Memori van Toelichting

Tidak semua karya disini itu saya salin, ada pula yang murni dari analisis pribadi, sehingga tidak memerlukan lagi catatan kaki ataupun daftar pustaka Sedangkan apabila anda tidak senang dengan blog ini karena mungkin anda merasa ada karya anda yang saya terbitkan tidak menyertakan sumber, saya mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya; semua semata-mata hanya kekhilafan, karena motivasi utama saya dalam membuat blog ini adalah "demi kemajuan bangsa Indonesia untuk lebih peka terhadap hukum sebagaimana yang dicita-citakan oleh Bung Karno". Serta yang terpenting ialah adagium, "Ignorantia iuris nocet" yang artinya Ketidaktahuan akan hukum, mencelakakan, semoga blog bermanfaat untuk semua orang untuk sadar hukum.

Disclaimer


Blog ini bukanlah blog ilmiah, dan Informasi yang tersedia di www.raja1987.blogspot.com tidak ditujukan sebagai suatu nasehat hukum,
namun hanya memberikan gambaran umum terhadap suatu informasi atau permasalahan hukum yang sedang dihadapi.

------------------------------

nomor telepon : 0811 9 1111 57
surat elektronik : raja.saor@gmail.com
laman : www.rikifernandes.com

Prinsip Pokok Negara Hukum


Tiga belas prinsip pokok Negara Hukum yang berlaku di zaman sekarang ini merupakan pilar utama yang menyangga berdiri tegaknya suatu negara sehingga dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sebenarnya. Di samping itu, jika konsep Negara Hukum itu dikaitkan pula dengan paham negara yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa seperti Indonesia, maka keduabelas prinsip tersebut patut pula ditambah satu prinsip lagi, yaitu: Prinsip Berke-Tuhanan Yang Maha Esa sebagai prinsip kesebelas gagasan Negara Hukum modern

1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law):
Adanya pengakuan normatif dan empirik akan prinsip supremasi hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai pedoman tertinggi. Dalam perspektif supremasi hukum (supremacy of law), pada hakikatnya pemimpin tertinggi negara yang sesungguhnya, bukanlah manusia, tetapi konstitusi yang mencerminkan hukum yang tertinggi. Pengakuan normative atas supremasi hukum tercermin dalam perumusan hukum dan/atau konstitusi, sedangkan pengakuan empirik tercermin dalam perilaku sebagian terbesar masyarakatnya bahwa hukum itu memang ‘supreme’. Bahkan, dalam republik yang menganut sistem presidential yang bersifat murni, konstitusi itulah yang sebenarnya lebih tepat untuk disebut sebagai ‘kepala negara’. Itu sebabnya, dalam sistem pemerintahan presidential, tidak dikenal pembedaan antara kepala Negara dan kepala pemerintahan seperti dalam sistem pemerintahan parlementer.

2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law):
Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan pemerintahan, yang diakui secara normative dan dilaksanakan secara empirik. Dalam rangka prinsip persamaan ini, segala sikap dan tindakan diskriminatif dalam segala bentuk dan manifestasinya diakui sebagai sikap dan tindakan yang terlarang, kecuali tindakan-tindakan yang bersifat khusus dan sementara yang dinamakan ‘affirmative actions’ guna mendorong dan mempercepat kelompok masyarakat tertentu atau kelompok warga masyarakat tertentu untuk mengejar kemajuan sehingga mencapai tingkat perkembangan yang sama dan setara dengan kelompok masyarakat kebanyakan yang sudah jauh lebih maju. Kelompok masyarakat tertentu yang dapat diberikan perlakuan khusus melalui ‘affirmative actions’ yang tidak termasuk pengertian diskriminasi itu misalnya adalah kelompok masyarakat suku terasing atau kelompok masyarakat hukum adapt tertentu yang kondisinya terbelakang. Sedangkan kelompok warga masyarakat tertentu yang dapat diberi perlakuan khusus yang bukan bersifat diskriminatif, misalnya, adalah kaum wanita ataupun anak-anak terlantar.

3. Asas Legalitas (Due Process of Law):
Dalam setiap Negara Hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu segala tindakan pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang sah dan tertulis. Peraturan perundang-undangan tertulis harus ada dan berlaku lebih dulu atau mendahului tindakan atau perbuatan administrasi yang dilakukan. Dengan demikian, setiap perbuatan atau tindakan administrasi harus didasarkan atas aturan atau ‘rules and procedures’ (regels). Prinsip normatif demikian nampaknya sangat kaku dan dapat menyebabkan birokrasi menjadi lamban. Karena itu, untuk menjamin ruang gerak para pejabat administrasi negara dalam menjalankan tugasnya, maka sebagai pengimbang, diakui pula adanya prinsip ‘frijsermessen’ yang memungkinkan para pejabat administrasi negara mengembangkan dan menetapkan sendiri ‘beleid-regels’ atau ‘policy rules’ yang berlaku internal secara bebas dan mandiri dalam rangka menjalankan tugas jabatan yang dibebankan oleh peraturan yang sah.

4. Pembatasan Kekuasaan:
Adanya pembatasan kekuasaan Negara dan organ-organ Negara dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau pemisahan kekuasaan secara horizontal. Sesuai dengan hukum besi kekuasaan, setiap kekuasaan pasti memiliki kecenderungan untuk berkembang menjadi sewenang-wenang, seperti dikemukakan oleh Lord Acton: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely”. Karena itu, kekuasaan selalu harus dibatasi dengan cara memisah-misahkan kekuasaan ke dalam cabang-cabang yang bersifat ‘checks and balances’ dalam kedudukan yang sederajat dan saling mengimbangi dan mengendalikan satu sama lain. Pembatasan kekuasaan juga dilakukan dengan membagi-bagi kekuasaan itu ke dalam beberapa organ yang tersusun secara vertical. Dengan demikian, kekuasaan tidak tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.

5. Organ-Organ Eksekutif Yang Bersifat Independen:
Dalam rangka pembatasan kekuasaan tersebut, tidak lagi cukup bahwa kekuasaan Pemerintah dipisah dan dibagi-bagikan ke dalam beberapa organ seperti selama ini. Untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan demokratisasi, terutama sejak akhir abad ke 20, kekuasaan pemerintahan juga semakin dikurangi dengan dibentuknya berbagai ‘independent body’ seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNASHAM), Komisi Pemilihan Umum (KPU), dan bahkan lembaga tradisional yang sebelumnya melekat sebagai bagian tak terpisahkan dari fungsi eksekutif, juga dikembangkan menjadi independent seperti Bank Central, Organisasi Tentara, Kepolisian, dan bahkan di beberapa Negara juga Kejaksaan dibuat independent, sehingga dalam menjalankan tugas utamanya tidak dipengaruhi oleh kepentingan politik memereka yang menduduki jabatan politik di pemerintahan. Di hamper semua negara demokrasi, gejala pertumbuhan badan-badan independen semacam itu merupakan sesuatu yang niscaya. Di Amerika Serikat sendiri, lebih dari 30-an badan semacam ini dikembangkan selama abad ke 20, dan biasa disebut sebagai ‘independent auxiliary state organs’ (lembaga-lembaga negara yang independent dan bersifat penunjang). Beberapa di antaranya diberi kewenangan regulatoris sehingga biasa disebut sebagai ‘self regulatory body’. Di Indonesia, dapat disebut beberapa di antaranya, misalnya Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK), dan sebagainya.

6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak:
Adanya peradilan yang bebas dan tidak memihak (independent and impartial judiciary). Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam setiap Negara Hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan (politik) maupun kepentingan uang (ekonomi). Untuk menjamin keadilan dan kebenaran, tidak diperkenankan adanya intervensi ke dalam proses pengambilan putusan keadilan oleh hakim, baik intervensi dari lingkungan kekuasaan eksekutif maupun legislative ataupun dari kalangan masyarakat dan media massa. Dalam menjalankan tugasnya, hakim tidak boleh memihak kepada siapapun juga kecuali hanya kepada kebenaran dan keadilan. Namun demikian, dalam menjalankan tugasnya, proses pemeriksaan perkara oleh hakim juga harus bersifat terbuka, dan dalam menentukan penilaian dan menjatuhkan putusan, hakim harus menghayati nilai-nilai keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat. Hakim tidak hanya bertindak sebagai ‘mulut’ undang-undang atau peraturan perundang-undangan, melainkan juga ‘mulut’ keadilan yang menyuarakan perasaan keadilan yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

7. Peradilan Tata Usaha Negara:
Meskipun peradilan tata usaha negara juga menyangkut prinsip peradilan bebas dan tidak memihak, tetapi penyebutannya secara khusus sebagai pilar utama Negara Hukum tetap perlu ditegaskan tersendiri. Dalam setiap Negara Hukum, harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi Negara dan dijalankannya putusan hakim tata usaha negara (administrative court) oleh pejabat administrasi negara. Pengadilan Tata Usaha Negara ini penting disebut tersendiri, karena dialah yang menjamin agar warga negara tidak didzalimi oleh keputusan-keputusan para pejabat administrasi negara sebagai pihak yang berkuasa. Jika hal itu terjadi, maka harus ada pengadilan yang menyelesaikan tuntutan keadilan itu bagi warga Negara, dan harus ada jaminan bahwa putusan hakim tata usaha Negara itu benar-benar djalankan oleh para pejabat tata usaha Negara yang bersangkutan. Sudah tentu, keberadaan hakim peradilan tata usaha negara itu sendiri harus pula dijamin bebas dan tidak memihak sesuai prinsip ‘independent and impartial judiciary’ tersebut di atas.

8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court):
Di samping adanya Pengadilan Administrasi Negara atau Pengadilan Tata Usaha Negara (verwaltungsgericht), di lingkungan negara-negara yang menganut tradisi ‘civil law’, sejak tahun 1920, juga berkembang adanya Pengadilan Tata Negara (verfassungsgericht). Jika pengadilan tata usaha negara dapat disebut sebagai fenomena abad ke-19 dan karena itu dianggap sebagai salah satu ciri penting konsep ‘rechtsstaat’ abad ke-19, maka dengan berkembangnya pengadilan tata negara pada abad ke-20, adalah wajar pula jika keberadaannya organ baru ini, baik keberadaan kelembagaannya yang berdiri sendiri ataupun setidaknya dari segi fungsinya sebagai pengawal konstitusi sebagaimana yang dikaitkan dengan fungsi Mahkamah Agung Amerika Serikat, juga sebagai ciri konsep negara hukum modern. Jika suatu negara mengklaim menganut paham Negara Hukum, tetapi tidak tersedia mekanisme untuk mengontrol konstitusionalitas pembuatan undang-undang ataupun konstitusionalitas penyelenggaraan demokrasi, maka negara yang bersangkutan tidak sempurna untuk disebut sebagai Negara Hukum yang demokratis (democratische rechtsstaat) ataupun negara demokrasi yang berdasar atas hukum (constitutional democracy).

9. Perlindungan Hak Asasi Manusia:
Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting suatu Negara Hukum yang demokratis. Setiap manusia sejak kelahirannya menyandang hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang bersifat bebas dan asasi. Terbentuknya Negara dan demikian pula penyelenggaraan kekuasaan suatu Negara tidak boleh mengurangi arti atau makna kebebasan dan hak-hak asasi kemanusiaan itu. Karena itu, adanya perlindungan dan penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia itu merupakan pilar yang sangat penting dalam setiap Negara yang disebut sebagai Negara Hukum. Jika dalam suatu Negara, hak asasi manusia terabaikan atau dilanggar dengan sengaja dan penderitaan yang ditimbulkannya tidak dapat diatasi secara adil, maka Negara yang bersangkutan tidak dapat disebut sebagai Negara Hukum dalam arti yang sesungguhnya.

10. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat):
Dalam setiap Negara Hukum, dianut dan dipraktekkan adanya prinsip demokrasi atau kedaulatan rakyat yang menjamin peranserta masyarakat dalam setiap proses pengambilan keputusan kenegaraan. Dengan adanya peranserta masyarakat dalam proses pengambilan keputusan tersebut, setiap peraturan perundang-undangan yang ditetapkan dan ditegakkan dapat diharapkan benar-benar mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di tengah masyarakat. Hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, tidak boleh ditetapkan dan diterapkan secara sepihak oleh dan/atau hanya untuk kepentingan penguasa secara bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi. Karena hukum memang tidak dimaksudkan untuk hanya menjamin kepentingan segelintir orang yang berkuasa, melainkan menjamin kepentingan akan rasa adil bagi semua orang tanpa kecuali. Artinya, negara hukum (rechtsstaat) yang dikembangkan bukanlah ‘absolute rechtsstaat’, melainkan ‘democratische rechtsstaat’ atau negara hukum yang demokratis. Dengan perkataan lain, dalam setiap Negara Hukum yang bersifat nomokratis harus dijamin adanya demokrasi, sebagaimana di dalam setiap Negara Demokrasi harus dijamin penyelenggaraannya berdasar atas hukum.

11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Kesejahteraan (Welfare Rechtsstaat):
Hukum adalah sarana untuk mencapai tujuan yang diidealkan bersama. Cita-cita hukum itu sendiri, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalaui gagasan negara hukum (nomocrasy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan umum. Bahkan sebagaimana cita-cita nasional Indonesia yang dirumuskan dalam Pembukaan UUD 1945, tujuan bangsa Indonesia bernegara adalah dalam rangka melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan social. Negara Hukum berfungsi sebagai sarana untuk mewujudkan dan mencapai keempat tujuan negara Indonesia tersebut. Dengan demikian, pembangunan negara Indonesia tidak akan terjebak menjadi sekedar ‘rule-driven’, melainkan tetap ‘mission driven’, tetapi ‘mission driven’ yang tetap didasarkan atas aturan.

12. Transparansi dan Kontrol Sosial:
Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat dilengkapi secara komplementer oleh peranserta masyarakat secara langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan kebenaran. Adanya partisipasi langsung ini penting karena sistem perwakilan rakyat melalui parlemen tidak pernah dapat diandalkan sebagai satu-satunya saluran aspirasi rakyat. Karena itulah, prinsip ‘representation in ideas’ dibedakan dari ‘representation in presence’, karena perwakilan fisik saja belum tentu mencerminkan keterwakilan gagasan atau aspirasi. Demikian pula dalam penegakan hukum yang dijalankan oleh aparatur kepolisian, kejaksaan, pengacara, hakim, dan pejabat lembaga pemasyarakatan, semuanya memerlukan kontrol sosial agar dapat bekerja dengan efektif, efisien serta menjamin keadilan dan kebenaran.

13. Berke-Tuhanan Yang Maha Esa:
Negara modern biasanya mengaitkan diri dengan paham sekularisme yang memisahkan diri dari urusan-urusan keagamaan dan ketuhanan sama sekali. Negara modern mengaku (claim) mampu bersikap netral dalam urusan-urusan agama dan keagamaan. Karena itu, dimensi-dimensi ketuhanan lazimnya berada di luar jangkauan kajian kenegaraan. Akan tetapi, Negara Hukum Indonesia adalah negara hukum yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa. Karena setiap produk hukum Indonesia di samping harus dibuat dan ditetapkan secara demokratis serta ditegakkan tanpa melanggar hak-hak asasi manusia, juga mempersyaratkan adanya persesuaiannya dengan ataupun terbebas dari kemungkinan bertentangan dengan norma-norma agama yang diyakini oleh para subjek warganegara Indonesia. Hukum Indonesia juga tidak boleh ditegakkan dengan semena-mena dengan tanpa mempertimbangkan nilai-nilai keadilan yang hidup dalam konteks kehidupan umat beragama dalam negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.

Bandingkan dengan Muhammad Tahir Azhary, Negara Hukum: Suatu Studi tentang Prinsip-Prinsipnya Dilihat dari Segi Hukum Islam, Implementasinya pada Periode Negara Madinah dan Masa Kini, Bulan Bintang, Jakarta, 1992.
Amerika Serikat juga mengklaim hal yang sama, tetapi seperti dikemukakan oleh Alexis de Tocqueville, buku karyanya Democracy in America, A Vintage Book (edisi 1956), aspirasi keagamaan sangat berpengaruh dan menyumbang banyak dalam pembentukan opini dan aspirasi politik dan bahkan institusi politik di Amerika Serikat. Lihat laporan de Tocqueville tersebut pada halaman-halaman 310 – 325.

diunduh dari: pemantau peradilan dot kom



0 komentar: