Memori van Toelichting

Tidak semua karya disini itu saya salin, ada pula yang murni dari analisis pribadi, sehingga tidak memerlukan lagi catatan kaki ataupun daftar pustaka Sedangkan apabila anda tidak senang dengan blog ini karena mungkin anda merasa ada karya anda yang saya terbitkan tidak menyertakan sumber, saya mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya; semua semata-mata hanya kekhilafan, karena motivasi utama saya dalam membuat blog ini adalah "demi kemajuan bangsa Indonesia untuk lebih peka terhadap hukum sebagaimana yang dicita-citakan oleh Bung Karno". Serta yang terpenting ialah adagium, "Ignorantia iuris nocet" yang artinya Ketidaktahuan akan hukum, mencelakakan, semoga blog bermanfaat untuk semua orang untuk sadar hukum.

Disclaimer


Blog ini bukanlah blog ilmiah, dan Informasi yang tersedia di www.raja1987.blogspot.com tidak ditujukan sebagai suatu nasehat hukum,
namun hanya memberikan gambaran umum terhadap suatu informasi atau permasalahan hukum yang sedang dihadapi.

------------------------------

nomor telepon : 0811 9 1111 57
surat elektronik : raja.saor@gmail.com
laman : www.rikifernandes.com

Unsur Peringan Tuntutan Pidana, Jasa kepada Negara

Adapun perbuatan terdakwa yang baik selama persidangan sudah dianggap klasik dalam hukum acara pidana, ternyata ada dasar peringan baru yang kembali populer di kalangan hakim, setidak-tidaknya info ini bisa dijadikan dasar untuk dipaparkan pada saat pembuktian oleh pada advokat di Indonesai, unsur tersebut ialah "jasa terhadap Negara"

Jasa Terhadap Negara Sebagai Unsur merupakan salah satu unsur yang dapat Meringankan pidana dari klien advokat, selanjutnya apa yang disebut jasa kepada negara ialah :

Disparitas tuntutan dan hukuman seseorang bisa ditentukan oleh jasa dan pengabdian terhadap negara. Bahkan jasa terhadap masyarakat dianggap sebagai unsur meringankan.

Tuntutan lima belas tahun penjara kepada Muchdi Purwoprandjono alias Muchdi Pr menimbulkan tanda tanya sejumlah pihak. Pasalnya, Muchdi dianggap menyuruh Pollycarpus Budihari Priyanto melakukan pembunuhan terhadap aktivis hak asasi manusia, Munir. Dalam persidangan, jaksa menuntut Pollycarpus hukuman seumur hidup, dan Mahkamah Agung menghukum pilot senior Garuda itu hukuman 20 tahun penjara potong masa tahanan.

Berdasarkan konstruksi hukum pidana, mestinya orang yang menyuruh melakukan dituntut lebih berat daripada orang yang melakukan. Tetapi faktanya, jaksa ‘hanya’ menuntut Muchdi lima belas tahun penjara potong masa tahanan. Komite Solidaritas untuk Munir (Kasum) tentu saja berang terhadap tuntutan Kejaksaan tersebut.

Selaku penuntut umum Kejaksaan tak tinggal diam. Jaksa Agung Muda Pidana Umum Abdul Hakim Ritonga menegaskan tuntutan 15 tahun terhadap Muchdi merupakan kewenangan jaksa. Sebelum mengajukan tuntutan, Kejaksaan sudah mempertimbangkan hal-hal atau keadaan sekitar perbuatan terdakwa. Normatifnya, Kejaksaan akan menuntut seseorang dengan tuntutan maksimal kalau ditemukan unsur memberatkan. Sebaliknya, terdakwa dituntut ringan atau lebih ringan dari orang lain karena ada unsur meringankan.

Dalam konteks terakhir inilah Muchdi Pr ‘hanya’ dituntut 15 tahun penjara, lebih rendah dari tuntutan dan hukuman Pollycarpus. “Terdapat hal-hal yang meringankan pada diri pelaku,” kata Ritonga, usai meresmikan Sekolah Antikorupsi di SMU Negeri 3 Jakarta.

Terdakwa Muchdi Pr berlatar belakang militer, malah pernah menjadi Danjen Kopassus. Menurut Ritonga, terdakwa berjasa kepada negara sebagaimana antara lain dibuktikan sekitar 12 penghargaan. Antara lain Satya Lencana Bintang Kehormatan, Bintang Yudha Dharma Pratama, Satya Lencana Seroja, dan Bintang Yudha Dharma Naraya.

Ritonga menampik tuntutan Muchdi karena intervensi Pemerintah. Tuntutan 15 tahun murni datang dari Kejaksaan, dengan mempertimbangkan jiwa keadilan. Jiwa keadilan, kata dia, jangan dilihat siapa yang menafsirkan, atau pro ini atau pro itu. “Dibanding Pollycarpus, Muchdi memiliki jasa-jasa kepada negara,” timpal Kapuspenkum Kejaksaan, M. Jasman Panjaitan.

Aktivis Komite Solidaritas untuk Munir, Choirul Anam, menilai alasan Kejaksaan tidak berdasar. Pasal yang didakwakan kepada Muchdi berhubungan dengan jabatan. Malah, dengan tindakan menyuruh melakukan pembunuhan terhadaqp Munir, terdakwa dinilai Choirul telah menyalahgunakan jabatannya. Seperti diketahui, Muchdi didakwa Pasal 55 ayat (1) ke-2 jo Pasal 340 atau Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo Pasal 340 KUHP. Dalam dakwaan pertama, mantan Deputi V/Penggalangan Badan Intelijen Negara (BIN) itu diduga melakukan pembunuhan berencana dalam kapasitasnya sebagai uitlokker. “Mereka yang dengan memberi atau menjanjikan sesuatu dengan menyalahgunakan kekuasaan atau martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan”. Sementara, dalam dakwaan kedua Muchdi diduga melakukan, menyuruh melakukan, dan turut serta melakukan perbuatan.

Choirul berpendapat kejahatan yang dilakukan oleh pejabat publik, harus lebih berat hukumannya dari pada yang dilakukan oleh orang biasa. Menurutnya, alasan yang dilakukan Kejaksaan adalah hal yang mengada-ada. Sebaliknya, pengacara Muchdi tegas-tegas meminta pengadilan membebaskan kliennya karena tidak terbukti melakukan kejahatan seperti didakwakan jaksa. Malah, Muchdi menganggap tuntutan tersebut sebagai puncak kezaliman dan fitnah terhadap dirinya.

Berjasa dan Tidak Berjasa?
Diskon tuntutan atau hukuman karena jasa terhadap bangsa dan negara sebenarnya bukan hanya berlaku pada Muchdi seorang. Pengadilan Militer III-12 Surabaya juga pernah mempertimbangkan hal serupa ketika menghukum 13 anggota marinir yang terlibat kasus penembakan Alastlogo yang menewaskan empat orang warga sipil dan melukai tujuh lainnya.

Dalam kasus Alastlogo, para terdakwa dihukum antara 1,5 tahun hingga 3 tahun. Vonis ini lebih ringan dibanding tuntutan. Oditur militer Letkol CHK Agung Iswanto semula menuntut ke-13 terdakwa hukuman 2,5 tahun hingga 4 tahun penjara. Salah satu yang membuat majelis hakim dipimpin Letkol CHK Yan Ahmad Mulyana menghukum lebih ringan adalah karena para terdakwa pernah berjasa menjaga kedaulatan negara Indonesia dalam berbagai operasi.

Jasa dalam bidang kemiliteran tampaknya menjadi unsur penting yang meringankan. Bagaimana dengan seseorang yang berjasa mengendalikan gejolak perekonomian? Pengalaman Burhanuddin Abdullah menjadi contoh nyata. Semasa menjabat Gubernur Bank Indonesia Burhanuddin dianggap bisa membangun hubungan harmonis Bank Sentral dengan Pemerintah, sehingga berdampak positif pada kestabilan ekonomi makro.

Pada persidangan di Pengadilan Tipikor, jasa-jasa Burhanuddin mengendalikan gejolak moneter tak diakomodir jaksa. Jaksa menuntut Burhanuddin 8 tahun penjara dan membayar denda Rp500 juta. Jasa-jasanya selama menjabat Gubernur BI tak dipertimbangkan sama sekali. Bagi jaksa, unsur yang meringankan hanya karena Burhanuddin belum pernah dihukum dan tidak menikmati hasil korupsi.

Jasa kepada masyarakat
Jasa seorang terdakwa bukan hanya menjadi pertimbangan jaksa. Majelis hakim tinggi pun pernah mempertimbangkan hal tersebut. Salah satunya dalam kasus pengusaha Probosutedjo.

Pada saat banding, hukuman Probo -- terhukum korupsi dana reboisasi senilai Rp100,9 miliar –dikurangi dari empat menjadi dua tahun. Ada tiga pertimbangan hakim banding meringankan hukuman Probosutedjo: terdakwa telah berjasa kepada masyarakat, meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar, dan memperbaiki kualitas lingkungan hidup dan produktivitas lahan. Namun di tingkat kasasi, hukuman Probosutedjo dikembalikan ke empat tahun penjara.

sumber : hukumonline.com

0 komentar: