, seperti buku-buku yang membahas hal-hal yang berkaitan dengan pokok permasalahan serta buku wajib mata kuliah Metodologi Penelitian dan Penulisan Hukum. Sebagai pelengkap, penulis juga menggunakan bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, bahan hukum tersier yang digunakan oleh penulis adalah ensiklopeda online, kamus hukum serta kamus bahasa inggris. Metode pengolahan dan analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, apa yang dinyatakan oleh sasaran penelitian yang bersangkutan dinyatakan secara tertulis atau lisan, dan perilaku nyata.

VII. KEGUNAAN TEORITIS DAN PRAKTIS

A. Kegunaan Teoritis

Penelitian yang dilakukan terhadap pengaruh kekuasaan Komisi Yudisial terhadap Kekuasaan Kehakiman di Indonesia agar dapat membantu untuk melihat apakah setelah dibentuknya Komisi Yudisial membawa pengaruh yang besar dalam kondisi Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Di mana dalam hal ini tinjauan sosiologis tersebut dapat dijadikan dasar untuk melihat apakah perubahan di dalam masyarakat terutama dalam masyarakat hukum dapat merasakan efek dari berdirinya Komisis Yudisial tersebut. Lalu manfaat teoritis lainnya yaitu untuk menambah wawasan mengenai Komisi Yudisial, Kekuasaan Kehakiman, perbandingan UUD 1945 sebelum dan sesudah amandemen.

B. Kegunaan Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kegunaan bagi pembaca mengenai susunan, kedudukan, kewenangan, dan fungsi Komisi Yudisial dalam ketatanegaraan Indonesia agar dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat Indonesia terhadap Komisi Yudisial mengingat perannya yang sangat vital dalam perbaikan hukum di Indonesia.

VIII. PEMBIAYAAN

Biaya yang diperkirakan akan diperlukan untuk melakukan penelitian ini adalah dengan rincian sebagai berikut:
1. Administrasi :
a. Stationery : Rp. 500.000,00
b. Photo copy : Rp. 2.000.000,00
c. Penyusunan laporan : Rp. 800.000,00
d. Pengandaan laporan : Rp. 600.000,00
2. Honoraria :
a. Konsultan : Rp. 600.000,00
b. Pengolah data : Rp. 500.000,00
3. Transportasi : Rp. 1.200.000,00
---------------------------------------------------
Total biaya Rp. 6.200.000,00



Daftar Pustaka

Agresto, John. The Supreme Court And Constitional Democracy. Cornell University Press, Itacha and London, 1984.


Ais, Chatamarrasjid. Eksistensi dan Fungsi Komisi Yudisial dalam Reformasi Lembaga Peradilan. Makalah ini disampaikan dalam Seminar Kajian Pemetaan Pembangunan Struktur Hukum di Indonesia, Bappenas, tanggal 6 Februari 2006.


Ais, Chatamarrasjid. Komisi Yudisial Mewujudkan Check and Balance untuk Menghindari Tirani Yudikatif. Makalah disampaikan dalam Seminar Peran dan Fungsi Komisi Yudisial, di Universitas Bengkulu tanggal 4 Oktober 2005.


Ais, Chatamarrasjid dan Hermansyah. Komisi Yudisial dan Pengawasan Hakim Pengadilan Hubungan Industrial. Makalah disampaikan dalam Pertemuan Nasional dalam Rangka Konsultasi APINDO di Jakarta tanggal 6-7 Desember 2005.


Alkostar, Artidjo. Menggagas Pola Rekruitmen Hakim dalam Rangka Menghasilkan Pengadilan yang Progresif. Seminar Nasional Fakultas Hukum UNS tanggal 7 Maret 2006.


Asshiddiqie, Jimly. Konsolidasi Naskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat. Depok: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002


Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Indonesia, Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

Indonesia, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial


“Komisi Yudisial Republik Indonesia,“ , 11 November 2007

Kusnardi, Mohammad dan Harmailly Ibrahim. Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia. Depok: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983.

Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum. Yogyakarta : Liberty. 2003.

Nugraha, Safri. : Hukum Administrasi Negara. Depok: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007

Rahardjo, Satjipto. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 1996.

Wignjosoebroto, Soetandyo. Hukum: Paradigma, Metode dan Masalahnya. Jakarta: Elsam dan HuMa, 2002.

Wiryowerdoyo, Krishnayanda. Pengantar Hukum Tata Negara. Depok: Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1998.



Dasar Filosofis Larangan Penetapan harga tidak berlaku pada perjanjian yang didasarkan pada Undang-Undang

0 komentar

Dasar Filosofis Larangan Penetapan harga tidak berlaku pada perjanjian yang didasarkan pada Undang-Undang

Pendahuluan

Setelah merenung beberapa hari, berfilsafat mengurung diri dikamar seharian sambil membaca buku-buku filsafat. Berangkat dari pemikiran Satjipto Raharjo (1986: 224-225) menyatakan, teori hukum boleh disebut sebagai kelanjutan dari usaha mempelajari hukum positif, setidak-tidaknya dalam urutan yang demikian itulah kita mengkonstruksikan kehadiran teori hukum secara jelas.
Setelah menelisik lebih jauh ternyata menurut ketentuan Hukum Persaingan Usaha di Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, terdapat beberapa hal, baik perbuatan maupun perjanjian yang dikecualikan dalam pelaksanaan Undang-Undang tersebut sebagai berikut:
1. perbuatan dan atau perjanjian yang bertujuan melaksanakan peraturan perundang-undangan yang berlaku; atau
2. perjanjian yang berkaitan dengan hak atas kekayaan intelektual seperti lisensi, paten, merek dagang, hak cipta, desain produk industri, rangkaian elektronik terpadu, dan rahasia dagang, serta perjanjian yang berkaitan dengan waralaba; atau
3. perjanjian penetapan standar teknis produk barang dan atau jasa yang tidak mengekang dan atau menghalangi persaingan; atau
4. perjanjian dalam rangka keagenan yang isinya tidak memuat ketentuan untuk memasok kembali barang dan atau jasa dengan harga yang lebih rendah dari pada harga yang telah diperjanjikan; atau
5. perjanjian kerjasama penelitian untuk peningkatan atau perbaikan standar hidup masyarakat luas; atau
6. perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Republik Indonesia; atau
7. perjanjian dan atau perbuatan yang bertujuan untuk ekspor yang tidak mengganggu kebutuhan dan atau pasokan pasar dalam negeri; atau
8. pelaku usaha yang tergolong dalam usaha kecil; atau
9. kegiatan usaha koperasi yang secara khusus bertujuan untuk melayani anggotanya.
Sebagaimana telah dijelaskan maka ketentuan poin pertama senada dengan Pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999
“(1) Pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pelaku usaha pesaingnya untuk menetapkan harga atas suatu barang dan atau jasa yang harus dibayar oleh konsumen atau pelanggan pada pasar bersangkutan yang sama.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi: (a) suatu perjanjian yang dibuat dalam suatu usaha patungan; atau, (b) suatu perjanjian yang didasarkan undang-undang yang berlaku.”

Ditinjau dari sudut Hukum Pidana

Ketentuan Pasal 50 KUHP
Barangsiapa melakukan perbuatan untuk melaksanakan ketentuan undang-undang, tidak dipidana.

Jika dibandingkan dengan ketentuan pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 jo. 48 UU Nomor 5 Tahun 1999 mengenai ketentuan pidana apabila melakukan suatu tindakan penetapan harga. Maka sangat jelas bahwa ketentuan pasal 5 ayat (2) huruf (b) merupakan alasan pembenar atau peniadaan sifat melawan hukum. Jika dikaitkan dengan unsur melawan hukum maka secara filosofis bahwa berlakunya sifat ajaran perbuatan melawan hukum secara materiil (materiele wederechtelijkheid), dimana suatu perbuatan dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana, tidak hanya berdasarkan ketentuan peraturan perundang‐undangan yang sudah ada (nullum crimen sine lege), tetapi juga apabila perbuatan tersebut bertentangan juga dengan kesadaran hukum masyarakat, bertentangan dengan hukum adat, asas kepatutan atau hukum tidak tertulis (the living law). Dalam arti, walaupun belum ada suatu peraturan perundangan‐undangan yang menyatakan suatu perbuatan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam pidana, tetapi apabila perbuatan tersebut “bertentangan” dengan kesadaran hukum suatu masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dikualifikasikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana. Dengan kata lain, dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana. Dan pelakunya dapat diajukan ke pengadilan untuk diminta pertanggungjawabannya. Namun, penggunaan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut harus sesuai rambu nilai‐nilai yang terkandung dalam Panca Sila dan prinsip‐prinsip hukum umum yang diakui oleh masyarakat internasional
Namun bertentangan dengan undang-undang ini menurut pendapat salah seorang nara sumber dalam seminar dan workshop yang diselenggarakan oleh LK2 FHUI beberapa hari lalu menyatakan setidak-tidaknya yang dimaksud dengan “undang-undang” ini ialah :
• Undang-Undang
• Peraturan Pemerintah yang diamanatkan langsung oleh Undang-Undang diatasnya.
Jadi secara filosofis ditinjau dari aspek pidana maka ketentuan ini jika ditarik secara analogi, walaupun penetapan harga sebagaimana pasal 5 UU Nomor 5 Tahun 1999 jo. 48 UU Nomor 5 Tahun 1999 diancam dengan hukuman pidana namun eksistensinya bisa diderogatkan dengan suatu undang-undang ataupun peraturan pemerintah yang didelegasikan langsung oleh undang-undang.

Ditinjau dari sudut Hukum Tata Negara

Sebagai Hukum Dasar yang ditegaskan dalam Tata Urutan Perundang‐undangan yang merupakan pedoman dalam pembuatan aturan hukum di bawahnya sebagaimana Ketetapan MPR Nomor III/MPR/ 2000, maka seluruh aturan hukum di bawahnya, baik yang telah ada maupun yang akan dibentuk harus, sejalan dengan UUD sebagai hukum dasar tertinggi atau yang disebut sebagai Staatgrundgezet. Seharusnya menyesuaikan dengan amandemen konstitusi agar tidak bertentangan dengan asas ketatanegaraan lex superiori derogat legi inferiori, karena legalitas hukuman mati sebagai produk hukum yang lebih rendah bertentangan dengan produk hukum yang lebih tinggi.
Kemudian ketika ada norma peraturan perundang-undangan memberikan suatu blanko kosong baik tersirat maupun tersurat keberlakuan dari norma tersebut. Walaupun norma tersebut pada tataran yang sama, undang-undang, norma peraturan yang ditunjuk bisa menyingkirkan ketentuan norma yang menunjuknya. Maka secara filosofis ditinjau dari peraturan perundang-undangan ketika undang-undang menyingkirkan ketentuan norma undang-undang lainnya, hal tersebut diperbolehkan. Sedangkan PP yang merupakan delegasi langsung (disebutkan dalam undang-undang), PP tersebut dianggap oleh beberapa pakar sebagai suatu ketentuan yang melekat pada uu, sehingga masih bisa digunakan untuk keberlakuan dari pasal 5 ayat (2) huruf (b).

Ditinjau dari sudut Hukum Acara


Dalam perkara perdata, selama ini Hakim di Indonesia terbelenggu oleh Pasal 163 HIR (Herziene Inlandsch Reglement) - Hukum Acara Perdata - yang berbunyi “siapa yang mendalilkan dialah yang harus membuktikan”, serta konsep kedudukan sama (equal) para pihak dimuka pengadilan. Dalam hal ini secara filosofis ketentuan pasal 5 ayat (2) huruf (b) merupakan ketentuan yang wajib dibuktikan oleh pihak yang melakukan penetapan harga, jadi sepanjang dapat membuktikan bahwa tindakan subjek hukum tersebut didasarkan oleh undang-undang, maka perbuatannya tidak dapat dikenai pertanggungjawaban karena perbuatannya telah dibenarkan oleh undang-undang.





Survei tentang Perkembangan Hukum Koperasi, Hukum Koperasi (5)

0 komentar
Survei tentang Perkembangan Hukum Koperasi
di Tingkat Internasional

1. Pokok Persoalan Perundang-Undangan Koperasi
Keanggotaan ICA sebagai salah satu organisasi koperasi sedunia yang sudah 75 tahun berkutat tentang perkoperasian, terdiri dari organisasi koperasi dari Negara-negara industry di barat, Negara-negara sosialis, serta Negara-negara berkembang. Fakta ini menimbulkan asumsi bahwa ada konsep universal mengenai koperasi yang juga membentuk dasar perundangan koperasi di seluruh dunia. Namun demikian ada beberapa perbedaan sehubungan dengan konsep koperasi di berbagai Negara. Perbedaan tersebut mengenai bagaimana suatu Negara memandang dan membentuk fungsi koperasi, apakah sebagai suatu perhimpunan untuk mencapai tujuan bersama seperti pada Negara industry barat atau sebagai instrument perkembangan social ekonomi seperti pada Negara berkembang.
2. Perkembangan Perundang-undangan Koperasi
Sebagai organisasi koperasi pertama Rochdale 1844 masih tidak memiliki kerangka hukum. Kemudian Inggris pada tahun 1852 memasukan koperasi dalam bab tersendiri dalam hukum perusahaannya. Pada perkembangan selanjutnya Prusia, Australia, Jepang, serta Negara-negara jajahan Inggris dan pracis juga menerapakan koperasi dalam konstruksi hukum yang ada di Negara mereka masing-masing.

3. Format Undang-Undang yang Berbeda Mengenai Perhimpunan Koperasi
Format undang-undang koperasi berbeda di setiap Negara. Negara Denmark dan Norwegia tidak memiliki undang-undang khusus mengenai perhimpunan koperasi. Pada Negara lain, undang-undang koperasi adalah bagian dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan Hukum Dagang, contohnya adalah di Swiss. Akhirnya ada beberapa Negara dalam mana undang-undang koperasi khusus dibuat untuk tiap-tiap tipe koperasi yang berbeda-beda itu. Misalnya di Jepang ada beberapa undang-undang yang berlainan mengenai koperasi pertanian, koperasi perikanan, koperasi kerajinan tangan, koperasi industry kecil. Bentuk undang-undang khusus bagi tipe koperasi yang berbeda dapat juga ditemukan di Negara EropaTimur.
4. Isi Undang-Undang Koprasi
Undang-undang Koprasi memiliki cirri umum tertentu yang dibagi dalam beberapa permasalahan terstruktur yakni:

∞ Asas-asas Koperasi dan Undang-undang Koperasi
Di Beberapa Negara terutama Prancis, Inggris, serta Belanda semua asas koperasi itu dimasukkan dan kemudian membentuk undang-undang tanpa menyebutkannya secara tegas, misalnya:
• Keanggotaan sukarela
• Keanggotaan terbuka
• Manajemen dan control demokratis
• Distribusi keuntungan ekonomis secara layak
• Tidak dapat dibaginya dana cadangan

∞ Pembentukan Koperasi
Koperasi diciptakan dengan cara yang sama seperti organisasi usaha biasa yaitu pendaftaran koperasi dalam register umum. Di Negara yang menyelenggarakan ekonomi berencana secara sentral, pembentukan koperasi dilakukan dalam rangka rencana nasional. Di Negara berkembang, prosedur pembentukan khusus telah dikembangkan termasuk control material dari proses pembentukan oleh instansi pemerintah urusan pengembangan koperasi. Dengan pendaftaran dalam register umum, koperasi memperoleh status badan hukum. Tetapi konsekuensi badan hukum berbeda menurut system hukum dimana pendaftaran itu dilakukan.

∞ Kedudukan Anggota dan Alat Kelengkapan
Kedudukan seorang anggota koperasi ditandai oleh kecakapan rangkapnya sebagai anggota perhimpunan koperasi dan pengguna jasa-jasa yang diberikan oleh badan usaha koperasi, dengan kata lain setiap anggota koperasi memiliki hak dan kewajibannya masing-masing.
Dalam semua undang-undang koperasi, organ koperasi adalah Rapat Anggota dan Pengurus. Di kebanyakan Negara, ditambah dengan organ ketiga yaitu badan pemeriksa.

∞ Keuangan Koperasi
Ketentuan modal saham yang kuat menimbulkan masalah sulit yang erat sekali hubungannya dengan stuktur organisasi yang khas daripada koperasi. Dalam organisasi yang didasarkan pada person anggota, dan kendati pun mempunyai keanggotaan berubah-ubah dalam mana tekanan utama diletakkan pada kerjasama perorangan dan bukan pada kontribusi modal, maka terdapat kecenderungan untuk mengurangi kontribusi saham. Untuk menentukan dasar modal yang cukup kuat, biasanya modal saham yang kecil dan tidak stabil harus dilengkapi dengan tanggung jawab tambahan daripada para anggota perorangan dan dengan membentuk dana cadangan.

∞ Hubungan antara Pemerintah dengan Koperasi
Di Negara berkembang dimana pengembangan koperasi disponsori oleh pemerintah, undang-undang koperasi memuat bab khusus atau ketentuan khusus yang mengatur tugas, kekuasaan, dan kewajiban badan atau instansi pemerintah urusan pengembangan koperasi. Lebih lanjut, hubungan antara koperasi dan instansi pemerintah urusan pengembangan koperasi ialah berkenaan dengan banyaknya ketentuan yang dibuat untuk pelaksanaan undang-undang koperasi.

5. Usaha-usaha Menstandarisasi Undang-undang Koperasi
Dalam tahun 1966, Organisasi Rekonstruksi Daerah Pedesaan di Asia Afrika mengajukan model undang-undang koperasi pada konferensi di Nairobi, yang sedemikian jauh telah diberi sedikit perhatian. Rekomendasi No. 127 Konferensi Buruh Internasional 1966 yang memuat beberapa pedoman untuk menyelesaikan undang-undang koperasi bagi Negara-negara berkembang. Dalam tahun 1973, Regional Office and Education Centre ICA untuk Asia Tenggara juga mengajukan model undang-undang koperasi yang dicetak ulang dalam publikasi oleh P. W. Weerman, R. C. Dwivedi dan P. Sheshadri: “Undang-undang Koperasi India Betentangan dengan Asas-asas Koperasi”

Sumber: Bab I Hukum Koperasi, Prof Dr. Hans Munkneer terjemahan Abdul Kadir




Lowongan Pekerjaan Terbaru untuk Mahasiswa Hukum

0 komentar
Panitia Day Of Law Carrie mengundang mahasiswa dan lulusan Fakultas Hukum UI untuk datang pada hari Senin - Rabu, tanggal 16-18 Maret 2009 dalam rangka Bursa Kerja & Beasiswa DoLC.
Bawa CV, surat lamaran (magang/kerja), dan transkrip nilai untuk memberikannya ke stand yang telah disediakan.
Stand-stand yang akan mengisi acara bursa kerja, antara lain:
1. ASSEGAF HAMZAH & PARTNERS
2. PERTAMINA,
3. SOEWITO SOEHARDIMAN EDDYMURTHY KARDONO
4. SOEMADIPRADJA & TAHER
5. LUBIS SANTOSA MAULANA
6. MELLI DARSA & CO
7. KPK
8. MAHKAMAH KONSTITUSI
9. YLBHI,
10. LBH APIK
11.GREENPEACE,
and many more.

Stand-stand yang akan mengisi bursa beasiswa, antara lain:
12.DAAD
13.CDC-UI
14.AIM
15.NUFIC NESO,
and many more

Modal-modal dan Prinsip Keuangan, Hukum Koperasi (4)

0 komentar
Modal-modal dan Prinsip Keuangan

A. Pengertian Modal dalam Koperasi
Koperasi yakni badan hukum yang memiliki keunikan, yakni selain adanya sekumpulan manusia, maka koprasi juga harus memerlukan modal. Koprasi menghimpun dana harus sesuai dengan lingkup dan jenis usaha. Dana inilah yang disebut sebagai modal. Dalam rangka mendirikan badan usaha koperasi, yang ditetapkan sebagai syarat minimum pendirian koperasi adalah jumlah anggota pendiri. Sedangkan dalam praktik sebagian besar modal minimum yang harus disetor tidak ditentukan. Ada tiga alasan dasar mengapa koperasi membutuhkan modal, yaitu:
1. Untuk membiayai proses pendirian koperasi, lazimnya disebut sebagai biaya pra organisasi
2. Untuk membeli barang-barang modal yang dalam perhitungan perusahaan digolongkan menjadi harta tetap/ fixed assets
3. Untuk modal kerja/ working capital, biasanya digunakan untuk membiayai operasional koperasi, biaya-biaya rutin dalam menjalankan usahanya.
Sumber modal yang dapat dijadikan modal usaha koperasi : secara langsung dan secara tidak langsung.
a. Secara langsung: mengaktifkan simpanan wajib anggota, mengaktifkan pengumpulan tabungan para anggota, dan mencari pinjaman dari pihak bank atau nonbank dalam menunjang kelancaran operasional usaha koperasi
b. Secara tidak langsung: menunda pembayaran yang seharusnya dikeluarkan, memupuk dana cadangan, melakukan kerja sama usama, mendirikan badan usaha bersubsidi.

B. Modal Koperasi
Yang dapat menjadi sumber dana untuk memupuk permodalan koperasi, antara lain sebagai berikut:
a. Modal sendiri. Dapat berasal dari:
• Simpanan pokok
• Simpanan wajib
• Dana cadangan
• Hibah
b. Modal pinjaman. Dapat berasal dari:
• Pinjaman dari anggota
• Pinjaman dari anggota koperasi lain
• Pinjaman dari koperasi lain
• Pinjaman dari bank dan lembaga keuangan lain
• Pinjaman dengan menerbitkan obligasi dan surat utang lainnya
• Sumber-sumber pinjaman lain yang dibenarkan

C. Modal Penyertaan
Berdasarkan SK Menteri Koperasi No. 145/Menkop/1998, penanaman modal penyertaan dapat diperoleh dari pemerintah, dunia usaha, dan badan usaha lainnya baik yang berkedudukan di dalam negeri maupun di luar negeri, serta dari masyarakat umum. Pemupukan dana koperasi yang berasal dari modal penyertaan dilakukan dalam rangka memperluas kemampuan untuk menjalankan kegiatan usaha koperasi terutama usaha yang memerlukan proses jangka panjang. Kedudukan modal penyertaan ini sama dengan equity, jadi mengandung resiko bisnis.

D. Sisa Hasil Usaha (SHU)
SHU dapat dipandang dari dua sisi: pertama, SHU ditentukan dari cara menghitungnya seperti dalam Pasal 45 ayat (1) UU Perkoperasian; dari sisi kedua, sebagai badan usaha yang mempunyai karakteristik dan nilai-nilai tersendiri maka sebutan SHU merupakan makna yang berbeda dari keuntungan/laba.

1. SHU Koperasi Pemasaran
PK = Hjk . Qjk
PK: Pendapatan Koperasi
Hjk: Harga jual produk koperasi per satuan ke pasar
Qjk: Kuantitas jual produk koperasi ke pasar

2. SHU Koperasi Pembelian
PK = Hjka .Kba
Hjka: Harga per satuan barang yang dibeli oleh anggota dari koperasi
Kba: kuantitas belanja yang dilakukan oleh anggota kepada koperasi

3. SHU Koperasi Simpan Pinjam
PK = Vka + Bka
Vka: besar pokok pinjaman yang disalurkan kepada anggota
Bka: bunga ditambah dengan biaya administrasi pinjaman

E. Prinsip Keuangan
Karakteristik badan usaha koperasi berbeda dengan badan usaha lainnya, maka sistem manajemen dan pengelolaan keuangan dalam organisasi koperasi pun mempunyai karakteristik tertentu. Oleh karena itu Ikatan Akuntansi Indonesia telah membuat standar tersendiri untuk sistem keuangan dan pembukuan koperasi yang mereka namakan Sistem Akuntansi Perkoperasian yang antara lain mengatur tentang:
1. Equity atau ekuitas: seluruh modal dari anggota yang bersumber pada simpanan-simpanan yang memiliki karakteristik dengan simpanan pokok serta modal-modal lalinnya
2. Modal Penyertaan: diakui sebagai ekuitas koperasi dan tidak berbentuk uang maka pencatatan dalam bentuk tafsiran barang dari harga pasar.
3. Modal Sumbangan:pinjaman yang diakui sebagai kewajiban jangka panjang dan dijelaskan dalam catatan atas laporan keuangan.
4. Dana Cadangan: sebagai alat pembentukan dana cadangan, pembayaran tambahan, serta hasil sisihan dari SHU yang harus dicatat atas laporan keuangan.
5. SHU: sebagai kebiasaan dalam sebuah koperasi karena AD menentukan demikian serta dibagikan pada saat akhir periode kepengurusan.
6. Kewajiban: tidak termasuk dalam kualifikasi sebagai ekuitas dan dicatat sebagi suatu kewajiban yang terpisah, dan suatu simpanan anggota yang dapat diambil sewaktu-waktu oleh koperasi dapat dikualifikasikan sebagai koperasi.
7. Aktiva: diperoleh dari sumbangan yang terikat dari penggunaannya dan tidak dapat dijual untuk menutupi kerugian koperasi yang diakui.
8. Transaksi Usaha Koperasi: pendapatan koperasi yang timbul dari transaksi bruto, transaksi dengan anngota, serta beban-beben usaha yang disajikan terpisah
Bendahara seharusnya mengikuti kedelapan butir pos-pos yang acapkali muncul dalam penyajian laporan keuangan koperasi sesuai dengan standar akuntansi 1998. Dan kesalahan dari laporan tersebut bisa dipertanggungjawabkan secara perdata maupun pidana apabila menyalahi kewenangannya menyediakan suatu informasi yang menyesatkan dalam tempo tidak lebih dari 30 hari.

Diringkas dari Buku Hukum Koperasi Anjar Pachta



Sebuah Lagu tentang Terdakwa yang Diduga Bersalah

1 komentar
Sebuah lagu dari sebuah TV Series yang cukup baik untuk seorang lawyer adalah "lawyers, guns and money" coba saksikanlah filmnya dan dengarkan liriknya. ini adalah cuplikan lirik dari lagu tersebut.

ARTIST: Warren Zevon
TITLE: Lawyers, Guns and Money
Lyrics and Chords


I went home with the waitress
The way I always do
How was I to know
She was with the Russians, too

I was gambling in Havana
I took a little risk
Send lawyers, guns and money
Dad, get me out of this, ha

I'm the innocent bystander
But somehow I got stuck
Between a rock and a hard place
And I'm down on my luck
Yes, I'm down on my luck
Well, I'm down on my luck

Now I'm hiding in Honduras
I'm a desperate man
Send lawyers, guns and money
The shit has hit the fan

Send lawyers, guns and money {4X}






Pelaksanaan Proses Merger Perbankan ditinjau dari Segi Hukum Administratif

1 komentar
Pelaksanaan Proses Merger Perbankan

Pendahuluan :

Dengan berlandaskan kesamaan visi untuk membangun sinergi dalam mengantisipasi era globalisasi dan reformasi perbankan maka dilaksanakan merger antara Bank.

Tujuan dilakukannya merger ini adalah untuk membentuk suatu bank hasil merger yang lebih solid, tangguh dan sehat yang ditunjang oleh modal & asset yang besar & kuat, jaringan usaha dan pelayanan yang semakin luas, teknologi yang canggih, sumber daya manusia yang lebih professional dan diversifikasi produk-produk perbankan yang lebih bervariasi. Selain itu dengan merger ini dimaksudkan untuk mewujudkan suatu bank yang unggul dan memberikan manfaat yang besar bagi para pemegang saham, karyawan, para nasabah, masyarakat maupun negara sekaligus sebagai langkah untuk --mempersiapkan bank dalam menghadapi era globalisasi dan menjadikannya sebagai world class company ;

Langkah melakukan merger ini merupakan hasil dari suatu proses penjajagan yang telah berjalan sejak dua tahun lalu dengan dilandasi oleh visi bersama mengenai upaya menyiapkan diri dalam menghadapi era globalisasi. Salah satu faktor pendorong dari rencana merger ini antara lain dalam rangka mendukung anjuran otoritas moneter yang pada waktu ini menetapkan bahwa modal disetor bank umum minimal sebesar Rp. 3 trilyun sehingga diharapkan perbankan menjadi tangguh dan sehat serta mampu berperan efektif dalam kehidupan perekonomian yang semakin terbuka ;

Perpaduan bank ini diharapkan dapat membangun dan menghasilkan suatu sinergi, sehingga lebih siap berkompetisi dalam skala nasional maupun internasional.

Landasan Hukum Merger Bank Umum :

Adapun landasan hukum Merger antar Bank Umum (Emiten) antara lain :
1. UU No. 40 Th. 2007 tentang Perseroan Terbatas
2. UU No. 21 Th. 2008 tentang Perbankan Syariah
3. UU No. 8 Th. 1995 tentang Pasar Modal
4. UU No. 7 Th. 1992 tentang Perbankan jo UU No. 10 Th. 1998
5. PP Nomor 27 Th. 1998 tentang Penggabungan, Peleburan dan Pengambilalihan Perseroan Terbatas
6. PP Nomor 28 Th. 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank
7. SK Direksi BI No.32/51/KEP/DIR tgl.14 Mei 1999 tentang Persyaratan & Tata Cara Merger, Konsolidasi & Akuisisi Bank Umum
8. SK Direksi BI No.32/52/KEP/DIR tgl.14 Mei 1999 tentang Persyaratan & Tata Cara Merger, Konsolidasi & Akuisisi Bank Perkreditan Rakyat
9. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal No. KEP-52/PM/1997 tentang Penggabungan Usaha atau Peleburan Usaha Perusahaan Publik atau Emiten (KEP-52) ;
10. Keputusan Ketua Badan Pengawas Pasar Modal No. KEP-12/PM/1997 tentang Benturan Kepentingan transaksi tertentu (KEP-12) { jika dalam merger tersebut mengandung unsur benturan kepentingan} ;

Langkah-langkah dalam proses merger :

I. Penandatanganan Naskah Kesepakatan

Dalam rangka melakukan persiapan-persiapan Penggabungan Usaha para Direksi Bank Peserta Penggabungan bersama-sama menandatangani Naskah Kesepakatan pada tanggal tertentu yang berisi antara lain mengenai kesepakatan untuk melakukan penjajagan perihal kemungkinan dilakukannya merger ;

Masing-masing Komisaris Bank Peserta Penggabungan telah menyetujui dan memberikan kewenangan penuh kepada Direksi bank-bank untuk melakukan penjajagan perihal kemungkinan dilakukannya Penggabungan oleh dan diantara Bank-bank Peserta Penggabungan

II. Pembentukan Tim Merger

Anggota dari Tim Merger ini terdiri dari Direksi dan senior officer Bank-bank Peserta Penggabungan ;

Tim Merger ini terbagi dua yaitu tim merger intern dimasing-masing bank dan tim merger gabungan yang beranggotakan Tim Merger dari Bank-bank Peserta Merger . Maksud dari penunjukan dan pembentukan tim ini antara lain dalam rangka menunjang pelaksanaan proses merger agar berjalan dengan sebaik-baiknya dan terbagi dalam dua bidang yaitu bidang hukum dan bidang finansial ;

Berdasarkan hasil pertemuan Tim merger ini kemudian dibuat Jadwal Sementara Penggabungan Usaha dan Rapat Umum Pemegang Saham (yang meliputi seluruh tahapan proses merger berikut penentuan waktunya)

III. Penunjukan pihak-pihak independen

Dalam merger ini Bank …… bertindak selaku koordinator dan juga Bank Penerima Penggabungan sedangkan Bank ….. merupakan Bank Yang Akan Melakukan Penggabungan.

Untuk memenuhi ketentuan PP-28 dan KEP-52 Bank Peserta Penggabungan menunjuk pihak-pihak independen sebagai berikut :
• Kantor Akuntan Publik
• Kantor Konsultan Hukum
• Appraisal Company
• Financial Advisor
• Kantor Notaris

IV. Proses Due Diligence

Dalam proses ini masing-masing pihak independen melakukan penilaian dan memberikan pendapatnya antara lain mengenai metode dan tata cara konversi saham, melakukan analisa mengenai kewajaran nilai saham, penilaian aktiva tetap dan memberikan pendapat mengenai aspek hukum dari Penggabungan usaha, pembuatan akta merger serta membantu mempersiapkan Rancangan Penggabungan Usaha

Waktu yang diperlukan dalam merger ini untuk melakukan proses due diligence adalah sekitar 5-6 bulan ;

Pembuatan Usulan Rancangan Penggabungan (URP) dan Rancangan Penggabungan (RP)

Untuk memenuhi ketentuan perundangan masing-masing Direksi bank peserta Penggabungan menyusun URP dan kemudian secara bersama-sama menyusun RP. Selanjutnya RP dimintakan persetujuan dalam Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa masing-masing Bank Peserta Penggabungan.

V. Pengiriman RP kepada Kreditur ;

RP dikirimkan dengan surat tercatat kepada seluruh kreditur dari Bank-bank Peserta Penggabungan 30 (tiga puluh) hari sebelum pemanggilan RUPSLB mengenai Penggabungan ;

VI. Penyampaian Pernyataan Penggabungan kepada Bapepam dan Bursa Efek ;

Untuk memenuhi ketentuan KEP-52 Direksi Bank Penerima Penggabungan menyampaikan Pernyataan Penggabungan paling lambat akhir hari kerja ke-2 setelah diperolehnya persetujuan Komisaris

VII. Pengumuman Ringkasan RP disurat kabar dan kepada Karyawan masing-masing bank peserta Penggabungan ;

Untuk memenuhi ketentuan KEP-52 dan UU No. 40/2007 ringkasan RP wajib diumumkan kepada masyarakat dalam 2 surat kabar harian berbahasa Indonesia paling lambat akhir hari kerja ke-2 setelah diperolehnya persetujuan Komisaris. Sedangkan pengumuman kepada karyawan Bank Peserta Penggabungan paling lambat 14 (empat belas) hari sebelum pemanggilan RUPSLB mengenai Penggabungan dari masing-masing Bank Peserta Penggabungan

VIII. Pembuatan Surat Edaran kepada Pemegang Saham ;

Untuk memenuhi ketentuan KEP-52 Bank Penerima Penggabungan menyediakan bagi pemegang saham surat edaran paling lambat 28 (dua puluh delapan) hari sebelum pelaksanaan RUPSLB mengenai Penggabungan



IX. Pembuatan konsep akta Penggabungan ;

Bank-bank Peserta Penggabungan dengan mengikut sertakan pihak independen dalam menyusun konsep Akta Penggabungan.
Sesuai dengan ketentuan PP-28 konsep Akta Penggabungan yang telah mendapat persetujuan dari RUPSLB mengenai Penggabungan dituangkan dalam akta Penggabungan yang dibuat dihadapan Notaris

X. Pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa diikuti dengan pelaporan dan pengumuman hasil RUPSLB kepada pihak-pihak terkait ;

Untuk memenuhi ketentuan UU No. 40/2007 dan PP-28 maka RP dan konsep Akta Penggabungan harus mendapatkan persetujuan dari RUPSLB dari masing-masing Bank Peserta Penggabungan.
Bank Penerima Penggabungan melaporkan kepada Bapepam, Bursa Efek mengenai hasil dari RUPSLB mengenai Penggabungan

XI. Pengajuan izin Penggabungan ke Bank Indonesia

Sesuai ketentuan Direksi Bank Peserta Penggabungan secara bersama-sama mengajukan permohonan untuk memperoleh izin Penggabungan dengan tembusan ke Menteri Hukum & HAM

Fernandes Raja Saor