Memori van Toelichting

Tidak semua karya disini itu saya salin, ada pula yang murni dari analisis pribadi, sehingga tidak memerlukan lagi catatan kaki ataupun daftar pustaka Sedangkan apabila anda tidak senang dengan blog ini karena mungkin anda merasa ada karya anda yang saya terbitkan tidak menyertakan sumber, saya mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya; semua semata-mata hanya kekhilafan, karena motivasi utama saya dalam membuat blog ini adalah "demi kemajuan bangsa Indonesia untuk lebih peka terhadap hukum sebagaimana yang dicita-citakan oleh Bung Karno". Serta yang terpenting ialah adagium, "Ignorantia iuris nocet" yang artinya Ketidaktahuan akan hukum, mencelakakan, semoga blog bermanfaat untuk semua orang untuk sadar hukum.

Disclaimer


Blog ini bukanlah blog ilmiah, dan Informasi yang tersedia di www.raja1987.blogspot.com tidak ditujukan sebagai suatu nasehat hukum,
namun hanya memberikan gambaran umum terhadap suatu informasi atau permasalahan hukum yang sedang dihadapi.

------------------------------

nomor telepon : 0811 9 1111 57
surat elektronik : raja.saor@gmail.com
laman : www.rikifernandes.com

Analisis Kasus Posisi Perlindungan Konsumen II

12 komentar

KASUS POSISI
Dalam Perkara Perdata P.T. (PERSERO) PERUSAHAAN PENERBANGAN GARUDA INDONESIA, beralamat di Jalan Merdeka Selatan No.13 Jakarta 10110 dan turut berkantor di Jalan Monginsidi No.34 A Medan ; MELAWAN P.T. TROPHY TOUR, beralamat di Jalan Brigjend. Katamso No.33 D-E Medan;

a. Ticket Nomor Seri 6371870773 2 untuk dari Medan ke Jakarta dengan carrier GA, flight 185, class D, date 20 May, time 10.50, status OKDEOW, dengan harga yang tercantum dalam ticket tersebut sebesar Rp.1.705.500,- (satu juta tujuh ratus lima ribu lima ratus rupiah) ;
b. Ticket Nomor Seri 6371870775 4 untuk dari Jakarta pulang ke Medan dengan carrier GA, flight 184, class V, date 21 May, time 17.40, status OKVEOWPR, dengan harga yang tercantum dalam ticket tersebut sebesar Rp.583.500,- (lima ratus delapan puluh tiga ribu lima ratus rupiah) ; yang pada saat dibayar, Tergugat II memberi diskon sehingga Penggugat hanya bayar Rp.2.240.000,- (dua juta dua ratus empat puluh ribu rupiah) sebagaimana ternyata dari Debet Invoice No.01001055 bertanggal 20 Mei 2003 ; bahwa selanjutnya Tergugat I melalui Tergugat II menyatakan ticket yang dibeli Penggugat tersebut di atas, berdasarkan *QPGQ14 < GA RESPONSE, adalah dalam keadaan status sebagai berikut :
1. GA 185 D 20 MAY MESCGK RR1 1050-2 1300-2 C ;
2. GA 194 V 20 MAY CGKMES HL1 1740-2 1950-2 Y ;
3. GA 194 V 21 MAY CGKMES HK1 1740-3 1950-2 Y ;
bahwa Penggugat terpaksa membeli ticket pesawat terbang dari Tergugat I untuk penerbangan GA 185 class D (business) (atau identik dengan Class C dalam Boarding Pass) karena mendapat penjelasan dari pihak Tergugat II bahwa ticket class V (identik dengan class ekonomi) telah habis terjual, walaupun harga ticket class D tersebut hampir 3 (tiga) kali lipat dari harga ticket class V, dengan harapan Penggugat dapat melakukan penerbangan secara nyaman dan lebih terjamin sesuai dengan jadwal yang ditentukan olehTergugat I ;
bahwa akan tetapi ternyata jadwal keberangkatan pesawat terbang GA 185 pada tanggal 20 Mei 2003 yang ditetapkan Tergugat I adalah 10.50 WIB tersebut mengalami keterlambatan (delayed) penerbangan, sehingga pesawat terbang Tergugat I baru boarding pada pukul 11.35 WIB ;
bahwa atas keterlambatan penerbangan tersebut, Penggugat sebagai calon pengguna jasa angkutan udara tersebut belum dan tidak mendapat pelayanan yang layak dan atau ganti kerugian dari Tergugat I sebagaimana yang dimaksud dalam ketentuan Peraturan Pemerintah R.I. No.40 Tahun 1995 jo Peraturan Pemerintah R.I. No.3 Tahun 2000 tentang Angkutan Udara, khususnya Pasal 40 jis Pasal 41 ayat (2), Pasal 42 huruf c dan Pasal 43 ayat (4)
bahwa selanjutnya di atas pesawat terbang tersebut ternyata masih ada tempat duduk yang kosong di class ekonomi tidak seperti penjelasan yang diberikan oleh Tergugat II kepada Penggugat pada saat Penggugat membeli ticket pesawat terbang tersebut dari Tergugat I melalui Tergugat II, sehingga dengan demikian jelas Tergugat I melalui agen resminya di Medan Tergugat II sebagai para pelaku usaha secara itikad tidak baik dalam melakukan kegiatan usaha mereka, sebab telah memberi informasi yang menyesatkan, tidak benar dan tidak jujur mengenai kondisi jasa yang diperdagangkan sebagaimana yang diwajibkan dalam ketentuan Pasal 7 huruf a, b, c,d, f dan g dari Undang-Undang R.I. No.9 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ;
bahwa disamping itu karena keterlambatan penerbangan tersebut, pesawat terbang Tergugat I tersebut baru tiba di Bandara Udara Soekarno Hatta sekitar pukul 13.35 WIB, sehingga telah mengakibatkan Penggugat terlambat dan tidak dapat menjalankan pekerjaan Penggugat sebagai pengacara guna mewakili clien Megatina Sadeli untuk menghadiri persidangan di Pengadilan Tata
Usaha Negara di Jakarta dalam perkara Reg.No.10/G.TUN/2003/ PTUN.Jkt., yang beralamat di Jalan A. Sentra Primer Baru Timur, Pulo Gebang, Jakarta Timur, walaupun Penggugat telah berusaha mencarter taksi Golden Bird Limousine di dalam Bandara Soekarno Hatta sebagaimana terbukti dari Invoice No.5365966 MA bertanggal 20 Mei 2003, dengan harga yang jauh lebih mahal dari tarif taksi biasa ;

bahwa selanjutnya pada hari yang sama Penggugat mencarter taksi kembali dan sampai ke Bandara Udara Soekarno Hatta sekitar pukul 16.05 WIB serta langsung ke Counter bagian Boarding Tergugat I dengan maksud untuk check in, akan tetapi Penggugat diberitahukan oleh petugas bandara bahwa ticket Penggugat untuk jurusan Jakarta ke Medan yang dibeli Penggugat dari Tergugat I melalui Tergugat II tersebut adalah dalam keadaan status waiting list, dan Penggugat disuruh lapor kembali di Counter Boarding Tergugat I tersebut pada pukul 17.15 WIB ;
bahwa pada saat Penggugat melapor kembali kepada petugas di Counter Boarding Tergugat I di Bandara Soekarno – Hatta sekitar jam 17.10 WIB, Penggugat baru diberitahukan oleh petugas tersebut
bahwa Penggugat bisa dapat tempat duduk (seat) guna penerbangan GA 194 untuk tanggal 20 Mei 2003 pada jam 17.40 WIB asal Penggugat bersedia dibebani biaya tambahan yang harus Penggugat setor ke kasir Tergugat I yang ada di Bandara Soekarno – Hatta, namun petugas tersebut tidak menjelaskan dan menerangkan bahwa penerbangan GA 194 untuk tanggal 20 Mei 2003 dengan jadwal jam 17.40 WIB akan mengalami keterlambatan ;
bahwa karena Penggugat dalam keadaan terjepit tidak ada pilihan lain, selain terpaksa harus mengikuti kemauan petugas di Counter Boarding Tergugat I tersebut, maka Penggugat diberi Boarding Pass oleh petugas tersebut sebagai alat bukti untuk dibawadan ditunjukkan kepada kasir Tergugat I yang ada di Bandara Soekarno – Hatta tersebut ;
bahwa selanjutnya oleh kasir Tergugat I yang ada di Bandara Soekarno – Hatta, Penggugat diberitahukan harus membayar uang tambahan sebesar Rp.580.000,- (lima ratus delapan puluh ribu rupiah) lagi baru bisa mendapat atau membeli tempat duduk (seat) dengan class yang sama untuk penerbangan GA 194 tanggal 20 Mei 2003 jam 17.40 WIB, sebagaimana ternyata dari ticket baru yang diberikan oleh kasir Tergugat I dengan Nomor Seri 126 4010 674757 5 untuk penerbangan GA 194 tanggal 20 Mei 2003 jam 17.40 WIB, walaupun dalam ticket tersebut hanya tercantum harga sebesar Rp.576.400,- (lima ratus tujuh puluh enam ribu empat ratus rupiah) ;
bahwa para Tergugat dalam iklan promosinya setiap hari di Harian Realitas terbitan Medan, juga tidak pernah dan tidak ada mencantumkan bahwa harga ticket yang dipromosikan para Tergugat dengan harga sebesar Rp.583.500,- (lima ratus delapan puluh tiga ribu lima ratus rupiah) seperti yang dibeli oleh Penggugat Tersebut, apabila hendak dipergunakan tidak sesuai jadwal atau waktu yang tercantum dalam ticket tersebut, atau status ticket yang dalam keadaan waiting list apabila dalam penerbangan tersebut masih mempunyai tempat duduk (seat) maka pemegang ticket dengan status waiting list tersebut harus menambah biaya sebesar Rp.580.000,- (lima ratus delapan puluh ribu rupiah) sebagaimana yang dibebankan kasir Tergugat I kepada Penggugat baru boleh ikut dalam penerbangan yang dimaksud dalam ticket waiting list tersebut ;
bahwa adalah sangat tidak dapat diterima oleh logika yang sehat, bahwa Penggugat yang memegang ticket Tergugat I dengan status waiting list untuk penerbangan GA 194 tanggal 20 Mei 2003 jam 17.40 WIB, tidak bisa mendapat tempat duduk (seat) untuk penerbangan GA 194 pada tanggal 20 Mei 2003, sementara ternyata di atas pesawat terbang Tergugat I tersebut masih ada tempat duduk yang kosong untuk class yang sama, dan lebih tidak masuk akal lagi Penggugat baru bisa ikut terbang dalam penerbangan tersebut apabila Penggugat membayar biaya tambahan sebesar Rp.580.000,- (lima ratus delapan puluh ribu rupiah) dengan mendapat ticket yang baru, sementara persyaratan tersebut tidak diberlakukan terhadap calon penumpang yang lain secara umum juga berstatus waiting list, melainkan hanya diberlakukan terhadap Penggugat secara diskriminatif yang mungkin karena nama Penggugat adalah seorang Warga Negara Indonesia Keturunan Cina yang dianggap mempunyai kelebihan uang di saku dan dengan mudah dapat “dikerjain” dan “dikibuli” secara sesuka hati ;
bahwa dengan demikian jelas para Tergugat sebagai para pelaku usaha dalam melakukan kegiatan usaha mereka telah beritikad tidak baik, karena tidak memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi jasa (ticket) serta memberi penjelasan penggunaan jasa (ticket) tersebut dan tidak memperlakukan atau melayani Penggugat sebagai konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif, serta tidak sesuai dengan keterangan, iklan atau promosi penjualan jasa yang ditawarkan dEngan harga promosi yang ternyata mengandung janji yang belum pasti, sebagaimana yang diwajibkan dalam ketentuan Pasal 7 huruf a, b dan c jis Pasal 8 ayat (1) huruf f dan j dan Pasal 9 ayat (1) huruf k Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen ;
bahwa selanjutnya jadwal keberangkatan pesawat terbang GA 194 yang dikelola Tergugat I pada tanggal 20 Mei 2003 adalah jam 17.40 WIB tersebut juga mengalami keterlambatan (delayed) penerbangan, yang pada mulanya diundurkan sampai pukul 18.15 WIB, kemudian dimundurkan lagi sampai pukul 18.45 WIB dan akhirnya diundurkan lagi serta ganti pesawat, dan baru Boarding pada pukul 19.30 WIB, sebagaimana terbukti dari pemberitahuan kepada penumpang yang dilakukan manajemen Tergugat I melalui Branch Office Manager Soekarno Hatta Airport, yang bertindak atas nama Teguh Subandrio ;

ANALISA YURIDIS
Dari kasus yang telah diuraikan diatas maka akan sangat mudah untuk mengidentifikasi menggunakan dasar hukum yakni : Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK). Lahirnya Undang-undang ini memberikan harapan bagi masyarakat Indonesia, untuk memperoleh perlindungan atas kerugian yang diderita atas transaksi suatu barang dan jasa. UUPK menjamin adanya kepastian hukum bagi konsumen.
Sedangkan ketentuan mengenai sangksi pidana dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang hanya diatur dalam 3 pasal yakni Pasal 61, 62 dan 63. Hal ini menurut saya sengaja ditambahkan sebagai unsure kepastian hukum bagi yang melanggar agar mematuhi karena ada sangksi pidananya. Namun sanksi pidana ini tidak digarap dengan serius oleh pembuat Undang-undang yang menyamaratakan segala perbuatan pada pasal Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 13 ayat (2), Pasal 15, Pasal 17 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf c, huruf e, ayat (2) dan Pasal 18 dengan memberikan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000,00 (dua juta rupiah) sebagaimana dijelaskan pada pasal 62 Undang-Undang Nomo 8 Tahun 1999.
Perlindunan konsumen sebagaimana pasal 1 ayat (1) menyebutkan arti dari perlindungan konsumen yakni : segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi kepada konsumen. Sedangkan arti yang tidak kalah penting ialah Konsumen, yakni setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Kata tidak diperdagangkan ini berarti konsumen yang dilindungi ialah konsumen tingkat akhir dan bukanlah konsumen yang berkesempatan untuk menjual kembali atau reseller consumer.
Asas yang terkandung dalam UU Perlindungan Konsumen dapat dibagi menjadi menjadi 5 asas utama yakni : Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan, Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil, Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual, Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan; Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Perlindungan konsumen sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, bertujuan untuk Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa, Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi, Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha, Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
Undang-Undang Perlindungan Konsumen bukanlah Undang-Undang mengenai tindak pidana saja, namun UU Perlindungan Konsumen mengatur juga mengenai hukum administrasi, hukum perdata, hukum pidana serta yang tidak kalah penting yakni alternative penyelesaian sengketa. Sangat terlihat dari kasus diatas bahwa PT TROPHY TOUR sudah melakukan upaya administrasi, dan hukum perdata. Karena Sangksi Pidana merupakan Ultimum Remedium maka seyogyanya memang tepat apabila diupayakan secara perdata terlebih dahulu.
Jika dihubungkan uraian kasus posisi menggunakan Undang-Undang perlindungan konsumen dengan Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi( Undang-undang Darurat Nomor 7 Tahun 1955) maka jika mencermati Pasal 1 ayat 3e sangat jelas memungkinkannya hubungan antar Tindak Pidana Ekonomi dengan sangksi Pidana dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen.
Hubungan yang terjadi diantara keduanya ialah bahwa Undang-Undang Perlindungan Konsumen harus menyebutkan pelanggaran tersebut (61, 62, 63 UU Perlindungan Konsumen) sebagai tindak pidana ekonomi. Namun apabila sekilas dilihat memang tidak ada yang menunjukan secara langsung bahwa tindakan pada pasal 62 merupakan tindak pidana ekonomi. Dalam hal ini saya mencoba menghubung-hubungkan keterkaitan diantara keduanya yang secara nyata-nyata saya temukan pada Pasal 61 jo. Pasal 1 ayat (3) dimana sangat jelas bahwa pelaku usaha merupakan harus menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. Sedangkan pelaku usaha dalam UU Perlindungan Konsumen merupakan salah satu pihak yang harus bertanggungjawab apabila melakukan salah satu perbuatan sebagaimana dimuat pada pasal 62 UU Perlindungan Konsumen.
Pasal 1 ayat 3e termasuk dalam golongan ketiga dari tiga kaidah yang ada dalam UU Tindak Pidana Ekonomi. Kaidah ini memberikan kaidah-kaidah yang akan datang (dalam Undang-Undang ataupun Perpu), dimana ditentukan bahwa pelanggaran atas Undang-Undang atau Perpu tersebut merupakan delik ekonomi. Hal yang paling penting untuk ancaman pidana terhadap golongan masing-masing delik, maka terhadap golongan ketiga ancaman pidananya hanya 2 tahun penjara jika dilakukan dengan sengaja sesuai dengan pasal 6 b jo. Pasal 1 sub 2e 3e UU Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan kaidah ketiga ini hanya berlaku hanya apabila dilakukan dengan sengaja.
Dalam Pasal 1 ayat 3e, “unsur pasal dalam atau berdasar” merupakan suatu pembahasan yang menarik, yang menjadi titik terkuat perpotongan antara UU Tindak Pidana Ekonomi dengan UU Perlindungan Konsumen. Bahwa yang dimaksud dengan “dalam” ialah UU Perlindungan Konsumen di dalam bagian Menimbang serta Mengingat (konsideran) UU Perlindungan Konsumen harus menunjuk UU Tindak Pidana Ekonomi sebagai acuannya. Sedangkan unsure “berdasar” tidak diharuskan dicantumkan dalam konsiderans tetapi dalam pembahasan uraian unsur pasal setidak-tidaknya harus tindak pidana yang diatur ialah tindak pidana ekonomi.
Apabila upaya perdata yang dilakukan oleh PT TROPHY TOUR gagal, menurut saya sudah selayaknya untuk melaporkan kepada pihak kepolisian untuk diproses dengan menggunakan upaya hukum pidana sebagai ultimum remedium.
Sedangkan saya yakin dan percaya apabila Jaksa cukup cerdas untuk memahami bahwa UU Tindak Pidana Ekonomi masih bisa berlaku efektif, maka bisa saja didakwakan kepada PT Garuda Indonesia dakwaan yang mendalilkan pada UU Tindak Pidana Ekonomi atau pun UU Perlindungan Konsumen.

Analisis Kasus Posisi Perlindungan Konsumen I

1 komentar

A. KASUS POSISI
Di Surabaya, seorang advokat menggugat Lion selaku pemilik Maskapai Penerbangan Wings Air di karena penerbangan molor 3,5 jam. Maskapai tersebut digugat oleh seorang advokat bernama DAVID ML Tobing. DAVID, lawyer yang tercatat beberapa kali menangani perkara konsumen, memutuskan untuk melayangkan gugatan setelah pesawat Wings Air (milik Lion) yang seharusnya ia tumpangi terlambat paling tidak sembilan puluh menit.
Kasus ini terjadi pada 16 Agustus lalu ia berencana terbang dari Jakarta ke Surabaya, pukul 08.35 WIB. Tiket pesawat Wings Air sudah dibeli. Hingga batas waktu yang tertera di tiket, ternyata pesawat tak kunjung berangkat. DAVID mencoba mencari informasi, tetapi ia merasa kurang mendapat pelayanan. Pendek kata, keberangkatan pesawat telat dari jadwal.
DAVID menuding Wings Air telah melakukan perbuatan melawan hukum dengan keterlambatan keberangkatan dan tidak memadainya layanan informasi petugas maskapai itu di bandara. Selanjutnya DAVID mengajukan gugatan terhadap kasus tersebut ke pengadilan untuk memperoleh kerugian serta meminta pengadilan untuk membatalkan klausul baku yang berisi pengalihan tanggung jawab maskapai atas keterlambatan, hal mana dilarang oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

B. ANALISA KASUS.
Untuk menganalisa kasus tersebut lebih jauh sebagai suatu tindak pidana ekonomi maka harus dikaji terlebih dahulu mengenai apa yang dimaksud dengan hukum pidana ekonomi dan Hukum Perlindungan Konsumen sebagai salah satu bentuk Hukum Pidana Ekonomi dalam arti Luas.
Bahwa yang dimaksud dengan Hukum Pidana Ekonomi sebagaimana disebutkan oleh Prof. Andi Hamzah adalah bagian dari Hukum Pidana yang mempunyai corak tersendiri, yaitu corak-corak ekonomi. Hukum tersebut diberlakukan untuk meminimalisir tindakan yang menghambat perekonomian dan kemakmuran rakyat.
Dalam Hukum Pidana Ekonomi, delik atau tindak pidana ekonomi dibagi dalam 2 bentuk yakni delik atau tindak pidana ekonomi dalam arti sempit maupun delik atau tindak pidana ekonomi dalam arti luas. Yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam arti sempit adalah tindak pidana ekonomi yang secara tegas melanggar Undang-Undang 7/DRT/1955. Sedangkan yang dimaksud dengan tindak pidana ekonomi dalam arti luas adalah tindak pidana yang bertentangan dengan Undang-Undang 7/DRT/1955 serta undang-undang lain yang mengatur tentang tindak pidana ekonomi.

Dalam kasus yang menimpa DAVID, Tindakan yang dilakukan oleh pihak Manajemen Wings Air dengan mencantumkan klausula baku pada tiket penerbangan secara tegas merupakan tindakan yang bertentangan dengan hukum perlindungan konsumen, sehingga terhadapnya dapat diklasifikasikan sebagai tindak pidana ekonomi dalam arti luas.
Bila berbicara tentang hukum perlindungan konsumen maka kita harus pula membicarakan tentang UU. RI No. 8 Tahun 1999 (UUPK). UUPK lahir sebagai jawaban atas pembangunan dan perkembangan perekonomian dewasa ini. Konsumen sebagai motor penggerak dalam perekonomian kerap kali berada dalam posisi lemah atau tidak seimbang bila dibandingkan dengan pelaku usaha dan hanya menjadi alat dalam aktivitas bisnis untuk meraup keuntungan yang sebesar-besarnya oleh pelaku usaha.
Berdasarkan Penjelasan umum atas Undang-undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1999 disebutkan bahwa faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen dalam perdagangan adalah tingkat kesadaran konsumen masih amat rendah yang selanjutnya diketahui terutama disebabkan oleh rendahnya pendidikan konsumen. Mengacu pada hal tersebut, UUPK diharapkan menjadi landasan hukum yang kuat bagi pemerintah dan lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat untuk melakukan upaya pemberdayaan konsumen melalui pembinaan dan pendidikan konsumen. Sehingga diharapkan segala kepentingan konsumen secara integrative dan komprehensif dapat dilindungi.
Perlindungan konsumen sebagaimana pasal 1 ayat (1) menyebutkan arti dari perlindungan konsumen yakni : segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi kepada konsumen. Sedangkan arti yang tidak kalah penting ialah Konsumen, yakni setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan. Kata tidak diperdagangkan ini berarti konsumen yang dilindungi ialah konsumen tingkat akhir dan bukanlah konsumen yang berkesempatan untuk menjual kembali atau reseller consumer.
Asas yang terkandung dalam UU Perlindungan Konsumen dapat dibagi menjadi menjadi 5 asas utama yakni : Asas Manfaat; mengamanatkan bahwa segala upaya dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha secara keseluruhan, Asas Keadilan; partisipasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil, Asas Keseimbangan; memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil ataupun spiritual, Asas Keamanan dan Keselamatan Konsumen; memberikan jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalarn penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan; Asas Kepastian Hukum; baik pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam penyelenggaraan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.
Perlindungan konsumen sesuai dengan pasal 3 Undang-undang Perlindungan Konsumen, bertujuan untuk Meningkatkan kesadaran, kemampuan dan kemandirian konsumen untuk melindungi diri, Mengangkat harkat dan martabat konsumen dengan cara menghindarkannya dari ekses negatif pemakaian barang dan/atau jasa, Meningkatkan pemberdayaan konsumen dalam memilih, menentukan dan menuntut hak-haknya sebagai konsumen, Menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur kepastian hukum dan keterbukaan informasi serta akses untuk mendapatkan informasi, Menumbuhkan kesadaran pelaku usaha mengenai pentingnya perlindungan konsumen sehingga tumbuh sikap yang jujur dan bertanggungjawab dalam berusaha, Meningkatkan kualitas barang dan/atau jasa yang menjamin kelangsungan usaha produksi barang dan/atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen.
Sedangkan ketentuan mengenai sangsi pidana dari Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang diatur dalam 3 pasal yakni Pasal 61, 62 dan 63. Hukum pidana berlaku secara Ultimuum Remedium mengingat penyelesaian sengketa konsumen dalam UUPK juga mengenal adanya penyelesaian melalui alternative penyelesaian sengketa, Hukum Administrasi dan Hukum Perdata.
Tindakan Wings Air mencantumkan Klausula baku pada tiket penerbangan yang dijualnya, dalam hal ini menimpa DAVID, secara tegas bertentangan dengan Pasal 62 Jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia tentang Perlindungan Konsumen dimana terhadapnya dapat dipidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak RP. 2.000.000.000,- ,namun dengan tidak mengesampingkan prinsip Ultimum Remedium.
Yang dimaksud dengan Klausula baku adalah segala klausula yang dibuat secara sepihak dan berisi tentang pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada pihak yang lain. Sebagaimana ditentukan berdasarkan Pasal 18 UUPK yakni:
(1) Pelaku usaha dalam menawarkan barang/jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:
a. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;
(2) Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.
(3) Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.
(4) Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.
Selanjutnya berdasarkan penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK disebutkan bahwa tujuan dari pelarangan adalah semata-mata untuk menempatkan kedudukan Konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.
Selain itu khusus mengenai penerbangan, berdasarkan konvensi Warsawa ditentukan perusahaan penerbangan tidak boleh membuat perjanjian yang menghilangkan tanggung jawabnya.
Dalam kasus disebutkan bahwa, pada tiket penerbangan yang diperjualbelikan memuat klausul “Pengangkut tidak bertanggung jawab atas kerugian apapun juga yang ditimbulkan oleh pembatalan dan/atau keterlambatan pengangkutan ini, termasuk segala kelambatan datang penumpang dan/atau kelambatan penyerahan bagasi”. Berdasarkan pendapat saya, hal tersebut jelas merupakan suatu bentuk klausula baku mengingat klausul yang termuat dalam tiket tersebut dibuat secara sepihak oleh pihak Manajemen Wings Air yang berisikan pengalihan tanggungjawab dalam hal terjadi kerugian dari pihak manajemen kepada penumpang. Atas dimuatnya klausula tersebut jelas dapat merugikan kepentingan konsumen. Penyedia jasa dapat serta merta melepaskan tanggungjawabnya atas kerugian yang timbul baik yang ditimbulkan oleh penyedia jasa sendiri maupun konsumen. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh Wings Air selaku peusahaan milik Lion Air bertentangan dengan pasal 18 UUPK dan Konvensi Warsawa tentang penerbangan.


Terkait dengan penegakan hukum perlindungan konsumen, khususnya mengenai pelarangan pemasukan Klausula Baku dalam setiap aktivitas perdagangan, menurut pendapat saya belum berjalan dengan efektif dan sesuai harapan. Disana-sini penggunaan klausula tersebut masih marak dan cukup akrab dalam setiap aktivitas perekonomian. Selain itu, sampai sejauh ini pun penggunaan sangsi pidana belum pernah diterapkan dalam setiap tindakan pencantuman klausula baku. Hal tersebut menurut pendapat saya merupakan indikator bahwa Undang-Undang No.8 Tahun 1999 belum ditaati dan diterapkan dengan baik melainkan sejauh ini baru samapi pada tahap pemahaman dan sosialisasi.
Dapat disimpulkan, sebagai bagian dari hukum yang memuat ketentuan tentang pidana perekonomian, lahirnya Undang-undang Perlindungan Konsumen menunjukan bahwa kegiatan atau aktivitas perdagangan dan perekonomian telah berkembang sedemikian rupa dan kompleks sehingga kehadiran Undang-Undang No.7/DRT/1955 tentang Tindak Pidana Ekonomi dirasa tidak lagi mumpuni dalam meminimalisir itikad jahat pelaku ekonomi terhadap konsumen.
Kehadiran UUPK jelas memperkaya khazanah Hukum Pidana Ekonomi Indonesia dan membuatnya selalu dinamis dan tidak tertinggal di belakang dalam mengikuti perkembangan social yang ada pada masyarakat. Mengingat sesungguhnya tujuan diadakannya Hukum Pidana Ekonomi bukanlah hanya untuk menerapkan norma hukum dan menjatuhkan sanksi hukum pidana sekedar sebagai pencegahan atau pembalasan, akan tetapi mempunyai tujuan jauh untuk membangun perekonomian dan mengejar kemakmuran untuk seluruh rakyat sebagaimana disebutkan oleh Prof. Bambang Purnomo.

Kesimpulan Penggugat

0 komentar

Jakarta, 13 Maret 2008

No : No. 123/Pdt.G/I/2008/PN.SURAKARTA
Lamp : -
Hal : Kesimpulan Para Penggugat

KESIMPULAN PARA PENGGUGAT
Dalam perkara perdata No. 145/Pdt.P/2007/PN. Jak.Sel

Antara
dr. Ahmad Banya Banyau
Bujang Jang Ujang Jangpang, S.E., M.M.
Citra Pariwara Wawancara, S.Sos.
Danang Pemenang, S.H.

Lawan
Tergugat
BPN
Perseroan Dagang Loan & Co
Turut Tergugat
PT Pertamija
Departemen Keuangan RI

Kepada Yth.
Ketua Pengadilan Negeri Surakarta
Jl. Rupawan no.1
Dengan Hormat,
Sehubungan dengan telah selesainya diajukan jawaban, replik, duplik, Bukti-bukti Para Penggugat dan Para tergugat dan Turut Tergugat, serta telah didengarnya keterangan para saksi dan saksi ahli dari Para Penggugat dan Para tergugat dan Turut Tergugat dalam perkara perdata No.123/Pdt.G/I/2008/PNSURAKARTA, maka perkenankanlah kami kuasa hukum Para Penggugat untuk mengajukan kesimpulan kami sebagai berikut:
I. Bahwa Para Penggugat tetap pada dalil-dalilnya dan bukti-buktinya, dan tetap menolak dali-dalil dan bukti-bukti dari Para Tergugat kecuali yang diakui Para Penggugat Secara tegas dan terang, bahwa copy Petuk C 176 Persil 4 b Blok D III Kecamatan Jebres, Surakarta, juga dimilliki oleh Eric Van Gogh.

II. Bahwa Para Penggugat mengakui bahwa Turut Tergugat I dalam perolehan HGB tanah C 176 Persil 4 b Blok D III Kecamatan Jebres, Surakarta seluas ± 15.000 meter² sebagai bentuk penyertaan modal Pemerintah, tidak melakukan perbuatan melawan hukum.

III. KETERANGAN SAKSI
1. Saksi I, Aling, 75 tahun, Islam, di bawah sumpah, memberi keterangan sebagai berikut:
- Bahwa sdr. saksi mengenal Nyonya Oewij Wijen dan merupakan tetangga beliau sejak tahun 1948.
- Bahwa sdr. saksi mengetahui mengenai kepemilikan tanah Petuk C 176 Persil blok D, yakni dimiliki oleh Nyonya Oewij Wijen.
- Bahwa pada saat keluarnya surat Petuk tersebut, saksi hadir sebagai saksi untuk membicarakan batas-batas.
- Bahwa saksi mengetahui perihal pengurusan dan penggarapan tanah Petuk tersebut, yakni bahwa tanah tersebut tidak ditelantarkan begitu saja melainkan dikelola oleh H. Mustafa selaku penggarap. Namun ditemukan bahwa beberapa tahun terakhir, setelah H. Mustafa meninggal, yang menggarap tanah tersebut adalah Pertamija.
- Bahwa sdr. saksi tidak mengenal Eric Van Gogh namun mengetahui perihal itikad buruk Eric Van Gogh terhadap tanah Petuk tersebut melalui pengakuan Nyonya Oewij Wijen sendiri dan juga anak-anaknya.

2. Saksi II, Ko Asiong, 83 tahun, Katolik, di bawah sumpah, memberi keterangan sebagai berikut:
- Bahwa sdr. saksi mengenal Nyonya Oewij Wijen dan merupakan tetangga beliau sejak tahun 1947.
- Bahwa sdr. saksi mengetahui perihal Nyonya Oewij Wijen seringkali datang ke lokasi tanah tersebut untuk mengontrol dan mengecek tanah.
- Bahwa sdr. saksi mengenal H. Mustafa selaku penggarap tanah sengketa, karena H. Mustafa seringkali datang ke rumah sdr. saksi.
- Bahwa sdr. saksi tidak mengenal dan tidak pernah melihat Eric Van Gogh.
- Bahwa saksi tidak mengetahui tentang pembebanan HGB dan HGU pada tanah sengketa.
3. Saksi III, H. Ucup Marucup Sabrucup, 45 tahun, Islam, di bawah sumpah memberi keterangan sebagai berikut :
- Bahwa saksi tidak menerbitkan Petuk tanah C 176 Persil 4 b Blok D III tersebut, namun diterbitkan oleh Camat yang menjabat sebelum saksi menjabat, yakni H. Marwoto.
- Bahwa H. Marwoto menyerahkan surat keterangan atas nama saksi, sebagai orang yang selanjutnya berhak mengurus pembayaran Petuk tersebut.
- Bahwa saksi dengan jelas mengetahui bahwa H. Marwoto selaku camat yang menjabat ketika Petuk Nyonya Oewij dikeluarkan, memang benar telah mengeluarkan Petuk tanah C 176 Persil 4 b Blok D III atas nama Nyonya Oewij Wijen.
- Bahwa saksi dengan jelas mengetahui bahwa Nyonya Oewij Wijen melimpahkan wewenang melalui surat kuasa kepada H. Mustafa selaku penggarap tanah miliknya.
- Bahwa saksi sama sekali tidak mengetahui hal ikhwal pembebanan HGU maupun HGB di atas tanah Nyonya Oewij Wijen.

4. Ahli Agraria, Nadya Eva, SH, MH, 50 Tahun, di bawah sumpah, memberi keterangan sebagai berikut:
- Bahwa terhadap tanah yang pajak Petuknya selalu dibayarkan oleh pemiliknya maka hal itu membenarkan petuk pajak sebagai petunjuk yang kuat mengenai status tanahnya sebagai tanah hak milik menurut PP No.10/Tahun 1961 dan PP No.24/Tahun 1997.
- Bahwa terhadap pihak lain yang membebankan HGB terhadap tanah tersebut harus tetap mengadakan pengalihan hak secara langsung melalui akte PPAT sesuai dengan PP No.38/Tahun 1963.
- Bahwa girik memang bukan bukti yang dapat digunakan di dalam pengadilan, namun dapat digunakan sebagai petunjuk dengan bukti-bukti lain baik tulisan maupun kesaksian.

IV. Dalam pokok perkara:
1. Bahwa Para penggugat adalah ahli waris dari ny.Oewij wijen berdasarkan Salinan Akta Penetapan dan Pembagian Warisan Nomor: 116/APW/1992/PA.SR tanggal 5-12-2000. (Bukti P-2)
2. Bahwa Ny. Oewij Wijen telah mengikatkan diri dengan Tergugat II berdasar Akta Perjanjian Hutang No. 920/PH/V/1982 (Bukti P-3) dan Akta Penjaminan Pelunasan Pembayaran No. 921/JP/V/1982 tertanggal 1 Mei 1982 (Bukti P-4).
3. Bahwa Ny. Oewij Wijen telah melunasi hutangnya berdasarkan Akta Pelunasan Hutang No.693/L-82. (Bukti P-5)
4. Bahwa Tergugat II melakukan Perjanjian Kredit dengan Bank Sertivia sejumlah Rp. 1.000.0000.000,- (satu miliar rupiah) dengan jangka waktu 10 tahun dan bunga 8 % per tahun yang ternyata dalam Akta Perjanjian Kredit No. 881/PJ/II/1990. (bukti P-6)
5. Bahwa kemudian tergugat II menjaminkan beberapa benda sebagai penjaminan pelunasan pinjaman kredit mereka kepada bank Sertivia dengan salah satu jaminan berupa sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 07/SOLO berdasarkan Akta Jaminan Perjanjian Kredit No. 882/PJ/II/1990. (bukti P-7)
6. Bahwa diketahui salah satu jaminan berupa sertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 07/SOLO (Bukti T1-7) berdasarkan Akta Jaminan Perjanjian Kredit No. 882/PJ/II/1990 tersebut adalah tanah milik Nyonya Oewij Wijen berdasarkan Petuk C 176 Persil 4 b Blok D III Kecamatan Jebres, Surakarta.
7. Bahwa copy dari Petuk tersebut juga dimiliki oleh Tergugat II sebagai pihak yang saat itu mengikat perjanjian dengan Nyonya Oewij Wijen.
8. Bahwa Para Penggugat tetap berbendapat bahwa sertifikat HGB No.07/SOLO tersebut diterbitkan oleh Tergugat I dengan tidak berdasar prosedur yang diatur dalam Pasal 25 PP No. 1 tahun 1961 sehingga penerbitan sertifikat HGB tersebut adalah melawan hukum.
9. Bahwa dalam Permohonan Penerbitan Sertifikat HGB, Erick Van Goeh telah memalsukan Akta Perjanjian Hutang No. 940/PH/V/1983 (bukti P-8) dengan Akta Penjaminan Pelunasan Pembayaran No. 941/JP/V/1983 tertanggal 19 Oktober 1983 (bukti P-9) berdasarkan Berita Acara Pemeriksaan oleh Laboratorium Kriminalitas No.1092/DF.2000 tanggal 25 November 2000 yang ditandatangani oleh Drs. Budi Arman Anizon dan Syahrial Nagur serta Dra. Kalentini dan diketahui oleh Drs. Billy HW. (Bukti P-10)
10. Bahwa Ny. Oewij wijen dan Para Penggugat selalu membayar pajak atas tanah tersebut berdasarkan Petuk No. 567 (Bukti P-11), IPEDA No.0007069 (Bukti P-12), PBB No.020769 (Bukti P-13).
11. Bahwa Subyek Pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai sesuatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan berdasarkan pasal 4 ayat (1) Undang-undang No. 12 tahun 1985
12. Bahwa Bank sertivia termasuk dalam 52 bank beku operasi dan bank beku kegiatan usaha (BBO-BBKU) yang kemudian dilikuidasi dan seluruh asetnya diambil alih oleh Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) berdasarkan PP No. 25/1999 tentang likuidasi bank.
13. Bahwa setelah diambil alih oleh BPPN, Turut Tergugat II mengakui menyetujui penyerahan HGB tanah sengketa sebagai bentuk penyertaan modal dari Pemerintah kepada Turut Tergugat I.
14. Bahwa Tergugat I mengakui mengeluarkan Sertifikat HGU No. 10/SOLO yang diketahui merupakan perubahan atas HGB No. 07/SOLO yang dibebankan atas tanah sengketa.
15. Bahwa Turut Tergugat I masih menguasai HGU tanah sengketa hingga saat ini berdasarkan Sertifikat HGU No. 10/SOLO. (Bukti TT1-4)

Maka berdasarkan hal-hal, bukti-bukti tersebut diatas, serta memperhatikan dalil dalam (perlawanan, jawaban, duplik, replik) keterangan para saksi dan ahli maka mohon kiranya majelis hakim yang terhormat dapat memeriksa perkara ini dan memberi putusan sebagai berikut :
1. Mengabulkan gugatan Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan sah dan berharga Sita Jaminan (conservatoir beslag) yang dilakukan /diletakkan oleh pengadilan Negri Surakarta atas “Sebidang tanah berikut bangunan serta hasil bumi diatasnya yang terletak di Kelurahan Sewu , kecamatan Jebres, kota Surakarta seluas ± 15.000 meter² dengan batas-batas sebagai berikut :
Utara : Tanah milik Aling
Selatan : Jalan Raya Berem Solo
Barat : Tanah milik Ko Asiong
Timur : Tanah berupa Sawah milik Nyonya Lintang
3. Menyatakan secara hukum PARA TERGUGAT bersalah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap Penggugat;
4. Menyatakan secara hukum Petuk C 176 Persil 4 b Blok D III Kecamatan Jebres, Surakarta seluas ± 15.000 meter² yang selama ini dimilikinya dengan batas-batas sebagai berikut:
Utara : Tanah milik Aling
Selatan : Jalan Raya Berem Solo
Barat : Tanah milik Ko Asiong
Timur : Tanah berupa Sawah milik Nyonya Lintang
Adalah sah secara hukum milik Ny. Oewij Wijen.
5. Menghukum Para Tergugat untuk membayar secara sekaligus dan tunai ganti kerugian Ny. Oewij Wijen kepada PARA PENGGUGAT sebagai ahli warisnya yang sah sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).
6. Menghukum PARA TERGUGAT untuk membayar biaya-biaya yang ditetapkan sebesar Rp.500.000.000 (lima ratus juta rupiah) kepada PARA PENGGUGAT secara tunai.
7. Menghukum PARA TERGUGAT dan TURUT TERGUGAT untuk membayar Kerugian immateriil Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah); apabila lalai dikenakan uang paksa sebesar Rp. 250.000,- (dua ratus lima puluh ribu rupiah) untuk setiap hari keterlambatan;
8. Menghukum PARA TERGUGAT DAN TURUT TERGUGAT untuk tunduk dan patuh terhadap putusan perkara ini;
9. Menyatakan cacat dan tidak sah Sertifikat HGB No. 07/SOLO dan Gambar Situasi No. 192/5952/1982 atas nama Tergugat II ;
10. Menyatakan cacat hukum dan tidak mengikat Akta Perjanjian Hutang No. 940/PH/V/1983 dengan Akta Penjaminan Pelunasan Pembayaran No. 941/JP/V/1983 tertanggal 19 Oktober 1983.
11. Menyatakan putusan perkara ini dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada perlawanan, banding, kasasi ataupun upaya hukuman lainnya dari para terguggat atau pihak ketiga lainnya (uitvoerbaar bij Vorraad)
12. Menghukum PARA TERGUGAT DAN TURUT TERGUGAT untuk membayar biaya yang timbul dalam perkara ini;
Atau apabila Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berpendapat lain, mohon keadilan yang seadil-adilnya (ex acquo et bono).
Terima kasih.

Hormat Kami,
Kuasa Hukum Penggugat,


1. Prof. Mr. Fernandes Raja Saor, S.H., LL.M. J.D.



2. Yomi PYD, S.H., LL.M




3. Nadya Eva, S.H., LL.M



4. Dilla Putri Maharani, S.H., LL.M



5. Primayvira Ribka, S.H., LL.M



6. Dian Juniar, S.H., LL.M




7. Corrie Adelina, S.H., LL.M



8. Lia Trejsnawati, S.H., LL.M

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2008

2 komentar

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 2008
TENTANG PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa umat manusia berkedudukan sama di
hadapan Tuhan Yang Maha Esa dan umat manusia
dilahirkan dengan martabat dan hak-hak yang sama
tanpa perbedaan apa pun, baik ras maupun etnis;
b. bahwa segala tindakan diskriminasi ras dan etnis
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila, Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia;
c. bahwa segala warga negara bersamaan
kedudukannya di dalam hukum dan berhak atas
perlindungan terhadap setiap bentuk diskriminasi ras
dan etnis;
d. bahwa adanya diskriminasi ras dan etnis dalam
kehidupan bermasyarakat merupakan hambatan bagi
hubungan kekeluargaan, persaudaraan,
persahabatan, perdamaian, keserasian, keamanan,
dan kehidupan bermata pencaharian di antara warga
negara yang pada dasarnya selalu hidup
berdampingan;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan
huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang
Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis;

Mengingat : 1. Pasal 20, Pasal 21, Pasal 27 ayat (1), Pasal 28B
ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (1) dan
ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999 tentang
Pengesahan International Convention on The
Elimination of All Forms of Racial Discrimination 1965
(Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi Rasial, 1965) (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 83, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3852);
3. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak
Asasi Manusia (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1999 Nomor 165, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3886);
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PENGHAPUSAN
DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Diskriminasi ras dan etnis adalah segala bentuk
pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan
berdasarkan pada ras dan etnis, yang mengakibatkan
pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan,
atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan
dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik,
ekonomi, sosial, dan budaya.
2. Ras adalah golongan bangsa berdasarkan ciri-ciri fisik
dan garis keturunan.
3. Etnis adalah penggolongan manusia berdasarkan
kepercayaan, nilai, kebiasaan, adat istiadat, norma
bahasa, sejarah, geografis, dan hubungan kekerabatan.
4. Warga Negara adalah penduduk negara atau bangsa
Indonesia berdasarkan keturunan, tempat kelahiran,
atau pewarganegaraan yang mempunyai hak dan
kewajiban.
5. Tindakan Diskriminasi Ras dan Etnis adalah perbuatan
yang berkenaan dengan segala bentuk pembedaan,
pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan
pada ras dan etnis, yang mengakibatkan pencabutan
atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau
pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik,
ekonomi, sosial, dan budaya.
6. Setiap Orang adalah orang perseorangan atau
korporasi.
7. Korporasi adalah kumpulan orang dan/atau kekayaan
yang terorganisasi baik yang merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.
8. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, selanjutnya
disebut Komnas HAM, adalah lembaga mandiri yang
kedudukannya setingkat dengan lembaga negara
lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian,
penelitian, penyuluhan, pemantauan, dan mediasi hak
asasi manusia.
9. Penyelenggara Negara adalah pejabat negara yang
menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif
dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya
berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN
Pasal 2
(1) Penghapusan diskriminasi ras dan etnis dilaksanakan
berdasarkan asas persamaan, kebebasan, keadilan, dan
nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
(2) Asas persamaan, kebebasan, keadilan dan nilai-nilai
kemanusiaan yang universal sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diselenggarakan dengan tetap
memerhatikan nilai-nilai agama, sosial, budaya, dan
hukum yang berlaku di wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Pasal 3
Penghapusan diskriminasi ras dan etnis bertujuan
mewujudkan kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan,
perdamaian, keserasian, keamanan, dan kehidupan
bermata pencaharian di antara warga negara yang pada
dasarnya selalu hidup berdampingan.

BAB III
TINDAKAN DISKRIMINATIF
Pasal 4
Tindakan diskriminatif ras dan etnis berupa :
a. memperlakukan pembedaan, pengecualian,
pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan
etnis, yang mengakibatkan pencabutan atau
pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan
hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu
kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan
budaya; atau
b. menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang
karena perbedaan ras dan etnis yang berupa perbuatan:
1. membuat tulisan atau gambar untuk ditempatkan,
ditempelkan, atau disebarluaskan di tempat umum
atau tempat lainnya yang dapat dilihat atau dibaca
oleh orang lain;
2. berpidato, mengungkapkan, atau melontarkan katakata
tertentu di tempat umum atau tempat lainnya
yang dapat didengar orang lain;
3. mengenakan sesuatu pada dirinya berupa benda,
kata-kata, atau gambar di tempat umum atau
tempat lainnya yang dapat dibaca oleh orang lain;
atau
4. melakukan perampasan nyawa orang, penganiayaan,
pemerkosaan, perbuatan cabul, pencurian dengan
kekerasan, atau perampasan kemerdekaan
berdasarkan diskriminasi ras dan etnis.


BAB IV
PEMBERIAN PERLINDUNGAN DAN JAMINAN
Pasal 5
Penghapusan diskriminasi ras dan etnis wajib dilakukan
dengan memberikan:
a. perlindungan, kepastian, dan kesamaan kedudukan di
dalam hukum kepada semua warga negara untuk
hidup bebas dari diskriminasi ras dan etnis;
b. jaminan tidak adanya hambatan bagi prakarsa
perseorangan, kelompok orang, atau lembaga yang
membutuhkan perlindungan dan jaminan kesamaan
penggunaan hak sebagai warga negara; dan
c. pemahaman kepada masyarakat mengenai pentingnya
pluralisme dan penghargaan hak asasi manusia melalui
penyelenggaraan pendidikan nasional.
Pasal 6 . . .

Pasal 6
Perlindungan terhadap warga negara dari segala bentuk
tindakan diskriminasi ras dan etnis diselenggarakan oleh
pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, serta
melibatkan partisipasi seluruh warga negara yang
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 7
Untuk penyelenggaraan perlindungan terhadap warga
negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, pemerintah
dan pemerintah daerah wajib:
a. memberikan perlindungan yang efektif kepada setiap
warga negara yang mengalami tindakan diskriminasi
ras dan etnis dan menjamin terlaksananya secara
efektif upaya penegakan hukum terhadap setiap
tindakan diskriminasi yang terjadi, melalui proses
peradilan yang dilakukan sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan;
b. menjamin setiap warga negara untuk memperoleh
pertolongan, penyelesaian, dan penggantian yang adil
atas segala kerugian dan penderitaan akibat
diskriminasi ras dan etnis;
c. mendukung dan mendorong upaya penghapusan
diskriminasi ras dan etnis, dan menjamin aparatur
negara dan lembaga-lembaga pemerintahan bertindak
sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan;
dan
d. melakukan tindakan yang efektif guna memperbarui,
mengubah, mencabut, atau membatalkan peraturan
perundang-undangan yang mengandung diskriminasi
ras dan etnis.
BAB V . . .

BAB V
PENGAWASAN
Pasal 8
(1) Pengawasan terhadap segala bentuk upaya
penghapusan diskriminasi ras dan etnis dilakukan
oleh Komnas HAM.
(2) Pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
meliputi:
a. pemantauan dan penilaian atas kebijakan
pemerintah dan pemerintah daerah yang dinilai
berpotensi menimbulkan diskriminasi ras dan
etnis;
b. pencarian fakta dan penilaian kepada orang
perseorangan, kelompok masyarakat, atau
lembaga publik atau swasta yang diduga
melakukan tindakan diskriminasi ras dan etnis;
c. pemberian rekomendasi kepada pemerintah dan
pemerintah daerah atas hasil pemantauan dan
penilaian terhadap tindakan yang mengandung
diskriminasi ras dan etnis;
d. pemantauan dan penilaian terhadap pemerintah,
pemerintah daerah dan masyarakat dalam
penyelenggaraan penghapusan diskriminasi ras
dan etnis; dan
e. pemberian rekomendasi kepada Dewan
Perwakilan Rakyat Republik Indonesia untuk
melakukan pengawasan kepada pemerintah yang
tidak mengindahkan hasil temuan Komnas HAM.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara
pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB VI . . .

BAB VI
HAK, KEWAJIBAN, DAN PERAN SERTA WARGA NEGARA
Bagian Pertama
Hak dan Kewajiban Warga Negara
Pasal 9
Setiap warga negara berhak memperoleh perlakuan yang
sama untuk mendapatkan hak-hak sipil, politik, ekonomi,
sosial, dan budaya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan, tanpa pembedaan ras dan etnis.
Pasal 10
Setiap warga negara wajib:
a. membantu mencegah terjadinya diskriminasi ras dan
etnis; dan
b. memberikan informasi yang benar dan bertanggung
jawab kepada pihak yang berwenang jika mengetahui
terjadinya diskriminasi ras dan etnis;
Bagian Kedua
Peran Serta Warga Negara
Pasal 11
Setiap warga negara berperan serta dalam upaya
penyelenggaraan perlindungan dan pencegahan terhadap
diskriminasi ras dan etnis.
Pasal 12
Peran serta warga negara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 11 dilaksanakan dengan cara:
a. meningkatkan keutuhan, kemandirian, dan
pemberdayaan anggota masyarakat;
b. menumbuhkan dan mengembangkan kemampuan serta
kepeloporan masyarakat;
c. menumbuhkan . . .

c. menumbuhkan sikap tanggap anggota masyarakat
untuk melakukan pengawasan sosial; dan
d. memberikan saran, pendapat, dan menyampaikan
informasi yang benar dan bertanggung jawab.
BAB VII
GANTI KERUGIAN
Pasal 13
Setiap orang berhak mengajukan gugatan ganti kerugian
melalui pengadilan negeri atas tindakan diskriminasi ras
dan etnis yang merugikan dirinya.
Pasal 14
Setiap orang secara sendiri-sendiri atau secara bersamasama
berhak mengajukan gugatan ganti kerugian melalui
pengadilan negeri atas tindakan diskriminasi ras dan etnis
yang merugikan dirinya.
BAB VIII
KETENTUAN PIDANA
Pasal 15
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pembedaan,
pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan
pada ras dan etnis yang mengakibatkan pencabutan atau
pengurangan pengakuan, perolehan atau pelaksanaan hak
asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu
kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan
budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
Pasal 16 . . .

Pasal 16
Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian
atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan
diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun
dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah).
Pasal 17
Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perampasan
nyawa orang, penganiayaan, pemerkosaan, perbuatan
cabul, pencurian dengan kekerasan, atau perampasan
kemerdekaan berdasarkan diskriminasi ras dan etnis
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 4,
dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan
ditambah dengan 1/3 (sepertiga) dari masingmasing
ancaman pidana maksimumnya.
Pasal 18
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 dan
Pasal 17 pelaku dapat dijatuhi pidana tambahan berupa
restitusi atau pemulihan hak korban.
Pasal 19
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
dan Pasal 17 dianggap dilakukan oleh korporasi
apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orangorang
yang bertindak untuk dan/atau atas nama
korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik
berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain,
bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik
sendiri maupun bersama-sama.
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan oleh suatu korporasi, maka
penyidikan, penuntutan, dan pemidanaan dilakukan
terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.
Pasal 20 . . .

Pasal 20
Dalam hal panggilan terhadap korporasi, pemanggilan
untuk menghadap dan penyerahan surat panggilan
disampaikan kepada pengurus di tempat pengurus
berkantor, di tempat korporasi itu beroperasi, atau di
tempat tinggal pengurusnya.
Pasal 21
(1) Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh suatu
korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap
pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap
korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3
(tiga) kali dari pidana denda sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 16 dan Pasal 17.
(2) Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), korporasi dapat dijatuhi pidana tambahan berupa
pencabutan izin usaha dan pencabutan status badan
hukum.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 22
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua
peraturan perundang-undangan yang mengatur atau
berkaitan dengan ras dan etnis, dinyatakan tetap berlaku
sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.
Pasal 23
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 10 November 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 10 November 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ttd
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 170
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
PENJELASAN
A T A S
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 2008
TENTANG
PENGHAPUSAN DISKRIMINASI RAS DAN ETNIS
I. UMUM
Setiap manusia berkedudukan sama di hadapan Tuhan Yang Maha
Esa karena dilahirkan dengan martabat, derajat, hak dan kewajiban
yang sama. Pada dasarnya, manusia diciptakan dalam kelompok ras
atau etnis yang berbeda-beda yang merupakan hak absolut dan
tertinggi dari Tuhan Yang Maha Esa. Dengan demikian, manusia tidak
bisa memilih untuk dilahirkan sebagai bagian dari ras atau etnis
tertentu. Adanya perbedaan ras dan etnis tidak berakibat
menimbulkan perbedaan hak dan kewajiban antar-kelompok ras dan
etnis dalam masyarakat dan negara.
Kondisi masyarakat Indonesia, yang berdimensi majemuk dalam
berbagai sendi kehidupan, seperti budaya, agama, ras dan etnis,
berpotensi menimbulkan konflik. Ciri budaya gotong royong yang telah
dimiliki masyarakat Indonesia dan adanya perilaku
musyawarah/mufakat, bukanlah jaminan untuk tidak terjadinya
konflik, terutama dengan adanya tindakan diskriminasi ras dan etnis.
Kerusuhan rasial yang pernah terjadi menunjukkan bahwa di
Indonesia sebagian warga negara masih terdapat adanya diskriminasi
atas dasar ras dan etnis, misalnya, diskriminasi dalam dunia kerja
atau dalam kehidupan sosial ekonomi. Akhir-akhir ini di Indonesia
sering muncul konflik antar ras dan etnis yang diikuti dengan
pelecehan, perusakan, pembakaran, perkelahian, pemerkosaan dan
pembunuhan. Konflik tersebut muncul karena adanya
ketidakseimbangan hubungan yang ada dalam masyarakat, baik dalam
hubungan sosial, ekonomi, maupun dalam hubungan kekuasaan.
Konflik . . .

Konflik di atas tidak hanya merugikan kelompok-kelompok masyarakat
yang terlibat konflik tetapi juga merugikan masyarakat secara
keseluruhan. Kondisi itu dapat menghambat pembangunan nasional
yang sedang berlangsung. Hal itu juga mengganggu hubungan
kekeluargaan, persaudaraan, persahabatan, perdamaian dan
keamanan di dalam suatu negara serta menghambat hubungan
persahabatan antarbangsa.
Dalam sejarah kehidupan manusia, diskriminasi ras dan etnis telah
mengakibatkan keresahan, perpecahan serta kekerasan fisik, mental,
dan sosial yang semua itu merupakan pelanggaran terhadap hak asasi
manusia. Untuk mengatasi hal itu, lahirlah Konvensi Internasional
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, yang
disetujui oleh Perserikatan Bangsa Bangsa melalui Resolusi Majelis
Umum PBB 2106 A (XX) tanggal 21 Desember 1965. Bangsa Indonesia
sebagai anggota Perserikatan Bangsa Bangsa telah meratifikasi
konvensi tersebut dengan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 1999
tentang Pengesahan International Convention on The Elimination of All
Forms of Racial Discrimination 1965 (Konvensi Internasional tentang
Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial, 1965). Selain
meratifikasi, Indonesia juga mempunyai Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Pancasila sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa Indonesia dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sebagai
hukum dasar yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia
yang tercermin dalam sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab.
Asas ini merupakan amanat konstitusional bahwa bangsa Indonesia
bertekad untuk menghapuskan segala bentuk diskriminasi ras dan
etnis.
Dalam rangka pengamalan Pancasila dan pelaksanaan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Indonesia pada
dasarnya telah menetapkan peraturan perundang-undangan yang
mengandung ketentuan tentang penghapusan segala bentuk
diskriminasi ras dan etnis, tetapi masih belum memadai untuk
mencegah, mengatasi, dan menghilangkan praktik diskriminasi ras dan
etnis dalam suatu undang-undang.
Berdasarkan . . .

Berdasarkan pandangan dan pertimbangan di atas, dalam Undang-
Undang ini diatur mengenai:
1. asas dan tujuan penghapusan diskriminasi ras dan etnis;
2. tindakan yang memenuhi unsur diskriminatif;
3. pemberian perlindungan kepada warga negara yang mengalami
tindakan diskriminasi ras dan etnis;
4. penyelenggaraan perlindungan terhadap warga negara dari segala
bentuk tindakan diskriminasi ras dan etnis yang diselenggarakan
oleh pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat, serta seluruh
warga negara;
5. pengawasan terhadap segala bentuk upaya penghapusan
diskriminasi ras dan etnis oleh Komnas HAM;
6. hak warga negara untuk memperoleh perlakuan yang sama dalam
mendapatkan hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya;
7. kewajiban dan peran serta warga negara dalam upaya penghapusan
diskriminasi ras dan etnis;
8. gugatan ganti kerugian atas tindakan diskriminasi ras dan etnis;
dan
9. pemidanaan terhadap setiap orang yang melakukan tindakan
berupa:
a. memperlakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau
pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis, yang
mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan,
perolehan, atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan
dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi,
sosial, dan budaya; dan
b. menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang karena
perbedaan ras dan etnis dengan melakukan tindakan-tindakan
tertentu.
Penyusunan Undang-Undang ini merupakan perwujudan komitmen
Indonesia untuk melaksanakan Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia.
II. PASAL . . .

II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “nilai-nilai agama” adalah
nilai-nilai yang dianut oleh setiap agama yang mengatur tata hubungan
manusia dengan manusia serta lingkungannya.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Pembatasan dalam ketentuan ini, misalnya pembatasan
seseorang dari ras atau etnis tertentu untuk memasuki
suatu lembaga pendidikan atau untuk menduduki suatu
jabatan publik hanya seseorang dari ras atau etnis
tertentu.
Huruf b
Angka 1
Yang dimaksud dengan “tempat umum” adalah
tempat yang, antara lain, disinggahi atau
dikunjungi atau menjadi tempat berkumpul orangorang,
seperti toko, tempat bekerja, taman, tempat
parkir, transportasi umum, media massa.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3 . . .

Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan “masyarakat” adalah suatu kumpulan
atau kelompok orang yang saling mengikat diri antara satu dan
yang lain
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Dengan adanya ketentuan ini, Komnas HAM perlu
menyesuaikan struktur organisasinya.
Ayat (2)
Dalam ketentuan ini pengawasan dimaksudkan untuk
mengevaluasi kebijakan pemerintah baik pusat atau
daerah yang dilakukan secara berkala atau insidentil
sesuai kebutuhan.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d . . .

Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Komnas HAM mengusulkan kepada DPR RI dan
DPRD untuk melakukan tindakan yang sesuai
dengan fungsi pengawasan yang dimilikinya jika
dalam tenggang waktu yang telah ditentukan dalam
keputusan Komnas HAM pemerintah tidak
menindaklanjuti rekomendasi yang diberikan oleh
Komnas HAM.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Yang dimaksud dengan “hak-hak sipil”, antara lain hak untuk:
a. bebas berpergian dan berpindah tempat dan berdomisili
dalam wilayah negara kesatuan Republik Indonesia;
b. meninggalkan dan kembali ke wilayah negara kesatuan
Republik Indonesia;
c. mempertahankan kewarganegaraan;
d. membentuk keluarga, memilih pasangan hidup dan
melanjutkan keturunan;
e. memiliki harta milik atas nama sendiri maupun bersama
dengan orang lain;
f. berpikir, berperasaan, berekspresi dan mengeluarkan
pendapat dengan bebas;
g. menggunakan bahasa apa pun dengan bebas;
h. berkumpul dan berserikat dengan bebas dan damai; dan
i. mendapatkan informasi.
Yang dimaksud dengan “hak-hak politik”, antara lain hak untuk:
a. mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum, lembaga
peradilan dan badan-badan administrasi publik lainnya;
b. mendapat rasa aman dan perlindungan dari negara terhadap
kekerasan ras dan etnis baik kekerasan fisik, sosial maupun
psikis baik disebabkan oleh aparatur pemerintah atau oleh
perorangan, kelompok, lembaga atau organisasi tertentu;
c. berpartisipasi dalam pemerintahan sebagaimana dalam
kegiatan publik pada tingkat apa pun; dan
d. berpartisipasi dalam bela negara.
Yang . . .

Yang dimaksud dengan “hak-hak ekonomi”, antara lain hak
untuk:
a. berusaha mencari penghidupan yang layak di seluruh
wilayah negara Indonesia;
b. bekerja, memilih pekerjaan, memiliki kondisi kerja yang adil
dan diinginkan;
c. mendapat gaji yang pantas sesuai dengan pekerjaan dan
sistem penggajian;
d. membentuk dan menjadi anggota dari serikat pekerja;
e. memperoleh perlindungan terhadap pengangguran; dan
f. memiliki perumahan.
Yang dimaksud dengan “hak-hak sosial dan budaya”, antara lain
hak untuk:
a. memperoleh pelayanan kesehatan, pengobatan, jaminan
sosial dan pelayanan-pelayanan sosial lainnya;
b. memiliki kesempatan dan perlakuan yang sama atas segala
bentuk pelayanan umum;
c. memperoleh kesempatan dan berpartisipasi dalam peristiwaperistiwa
budaya, sosial, dan ekonomi;
d. memperoleh kesempatan yang sama untuk mengekspresikan
budayanya;
e. menikmati, mendapatkan dan memperoleh jaminan atas
terselenggaranya pendidikan dan pelatihan yang bertujuan
untuk mencerdaskan dan/atau menambah keterampilannya,
tanpa membedakan ras dan etnis; dan
f. menyelenggarakan pendidikan tanpa memperhatikan ciri
khas ras dan etnisnya.
Pasal 10
Huruf a
Ketentuan ini dimaksudkan jika akan terjadi diskriminasi
ras dan etnis, warga negara secara bertanggung jawab dan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
melaporkan kepada pihak yang berwenang.
Huruf b
Informasi yang disampaikan kepada pihak berwenang,
dalam hal ini Komnas HAM, Kepolisian, dan Kejaksaan,
dapat berupa keterangan dan barang bukti yang berkaitan
dengan usaha atau kegiatan yang bersifat diskriminasi ras
dan etnis yang dilakukan oleh setiap orang atau korporasi.
Pasal 11 . . .

Pasal 11
Ketentuan ini dimaksudkan agar setiap orang, organisasi politik,
organisasi kemasyarakatan dan organisasi nonpemerintah
mempunyai kesempatan yang sama untuk berperan serta dalam
menyelenggarakan segala upaya terarah dan bertanggung jawab
dan yang bertujuan menghilangkan hambatan-hambatan dalam
interaksi dan komunikasi antar-ras dan antar-etnis.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Yang dimaksud dengan ”mengajukan gugatan secara bersamasama”
adalah gugatan perwakilan (class action) dalam pasal ini
adalah hak sekelompok kecil masyarakat untuk bertindak
mewakili masyarakat dalam jumlah besar yang dirugikan atas
dasar kesamaan permasalahan, fakta hukum dan tuntutan
yang ditimbulkan karena kegiatan diskriminasi berdasarkan ras
dan etnis.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19 . . .

Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ketentuan ini dimaksudkan agar peraturan perundangundangan
yang terkait, misalnya Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik,
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, dan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana merupakan
peraturan perundang-undangan yang melengkapi atau saling
melengkapi dalam rangka mempermudah penerapan hukum.
Pasal 23
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4919


Undang-undang Nomor 39 Tahun 2008

1 komentar

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 2008
TENTANG
KEMENTERIAN NEGARA
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa Presiden sebagai pemegang kekuasaan
pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dalam
menjalankan tugasnya dibantu oleh menteri-menteri
negara yang membidangi urusan tertentu di bidang
pemerintahan;
b. bahwa setiap menteri memimpin kementerian
negara untuk menyelenggarakan urusan tertentu
dalam pemerintahan guna mencapai tujuan negara
sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
c. bahwa sesuai ketentuan Pasal 17 ayat (4) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, pembentukan, pengubahan, dan pembubaran
kementerian negara diatur dalam undang-undang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana
dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c
perlu membentuk Undang-Undang tentang
Kementerian Negara;
Mengingat : Pasal 4, Pasal 17, Pasal 20, dan Pasal 21 Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEMENTERIAN NEGARA.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Kementerian Negara yang selanjutnya disebut
Kementerian adalah perangkat pemerintah yang
membidangi urusan tertentu dalam pemerintahan.
2. Menteri Negara yang selanjutnya disebut Menteri
adalah pembantu Presiden yang memimpin
Kementerian.
3. Urusan Pemerintahan adalah setiap urusan
sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
4. Pembentukan Kementerian adalah pembentukan
Kementerian dengan nomenklatur tertentu setelah
Presiden mengucapkan sumpah/janji.
5. Pengubahan Kementerian adalah pengubahan
nomenklatur Kementerian dengan cara
menggabungkan, memisahkan, dan/atau mengganti
nomenklatur Kementerian yang sudah terbentuk.
6. Pembubaran Kementerian adalah menghapus
Kementerian yang sudah terbentuk.

BAB II
KEDUDUKAN DAN URUSAN PEMERINTAHAN
Bagian Kesatu
Kedudukan
Pasal 2
Kementerian berkedudukan di Ibu Kota Negara Republik
Indonesia.
Pasal 3
Kementerian berada di bawah dan bertanggung jawab
kepada Presiden.

Bagian Kedua
Urusan Pemerintahan
Pasal 4
(1) Setiap Menteri membidangi urusan tertentu dalam
pemerintahan.
(2) Urusan tertentu dalam pemerintahan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
a. urusan pemerintahan yang nomenklatur
Kementeriannya secara tegas disebutkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya
disebutkan dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
c. urusan pemerintahan dalam rangka penajaman,
koordinasi, dan sinkronisasi program
pemerintah.
Pasal 5

(1) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf a meliputi urusan
luar negeri, dalam negeri, dan pertahanan.
(2) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf b meliputi urusan
agama, hukum, keuangan, keamanan, hak asasi
manusia, pendidikan, kebudayaan, kesehatan,
sosial, ketenagakerjaan, industri, perdagangan,
pertambangan, energi, pekerjaan umum,
transmigrasi, transportasi, informasi, komunikasi,
pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan,
kelautan, dan perikanan.
(3) Urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4 ayat (2) huruf c meliputi urusan
perencanaan pembangunan nasional, aparatur
negara, kesekretariatan negara, badan usaha milik
negara, pertanahan, kependudukan, lingkungan
hidup, ilmu pengetahuan, teknologi, investasi,
koperasi, usaha kecil dan menengah, pariwisata,
pemberdayaan perempuan, pemuda, olahraga,
perumahan, dan pembangunan kawasan atau
daerah tertinggal.

Pasal 6
Setiap urusan pemerintahan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) tidak harus dibentuk
dalam satu Kementerian tersendiri.
BAB III
TUGAS, FUNGSI, DAN SUSUNAN ORGANISASI
Bagian Kesatu
Tugas
Pasal 7
Kementerian mempunyai tugas menyelenggarakan
urusan tertentu dalam pemerintahan untuk membantu
Presiden dalam menyelenggarakan pemerintahan negara.
Bagian Kedua
Fungsi
Pasal 8
(1) Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian yang
melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (1) menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan
kebijakan di bidangnya;
b. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang
menjadi tanggung jawabnya;
c. pengawasan atas pelaksanaan tugas di
bidangnya; dan
d. pelaksanaan kegiatan teknis dari pusat sampai
ke daerah.
(2) Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian yang
melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2) menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan, penetapan, dan pelaksanaan
kebijakan di bidangnya;
b. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang
menjadi tanggung jawabnya;
c. pengawasan atas pelaksanaan tugas di
bidangnya;

d. pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi
atas pelaksanaan urusan Kementerian di
daerah; dan
e. pelaksanaan kegiatan teknis yang berskala
nasional.
(3) Dalam melaksanakan tugasnya, Kementerian yang
melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (3) menyelenggarakan fungsi:
a. perumusan dan penetapan kebijakan di
bidangnya;
b. koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan
kebijakan di bidangnya;
c. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang
menjadi tanggung jawabnya; dan
d. pengawasan atas pelaksanaan tugas di
bidangnya.
Bagian Ketiga
Susunan Organisasi
Pasal 9
(1) Susunan organisasi Kementerian yang menangani
urusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat
(1) terdiri atas unsur:
a. pemimpin, yaitu Menteri;
b. pembantu pemimpin, yaitu sekretariat jenderal;
c. pelaksana tugas pokok, yaitu direktorat
jenderal;
d. pengawas, yaitu inspektorat jenderal;
e. pendukung, yaitu badan dan/atau pusat; dan
f. pelaksana tugas pokok di daerah dan/atau
perwakilan luar negeri sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(2) Susunan organisasi Kementerian yang
melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (2) terdiri atas unsur:
a. pemimpin, yaitu Menteri;
b. pembantu pemimpin, yaitu sekretariat jenderal;
c. pelaksana, yaitu direktorat jenderal;
d. pengawas, yaitu inspektorat jenderal; dan
e. pendukung, yaitu badan dan/atau pusat.
(3) Kementerian . . .

(3) Kementerian yang menangani urusan agama,
hukum, keuangan, dan keamanan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) juga memiliki
unsur pelaksana tugas pokok di daerah.
(4) Susunan organisasi Kementerian yang
melaksanakan urusan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 5 ayat (3) terdiri atas unsur:
a. pemimpin, yaitu Menteri;
b. pembantu pemimpin, yaitu sekretariat
Kementerian;
c. pelaksana, yaitu deputi; dan
d. pengawas, yaitu inspektorat.
Pasal 10
Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan
penanganan secara khusus, Presiden dapat mengangkat
wakil Menteri pada Kementerian tertentu.
Pasal 11
Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas, fungsi, dan
susunan organisasi Kementerian diatur dengan
Peraturan Presiden.
BAB IV
PEMBENTUKAN, PENGUBAHAN, DAN PEMBUBARAN
KEMENTERIAN
Bagian Kesatu
Pembentukan Kementerian
Pasal 12
Presiden membentuk Kementerian luar negeri, dalam
negeri, dan pertahanan, sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Pasal 13
(1) Presiden membentuk Kementerian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3).
(2) Pembentukan . . .

(2) Pembentukan Kementerian sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dengan mempertimbangkan:
a. efisiensi dan efektivitas;
b. cakupan tugas dan proporsionalitas beban
tugas;
c. kesinambungan, keserasian, dan keterpaduan
pelaksanaan tugas; dan/atau
d. perkembangan lingkungan global.
Pasal 14
Untuk kepentingan sinkronisasi dan koordinasi urusan
Kementerian, Presiden dapat membentuk Kementerian
koordinasi.
Pasal 15
Jumlah keseluruhan Kementerian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 paling
banyak 34 (tiga puluh empat).
Pasal 16
Pembentukan Kementerian sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 12, Pasal 13, dan Pasal 14 paling lama 14
(empat belas) hari kerja sejak Presiden mengucapkan
sumpah/janji.
Bagian Kedua
Pengubahan Kementerian
Pasal 17
Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
tidak dapat diubah oleh Presiden.
Pasal 18
(1) Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal
13 dapat diubah oleh Presiden.
(2) Pengubahan . . .

(2) Pengubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan dengan mempertimbangkan:
a. efisiensi dan efektivitas;
b. perubahan dan/atau perkembangan tugas dan
fungsi;
c. cakupan tugas dan proporsionalitas beban
tugas;
d. kesinambungan, keserasian, dan keterpaduan
pelaksanaan tugas;
e. peningkatan kinerja dan beban kerja
pemerintah;
f. kebutuhan penanganan urusan tertentu dalam
pemerintahan secara mandiri; dan/atau
g. kebutuhan penyesuaian peristilahan yang
berkembang.
Pasal 19
(1) Pengubahan sebagai akibat pemisahan atau
penggabungan Kementerian dilakukan dengan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
(2) Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan Dewan Perwakilan Rakyat paling lama 7
(tujuh) hari kerja sejak surat Presiden diterima.
(3) Apabila dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) Dewan
Perwakilan Rakyat belum menyampaikan
pertimbangannya, Dewan Perwakilan Rakyat
dianggap sudah memberikan pertimbangan.
Bagian Ketiga
Pembubaran Kementerian
Pasal 20
Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12
tidak dapat dibubarkan oleh Presiden.
Pasal 21 . . .

Pasal 21
Kementerian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
dapat dibubarkan oleh Presiden dengan meminta
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat, kecuali
Kementerian yang menangani urusan agama, hukum,
keuangan, dan keamanan harus dengan persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat.
BAB V
PENGANGKATAN DAN PEMBERHENTIAN
Bagian Kesatu
Pengangkatan
Pasal 22
(1) Menteri diangkat oleh Presiden.
(2) Untuk dapat diangkat menjadi Menteri, seseorang
harus memenuhi persyaratan:
a. warga negara Indonesia;
b. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
c. setia kepada Pancasila sebagai dasar negara,
Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, dan cita-cita proklamasi
kemerdekaan;
d. sehat jasmani dan rohani;
e. memiliki integritas dan kepribadian yang baik;
dan
f. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan
putusan pengadilan yang telah memperoleh
kekuatan hukum tetap karena melakukan
tindak pidana yang diancam dengan pidana
penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Pasal 23
Menteri dilarang merangkap jabatan sebagai:
a. pejabat negara lainnya sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
b. komisaris atau direksi pada perusahaan negara atau
perusahaan swasta; atau
c. pimpinan . . .
- 10 -
c. pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran
Pendapatan Belanja Negara dan/atau Anggaran
Pendapatan Belanja Daerah.
Bagian Kedua
Pemberhentian
Pasal 24
(1) Menteri berhenti dari jabatannya karena:
a. meninggal dunia; atau
b. berakhir masa jabatan.
(2) Menteri diberhentikan dari jabatannya oleh
Presiden karena:
a. mengundurkan diri atas permintaan sendiri
secara tertulis;
b. tidak dapat melaksanakan tugas selama 3
(tiga) bulan secara berturut-turut;
c. dinyatakan bersalah berdasarkan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap karena melakukan tindak pidana
yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima)
tahun atau lebih;
d. melanggar ketentuan larangan rangkap
jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
23; atau
e. alasan lain yang ditetapkan oleh Presiden.
(3) Presiden memberhentikan sementara Menteri yang
didakwa melakukan tindak pidana yang diancam
dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
BAB VI
HUBUNGAN FUNGSIONAL KEMENTERIAN DAN
LEMBAGA PEMERINTAH NONKEMENTERIAN
Pasal 25
(1) Hubungan fungsional antara Kementerian dan
lembaga pemerintah nonkementerian dilaksanakan
secara sinergis sebagai satu sistem pemerintahan
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Lembaga . . .

(2) Lembaga pemerintah nonkementerian
berkedudukan di bawah Presiden dan bertanggung
jawab kepada Presiden melalui Menteri yang
mengoordinasikan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai hubungan
fungsional antara Menteri dan lembaga pemerintah
nonkementerian sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB VII
HUBUNGAN KEMENTERIAN DENGAN PEMERINTAH
DAERAH
Pasal 26
Hubungan antara Kementerian dan pemerintah daerah
dilaksanakan dalam kerangka sistem pemerintahan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan
memperhatikan prinsip-prinsip penyelenggaraan
otonomi daerah sesuai peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 27
Kementerian yang sudah ada pada saat berlakunya
Undang-Undang ini tetap menjalankan tugasnya sampai
dengan terbentuknya Kementerian berdasarkan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 28
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar . . .

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan
pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 6 Nopember 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 6 Nopember 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 166
Salinan sesuai dengan aslinya
SEKRETARIAT NEGARA RI
Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan
Bidang Politik dan Kesejahteraan Rakyat,
Wisnu Setiawan
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 2008
TENTANG
KEMENTERIAN NEGARA
I. UMUM
Penyelenggara negara mempunyai peran yang penting dalam
mewujudkan tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945. Tujuan negara adalah untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan,
perdamaian abadi, dan keadilan sosial. Oleh karena itu, sejak
proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, Pemerintah
Negara Republik Indonesia bertekad menjalankan fungsi
pemerintahan negara ke arah tujuan yang dicita-citakan.
Pasal 4 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menegaskan bahwa Presiden Republik Indonesia memegang
kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar. Dalam
menjalankan kekuasaan pemerintahan, Presiden dibantu oleh
menteri-menteri negara yang diangkat dan diberhentikan oleh
Presiden.
Menteri-menteri negara tersebut membidangi urusan tertentu dalam
pemerintahan yang pembentukan, pengubahan, dan pembubaran
kementeriannya diatur dalam undang-undang sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 17 Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945. Pasal 17 ini menegaskan bahwa kekuasaan
Presiden tidak tak terbatas karenanya dikehendaki setiap
pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara
haruslah berdasarkan undang-undang.
Undang-undang ini sama sekali tidak mengurangi apalagi
menghilangkan hak Presiden dalam menyusun kementerian negara
yang akan membantunya dalam menyelenggarakan urusan
pemerintahan. Sebaliknya, undang-undang ini justru dimaksudkan
untuk memudahkan Presiden dalam menyusun kementerian negara
karena secara jelas dan tegas mengatur kedudukan, tugas, fungsi,
dan susunan organisasi kementerian negara.
Pengaturan . . .

Pengaturan mengenai kementerian negara tidak didekati melalui
pemberian nama tertentu pada setiap kementerian. Akan tetapi,
undang-undang ini melakukan pendekatan melalui urusan-urusan
pemerintahan yang harus dijalankan Presiden secara menyeluruh
dalam rangka pencapaian tujuan negara. Urusan-urusan
pemerintahan tersebut adalah urusan pemerintahan yang
nomenklatur kementeriannya secara tegas disebutkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
urusan pemerintahan yang ruang lingkupnya disebutkan dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan
urusan pemerintahan dalam rangka penajaman, koordinasi, dan
sinkronisasi program pemerintah.
Dalam melaksanakan urusan-urusan tersebut tidak berarti satu
urusan dilaksanakan oleh satu kementerian. Akan tetapi satu
kementerian bisa melaksanakan lebih dari satu urusan sesuai
dengan tugas yang diberikan oleh Presiden.
Undang-undang ini juga mengatur tentang persyaratan pengangkatan
dan pemberhentian menteri. Pengaturan persyaratan pengangkatan
menteri tidak dimaksudkan untuk membatasi hak Presiden dalam
memilih seorang Menteri, sebaliknya menekankan bahwa seorang
Menteri yang diangkat memiliki integritas dan kepribadian yang baik.
Namun demikian Presiden diharapkan juga memperhatikan
kompetensi dalam bidang tugas kementerian, memiliki pengalaman
kepemimpinan, dan sanggup bekerjasama sebagai pembantu
Presiden.
Undang-undang ini disusun dalam rangka membangun sistem
pemerintahan presidensial yang efektif dan efisien, yang
menitikberatkan pada peningkatan pelayanan publik yang prima.
Oleh karena itu, menteri dilarang merangkap jabatan sebagai pejabat
negara lainnya, komisaris dan direksi pada perusahaan, dan
pimpinan organisasi yang dibiayai dari Anggaran Pendapatan Belanja
Negara dan/atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Bahkan
diharapkan seorang menteri dapat melepaskan tugas dan jabatanjabatan
lainnya termasuk jabatan dalam partai politik. Kesemuanya
itu dalam rangka meningkatkan profesionalisme, pelaksanaan urusan
kementerian yang lebih fokus kepada tugas pokok dan fungsinya
yang lebih bertanggung jawab.
Undang-undang ini juga dimaksudkan untuk melakukan reformasi
birokrasi dengan membatasi jumlah kementerian paling banyak 34
(tiga puluh empat). Artinya, jumlah kementerian tidak dimungkinkan
melebihi jumlah tersebut dan diharapkan akan terjadi pengurangan.
II. PASAL . . .

II. PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.
Pasal 3
Yang dimaksud dengan ”berada di bawah” dalam ketentuan ini
adalah kedudukan kementerian dalam struktur pemerintahan.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Pelaksanaan urusan kementerian di daerah yang
dimaksud adalah kegiatan teknis yang berskala
provinsi/kabupaten/kota yang dilaksanakan oleh
dinas provinsi/kabupaten/kota disertai penyerahan
keuangannya.
Huruf e . . .

Huruf e
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Kementerian yang menangani urusan tertentu dapat
membentuk perwakilan di luar negeri sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 10
Yang dimaksud dengan “Wakil Menteri” adalah pejabat karir dan
bukan merupakan anggota kabinet.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19 . . .

Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Menteri dalam ketentuan ini adalah pejabat negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Orang yang dipidana penjara karena alasan politik dan
telah mendapatkan rehabilitasi dikecualikan dari
ketentuan ini.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27 . . .

Pasal 27
Nomenklatur kementerian yang berlaku selama ini, seperti
Departemen dan Kementerian Negara, diakui berdasarkan
undang-undang ini dan tetap menjalankan tugas dan fungsinya
sampai terbentuknya kementerian berdasarkan ketentuan dalam
undang-undang ini.
Pasal 28
Cukup jelas.
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4916

KAI versus Peradi

0 komentar

Ratusan advokat terlibat adu mulut di depan ruang Wakil Ketua MA bidang Non Yudisial Harifin Tumpa. Aksi tarik menarik baju pun sempat terjadi. Mereka berdebat soal pengambilan sumpah advokat yang lulus ujian KAI.

Keributan besar terjadi di gedung Mahkamah Agung (MA). Dua kubu hampir terlibat baku hantam. Adu mulut masing-masing kubu juga terdengar dengan nyaring. Kejadian berlangsung di depan ruang Wakil Ketua MA bidang non Yudisial Harifin Tumpa. “Kami ini penegak hukum. Anda jangan memprovokasi kami,” ujar salah seorang pelaku. Ucapan itu ditujukan justru kepada Pengamanan Dalam (Pamdal) MA yang mencoba melerai.

Ya, mereka memang penegak hukum. Mereka bukan preman yang sedang membuat keributan di MA. Kedua kubu juga sama-sama menyandang profesi advokat. Profesi yang digelari officium nobile atau profesi mulia dan terhormat. Namun, masing-masing kubu membawa “bendera” yang berbeda. Satu berasal dari Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), sedangkan satu lagi dari Kongres Advokat Indonesia (KAI).

Kejadian ini seakan tak terduga. Kedua kubu tadinya masih saling melontarkan candaan. Bahkan terkesan seperti acara reunian. Namun, tak tahu berasal darimana, tiba-tiba candaan berubah menjadi kericuhan.

Si tuan rumah terang saja keberatan dengan kelakuan advokat ini. “Itu memang urusan internal mereka. Tapi jangan berantam di sini dong,” ujar Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Nurhadi, Senin (24/11). Ia memang terlihat kesal. Pasalnya, keributan bukan hanya di luar, tapi juga di dalam ruang kerja Harifin Tumpa. “Saya lihat sendiri mereka berantam di sini,” tambahnya.

Wakil Presiden KAI Ahmad Yani menceritakan tujuan KAI menyambangi MA. “Kita mau audiensi dengan MA,” tuturnya. Agendanya, seputar rencana pengambilan sumpah advokat lulusan ujian yang diselenggarakan KAI. Saat ini, lanjut Yani, ada sekitar empat ribu orang yang siap disumpah oleh Ketua Pengadilan Tinggi di masing-masing daerah. Ini merupakan sumpah advokat pertama untuk KAI.

Yani mengatakan, awalnya pengurus KAI yang datang hanya lima orang. Mereka adalah para petinggi KAI seperti Presiden KAI Indra Sahnun Lubis dan Sekjen KAI Tommy Sihotang. Namun, jumlah rombongan itu membengkak. Anggota KAI lainnya pun segera berdatangan. “Mereka dengar, Peradi juga datang ke MA,” tuturnya.

Yani mengaku tak tahu persis asal muasal kericuhan itu. “Saya berada di dalam (ruang tunggu kantor Harifin,-red),” katanya. Ia mengaku mendengar suara sangat keras, lalu tiba-tiba terjadi kericuhan.

Sementara itu, dari pihak Peradi, Amin Jar menegaskan tujuan kedatangannya beserta rombongan juga ingin bertemu Harifin. “Kita mau kasih surat agar MA tak mengambil sumpah advokat lulusan KAI,” tegas Ketua DPC Peradi Jakarta Barat ini. Ia menegaskan bila MA membolehkan Ketua Pengadilan Tinggi mengambil sumpah advokat dari KAI maka telah terjadi pelanggaran UU Advokat. “Jelas-jelas UU hanya mengakui Peradi,” tambahnya.

Sekedar mengingatkan, konflik antar advokat ini memang belum juga usai. Kedua kubu, Peradi dan KAI, saling klaim bahwa organisasinya yang menjadi wadah tunggal advokat di Indonesia sesuai amanat UU Advokat.


Rapim
Kisruh kedua organisasi advokat ini, mau tak mau justru berimbas kepada MA sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman. Apalagi, sumpah seorang advokat harus dilakukan di depan Ketua Pengadilan Tinggi di masing-masing daerah. Nurhadi mengatakan, di lapangan, sejumlah Ketua Pengadilan Tinggi memang sempat bingung terkait masalah ini. Apakah bisa mengambil sumpah advokat lulusan KAI atau tidak.

Nurhadi mengatakan Ketua Pengadilan Tinggi Palembang bahkan sampai mengirim surat ke MA seputar persoalan ini. “Dia minta petunjuk MA,” katanya. Selain Palembang, lanjut, masih banyak lagi KPT di daerah yang juga kirim surat ke MA. Ia mengatakan para KPT ini memang serba salah, karena di lapangan ada dua kubu yang saling klaim.

Masalahnya, sikap MA memang belum tegas mengenai hal ini. “Pak Harifin bilang agar segera dirapimkan (rapat pimpinan,-red),” ujarnya. Sebelum rapim digelar, MA akan mendengar masukan-masukan dari kedua kubu tersebut. Nurhadi mengatakan sejatinya hari ini MA akan menyerap salah satu aspirasi itu.

Harifin memang diagendakan bertemu dengan utusan Peradi. Mereka sudah terlebih dulu mengirim surat. Namun, rombongan KAI yang datang lebih dulu. “KAI bilang mereka sudah kirim surat tertanggal 17 November,” katanya. Nurhadi pun segera mencari surat tersebut. Ternyata, menurutnya surat tersebut hanya berupa pemberitahuan bukan permintaan untuk beraudiensi. Sehingga, Harifin pun menyampaikan penolakannya karena memang tak ada agenda bertemu KAI.

Bukan hanya KAI yang ditolak, utusan Peradi pun akhirnya batal menemui Harifin. “Rencana pertemuan dengan Peradi juga ditunda,” ujarnya. Tampaknya, MA ingin mengambil jalan tengah terkait kisruh dunia advokat yang tak kunjung berhenti ini.

(Ali)
diunduh dari : http://www.hukumonline.com/detail.asp?id=20555&cl=Berita