Memori van Toelichting

Tidak semua karya disini itu saya salin, ada pula yang murni dari analisis pribadi, sehingga tidak memerlukan lagi catatan kaki ataupun daftar pustaka Sedangkan apabila anda tidak senang dengan blog ini karena mungkin anda merasa ada karya anda yang saya terbitkan tidak menyertakan sumber, saya mengucapkan maaf yang sebesar-besarnya; semua semata-mata hanya kekhilafan, karena motivasi utama saya dalam membuat blog ini adalah "demi kemajuan bangsa Indonesia untuk lebih peka terhadap hukum sebagaimana yang dicita-citakan oleh Bung Karno". Serta yang terpenting ialah adagium, "Ignorantia iuris nocet" yang artinya Ketidaktahuan akan hukum, mencelakakan, semoga blog bermanfaat untuk semua orang untuk sadar hukum.

Disclaimer


Blog ini bukanlah blog ilmiah, dan Informasi yang tersedia di www.raja1987.blogspot.com tidak ditujukan sebagai suatu nasehat hukum,
namun hanya memberikan gambaran umum terhadap suatu informasi atau permasalahan hukum yang sedang dihadapi.

------------------------------

nomor telepon : 0811 9 1111 57
surat elektronik : raja.saor@gmail.com
laman : www.rikifernandes.com

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007

LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
No. 65, 2007

PERHUBUNGAN. ANGKUTAN. TRANSPORTASI. KERETAAPI. (Penjelasan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4722)

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2007
TENTANG
PERKERETAAPIAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang: a. bahwa transportasi mempunyai peranan penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi, pengembangan wilayah dan pemersatu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam rangka mewujudkan Wawasan Nusantara, serta memperkukuh ketahanan nasional dalam usaha mencapai tujuan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa perkeretaapian sebagai salah satu moda transportasi dalam sistem transportasi nasional yang mempunyai karakteristik pengangkutan secara massal dan keunggulan tersendiri, yang tidak dapat dipisahkan dari moda transportasi lain, perlu dikembangkan potensinya dan ditingkatkan peranannya sebagai penghubung wilayah, baik nasional maupun internasional, untuk menunjang, mendorong, dan menggerakkan pembangunan nasional guna meningkatkan kesejahteraan rakyat;
c. bahwa Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3479) tidak sesuai lagi dengan kebutuhan dan perkembangan hukum dalam masyarakat, perkembangan zaman, serta ilmu pengetahuan dan teknologi;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, dan huruf c perlu dibentuk Undang-Undang tentang Perkeretaapian;

Mengingat: Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PERKERETAAPIAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perkeretaapian adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas prasarana, sarana, dan sumber daya manusia, serta norma, kriteria, persyaratan, dan prosedur untuk penyelenggaraan transportasi kereta api.
2. Kereta api adalah sarana perkeretaapian dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan sarana perkeretaapian lainnya, yang akan ataupun sedang bergerak di jalan rel yang terkait dengan perjalanan kereta api.
3. Prasarana perkeretaapian adalah jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api agar kereta api dapat dioperasikan.
4. Jalur kereta api adalah jalur yang terdiri atas rangkaian petak jalan rel yang meliputi ruang manfaat jalur kereta api, ruang milik jalur kereta api, dan ruang pengawasan jalur kereta api, termasuk bagian atas dan bawahnya yang diperuntukkan bagi lalu lintas kereta api.
5. Jaringan jalur kereta api adalah seluruh jalur kereta api yang terkait satu dengan yang lain yang menghubungkan berbagai tempat sehingga merupakan satu sistem.
6. Jalur kereta api khusus adalah jalur kereta api yang digunakan secara khusus oleh badan usaha tertentu untuk menunjang kegiatan pokok badan usaha tersebut.
7. Jalan rel adalah satu kesatuan konstruksi yang terbuat dari baja, beton, atau konstruksi lain yang terletak di permukaan, di bawah, dan di atas tanah atau bergantung beserta perangkatnya yang mengarahkan jalannya kereta api.
8. Fasilitas operasi kereta api adalah segala fasilitas yang diperlukan agar kereta api dapat dioperasikan.
9. Sarana perkeretaapian adalah kendaraan yang dapat bergerak di jalan rel.
10. Badan Usaha adalah Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah, atau badan hukum Indonesia yang khusus didirikan untuk perkeretaapian.
11. Fasilitas penunjang kereta api adalah segala sesuatu yang melengkapi penyelenggaraan angkutan kereta api yang dapat memberikan kemudahan, kenyamanan, dan keselamatan bagi pengguna jasa kereta api.
12. Pengguna jasa adalah setiap orang dan/atau badan hukum yang menggunakan jasa angkutan kereta api, baik untuk angkutan orang maupun barang.
13. Lalu lintas kereta api adalah gerak sarana perkeretaapian di jalan rel.
14. Angkutan kereta api adalah kegiatan pemindahan orang dan/atau barang dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan kereta api.
15. Awak Sarana Perkeretaapian adalah orang yang ditugaskan di dalam kereta api oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian selama perjalanan kereta api.
16. Penyelenggara prasarana perkeretaapian adalah pihak yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian.
17. Penyelenggara sarana perkeretaapian adalah badan usaha yang mengusahakan sarana perkeretaapian umum.
18. Setiap orang adalah orang perseorangan atau korporasi.
19. Pemerintah Pusat yang selanjutnya disebut Pemerintah adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
20. Pemerintah Daerah adalah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.
21. Menteri adalah Menteri yang tugas dan tanggung jawabnya di bidang perkeretaapian.

BAB II
ASAS DAN TUJUAN

Pasal 2
Perkeretaapian sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari sistem transportasi nasional diselenggarakan berdasarkan:
a. asas manfaat;
b. asas keadilan;
c. asas keseimbangan;
d. asas kepentingan umum;
e. asas keterpaduan;
f. asas kemandirian;
g. asas transparansi;
h. asas akuntabilitas; dan
i. asas berkelanjutan.

Pasal 3
Perkeretaapian diselenggarakan dengan tujuan untuk memperlancar perpindahan orang dan/atau barang secara massal dengan selamat, aman, nyaman, cepat dan lancar, tepat, tertib dan teratur, efisien, serta menunjang pemerataan, pertumbuhan, stabilitas, pendorong, dan penggerak pembangunan nasional.

BAB III
TATANAN PERKERETAAPIAN

Pasal 4
Kereta api menurut jenisnya terdiri dari:
a. kereta api kecepatan normal;
b. kereta api kecepatan tinggi;
c. kereta api monorel;
d. kereta api motor induksi linear;
e. kereta api gerak udara;
f. kereta api levitasi magnetik;
g. trem; dan
h. kereta gantung.

Pasal 5
(1) Perkeretaapian menurut fungsinya terdiri dari:
a. perkeretaapian umum; dan
b. perkeretaapian khusus.
(2) Perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a terdiri dari:
a. perkeretaapian perkotaan; dan
b. perkeretaapian antarkota.
(3) Perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b hanya digunakan secara khusus oleh badan usaha tertentu untuk menunjang kegiatan pokok badan usaha tersebut.

Pasal 6
(1) Tatanan perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a meliputi:
a. perkeretaapian nasional;
b. perkeretaapian provinsi; dan
c. perkeretaapian kabupaten/kota.
(2) Tatanan perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan satu kesatuan sistem perkeretaapian yang disebut tatanan perkeretaapian nasional.
(3) Sistem perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus terintegrasi dengan moda transportasi lainnya.

Pasal 7
(1) Untuk mewujudkan tatanan perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1), ditetapkan rencana induk perkeretaapian.
(2) Rencana induk perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. rencana induk perkeretaapian nasional;
b. rencana induk perkeretaapian provinsi; dan
c. rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota.

Pasal 8
(1) Rencana induk perkeretaapian nasional sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a disusun dengan memperhatikan:
a. rencana tata ruang wilayah nasional; dan
b. rencana induk jaringan moda transportasi lainnya.
(2) Rencana induk perkeretaapian nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan mempertimbangkan kebutuhan angkutan perkeretaapian pada tataran transportasi nasional.
(3) Rencana induk perkeretaapian nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya memuat:
a. arah kebijakan dan peranan perkeretaapian nasional dalam keseluruhan moda transportasi;
b. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan;
c. rencana kebutuhan prasarana perkeretaapian nasional;
d rencana kebutuhan sarana perkeretaapian nasional; dan
e. rencana kebutuhan sumber daya manusia.

Pasal 9
(1) Rencana induk perkeretaapian provinsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf b disusun dengan memperhatikan:
a. rencana tata ruang wilayah nasional;
b. rencana tata ruang wilayah provinsi;
c. rencana induk perkeretaapian nasional; dan
d. rencana induk jaringan moda transportasi lainnya pada tataran provinsi.
(2) Rencana induk perkeretaapian provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan mempertimbangkan kebutuhan angkutan perkeretaapian pada tataran transportasi provinsi.
(3) Rencana induk perkeretaapian provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memuat:
a. arah kebijakan dan peranan perkeretaapian provinsi dalam keseluruhan moda transportasi;
b. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan pada tataran provinsi;
c. rencana kebutuhan prasarana perkeretaapian provinsi;
d. rencana kebutuhan sarana perkeretaapian provinsi; dan
e. rencana kebutuhan sumber daya manusia.

Pasal 10
(1) Rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf c disusun dengan memperhatikan:
a. rencana tata ruang wilayah nasional;
b. rencana tata ruang wilayah provinsi;
c. rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang wilayah kota;
d. rencana induk perkeretaapian provinsi; dan
e. rencana induk jaringan moda transportasi lainnya pada tataran kabupaten/kota.
(2) Rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan mempertimbangkan kebutuhan angkutan perkeretaapian pada tataran transportasi kabupaten/kota.
(3) Rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) paling rendah memuat:
a. arah kebijakan dan peranan perkeretaapian kabupaten/kota dalam keseluruhan moda transportasi;
b. prakiraan perpindahan orang dan/atau barang menurut asal tujuan perjalanan pada tataran kabupaten/kota;
c. rencana kebutuhan prasarana perkeretaapian kabupaten/kota;
d. rencana kebutuhan sarana perkeretaapian kabupaten/kota; dan
e. rencana kebutuhan sumber daya manusia.

Pasal 11
Rencana induk perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) ditetapkan oleh:
a. Pemerintah untuk rencana induk perkeretaapian nasional;
b. pemerintah provinsi untuk rencana induk perkeretaapian provinsi; dan
c. pemerintah kabupaten/kota untuk rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota.

Pasal 12
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis kereta api dan penyusunan rencana induk perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IV
PEMBINAAN

Pasal 13
(1) Perkeretaapian dikuasai oleh Negara dan pembinaannya dilakukan oleh Pemerintah.
(2) Pembinaan perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. pengaturan;
b. pengendalian; dan
c. pengawasan.
(3) Arah pembinaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk memperlancar perpindahan orang dan/atau barang secara massal dengan selamat, aman, nyaman, cepat, tepat, tertib, dan teratur, serta efisien.
(4) Sasaran pembinaan perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertujuan untuk menunjang pemerataan, pertumbuhan, stabilitas, pendorong, dan penggerak pembangunan nasional.

Pasal 14
(1) Pembinaan perkeretaapian nasional dilaksanakan oleh Pemerintah yang meliputi:
a. penetapan arah dan sasaran kebijakan pengembangan perkeretaapian nasional, provinsi, dan kabupaten/kota;
b. penetapan, pedoman, standar, serta prosedur penyelenggaraan dan pengembangan perkeretaapian;
c. penetapan kompetensi pejabat yang melaksanakan fungsi di bidang perkeretaapian;
d. pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, dan bantuan teknis kepada Pemerintah Daerah, penyelenggara dan pengguna jasa perkeretaapian; dan
e. pengawasan terhadap perwujudan pengembangan sistem perkeretaapian.
(2) Pembinaan perkeretaapian provinsi dilaksanakan oleh pemerintah provinsi yang meliputi:
a. penetapan arah dan sasaran kebijakan pengembangan perkeretaapian provinsi, dan kabupaten/kota;
b. pemberian arahan, bimbingan, pelatihan dan bantuan teknis kepada kabupaten/kota, penyelenggara dan pengguna jasa perkeretaapian; dan
c. pengawasan terhadap penyelenggaraan perkeretaapian provinsi.
(3) Pembinaan perkeretaapian kabupaten/kota dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota yang meliputi:
a. penetapan arah dan sasaran kebijakan pengembangan perkeretaapian kabupaten/kota;
b. pemberian arahan, bimbingan, pelatihan, dan bantuan teknis kepada penyelenggara dan pengguna jasa perkeretaapian; dan
c. pengawasan terhadap penyelenggaraan perkeretaapian kabupaten/kota.

Pasal 15
Dalam melakukan pembinaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14, Pemerintah dan Pemerintah Daerah harus mengintegrasikan perkeretaapian dengan moda transportasi lainnya.

Pasal 16
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembinaan perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB V
PENYELENGGARAAN

Pasal 17
(1) Penyelenggaraan perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf a berupa penyelenggaraan:
a. prasarana perkeretaapian; dan/atau
b. sarana perkeretaapian.
(2) Penyelenggaraan perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) huruf b berupa penyelenggaraan:
a. prasarana perkeretaapian; dan
b. sarana perkeretaapian.

Pasal 18
Penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum meliputi kegiatan:
a. pembangunan prasarana;
b. pengoperasian prasarana;
c. perawatan prasarana; dan
d. pengusahaan prasarana.

Pasal 19
Pembangunan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf a wajib:
a. berpedoman pada ketentuan rencana induk perkeretaapian; dan
b. memenuhi persyaratan teknis prasarana perkeretaapian.

Pasal 20
Pengoperasian prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf b wajib memenuhi standar kelaikan operasi prasarana perkeretaapian.

Pasal 21
Perawatan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf c wajib:
a. memenuhi standar perawatan prasarana perkeretaapian; dan
b. dilakukan oleh tenaga yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi keahlian di bidang prasarana perkeretaapian.

Pasal 22
Pengusahaan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 huruf d wajib dilakukan berdasarkan norma, standar, dan kriteria perkeretaapian.

Pasal 23
(1) Penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18 dilakukan oleh Badan Usaha sebagai penyelenggara, baik secara sendiri-sendiri maupun melalui kerja sama.
(2) Dalam hal tidak ada Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum, Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menyelenggarakan prasarana perkeretaapian.

Pasal 24
(1) Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 ayat (1) wajib memiliki:
a. izin usaha;
b. izin pembangunan; dan
c. izin operasi.
(2) Izin usaha penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterbitkan oleh pemerintah.
(3) Izin pembangunan prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diterbitkan setelah dipenuhinya persyaratan teknis prasarana perkeretaapian.
(4) Izin operasi prasarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diterbitkan setelah dipenuhinya persyaratan kelaikan operasi prasarana perkeretaapian.
(5) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan huruf c diberikan oleh:
a. Pemerintah untuk penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah provinsi;
b. pemerintah provinsi untuk penyelenggaraan prasarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah; dan
c. pemerintah kabupaten/kota untuk penyelenggaraan perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota setelah mendapat rekomendasi pemerintah provinsi dan persetujuan Pemerintah.

Pasal 25
Penyelenggaraan sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (1) huruf b meliputi kegiatan:
a. pengadaan sarana;
b. pengoperasian sarana;
c. perawatan sarana; dan
d. pengusahaan sarana.

Pasal 26
Pengadaan sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf a wajib memenuhi persyaratan teknis sarana perkeretaapian.

Pasal 27
Pengoperasian sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf b wajib memenuhi standar kelaikan operasi sarana perkeretaapian.

Pasal 28
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan sarana perkeretaapian tidak memenuhi standar kelaikan operasi sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan izin, dan pencabutan izin operasi.

Pasal 29
Perawatan sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf c wajib:
a. memenuhi standar perawatan sarana perkeretaapian; dan
b. dilakukan oleh tenaga yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi keahlian di bidang sarana perkeretaapian.

Pasal 30
Pengusahaan sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 huruf d wajib dilakukan berdasarkan norma, standar, dan kriteria sarana perkeretaapian.

Pasal 31
(1) Penyelenggaraan sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 dilakukan oleh Badan Usaha sebagai penyelenggara, baik secara sendiri-sendiri maupun melalui kerja sama.
(2) Dalam hal tidak ada badan usaha yang menyelenggarakan sarana perkeretaapian umum, Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menyelenggarakan sarana perkeretaapian.

Pasal 32
(1) Badan Usaha yang menyelenggarakan sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25 wajib memiliki:
a. izin usaha; dan
b. izin operasi.
(2) Izin usaha penyelenggara sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diterbitkan oleh Pemerintah.
(3) Izin operasi sarana perkeretaapian umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b diterbitkan oleh:
a. Pemerintah untuk pengoperasian sarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah provinsi dan batas wilayah negara;
b. pemerintah provinsi untuk pengoperasian sarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi; dan
c. pemerintah kabupaten/kota untuk pengoperasian sarana perkeretaapian umum yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota;

Pasal 33
(1) Penyelenggaraan perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) dilakukan oleh badan usaha untuk menunjang kegiatan pokoknya.
(2) Badan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki:
a. izin pengadaan atau pembangunan; dan
b. izin operasi.
(3) Perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan teknis prasarana dan sarana perkeretaapian.
(4) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diberikan oleh:
a. Pemerintah untuk penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah provinsi dan batas wilayah negara;
b. pemerintah provinsi untuk penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya melintasi batas wilayah kabupaten/kota dalam satu provinsi setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah; dan
c. pemerintah kabupaten/kota untuk penyelenggaraan perkeretaapian khusus yang jaringan jalurnya dalam wilayah kabupaten/kota setelah mendapat rekomendasi pemerintah provinsi dan persetujuan Pemerintah.

Pasal 34
Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan perkeretaapian umum dan penyelenggaraan perkeretaapian khusus diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VI
PRASARANA PERKERETAAPIAN

Bagian Kesatu
Umum

Pasal 35
(1) Prasarana perkeretaapian umum dan perkeretaapian khusus meliputi:
a. jalur kereta api;
b. stasiun kereta api; dan
c. fasilitas operasi kereta api.
(2) Jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a diperuntukkan bagi pengoperasian kereta api.
(3) Stasiun kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b berfungsi sebagai tempat kereta api berangkat atau berhenti untuk melayani:
a. naik turun penumpang;
b. bongkar muat barang; dan/atau
c. keperluan operasi kereta api.
(4) Fasilitas operasi kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c merupakan peralatan untuk pengoperasian perjalanan kereta api.

Bagian Kedua
Jalur Kereta Api

Pasal 36
Jalur kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf a meliputi:
a. ruang manfaat jalur kereta api;
b. ruang milik jalur kereta api; dan
c. ruang pengawasan jalur kereta api.

Pasal 37
(1) Ruang manfaat jalur kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf a terdiri dari jalan rel dan bidang tanah di kiri dan kanan jalan rel beserta ruang di kiri, kanan, atas, dan bawah yang digunakan untuk konstruksi jalan rel dan penempatan fasilitas operasi kereta api serta bangunan pelengkap lainnya.
(2) Jalan rel sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berada:
a. pada permukaan tanah;
b. di bawah permukaan tanah; dan
c. di atas permukaan tanah.

Pasal 38
Ruang manfaat jalur kereta api diperuntukkan bagi pengoperasian kereta api dan merupakan daerah yang tertutup untuk umum.

Pasal 39
(1) Batas ruang manfaat jalur kereta api untuk jalan rel pada permukaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf a diukur dari sisi terluar jalan rel beserta bidang tanah di kiri dan kanannya yang digunakan untuk konstruksi jalan rel termasuk bidang tanah untuk penempatan fasilitas operasi kereta api dan bangunan pelengkap lainnya.
(2) Batas ruang manfaat jalur kereta api untuk jalan rel pada permukaan tanah yang masuk terowongan diukur dari sisi terluar konstruksi terowongan.
(3) Batas ruang manfaat jalur kereta api untuk jalan rel pada permukaan tanah yang berada di jembatan diukur dari sisi terluar konstruksi jembatan.

Pasal 40
Batas ruang manfaat jalur kereta api untuk jalan rel di bawah permukaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf b diukur dari sisi terluar konstruksi bangunan jalan rel di bawah permukaan tanah termasuk fasilitas operasi kereta api.

Pasal 41
Batas ruang manfaat jalur kereta api untuk jalan rel di atas permukaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf c diukur dari sisi terluar dari konstruksi jalan rel atau sisi terluar yang digunakan untuk fasilitas operasi kereta api.

Pasal 42
(1) Ruang milik jalur kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf b adalah bidang tanah di kiri dan di kanan ruang manfaat jalur kereta api yang digunakan untuk pengamanan konstruksi jalan rel.
(2) Ruang milik jalur kereta api di luar ruang manfaat jalur kereta api dapat digunakan untuk keperluan lain atas izin dari pemilik jalur dengan ketentuan tidak membahayakan konstruksi jalan rel dan fasilitas operasi kereta api.

Pasal 43
(1) Batas ruang milik jalur kereta api untuk jalan rel yang terletak pada permukaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf a diukur dari batas paling luar sisi kiri dan kanan ruang manfaat jalur kereta api.
(2) Batas ruang milik jalur kereta api untuk jalan rel yang terletak di bawah permukaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf b diukur dari batas paling luar sisi kiri dan kanan serta bagian bawah dan atas ruang manfaat jalur kereta api.
(3) Batas ruang milik jalur kereta api untuk jalan rel yang terletak di atas permukaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf c diukur dari batas paling luar sisi kiri dan kanan ruang manfaat jalur kereta api.

Pasal 44
Ruang pengawasan jalur kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf c adalah bidang tanah atau bidang lain di kiri dan di kanan ruang milik jalur kereta api untuk pengamanan dan kelancaran operasi kereta api.

Pasal 45
Batas ruang pengawasan jalur kereta api untuk jalan rel yang terletak pada permukaan tanah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (2) huruf a diukur dari batas paling luar sisi kiri dan kanan daerah milik jalan kereta api.

Pasal 46
(1) Tanah yang terletak di ruang milik jalur kereta api dan ruang manfaat jalur kereta api disertifikatkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
(2) Tanah di ruang pengawasan jalur kereta api dapat dimanfaatkan untuk kegiatan lain dengan ketentuan tidak membahayakan operasi kereta api.

Pasal 47
Penyelenggara prasarana perkeretaapian harus memasang tanda batas daerah manfaat jalur kereta api.

Pasal 48
(1) Untuk keperluan pengoperasian dan perawatan, jalur kereta api umum dikelompokkan dalam beberapa kelas.
(2) Pengelompokan kelas jalur kereta api umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada:
a. kecepatan maksimum yang diizinkan;
b. beban gandar maksimum yang diizinkan; dan
c. frekuensi lalu lintas kereta api.

Pasal 49
(1) Jalur kereta api untuk perkeretaapian umum membentuk satu kesatuan jaringan jalur kereta api.
(2) Jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. jaringan jalur kereta api nasional yang ditetapkan dalam rencana induk perkeretaapian nasional;
b. jaringan jalur kereta api provinsi yang ditetapkan dalam rencana induk perkeretaapian provinsi; dan
c. jaringan jalur kereta api kabupaten/kota yang ditetapkan dalam rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota.

Pasal 50
(1) Jalur kereta api umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 yang diselenggarakan oleh beberapa penyelenggara prasarana perkeretaapian dapat saling bersambungan, bersinggungan, atau terpisah.
(2) Pembangunan dan pengoperasian jalur kereta api yang bersambungan atau bersinggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilakukan atas dasar kerja sama antarpenyelenggara prasarana perkeretaapian.
(3) Dalam hal penyelenggaraan jalur kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dioperasikan oleh pihak lain, penyelenggaraannya harus dilakukan atas dasar kerja sama antara penyelenggara prasarana dan pihak lain tersebut.
(4) Satu jalur kereta api untuk perkeretaapian umum dapat digunakan oleh beberapa penyelenggara sarana perkeretaapian.

Pasal 51
(1) Jalur kereta api khusus yang jaringannya melebihi satu provinsi ditetapkan oleh Pemerintah.
(2) Jalur kereta api khusus yang jaringannya melebihi 1 (satu) wilayah kabupaten/kota dalam provinsi ditetapkan oleh pemerintah provinsi.
(3) Jalur kereta api khusus yang jaringannya dalam wilayah kabupaten/kota ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota.

Pasal 52
(1) Jalur kereta api khusus dapat disambungkan pada jaringan jalur kereta api umum.
(2) Jalur kereta api khusus dapat disambungkan pada jaringan jalur kereta api khusus lainnya.
(3) Penyambungan jalur kereta api khusus pada jaringan jalur kereta api umum dan jalur kereta api khusus dengan jaringan jalur kereta api khusus lainnya harus mendapat izin dari pemerintah sesuai dengan tingkat kewenangannya.

Pasal 53
Ketentuan lebih lanjut mengenai jalur kereta api diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Stasiun Kereta Api

Pasal 54
(1) Stasiun kereta api untuk keperluan naik turun penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf a paling rendah dilengkapi dengan fasilitas:
a. keselamatan;
b. keamanan;
c. kenyamanan;
d. naik turun penumpang;
e. penyandang cacat;
f. kesehatan; dan
g. fasilitas umum.
(2) Stasiun kereta api untuk keperluan bongkar muat barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf b dilengkapi dengan fasilitas:
a. keselamatan;
b. keamanan;
c. bongkar muat barang; dan
d. fasilitas umum.
(3) Untuk kepentingan bongkar muat barang di luar stasiun dapat dibangun jalan rel yang menghubungkan antara stasiun dan tempat bongkar muat barang.
(4) Stasiun kereta api untuk keperluan pengoperasian kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) huruf c harus dilengkapi dengan fasilitas keselamatan dan kepentingan pengoperasian kereta api.

Pasal 55
Di stasiun kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (3) dapat dilakukan kegiatan usaha penunjang angkutan kereta api dengan syarat tidak mengganggu fungsi stasiun.

Pasal 56
(1) Stasiun kereta api dikelompokkan dalam:
a. kelas besar;
b. kelas sedang; dan
c. kelas kecil.
(2) Pengelompokan kelas stasiun kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan kriteria:
a. fasilitas operasi;
b. frekuensi lalu lintas;
c. jumlah penumpang;
d. jumlah barang;
e. jumlah jalur; dan
f. fasilitas penunjang.

Pasal 57
(1) Stasiun kereta api dapat menyediakan jasa pelayanan khusus.
(2) Jasa pelayanan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:
a. ruang tunggu penumpang;
b. bongkar muat barang;
c. pergundangan;
d. parkir kendaraan; dan/atau
e. penitipan barang.
(3) Pengguna jasa pelayanan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dikenai tarif jasa pelayanan tambahan.

Pasal 58
Ketentuan lebih lanjut mengenai stasiun kereta api diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Fasilitas Pengoperasian Kereta Api

Pasal 59
Fasilitas pengoperasian kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf c meliputi:
a. peralatan persinyalan;
b. peralatan telekomunikasi; dan
c. instalasi listrik.

Pasal 60
(1) Peralatan persinyalan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf a berfungsi sebagai:
a. petunjuk; dan
b. pengendali.
(2) Peralatan persinyalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. sinyal;
b. tanda; dan
c. marka.

Pasal 61
Peralatan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf b berfungsi sebagai penyampai informasi dan/atau komunikasi bagi kepentingan operasi perkeretaapian.

Pasal 62
(1) Peralatan telekomunikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 menggunakan frekuensi radio dan/atau kabel.
(2) Penggunaan frekuensi radio sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang telekomunikasi.

Pasal 63
(1) Instalasi listrik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 huruf c terdiri dari:
a. catu daya listrik; dan
b. peralatan transmisi tenaga listrik.
(2) Instalasi listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) digunakan untuk:
a. menggerakkan kereta api bertenaga listrik;
b. memfungsikan peralatan persinyalan kereta api yang bertenaga listrik;
c. memfungsikan peralatan telekomunikasi; dan
d. memfungsikan fasilitas penunjang lainnya.
(3) Instalasi listrik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dioperasikan berdasarkan peraturan perundang-undangan di bidang ketenagalistrikan.

Pasal 64
Ketentuan lebih lanjut mengenai fasilitas pengoperasian kereta api diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Perawatan Prasarana Perkeretaapian

Pasal 65
(1) Penyelenggara prasarana perkeretaapian wajib merawat prasarana perkeretaapian agar tetap laik operasi.
(2) Perawatan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. perawatan berkala; dan
b. perbaikan untuk mengembalikan fungsinya.
(3) Perawatan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi standar dan tata cara perawatan yang ditetapkan oleh Menteri.
(4) Perawatan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan oleh tenaga yang memenuhi syarat dan kualifikasi yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 66
Ketentuan lebih lanjut mengenai perawatan prasarana perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Kelaikan Prasarana Perkeretaapian

Pasal 67
(1) Prasarana perkeretaapian yang dioperasikan wajib memenuhi persyaratan kelaikan yang berlaku bagi setiap jenis prasarana perkeretaapian.
(2) Persyaratan kelaikan prasarana perkeretaapian meliputi:
a. persyaratan teknis; dan
b. persyaratan operasional.
(3) Persyaratan teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a meliputi persyaratan sistem dan persyaratan komponen.
(4) Persyaratan operasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b adalah persyaratan kemampuan prasarana perkeretaapian sesuai dengan rencana operasi perkeretaapian.

Pasal 68
(1) Untuk menjamin kelaikan prasarana perkeretaapian, wajib dilakukan pengujian dan pemeriksaan.
(2) Pengujian prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan hukum atau lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(3) Pemeriksaan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian.

Pasal 69
Pengujian prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68 ayat (2) terdiri dari:
a. uji pertama; dan
b. uji berkala.

Pasal 70
(1) Uji pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf a wajib dilakukan untuk prasarana perkeretaapian baru dan prasarana perkeretaapian yang mengalami perubahan spesifikasi teknis.
(2) Uji pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf a dilakukan terhadap:
a. rancang bangun prasarana perkeretaapian; dan
b. fungsi prasarana perkeretaapian.
(3) Uji pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan hukum atau lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(4) Prasarana perkeretaapian yang mengalami perubahan spesifikasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin dari Menteri.

Pasal 71
(1) Prasarana perkeretaapian yang lulus uji pertama diberi sertifikat uji pertama oleh:
a. Pemerintah;
b. badan hukum yang mendapat akreditasi dari Pemerintah; atau
c. lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(2) Sertifikat uji pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk selamanya, kecuali mengalami perubahan spesifikasi teknis.

Pasal 72
(1) Uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 huruf b wajib dilakukan untuk prasarana perkeretaapian yang telah dioperasikan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan.
(2) Uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan terhadap fungsi prasarana perkeretaapian.
(3) Uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan hukum atau lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.

Pasal 73
(1) Prasarana perkeretaapian yang lulus uji berkala diberi sertifikat uji berkala oleh:
a. Pemerintah;
b. badan hukum yang mendapat akreditasi dari Pemerintah; atau
c. lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(2) Sertifikat uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku sesuai dengan jadwal uji berkala yang ditetapkan untuk setiap jenis prasarana perkeretaapian.

Pasal 74
(1) Pemerintah, badan hukum, atau lembaga yang melaksanakan uji pertama dan uji berkala prasarana perkeretaapian wajib memiliki tenaga penguji.
(2) Tenaga penguji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki kualifikasi keahlian yang dibuktikan dengan sertifikat keahlian.
(3) Sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperoleh setelah lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan.
(4) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselenggarakan oleh Pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan atau lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.

Pasal 75
Pelaksanaan pengujian prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 wajib menggunakan peralatan pengujian dan sesuai dengan tata cara pengujian yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 76
Setiap badan hukum atau lembaga pengujian prasarana perkeretaapian yang melakukan pengujian wajib menggunakan tenaga penguji yang memiliki sertifikat keahlian, menggunakan peralatan pengujian, dan melakukan pengujian sesuai dengan tata cara pengujian prasarana perkeretaapian yang ditetapkan.

Pasal 77
Setiap badan hukum atau lembaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan izin, atau pencabutan izin operasi.

Pasal 78
Setiap tenaga penguji prasarana perkeretaapian wajib melakukan pengujian prasarana perkeretaapian dengan menggunakan peralatan pengujian dan sesuai dengan tata cara pengujian yang ditetapkan.

Pasal 79
Tenaga penguji prasarana perkeretaapian yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan sertifikat keahlian, atau pencabutan sertifikat keahlian.

Pasal 80
(1) Pengoperasian prasarana perkeretaapian wajib dilakukan oleh petugas yang telah memenuhi syarat dan kualifikasi kecakapan yang dibuktikan dengan sertifikat kecakapan.
(2) Sertifikat kecakapan pengoperasian prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan.
(3) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan oleh Pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan usaha atau lembaga lain yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(4) Sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh:
a. Pemerintah;
b. badan hukum yang mendapat akreditasi dari Pemerintah; atau
c. lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.

Pasal 81
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian wajib menempatkan tanda larangan di jalur kereta api secara lengkap dan jelas.

Pasal 82
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis atau pembekuan izin atau pencabutan izin operasi.

Pasal 83
Ketentuan lebih lanjut mengenai kelaikan prasarana perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketujuh
Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan
Prasarana Perkeretaapian

Pasal 84
(1) Pengadaan tanah untuk pembangunan prasarana perkeretaapian umum dilaksanakan berdasarkan rencana induk perkeretaapian.
(2) Pembangunan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disosialisasikan kepada masyarakat, baik pada tahap perencanaan maupun pelaksanaannya, terutama yang tanahnya diperlukan untuk pembangunan prasarana perkeretaapian.
(3) Pemegang hak atas tanah, pemakai tanah negara, atau masyarakat hukum adat, yang tanahnya diperlukan untuk pembangunan prasarana perkeretaapian, berhak mendapat ganti kerugian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
(4) Pemberian ganti kerugian dalam rangka pengadaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (3) dilaksanakan berdasarkan kesepakatan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.

Pasal 85
(1) Apabila kesepakatan tidak tercapai dan lokasi pembangunan tidak dapat dipindahkan, dilakukan pencabutan hak atas tanah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
(2) Pelaksanaan pembangunan prasarana perkeretaapian dapat dimulai pada bidang tanah yang telah diberi ganti kerugian atau telah dicabut hak atas tanahnya.

Pasal 86
Tanah yang sudah dikuasai oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau Badan Usaha dalam rangka pembangunan prasarana perkeretaapian, disertifikatkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.

Bagian Kedelapan
Tanggung Jawab Penyelenggara Prasarana
Perkeretaapian

Pasal 87
(1) Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian bertanggung jawab kepada Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dan pihak ketiga atas kerugian sebagai akibat kecelakaan yang disebabkan kesalahan pengoperasian prasarana perkeretaapian.
(2) Tanggung jawab Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian kepada Penyelenggara Sarana Perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berdasarkan perjanjian kerja sama antara Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian.
(3) Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian bertanggung jawab kepada pihak ketiga atas kerugian harta benda, luka-luka, atau meninggal dunia yang disebabkan oleh penyelenggaraan prasarana perkeretaapian.
(4) Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian bertanggung jawab terhadap Petugas Prasarana Perkeretaapian yang mengalami luka-luka, atau meninggal dunia yang disebabkan oleh pengoperasian prasarana perkeretaapian.
(5) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata dialami.

Pasal 88
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dan/atau pihak ketiga yang disebabkan oleh pengoperasian prasarana perkeretaapian apabila:
a. pihak yang berwenang menyatakan bahwa kerugian bukan disebabkan kesalahan pengoperasian prasarana perkeretaapian; dan/atau
b. terjadi keadaan memaksa.

Pasal 89
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kesembilan
Hak dan Wewenang Penyelenggara
Prasarana Perkeretaapian

Pasal 90
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian berhak dan berwenang:
a. mengatur, mengendalikan, dan mengawasi perjalanan kereta api;
b. menghentikan pengoperasian sarana perkeretaapian apabila dapat membahayakan perjalanan kereta api;
c. melakukan penertiban terhadap pengguna jasa kereta api yang tidak memenuhi persyaratan sebagai pengguna jasa kereta api di stasiun;
d. mendahulukan perjalanan kereta api di perpotongan sebidang dengan jalan;
e. menerima pembayaran dari penggunaan prasarana perkeretaapian; dan
f. menerima ganti kerugian atas kerusakan prasarana perkeretaapian yang disebabkan oleh kesalahan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian atau pihak ketiga.

BAB VII
PERPOTONGAN DAN PERSINGGUNGAN JALUR
KERETA API DENGAN BANGUNAN LAIN

Pasal 91
(1) Perpotongan antara jalur kereta api dan jalan dibuat tidak sebidang.
(2) Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan tetap menjamin keselamatan dan kelancaran perjalanan kereta api dan lalu lintas jalan.

Pasal 92
(1) Pembangunan jalan, jalur kereta api khusus, terusan, saluran air dan/atau prasarana lain yang memerlukan persambungan, dan perpotongan dan/atau persinggungan dengan jalur kereta api umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 91 ayat (2) harus dilaksanakan dengan ketentuan untuk kepentingan umum dan tidak membahayakan keselamatan perjalanan kereta api.
(2) Pembangunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mendapat izin dari pemilik prasarana perkeretaapian.
(3) Pembangunan, pengoperasian, perawatan, dan keselamatan perpotongan antara jalur kereta api dan jalan menjadi tanggung jawab pemegang izin.

Pasal 93
Pemanfaatan tanah pada ruang milik jalur kereta api untuk perpotongan atau persinggungan dikenakan biaya oleh pemilik prasarana perkeretaapian.

Pasal 94
(1) Untuk keselamatan perjalanan kereta api dan pemakai jalan, perlintasan sebidang yang tidak mempunyai izin harus ditutup.
(2) Penutupan perlintasan sebidang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

Pasal 95
Ketentuan lebih lanjut mengenai perpotongan dan persinggungan jalur kereta api dengan bangunan lain diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB VIII
SARANA PERKERETAAPIAN

Bagian Kesatu
Persyaratan Teknis dan Kelaikan
Sarana Perkeretaapian

Pasal 96
(1) Sarana perkeretaapian menurut jenisnya terdiri dari:
a. lokomotif;
b. kereta;
c. gerbong; dan
d. peralatan khusus.
(2) Setiap sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi persyaratan teknis dan kelaikan operasi yang berlaku bagi setiap jenis sarana perkeretaapian.

Pasal 97
Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan teknis dan kelaikan operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 96 ayat (2) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Pengujian dan Pemeriksaan

Pasal 98
(1) Untuk memenuhi persyaratan teknis dan menjamin kelaikan operasi sarana perkeretaapian, wajib dilakukan pengujian dan pemeriksaan.
(2) Pengujian sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan hukum atau lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(3) Pemeriksaan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian.

Pasal 99
Pengujian sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (2) terdiri dari:
a. uji pertama; dan
b. uji berkala.

Pasal 100
(1) Uji pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 huruf a wajib dilakukan terhadap setiap sarana perkeretaapian baru dan sarana perkeretaapian yang telah mengalami perubahan spesifikasi teknis.
(2) Uji pertama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 huruf a meliputi:
a. uji rancang bangun dan rekayasa;
b. uji statis; dan
c. uji dinamis.
(3) Uji pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh Pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan hukum atau lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(4) Sarana perkeretaapian yang mengalami perubahan spesifikasi teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus mendapat izin dari Menteri.

Pasal 101
(1) Setiap sarana perkeretaapian yang lulus uji pertama diberi sertifikat uji pertama oleh:
a. Pemerintah;
b. badan hukum yang mendapat akreditasi dari Pemerintah; atau
c. lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(2) Sertifikat uji pertama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku untuk selamanya, kecuali mengalami perubahan spesifikasi teknis.

Pasal 102
(1) Uji berkala sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 huruf b wajib dilakukan untuk sarana perkeretaapian yang telah dioperasikan sesuai dengan ketentuan.
(2) Uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan terhadap fungsi sarana perkeretaapian yang meliputi:
a. uji statis; dan
b. uji dinamis.
(3) Uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan hukum atau lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.

Pasal 103
(1) Sarana perkeretaapian yang lulus uji berkala diberi sertifikat uji berkala oleh:
a. Pemerintah;
b. badan hukum yang mendapat akreditasi dari Pemerintah; atau
c. lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(2) Sertifikat uji berkala sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku:
a. berdasarkan jarak tempuh yang ditetapkan untuk sarana dengan penggerak;
b. selama 1 (satu) tahun untuk kereta dan gerbong.

Pasal 104
(1) Pemerintah, badan hukum, atau lembaga yang melaksanakan uji pertama dan uji berkala sarana perkeretaapian wajib memiliki tenaga penguji.
(2) Tenaga penguji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memiliki kualifikasi keahlian yang dibuktikan dengan sertifikat keahlian.
(3) Sertifikat keahlian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diperoleh setelah lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan.
(4) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diselenggarakan oleh Pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan atau lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.

Pasal 105
Pelaksanaan pengujian sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 99 wajib menggunakan peralatan pengujian dan sesuai dengan tata cara pengujian yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 106
Setiap badan hukum atau lembaga pengujian sarana perkeretaapian wajib melakukan pengujian sarana perkeretaapian dengan tenaga penguji sarana perkeretaapian yang memiliki sertifikat keahlian sarana perkeretaapian dan menggunakan peralatan pengujian prasarana perkeretaapian yang sesuai dengan tata cara pengujian sarana perkeretaapian yang ditetapkan.

Pasal 107
Setiap badan hukum atau lembaga yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan izin, atau pencabutan izin operasi.

Pasal 108
Setiap tenaga penguji sarana perkeretaapian yang melakukan pengujian sarana perkeretaapian wajib menggunakan peralatan pengujian dan melakukan pengujian sesuai dengan tata cara pengujian yang ditetapkan.

Pasal 109
Tenaga penguji sarana perkeretaapian yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan sertifikat keahlian, atau pencabutan sertifikat keahlian.

Pasal 110
(1) Pemeriksaan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (3) dilakukan terhadap setiap jenis sarana dan sesuai dengan jadwal yang ditetapkan.
(2) Pemeriksaan setiap jenis sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa pemeriksaan teknis yang meliputi kondisi dan fungsi sarana perkeretaapian.

Pasal 111
(1) Pemeriksaan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat (3) harus dilakukan oleh tenaga yang memiliki kualifikasi keahlian dan sesuai dengan tata cara pemeriksaan yang ditetapkan oleh Pemerintah.
(2) Tenaga pemeriksa sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dalam melakukan pemeriksaan wajib menggunakan peralatan yang sesuai dengan standar.

Pasal 112
Apabila penyelenggara sarana perkeretaapian dalam melaksanakan pemeriksaan tidak menggunakan tenaga yang memiliki kualifikasi keahlian dan tidak sesuai dengan tata cara yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111, dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan izin operasi, atau pencabutan izin operasi.

Pasal 113
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengujian dan pemeriksaan sarana perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Perawatan Sarana Perkeretaaapian

Pasal 114
(1) Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib merawat sarana perkeretaapian agar tetap laik operasi.
(2) Perawatan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. perawatan berkala; dan
b. perbaikan untuk mengembalikan fungsinya.
(3) Perawatan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi standar dan tata cara perawatan yang ditetapkan oleh Menteri.
(4) Perawatan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib dilakukan oleh tenaga yang memenuhi syarat dan kualifikasi yang ditetapkan oleh Menteri.
(5) Pelaksanaan perawatan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan di balai yasa dan/atau di depo.

Pasal 115
Ketentuan lebih lanjut mengenai perawatan sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Awak Sarana Perkeretaapian

Pasal 116
(1) Pengoperasian sarana perkeretaapian wajib dilakukan oleh awak yang memenuhi persyaratan dan kualifikasi kecakapan yang dibuktikan dengan sertifikat kecakapan.
(3) Sertifikat kecakapan awak sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah lulus mengikuti pendidikan dan pelatihan.
(4) Pendidikan dan pelatihan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diselenggarakan oleh Pemerintah dan dapat dilimpahkan kepada badan usaha atau lembaga lain yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.
(5) Sertifikat kecakapan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dikeluarkan oleh:
a. Pemerintah;
b. badan hukum yang mendapat akreditasi dari Pemerintah; atau
c. lembaga yang mendapat akreditasi dari Pemerintah.

Pasal 117
Ketentuan lebih lanjut mengenai awak sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB IX
RANCANG BANGUN DAN REKAYASA
PERKERETAAPIAN

Pasal 118
(1) Untuk pengembangan perkeretaapian dilakukan rancang bangun dan rekayasa perkeretaapian.
(2) Rancang bangun dan rekayasa perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh:
a. Pemerintah;
b. Pemerintah Daerah;
c. badan usaha;
d. lembaga penelitian; atau
e. perguruan tinggi.

Pasal 119
Ketentuan lebih lanjut mengenai rancang bangun dan rekayasa perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 118 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB X
LALU LINTAS KERETA API

Bagian Kesatu
Tata Cara Berlalu Lintas
Kereta Api

Pasal 120
Pengoperasian kereta api menggunakan prinsip berlalu lintas satu arah pada jalur tunggal dan jalur ganda atau lebih dengan ketentuan:
a. setiap jalur pada satu petak blok hanya diizinkan dilewati oleh satu kereta api; dan
b. jalur kanan digunakan oleh kereta api untuk jalur ganda atau lebih.

Pasal 121
(1) Pengoperasian kereta api yang dimulai dari stasiun keberangkatan, bersilang, bersusulan, dan berhenti di stasiun tujuan diatur berdasarkan grafik perjalanan kereta api.
(2) Grafik perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuat oleh pemilik prasarana perkeretaapian sekurang-kurangnya berdasarkan:
a. jumlah kereta api;
b. kecepatan yang diizinkan;
c. relasi asal tujuan; dan
d. rencana persilangan dan penyusulan.
(3) Grafik perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diubah apabila terjadi perubahan pada:
a. prasarana perkeretaapian;
b. jumlah sarana perkeretaapian;
c. kecepatan kereta api;
d. kebutuhan angkutan; dan
e. keadaan memaksa.
(4) Pengaturan perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh petugas pengatur perjalanan kereta api yang memenuhi kualifikasi yang ditetapkan oleh Menteri.

Pasal 122
(1) Sarana perkeretaapian hanya dapat dioperasikan oleh awak kereta api yang mendapat tugas dari penyelenggara sarana perkeretaapian.
(2) Awak Sarana Perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memiliki surat perintah tugas dari Penyelenggara Sarana Perkeretaapian.
(3) Awak kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib mematuhi perintah atau larangan sebagai berikut:
a. petugas pengatur perjalanan kereta api;
b. sinyal; atau
c. tanda.
(4) Apabila terdapat lebih dari satu perintah atau larangan dalam waktu yang bersamaan, awak kereta api wajib mematuhi perintah atau larangan yang diberikan berdasarkan prioritas sebagai berikut:
a. petugas pengatur perjalanan kereta api;
b. sinyal; atau
c. anda.

Pasal 123
Awak Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan kereta api yang tidak memiliki surat perintah tugas dari Penyelenggara Sarana Perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (2), dikenai sanksi administratif berupa teguran tertulis, pembekuan sertifikat kecakapan, atau pencabutan sertifikat kecakapan.

Pasal 124
Pada perpotongan sebidang antara jalur kereta api dan jalan, pemakai jalan wajib mendahulukan perjalanan kereta api.

Bagian Kedua
Penanganan Kecelakaan
Kereta Api

Pasal 125
Dalam hal terjadi kecelakaan kereta api, pihak Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian harus melakukan hal-hal sebagai berikut:
a. mengambil tindakan untuk kelancaran dan keselamatan lalu lintas;
b. menangani korban kecelakaan;
c. memindahkan penumpang, bagasi, dan barang antaran ke kereta api lain atau moda transportasi lain untuk meneruskan perjalanan sampai stasiun tujuan;
d. melaporkan kecelakaan kepada Menteri, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota;
e. mengumumkan kecelakaan kepada pengguna jasa dan masyarakat;
f. segera menormalkan kembali lalu lintas kereta api setelah dilakukan penyidikan awal oleh pihak berwenang; dan
g. mengurus klaim asuransi korban kecelakaan.

Pasal 126
Ketentuan lebih lanjut mengenai lalu lintas kereta api diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XI
ANGKUTAN

Bagian Kesatu
Jaringan Pelayanan Perkeretaapian

Pasal 127
(1) Angkutan kereta api dilaksanakan dalam lintas-lintas pelayanan kereta api yang membentuk satu kesatuan dalam jaringan pelayanan perkeretaapian.
(2) Jaringan pelayanan perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota; dan
b. jaringan pelayanan perkeretaapian perkotaan.

Pasal 128
(1) Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (2) huruf a merupakan pelayanan yang menghubungkan:
a. antarkota antarnegara;
b. antarkota antarprovinsi;
c. antarkota dalam provinsi; dan
d. antarkota dalam kabupaten.
(2) Jaringan pelayanan perkeretaapian perkotaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 127 ayat (2) huruf b yang berada dalam suatu wilayah perkotaan dapat:
a. melampaui 1 (satu) provinsi;
b. melampaui 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi; dan
c. berada dalam 1 (satu) kabupaten/kota.
(3) Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota antarnegara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dan antarkota antarprovinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b serta jaringan pelayanan perkotaan yang melampaui 1 (satu) provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a ditetapkan oleh Pemerintah.
(4) Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota dalam provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan jaringan pelayanan perkeretaapian perkotaan yang melampaui 1 (satu) kabupaten/kota dalam 1 (satu) provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b ditetapkan oleh pemerintah provinsi.
(5) Jaringan pelayanan perkeretaapian antarkota dalam kabupaten sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dan jaringan pelayanan perkeretaapian perkotaan yang berada dalam 1 (satu) kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c ditetapkan oleh pemerintah kabupaten/kota.

Pasal 129
Ketentuan lebih lanjut mengenai jaringan pelayanan perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedua
Pengangkutan Orang dengan Kereta Api

Pasal 130
(1) Pengangkutan orang dengan kereta api dilakukan dengan menggunakan kereta.
(2) Dalam keadaan tertentu Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dapat melakukan pengangkutan orang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan menggunakan gerbong atas persetujuan Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
(3) Pengangkutan orang dengan menggunakan gerbong sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib memperhatikan keselamatan dan fasilitas minimal.

Pasal 131
(1) Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib memberikan fasilitas khusus dan kemudahan bagi penyandang cacat, wanita hamil, anak di bawah lima tahun, orang sakit, dan orang lanjut usia.
(2) Pemberian fasilitas khusus dan kemudahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dipungut biaya tambahan.

Pasal 132
(1) Penyelenggara sarana perkeretaapian wajib mengangkut orang yang telah memiliki karcis.
(2) Orang yang telah memiliki karcis berhak memperoleh pelayanan sesuai dengan tingkat pelayanan yang dipilih.
(3) Karcis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan tanda bukti terjadinya perjanjian angkutan orang.

Pasal 133
(1) Dalam penyelenggaraan pengangkutan orang dengan kereta api, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib:
a. mengutamakan keselamatan dan keamanan orang;
b. mengutamakan pelayanan kepentingan umum;
c. menjaga kelangsungan pelayanan pada lintas yang ditetapkan;
d. mengumumkan jadwal perjalanan kereta api dan tarif angkutan kepada masyarakat; dan
e. mematuhi jadwal keberangkatan kereta api.
(2) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengumumkan kepada pengguna jasa apabila terjadi pembatalan dan penundaan keberangkatan, keterlambatan kedatangan, atau pengalihan pelayanan lintas kereta api disertai dengan alasan yang jelas.

Pasal 134
(1) Apabila terjadi pembatalan keberangkatan perjalanan kereta api, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengganti biaya yang telah dibayar oleh orang yang telah membeli karcis.
(2) Apabila orang yang telah membeli karcis membatalkan keberangkatan dan sampai dengan batas waktu keberangkatan sebagaimana dijadwalkan tidak melapor kepada Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, orang tersebut tidak mendapat penggantian biaya karcis.
(3) Apabila orang yang telah membeli karcis membatalkan keberangkatan sebelum batas waktu keberangkatan sebagaimana dijadwalkan melapor kepada Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, mendapat pengembalian sebesar 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari harga karcis.
(4) Apabila dalam perjalanan kereta api terdapat hambatan atau gangguan yang mengakibatkan kereta api tidak dapat melanjutkan perjalanan sampai stasiun tujuan yang disepakati, penyelenggara sarana perkeretaapian wajib:
a. menyediakan angkutan dengan kereta api lain atau moda transportasi lain sampai stasiun tujuan; atau
b. memberikan ganti kerugian senilai harga karcis.

Pasal 135
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang tidak menyediakan angkutan dengan kereta api lain atau moda transportasi lain sampai stasiun tujuan atau tidak memberi ganti kerugian senilai harga karcis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan izin operasi atau pencabutan izin operasi.

Pasal 136
(1) Dalam kegiatan angkutan orang Penyelenggara Sarana Perkeretaapian berwenang untuk:
a. memeriksa karcis;
b. menindak pengguna jasa yang tidak mempunyai karcis;
c. menertibkan pengguna jasa kereta api atau masyarakat yang mengganggu perjalanan kereta api; dan
d. melaksanakan pengawasan dan pembinaan terhadap masyarakat yang berpotensi menimbulkan gangguan terhadap perjalanan kereta api.
(2) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dalam keadaan tertentu dapat membatalkan perjalanan kereta api apabila terdapat hal-hal yang dapat membahayakan keselamatan, ketertiban, dan kepentingan umum.

Pasal 137
(1) Pelayanan angkutan orang harus memenuhi standar pelayanan minimum.
(2) Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi pelayanan di stasiun keberangkatan, dalam perjalanan, dan di stasiun tujuan.

Pasal 138
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkutan orang dengan kereta api diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Ketiga
Angkutan Barang dengan Kereta Api

Pasal 139
(1) Angkutan barang dengan kereta api dilakukan dengan menggunakan gerbong.
(2) Angkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri dari:
a. barang umum;
b. barang khusus;
c. bahan berbahaya dan beracun; dan
d. limbah bahan berbahaya dan beracun.

Pasal 140
(1) Angkutan barang umum dan barang khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (2) huruf a dan huruf b wajib memenuhi persyaratan:
a. pemuatan, penyusunan, dan pembongkaran barang pada tempat-tempat yang telah ditetapkan sesuai dengan klasifikasinya;
b. keselamatan dan keamanan barang yang diangkut; dan
c. gerbong yang digunakan sesuai dengan klasifikasi barang yang diangkut.
(2) Kereta api untuk mengangkut bahan berbahaya dan beracun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (2) huruf c serta limbah bahan berbahaya dan beracun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 139 ayat (2) huruf d wajib:
a. memenuhi persyaratan keselamatan sesuai dengan sifat bahan berbahaya dan beracun yang diangkut;
b. menggunakan tanda sesuai dengan sifat bahan berbahaya dan beracun yang diangkut; dan
c. menyertakan petugas yang memiliki kualifikasi tertentu sesuai dengan sifat bahan berbahaya dan beracun yang diangkut.

Pasal 141
(1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengangkut barang yang telah dibayar biaya angkutannya oleh pengguna jasa sesuai dengan tingkat pelayanan yang dipilih.
(2) Pengguna jasa yang telah membayar biaya angkutan berhak memperoleh pelayanan sesuai dengan tingkat pelayanan yang dipilih.
(3) Surat angkutan barang merupakan tanda bukti terjadinya perjanjian pengangkutan barang.

Pasal 142
(1) Dalam kegiatan pengangkutan barang dengan kereta api, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian berwenang untuk:
a. memeriksa kesesuaian barang dengan surat angkutan barang;
b. menolak barang angkutan yang tidak sesuai dengan surat angkutan barang; dan
c. melaporkan kepada pihak yang berwajib apabila barang yang akan diangkut merupakan barang terlarang.
(2) Apabila terdapat barang yang diangkut dianggap membahayakan keselamatan, ketertiban, dan kepentingan umum, penyelenggara sarana perkeretaapian dapat membatalkan perjalanan kereta api.

Pasal 143
(1) Pengguna jasa bertanggung jawab atas kebenaran keterangan yang dicantumkan dalam surat angkutan barang.
(2) Semua biaya yang timbul sebagai akibat keterangan yang tidak benar serta merugikan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian atau pihak ketiga menjadi beban dan tanggung jawab pengguna jasa.

Pasal 144
(1) Apabila terjadi pembatalan keberangkatan perjalanan kereta api, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengirim barang dengan kereta api lain atau moda transportasi lain atau mengganti biaya angkutan barang.
(2) Apabila pengguna jasa membatalkan pengiriman barang dan sampai dengan batas waktu sebagaimana dijadwalkan tidak melapor kepada Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, pengguna jasa tidak mendapat penggantian biaya angkutan barang.
(3) Apabila pengguna jasa membatalkan atau menunda pengiriman barang sebelum batas waktu keberangkatan sebagaimana dijadwalkan, biaya angkutan barang dikembalikan dan dapat dikenai denda.
(4) Apabila dalam perjalanan kereta api terdapat hambatan atau gangguan yang mengakibatkan kereta api tidak dapat melanjutkan perjalanan sampai stasiun tujuan, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib meneruskan angkutan barang dengan:
a. kereta api lain; atau
b. moda transportasi lain.

Pasal 145
(1) Pada saat barang tiba di tempat tujuan, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian segera memberitahu kepada penerima barang bahwa barang telah tiba dan dapat segera diambil.
(2) Biaya yang timbul karena penerima barang terlambat dan/atau lalai mengambil barang menjadi tanggung jawab penerima barang.
(3) Dalam hal barang yang diangkut rusak, salah kirim, atau hilang akibat kelalaian Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengganti segala kerugian yang ditimbulkan.

Pasal 146
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan barang dengan kereta api diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keempat
Angkutan Multimoda

Pasal 147
(1) Angkutan kereta api dapat merupakan bagian dari angkutan multimoda yang dilaksanakan oleh badan usaha angkutan multimoda.
(2) Penyelenggaraan angkutan kereta api dalam angkutan multimoda dilaksanakan berdasarkan perjanjian antara Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dengan badan usaha angkutan multimoda dan penyelenggara moda lainnya.
(3) Apabila dalam perjanjian angkutan multimoda menggunakan angkutan kereta api tidak diatur secara khusus mengenai kewajiban Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, diberlakukan ketentuan angkutan kereta api.

Pasal 148
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan multimoda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 147 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kelima
Angkutan Perkeretaapian Khusus

Pasal 149
(1) Pelayanan angkutan perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3) hanya digunakan untuk menunjang kegiatan pokok badan usaha tertentu.
(2) Pelayanan angkutan perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diintegrasikan dengan pelayanan jaringan angkutan perkeretaapian umum dan pelayanan jaringan angkutan perkeretaapian khusus lainnya setelah mendapat persetujuan dari Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
(3) Pelayanan angkutan perkeretaapian khusus disesuaikan dengan ketentuan mengenai angkutan orang dan/atau angkutan barang perkeretaapian umum.

Pasal 150
Ketentuan lebih lanjut mengenai angkutan perkeretaapian khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 149 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Keenam
Tarif Angkutan Kereta Api

Pasal 151
(1) Tarif angkutan kereta api terdiri dari tarif angkutan orang dan tarif angkutan barang.
(2) Pedoman tarif angkutan orang dan tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Pemerintah.
(3) Pedoman penetapan tarif angkutan berdasarkan perhitungan modal, biaya operasi, biaya perawatan, dan keuntungan.

Pasal 152
(1) Tarif angkutan orang ditetapkan oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dengan memperhatikan pedoman tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).
(2) Tarif angkutan orang dapat ditetapkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah untuk:
a. angkutan pelayanan kelas ekonomi; dan
b. angkutan perintis.

Pasal 153
(1) Untuk pelayanan kelas ekonomi, dalam hal tarif angkutan yang ditetapkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 152 ayat (2) huruf a lebih rendah daripada tarif yang dihitung oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian berdasarkan pedoman penetapan tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah, selisihnya menjadi tanggung jawab Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam bentuk kewajiban pelayanan publik.
(2) Untuk pelayanan angkutan perintis, dalam hal biaya yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian untuk mengoperasikan sarana perkeretaapian lebih tinggi daripada pendapatan yang diperoleh berdasarkan tarif yang ditetapkan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah, selisihnya menjadi tanggung jawab Pemerintah atau Pemerintah Daerah dalam bentuk subsidi angkutan perintis.

Pasal 154
(1) Apabila Penyelenggara Sarana Perkeretaapian menggunakan prasarana perkeretaapian yang dimiliki atau dioperasikan oleh Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian, Penyelenggara Sarana Perkeretaapian membayar biaya penggunaan prasarana perkeretaapian.
(2) Besarnya biaya penggunaan prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan pedoman penetapan biaya penggunaan prasarana perkeretaapian yang ditetapkan oleh Pemerintah.

Pasal 155
Tarif angkutan barang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (1) ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pengguna jasa dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian berdasarkan pedoman penetapan tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (2).

Pasal 156
Ketentuan lebih lanjut mengenai tarif angkutan kereta api dan biaya penggunaan prasarana perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kedelapan
Tanggung Jawab Penyelenggara Sarana
Perkeretaapian

Pasal 157
(1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian bertanggung jawab terhadap pengguna jasa yang mengalami kerugian, luka-luka, atau meninggal dunia yang disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api.
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak pengguna jasa diangkut dari stasiun asal sampai dengan stasiun tujuan yang disepakati.
(3) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata dialami.
(4) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian tidak bertanggung jawab atas kerugian, luka-luka, atau meninggalnya penumpang yang tidak disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api.

Pasal 158
(1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian bertanggung jawab atas kerugian yang diderita oleh pengirim barang karena barang hilang, rusak, atau musnah yang disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api.
(2) Tanggung jawab sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai sejak barang diterima oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian sampai dengan diserahkannya barang kepada penerima.
(3) Kerugian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan kerugian yang nyata dialami, tidak termasuk keuntungan yang akan diperoleh dan biaya jasa yang telah digunakan.
(4) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian tidak bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh keterangan yang tidak benar dalam surat angkutan barang.

Pasal 159
(1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian tidak bertanggung jawab terhadap kerugian yang diderita oleh pihak ketiga yang disebabkan oleh pengoperasian angkutan kereta api, kecuali jika pihak ketiga dapat membuktikan bahwa kerugian disebabkan oleh kesalahan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian.
(2) Hak untuk mengajukan keberatan dan permintaan ganti kerugian dari pihak ketiga kepada Penyelenggara Sarana Perkeretaapian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari terhitung mulai tanggal terjadinya kerugian.

Pasal 160
Ketentuan lebih lanjut mengenai tanggung jawab Penyelenggara Sarana Perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kesembilan
Hak Penyelenggara Sarana Perkeretaapian

Pasal 161
(1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian berhak menahan barang yang diangkut dengan kereta api apabila pengirim atau penerima barang tidak memenuhi kewajiban dalam batas waktu yang ditetapkan sesuai dengan perjanjian angkutan.
(2) Pengirim atau penerima barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dikenai biaya penyimpanan atas barang yang ditahan.
(3) Dalam hal pengirim atau penerima barang tidak memenuhi kewajiban setelah batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dapat menjual barang secara lelang.
(4) Penjualan barang secara lelang sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan di bidang pelelangan.
(5) Hasil penjualan lelang barang sebagaimana dimaksud pada ayat (4) digunakan untuk memenuhi kewajiban pengirim dan/atau penerima barang.
(6) Dalam hal barang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersifat membahayakan atau dapat mengganggu dalam penyimpanannya, barang tersebut harus dimusnahkan.

Pasal 162
Barang-barang yang tidak diambil setelah melebihi batas waktu yang telah ditentukan dinyatakan sebagai barang takbertuan dan dapat dijual secara lelang sesuai dengan peraturan perundang-undangan atau dimusnahkan apabila membahayakan atau dapat mengganggu dalam penyimpanannya.

Pasal 163
Ketentuan lebih lanjut mengenai hak penyelenggara sarana perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Bagian Kesepuluh
Jangka Waktu Pengajuan Keberatan
dan Ganti Kerugian

Pasal 164
(1) Dalam hal pihak penerima barang tidak menyampaikan keberatan pada saat menerima barang dari Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, barang dianggap telah diterima dalam keadaan baik.
(2) Dalam hal terdapat kerusakan barang pada saat barang diterima, penerima barang dapat mengajukan keberatan dan permintaan ganti kerugian selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari sejak barang diterima.
(3) Dalam hal penerima barang tidak mengajukan ganti kerugian dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2), hak untuk menuntut ganti kerugian kepada Penyelenggara Sarana Perkeretaapian menjadi gugur.

Pasal 165
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengajuan keberatan dan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 164 diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XII
ASURANSI DAN GANTI KERUGIAN

Pasal 166
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian wajib mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dan pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87.

Pasal 167
(1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap pengguna jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 157 dan Pasal 158.
(2) Besarnya nilai pertanggungan paling sedikit harus sama dengan nilai ganti kerugian yang diberikan kepada pengguna jasa yang menderita kerugian sebagai akibat pengoperasian kereta api.

Pasal 168
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (1), dikenai sanksi administratif berupa pembekuan izin operasi atau pencabutan izin operasi.

Pasal 169
(1) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengasuransikan awak sarana perkeretaapian.
(2) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengasuransikan sarana perkeretaapian.
(3) Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib mengasuransikan kerugian yang diderita oleh pihak ketiga sebagai akibat pengoperasian angkutan kereta api.

Pasal 170
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian berhak menuntut ganti kerugian kepada pihak yang menimbulkan kerugian terhadap prasarana perkeretaapian, sarana perkeretaapian, dan orang yang dipekerjakan.

Pasal 171
Ketentuan lebih lanjut mengenai asuransi dan ganti kerugian Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian terhadap pengguna jasa, awak, pihak ketiga, dan sarana perkeretaapian diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XIII
PERAN SERTA MASYARAKAT

Pasal 172
Masyarakat berhak:
a. memberi masukan kepada Pemerintah, Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian, dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dalam rangka pembinaan, penyelenggaraan, dan pengawasan perkeretaapian;
b. mendapat pelayanan penyelenggaraan perkeretaapian sesuai dengan standar pelayanan minimum; dan
c. memperoleh informasi mengenai pokok-pokok rencana induk perkeretaapian dan pelayanan perkeretaapian.

Pasal 173
Masyarakat wajib ikut serta menjaga ketertiban, keamanan, dan keselamatan penyelenggaraan perkeretaapian.

Pasal 174
Ketentuan lebih lanjut mengenai peran serta masyarakat diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XIV
PEMERIKSAAN DAN PENELITIAN
KECELAKAAN KERETA API

Pasal 175
(1) Pemeriksaan dan penelitian penyebab kecelakaan kereta api dilakukan oleh Pemerintah.
(1) Pelaksanaan pemeriksaan dan penelitian kecelakaan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu badan yang dibentuk atau ditugaskan oleh Pemerintah.
(2) Hasil pemeriksaan dan penelitian penyebab kecelakaan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (2) yang dibuat dalam bentuk rekomendasi wajib ditindaklanjuti oleh Pemerintah, Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian, dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian serta dapat diumumkan kepada publik.

Pasal 176
(1) Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian dan/atau Penyelenggara Sarana Perkeretaapian wajib membiayai pemeriksaan dan penelitian penyebab kecelakaan kereta api.
(2) Biaya pemeriksaan dan penelitian penyebab kecelakaan kereta api sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib diasuransikan.

Pasal 177
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeriksaan dan penelitian penyebab kecelakaan kereta api diatur dengan Peraturan Pemerintah.

BAB XV
LARANGAN

Pasal 178
Setiap orang dilarang membangun gedung, membuat tembok, pagar, tanggul, bangunan lainnya, menanam jenis pohon yang tinggi, atau menempatkan barang pada jalur kereta api yang dapat mengganggu pandangan bebas dan membahayakan keselamatan perjalanan kereta api.

Pasal 179
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya pergeseran tanah di jalur kereta api sehingga mengganggu atau membahayakan perjalanan kereta api.

Pasal 180
Setiap orang dilarang menghilangkan, merusak, atau melakukan perbuatan yang mengakibatkan rusak dan/atau tidak berfungsinya prasarana dan sarana perkeretaapian.

Pasal 181
(1) Setiap orang dilarang:
a. berada di ruang manfaat jalur kereta api;
b. menyeret, menggerakkan, meletakkan, atau memindahkan barang di atas rel atau melintasi jalur kereta api; atau
c. menggunakan jalur kereta api untuk kepentingan lain, selain untuk angkutan kereta api.
(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi petugas di bidang perkeretaapian yang mempunyai surat tugas dari Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian.

Pasal 182
Setiap orang dilarang melaksanakan pengujian sarana perkeretaapian dalam hal:
a. tidak memiliki sertifikat keahlian pengujian sarana perkeretaapian;
b. melaksanakan pengujian tidak sesuai dengan tata cara pengujian; dan/atau
c. tidak menggunakan peralatan pengujian.

Pasal 183
(1) Setiap orang dilarang berada:
a. di atap kereta;
b. di lokomotif;
c. di dalam kabin masinis;
d. di gerbong; atau
e. di bagian kereta yang peruntukannya bukan untuk penumpang.
(2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku bagi awak kereta api yang sedang melaksanakan tugas dan/atau seseorang yang mendapat izin dari Penyelenggara Sarana Perkeretaapian.

Pasal 184
Setiap orang dilarang menjual karcis kereta api di luar tempat yang telah ditentukan oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian.

Pasal 185
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dilarang menugaskan Awak Sarana Perkeretaapian yang tidak memiliki sertifikat kecakapan untuk mengoperasikan sarana perkeretaapian.

BAB XVI
PENYIDIKAN

Pasal 186
(1) Pejabat pegawai negeri sipil tertentu di bidang perkeretaapian dapat diberi kewenangan khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan atas pelanggaran ketentuan dalam Undang-Undang ini.
(2) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang untuk:
a. melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan, pengaduan, atau keterangan tentang terjadinya tindak pidana di bidang perkeretaapian;
b. memanggil orang untuk didengar keterangannya sebagai saksi dan/atau tersangka tindak pidana di bidang perkeretaapian;
c. melakukan penggeledahan, penyegelan, dan/atau penyitaan alat-alat yang digunakan untuk melakukan tindak pidana di bidang perkeretaapian;
d. melakukan pemeriksaan tempat terjadinya tindak pidana dan tempat lain yang diduga terdapat barang bukti tindak pidana di bidang perkeretaapian;
e. melakukan penyitaan barang bukti tindak pidana di bidang perkeretaapian;
f. meminta keterangan dan barang bukti dari orang dan/atau badan hukum atas terjadinya tindak pidana di bidang perkeretaapian;
g. mendatangkan ahli yang diperlukan untuk penyidikan tindak pidana di bidang perkeretaapian;
h. membuat dan menandatangani berita acara pemeriksaan perkara tindak pidana di bidang perkeretaapian; dan
i. menghentikan penyidikan apabila tidak terdapat cukup bukti terjadinya tindak pidana di bidang perkeretaapian.
(3) Pejabat pegawai negeri sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyerahkan hasil penyidikannya kepada penuntut umum sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

BAB XVII
KETENTUAN PIDANA

Pasal 187
(1) Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian yang mengoperasikan Prasarana Perkeretaapian umum yang tidak memenuhi standar kelaikan operasi prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 yang mengakibatkan kecelakaan kereta api dan kerugian bagi harta benda atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat bagi orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000, 00 (satu milyar rupiah).
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000, 00 (dua milyar rupiah).

Pasal 188
Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum yang tidak memiliki izin usaha, izin pembangunan, dan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000, 00 (dua milyar rupiah).

Pasal 189
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan Sarana Perkeretaapian umum yang tidak memenuhi standar kelaikan operasi sarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 yang mengakibatkan kecelakaan kereta api dan kerugian bagi harta benda atau barang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 190
Badan Usaha yang menyelenggarakan sarana perkeretaapian umum yang tidak memiliki izin usaha dan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000, 00 (dua milyar rupiah).

Pasal 191
(1) Penyelenggara perkeretaapian khusus yang tidak memiliki izin pengadaan atau pembangunan dan izin operasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan dan pidana denda paling banyak Rp250.000.000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan kereta api dan kerugian bagi harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 192
Setiap orang yang membangun gedung, membuat tembok, pagar, tanggul, dan bangunan lainnya, menanam jenis pohon yang tinggi, atau menempatkan barang pada jalur kereta api, yang dapat mengganggu pandangan bebas dan membahayakan keselamatan perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 178, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Rp100.000.000, 00 (seratus juta rupiah).

Pasal 193
(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan, baik langsung maupun tidak langsung, yang dapat mengakibatkan terjadinya pergeseran tanah di jalur kereta api sehingga mengganggu atau membahayakan perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 179, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp250.000.000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kerusakan prasarana perkeretaapian dan/atau sarana perkeretaapian, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000, 00 (dua milyar rupiah).

Pasal 194
Tenaga penguji Prasarana Perkeretaapian yang melakukan pengujian Prasarana Perkeretaapian tidak menggunakan peralatan pengujian Prasarana Perkeretaapian dan/atau melakukan pengujian tidak sesuai dengan tata cara pengujian Prasarana Perkeretaapian yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Rp30.000.000, 00 (tiga puluh juta rupiah)
Pasal 195
Petugas prasarana perkeretaapian yang mengoperasikan Prasarana Perkeretaapian tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

Pasal 196
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian yang mengoperasikan prasarana perkeretaapian dengan petugas yang tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 80 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 197
(1) Setiap orang yang menghilangkan, merusak, dan/atau melakukan perbuatan yang mengakibatkan rusak dan tidak berfungsinya prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 180, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan dan/atau kerugian bagi harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat bagi orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun.
(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun.

Pasal 198
(1) Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian yang tidak menempatkan tanda larangan secara jelas dan lengkap di ruang manfaat jalur kereta api dan di jalur kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 81 yang mengakibatkan kerugian bagi harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp250.000.000, 00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat bagi orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000, 00 (satu milyar rupiah).

Pasal 199
Setiap orang yang berada di ruang manfaat jalan kereta api, menyeret barang di atas atau melintasi jalur kereta api tanpa hak, dan menggunakan jalur kereta api untuk kepentingan lain selain untuk angkutan kereta api yang dapat mengganggu perjalanan kereta api sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp15.000.000, 00 (lima belas juta rupiah).

Pasal 200
Pemilik Prasarana Perkeretaapian yang memberi izin pembangunan jalan, jalur kereta api khusus, terusan, saluran air dan/atau prasarana lain yang memerlukan persambungan, dan perpotongan dan/atau persinggungan dengan jalur kereta api umum yang tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000, 00 (dua milyar rupiah).

Pasal 201
Setiap orang yang membangun jalan, jalur kereta api khusus, terusan, saluran air, dan/atau prasarana lain yang menimbulkan atau memerlukan persambungan, perpotongan, atau persinggungan dengan jalan kereta api umum tanpa izin pemilik prasarana perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 92 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000, 00 (satu milyar rupiah).

Pasal 202
Tenaga penguji sarana perkeretaapian yang melakukan pengujian sarana perkeretaapian tidak menggunakan peralatan pengujian dan/atau melakukan pengujian tidak sesuai dengan tata cara pengujian yang ditetapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 108, mengakibatkan kecelakaan kereta api dan kerugian bagi harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp60.000.000, 00 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 203
(1) Awak Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan sarana perkeretaapian tidak memiliki sertifikat kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan kecelakaan kereta api dan kerugian bagi harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat bagi orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun.
(4) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Pasal 204
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan Sarana Perkeretaapian dengan Awak Sarana Perkeretaapian yang tidak memiliki sertifikat tanda kecakapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan pidana denda paling banyak Rp250.000.000, 00. (dua ratus lima puluh juta rupiah).

Pasal 205
Awak Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan kereta api tanpa surat perintah tugas dari Penyelenggara Sarana Perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (2), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp60.000.000, 00 (enam puluh juta rupiah).

Pasal 206
(1) Awak Sarana Perkeretaapian yang mengoperasikan kereta api yang tidak mematuhi perintah petugas pengatur perjalanan kereta api, sinyal, atau tanda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 122 ayat (3) dan ayat (4), mengakibatkan kecelakaan kereta api dan kerugian bagi harta benda, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.
(2) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan luka berat bagi orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun.
(3) Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun.

Pasal 207
Setiap orang yang tanpa hak berada di dalam kabin masinis, di atap kereta, di lokomotif, di gerbong, atau di bagian kereta yang peruntukannya bukan untuk penumpang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 183 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp15.000.000, 00 (lima belas juta rupiah).

Pasal 208
Setiap orang yang menjual karcis kereta api di luar tempat yang telah ditentukan oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 184, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan.

Pasal 209
Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, Petugas Prasarana Perkeretaapian, dan pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 87 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 210
(1) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189, Pasal 191, dan Pasal 193 yang mengakibatkan luka berat bagi orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000, 00 (satu milyar rupiah).
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 189, Pasal 191 dan Pasal 193 yang mengakibatkan matinya orang, dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000, 00 (dua milyar rupiah).

Pasal 211
Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang tidak mengasuransikan tanggung jawabnya terhadap Pengguna Jasa, Awak Sarana Perkeretaapian, dan pihak ketiga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 167 ayat (1) dan Pasal 169 ayat (1) dan ayat (3), dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).

Pasal 212
Selain dipidana dengan pidana penjara dan pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 196, Pasal 204, dan Pasal 211, korban dapat menuntut ganti kerugian terhadap Penyelenggara Prasarana atau Penyelenggara Sarana Perkeretaapian yang pelaksanaannya berdasarkan ketentuan hukum acara pidana.

Pasal 213
Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187, Pasal 188, Pasal 189, Pasal 190, Pasal 191, Pasal 196, Pasal 198, Pasal 200, Pasal 204, Pasal 209, dan Pasal 211 dilakukan oleh suatu korporasi, maka dipidana dengan pidana denda yang sama sesuai pasal-pasal tersebut ditambah dengan 1/3 (satu pertiga).

BAB XVIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 214
(1) Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Badan Usaha yang telah menyelenggarakan prasarana perkeretaapian dan sarana perkeretaapian tetap menyelenggarakan prasarana perkeretaapian dan sarana perkeretaapian berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun sejak Undang-undang ini berlaku, penyelenggaraan prasarana perkeretaapian dan sarana perkeretaapian yang dilaksanakan oleh Badan Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta penyelenggaraan prasarana perkeretaapian milik Pemerintah wajib disesuaikan dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.

BAB XIX
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 215
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, semua peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3479) dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan atau diganti berdasarkan Undang-Undang ini.

Pasal 216
Peraturan Pemerintah yang diamanatkan oleh Undang-Undang ini ditetapkan paling lambat 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini berlaku.

Pasal 217
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3479) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

Pasal 218
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 25 April 2007
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 25 April 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

HAMID AWALUDIN

TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA RI
No. 4722 (Penjelasan Atas Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 65)

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 23 TAHUN 2007
TENTANG
PERKERETAAPIAN

I. UMUM

Perkeretaapian sebagai salah satu moda transportasi memiliki karakteristik dan keunggulan khusus, terutama dalam kemampuannya untuk mengangkut, baik orang maupun barang secara massal, menghemat energi, menghemat penggunaan ruang, mempunyai faktor keamanan yang tinggi, memiliki tingkat pencemaran yang rendah, serta lebih efisien dibandingkan dengan moda transportasi jalan untuk angkutan jarak jauh dan untuk daerah yang padat lalu lintasnya, seperti angkutan perkotaan.
Dengan keunggulan dan karakteristik perkeretaapian tersebut, peran perkeretaapian perlu lebih ditingkatkan dalam upaya pengembangan sistem transportasi nasional secara terpadu. Untuk itu, penyelenggaraan perkeretaapian yang dimulai dari pengadaan, pengoperasian, perawatan, dan pengusahaan perlu diatur dengan sebaik-baiknya sehingga dapat terselenggara angkutan kereta api yang menjamin keselamatan, aman, nyaman, cepat, tepat, tertib, efisien, serta terpadu dengan moda transportasi lain. Dengan demikian, terdapat keserasian dan keseimbangan beban antarmoda transportasi yang mampu meningkatkan penyediaan jasa angkutan bagi mobilitas angkutan orang dan barang.
Penyelenggaraan perkeretaapian telah menunjukkan peningkatan peran yang penting dalam menunjang dan mendorong kegiatan perekonomian, memantapkan pertahanan dan keamanan, memperlancar kegiatan pemerintahan, memperkukuh persatuan dan kesatuan bangsa, serta meningkatkan hubungan antarbangsa.
Dengan adanya perkembangan teknologi perkeretaapian dan perubahan lingkungan strategis yang semakin kompetitif dan tidak terpisahkan dari sistem perekonomian internasional yang menitikberatkan pada asas keadilan, keterbukaan, dan tidak diskriminatif, dipandang perlu melibatkan peran pemerintah daerah dan swasta guna mendorong kemajuan penyelenggaraan perkeretaapian nasional.
Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian, kondisi perkeretaapian nasional yang masih bersifat monopoli dihadapkan pada berbagai masalah, antara lain kontribusi perkeretaapian terhadap transportasi nasional masih rendah, prasarana dan sarana belum memadai, jaringan masih terbatas, kemampuan pembiayaan terbatas, tingkat kecelakaan masih tinggi, dan tingkat pelayanan masih jauh dari harapan.
Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, peran Pemerintah dalam penyelenggaraan perkeretaapian perlu dititikberatkan pada pembinaan yang meliputi penentuan kebijakan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan dengan mengikutsertakan peran masyarakat sehingga penyelenggaraan perkeretaapian dapat terlaksana secara efisien, efektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan tetap berpijak pada makna dan hakikat yang terkandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 serta dengan memperhatikan perkembangan lingkungan strategis, baik nasional maupun internasional, terutama di bidang perkeretaapian, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian perlu diganti.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Huruf a
Yang dimaksud dengan "asas manfaat" adalah bahwa perkeretaapian harus dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemanusiaan, peningkatan kemakmuran rakyat, kesejahteraan rakyat, dan pengembangan kehidupan yang berkesinambungan bagi warga negara.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "asas keadilan" adalah bahwa perkeretaapian harus dapat memberi pelayanan kepada segenap lapisan masyarakat dengan biaya yang terjangkau serta memberi kesempatan berusaha dan perlindungan yang sama kepada semua pihak yang terlibat dalam perkeretaapian.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "asas keseimbangan" adalah bahwa perkeretaapian harus diselenggarakan atas dasar keseimbangan antara sarana dan prasarana, kepentingan pengguna jasa dan penyelenggara, kebutuhan dan ketersediaan, kepentingan individu dan masyarakat, antardaerah dan antarwilayah, serta antara kepentingan nasional dan internasional.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "asas kepentingan umum" adalah bahwa perkeretaapian harus lebih mengutamakan kepentingan masyarakat luas daripada kepentingan perseorangan atau kelompok dengan memperhatikan keselamatan, keamanan, kenyamanan, dan ketertiban.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "asas keterpaduan" adalah bahwa perkeretaapian harus merupakan satu kesatuan sistem dan perencanaan yang utuh, terpadu, dan terintegrasi serta saling menunjang, baik antarhierarki tatanan perkeretaapian, intramoda maupun antarmoda transportasi.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "asas kemandirian" adalah bahwa penyelenggaraan perkeretaapian harus berlandaskan kepercayaan diri, kemampuan dan potensi produksi dalam negeri, serta sumber daya manusia dengan daya inovasi dan kreativitas yang bersendi pada kedaulatan, martabat, dan kepribadian bangsa.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "asas transparansi" adalah bahwa penyelenggaraan perkeretaapian harus memberi ruang kepada masyarakat luas untuk memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur sehingga masyarakat mempunyai kesempatan berpartisipasi bagi kemajuan perkeretaapian.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "asas akuntabilitas" adalah bahwa penyelenggaraan perkeretaapian harus didasarkan pada kinerja yang terukur, dapat dievaluasi, dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
Huruf i
Yang dimaksud dengan "asas berkelanjutan" adalah bahwa penyelenggaraan perkeretaapian harus dilakukan secara berkesinambungan, berkembang, dan meningkat dengan mengikuti kemajuan teknologi dan menjaga kelestarian lingkungan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakat.

Pasal 3
Yang dimaksud dengan "secara massal" adalah bahwa kereta api memiliki kemampuan untuk mengangkut orang dan/atau barang dalam jumlah atau volume besar setiap kali perjalanan.
Yang dimaksud dengan "selamat" adalah terhindarnya perjalanan kereta api dari kecelakaan akibat faktor internal.
Yang dimaksud dengan "aman" adalah terhindarnya perjalanan kereta api akibat faktor eksternal, baik berupa gangguan alam maupun manusia.
Yang dimaksud dengan "nyaman" adalah terwujudnya ketenangan dan ketenteraman bagi penumpang selama perjalanan kereta api.
Yang dimaksud dengan "cepat dan lancar" adalah perjalanan kereta api dengan waktu yang singkat dan tanpa gangguan.
Yang dimaksud dengan "tepat" adalah terlaksananya perjalanan kereta api sesuai dengan waktu yang ditetapkan.
Yang dimaksud dengan "tertib dan teratur" adalah terlaksananya perjalanan kereta api sesuai dengan jadwal dan peraturan perjalanan.
Yang dimaksud dengan "efisien" adalah penyelenggaraan perkeretaapian yang mampu memberikan manfaat yang maksimal.

Pasal 4
Huruf a
Yang dimaksud dengan "kereta api kecepatan normal" adalah kereta api yang mempunyai kecepatan kurang dari 200 km/jam.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "kereta api kecepatan tinggi" adalah kereta api yang mempunyai kecepatan lebih dari 200 km/jam.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "kereta api monorel" adalah kereta api yang bergerak pada 1 (satu) rel.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "kereta api motor induksi linear" adalah kereta api yang menggunakan penggerak motor induksi linear dengan stator pada jalan rel dan rotor pada sarana perkeretaapian.
Huruf e
Yang dimaksud dengan "kereta api gerak udara" adalah kereta api yang bergerak dengan menggunakan tekanan udara.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "kereta api levitasi magnetik" adalah kereta api yang digerakkan dengan tenaga magnetik sehingga pada waktu bergerak tidak ada gesekan antara sarana perkeretaapian dan jalan rel.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "trem" adalah kereta api yang bergerak di atas jalan rel yang sebidang dengan jalan.
Huruf h
Yang dimaksud dengan "kereta gantung" adalah kereta yang bergerak dengan cara menggantung pada tali baja.

Pasal 5
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "perkeretaapian umum" adalah perkeretaapian yang digunakan untuk melayani angkutan orang dan/atau barang dengan dipungut bayaran.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "perkeretaapian khusus" adalah perkeretaapian yang hanya digunakan untuk menunjang kegiatan pokok badan usaha tertentu dan tidak digunakan untuk melayani masyarakat umum.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "perkeretaapian perkotaan" adalah perkeretaapian yang melayani perpindahan orang di wilayah perkotaan dan/atau perjalanan ulang-alik dengan jangkauan:
a. seluruh wilayah administrasi kota; dan/atau
b. melebihi wilayah administrasi kota.
Dalam hal perkeretaapian perkotaan berada di wilayah metropolitan disebut kereta api metro.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "perkeretaapian antarkota" adalah perkeretaapian yang melayani perpindahan orang dan/atau barang dari satu kota ke kota yang lain.
Dalam hal perkeretaapian antarkota melayani angkutan orang dan/atau barang dari satu kota ke kota di negara lain, disebut kereta api antarnegara.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 6
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "tatanan perkeretaapian" adalah hierarki kewilayahan pada jaringan perkeretaapian yang membentuk satu kesatuan sistem pelayanan perkeretaapian di suatu wilayah.
Huruf a
Yang dimaksud dengan "perkeretaapian nasional" adalah tatanan perkeretaapian yang melayani angkutan orang dan/atau barang lebih dari satu provinsi.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "perkeretaapian provinsi" adalah tatanan perkeretaapian yang melayani angkutan orang dan/atau barang yang melebihi satu kabupaten/kota dalam satu provinsi.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "perkeretaapian kabupaten/kota" adalah tatanan perkeretaapian yang melayani angkutan orang dan/atau barang dalam satu kabupaten/kota.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "terintegrasi sistem perkeretaapian dengan moda transportasi lain" adalah menyinergikan moda perkeretaapian dengan moda transportasi lain sehingga terwujud keterpaduan jaringan serta mempermudah dan memperlancar pelayanan angkutan orang dan/atau barang.

Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "rencana induk perkeretaapian" adalah rencana pengembangan jaringan prasarana perkeretaapian, baik yang memuat jaringan jalur kereta api yang telah ada maupun rencana jaringan jalur kereta api yang akan dibangun.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "rencana induk perkeretaapian nasional" adalah rencana induk perkeretaapian yang menghubungkan antarpusat kegiatan nasional serta antara pusat kegiatan nasional dan pusat kegiatan provinsi.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "rencana induk perkeretaapian provinsi" adalah rencana induk perkeretaapian yang menghubungkan antarpusat kegiatan provinsi serta antara pusat kegiatan provinsi dan pusat kegiatan kabupaten/kota.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "rencana induk perkeretaapian kabupaten/kota" adalah rencana induk perkeretaapian yang menghubungkan antarpusat kegiatan dalam kabupaten/kota.

Pasal 8
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "rencana tata ruang wilayah nasional" adalah rencana tata ruang nasional sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Penataan Ruang.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "rencana induk jaringan moda transportasi lainnya" adalah rencana induk jaringan transportasi jalan, laut, dan udara.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "tataran transportasi" adalah tingkatan transportasi yang terbagi dalam tingkat nasional, tingkat provinsi, dan tingkat kabupaten/kota.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 9
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "rencana tata ruang wilayah provinsi" adalah rencana tata ruang provinsi sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Penataan Ruang.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 10
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang wilayah kota" adalah rencana tata ruang wilayah kabupaten dan rencana tata ruang wilayah kota sebagaimana diatur dalam Undang-Undang tentang Penataan Ruang.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 11
Cukup jelas

Pasal 12
Cukup jelas

Pasal 13
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "dikuasai oleh Negara" adalah bahwa Negara mempunyai kewenangan untuk mengatur penyelenggaraan perkeretaapian dan pelaksanaannya dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "pengaturan" meliputi penetapan kebijakan umum dan kebijakan teknis, antara lain penentuan norma, standar, pedoman, kriteria, rencana, dan prosedur.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "pengendalian" adalah pemberian arahan, bimbingan, supervisi, pelatihan, perizinan, sertifikasi, serta bantuan teknis di bidang pembangunan dan pengoperasian.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "pengawasan" adalah kegiatan pemantauan dan evaluasi terhadap penyelenggaraan perkeretaapian agar sesuai dengan peraturan perundang-undangan, termasuk melakukan tindakan korektif dan penegakan hukum.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 14
Cukup jelas

Pasal 15
Cukup jelas

Pasal 16
Cukup jelas

Pasal 17
Cukup jelas

Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Cukup jelas

Pasal 21
Huruf a
Yang dimaksud dengan "standar perawatan prasarana perkeretaapian" adalah sistem, prosedur, dan tolok ukur perawatan prasarana perkeretaapian yang ditetapkan oleh Pemerintah sesuai dengan jenisnya.
Huruf b
Cukup jelas

Pasal 22
Cukup jelas

Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menyelenggarakan prasarana perkeretaapian" adalah Pemerintah atau Pemerintah Daerah diberi amanat untuk penyelenggaraan prasarana perkeretaapian yang pelaksanaannya ditugaskan kepada badan usaha yang dibentuk untuk keperluan tersebut.
Dalam hal penyelenggaraan prasarana perkeretaapian dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang secara ekonomi sudah bersifat komersial, penyelenggaraan prasarananya dialihkan kepada badan usaha prasarana perkeretaapian.

Pasal 24
Cukup jelas

Pasal 25
Cukup jelas

Pasal 26
Cukup jelas

Pasal 27
Cukup jelas

Pasal 28
Cukup jelas

Pasal 29
Cukup jelas

Pasal 30
Cukup jelas

Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "Pemerintah atau Pemerintah Daerah dapat menyelenggarakan sarana perkeretaapian" adalah Pemerintah atau Pemerintah Daerah diberi amanat untuk penyelenggaraan sarana perkeretaapian yang pelaksanaannya ditugaskan kepada badan usaha yang dibentuk untuk keperluan tersebut.
Dalam hal penyelenggaraan sarana perkeretaapian dilaksanakan oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah yang secara ekonomi sudah bersifat komersial, penyelenggaraan sarananya dialihkan kepada badan usaha sarana perkeretaapian.

Pasal 32
Cukup jelas

Pasal 33
Cukup jelas

Pasal 34
Cukup jelas

Pasal 35
Cukup jelas.

Pasal 36
Cukup jelas

Pasal 37
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "bangunan pelengkap lainnya" adalah fasilitas yang menunjang kelancaran dan keselamatan pengoperasian kereta api.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "jalan rel di atas permukaan tanah" adalah jalan rel layang dan/atau jalan rel gantung.

Pasal 38
Cukup jelas

Pasal 39
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "lebar ruang manfaat jalur kereta api" adalah ruang yang digunakan untuk konstruksi jalan rel dan fasilitas operasi sesuai dengan jenis jalurnya, antara lain jalur tunggal, jalur ganda, jembatan, dan terowongan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 40
Cukup jelas

Pasal 41
Cukup jelas

Pasal 42
Ayat (1)
Batas ruang milik jalur kereta api merupakan ruang di sisi kiri dan kanan ruang manfaat jalur kereta api yang lebarnya paling rendah 6 (enam) meter.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "untuk keperluan lain" adalah kepentingan di luar kereta api, antara lain kepentingan pipa gas, pipa minyak, dan kabel telepon.

Pasal 43
Cukup jelas

Pasal 44
Cukup jelas

Pasal 45
Batas ruang pengawasan jalur kereta api merupakan ruang di sisi kiri dan kanan ruang milik jalur kereta api yang lebarnya paling rendah 9 (sembilan) meter.

Pasal 46
Cukup jelas

Pasal 47
Cukup Jelas

Pasal 48
Cukup Jelas

Pasal 49
Cukup Jelas

Pasal 50
Cukup jelas

Pasal 51
Cukup jelas

Pasal 52
Cukup jelas

Pasal 53
Cukup jelas

Pasal 54
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Yang dimaksud dengan "fasilitas kesehatan" adalah pelayanan kesehatan yang disesuaikan dengan kelas stasiun.
Huruf g
Yang dimaksud dengan "fasilitas umum" adalah sarana pelayanan umum, sekurang-kurangnya toilet, musala, dan restoran.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 55
Yang dimaksud dengan "kegiatan usaha penunjang" adalah aktivitas usaha untuk mendukung pengusahaan perkeretaapian, antara lain usaha pertokoan, restoran, perkantoran, dan perhotelan.

Pasal 56
Cukup jelas

Pasal 57
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "jasa pelayanan khusus" adalah fasilitas pelayanan yang disediakan oleh Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian selain fasilitas pelayanan standar.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 58
Cukup jelas

Pasal 59
Huruf a
Yang dimaksud dengan "peralatan persinyalan" adalah fasilitas pendukung operasi yang memberi petunjuk atau isyarat berupa warna atau cahaya dengan arti tertentu yang dipasang pada tempat tertentu.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas

Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "sinyal" adalah alat atau perangkat yang digunakan untuk menyampaikan perintah bagi pengaturan perjalanan kereta api dengan peragaan dan/atau warna. Perangkat sinyal terdiri atas peralatan luar ruangan (outdoor) dan peralatan dalam ruangan (indoor).
Huruf b
Yang dimaksud dengan "tanda" adalah isyarat yang berfungsi untuk memberi peringatan atau petunjuk kepada petugas yang mengendalikan pergerakan sarana kereta api.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "marka" adalah tanda berupa gambar atau tulisan yang berfungsi sebagai peringatan atau petunjuk tentang kondisi tertentu pada suatu tempat yang terkait dengan perjalanan kereta api.

Pasal 61
Cukup jelas

Pasal 62
Cukup jelas

Pasal 63
Cukup jelas.

Pasal 64
Cukup jelas

Pasal 65
Cukup jelas

Pasal 66
Cukup jelas

Pasal 67
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "memenuhi persyaratan kelaikan" adalah kondisi prasarana siap operasi dan secara teknis aman untuk dioperasikan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "persyaratan sistem" adalah kondisi yang harus dipenuhi untuk berfungsinya sistem jalan rel, sistem jembatan, sistem terowongan, sistem stasiun, sistem persinyalan, sistem telekomunikasi, dan sistem perlistrikan.
Yang dimaksud dengan "persyaratan komponen" adalah spesifikasi teknis yang harus dipenuhi setiap komponen sebagai bagian dari suatu sistem, misalnya sistem jalan rel terdiri atas rel, bantalan, balas, dan alat penambat.
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 68
Cukup jelas

Pasal 69
Cukup jelas

Pasal 70
Cukup jelas

Pasal 71
Cukup jelas

Pasal 72
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan " jadwal yang ditetapkan" adalah kegiatan pengecekan kelaikan prasarana perkeretaapian sesuai dengan jadwal tertentu berdasarkan spesifikasi teknis, tingkat penggunaan, dan kondisi lingkungan setiap jenis prasarana perkeretaapian yang diuji.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 73
Cukup jelas

Pasal 74
Cukup jelas

Pasal 75
Cukup jelas

Pasal 76
Cukup jelas

Pasal 77
Cukup jelas

Pasal 78
Cukup jelas

Pasal 79
Cukup jelas

Pasal 80
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "petugas" meliputi antara lain, petugas pengatur perjalanan kereta api, tenaga perawatan prasarana perkeretaapian, penjaga perlintasan kereta api.

Pasal 81
Cukup jelas

Pasal 82
Cukup jelas

Pasal 83
Cukup jelas

Pasal 84
Cukup jelas

Pasal 85
Cukup jelas

Pasal 86
Cukup jelas

Pasal 87
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "pihak ketiga" adalah pihak-pihak selain Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dan pengguna jasa.
Yang dimaksud dengan "pengoperasian prasarana perkeretaapian" adalah kegiatan yang terkait dengan operasional prasarana perkeretaapian.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Musibah yang dialami oleh pihak ketiga, antara lain akibat dari bangunan stasiun roboh, jembatan kereta api ambruk, dan menara telekomunikasi roboh.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 88
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Yang dimaksud dengan "keadaan memaksa" adalah force majeur.

Pasal 89
Cukup jelas

Pasal 90
Cukup jelas

Pasal 91
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "jalan" adalah sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2004 tentang Jalan.
Yang dimaksud dengan "tidak sebidang" adalah letak jalur kereta api tidak berpotongan secara horizontal dengan jalan, tetapi terletak di atas atau di bawah jalan.
Perlintasan antara jalur kereta api dan jalan yang sebidang yang telah ada sebelum ditetapkan Undang-Undang ini diupayakan untuk dibuat tidak sebidang secara berangsur-angsur sesuai dengan kemampuan Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 92
Cukup jelas

Pasal 93
Cukup jelas

Pasal 94
Cukup jelas

Pasal 95
Cukup jelas

Pasal 96
Ayat (1)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "lokomotif" adalah sarana perkeretaapian yang memiliki penggerak sendiri yang bergerak dan digunakan untuk menarik dan/atau mendorong kereta, gerbong, dan/atau peralatan khusus, antara lain lokomotif listrik dan lokomotif diesel.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "kereta" adalah sarana perkeretaapian yang ditarik lokomotif atau mempunyai penggerak sendiri yang digunakan untuk mengangkut orang, antara lain kereta rel listrik (KRL), kereta rel diesel (KRD), kereta makan, kereta bagasi, dan kereta pembangkit.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "gerbong" adalah sarana perkeretaapian yang ditarik lokomotif digunakan untuk mengangkut barang, antara lain gerbong datar, gerbong tertutup, gerbong terbuka, dan gerbong tangki.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "peralatan khusus" adalah sarana perkeretaapian yang tidak digunakan untuk angkutan penumpang atau barang, tetapi untuk keperluan khusus, antara lain kereta inspeksi (lori), gerbong penolong, derek (crane), kereta ukur, dan kereta pemeliharaan jalan rel.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 97
Cukup jelas

Pasal 98
Cukup jelas

Pasal 99
Cukup jelas

Pasal 100
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "uji rancang bangun dan rekayasa" adalah pengujian yang meliputi uji ketepatan atau kesesuaian antara rancang bangun dan fisik sarana perkeretaapian. Pengujiannya meliputi rangka dasar, badan, roda, keseimbangan berat, dan kekuatan konstruksi.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "uji statis" adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui kondisi peralatan dan kemampuan kerja sarana perkeretaapian dalam keadaan tidak bergerak.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "uji dinamis" adalah pengujian yang dilakukan untuk mengetahui kondisi peralatan dan kemampuan kerja sarana perkeretaapian dalam keadaan bergerak.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 101
Cukup jelas

Pasal 102
Cukup jelas

Pasal 103
Cukup jelas

Pasal 104
Cukup jelas

Pasal 105
Cukup jelas

Pasal 106
Cukup Jelas

Pasal 107
Cukup Jelas

Pasal 108
Cukup Jelas

Pasal 109
Cukup Jelas

Pasal 110
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "jadwal yang ditetapkan" adalah waktu yang ditentukan untuk pemeriksaan sarana perkeretaapian yang berpedoman pada buku petunjuk dan dilaksanakan secara harian, bulanan, 6 (enam) bulanan, dan tahunan.
Ayat 2 Cukup jelas

Pasal 111
Cukup Jelas

Pasal 112
Cukup Jelas

Pasal 113
Cukup Jelas

Pasal 114
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup Jelas
Ayat (3)
Cukup Jelas
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Yang dimaksud dengan "balai yasa" adalah tempat perawatan sarana perkeretaapian untuk 2 (dua) tahunan atau semi perawatan akhir (SPA), perawatan 4 (empat) tahunan atau perawatan akhir (PA), dan rehabilitasi atau modifikasi.
Yang dimaksud dengan "depo" adalah tempat perawatan sarana perkeretaapian untuk harian, bulanan, 6 (enam) bulanan, dan 1 (satu) tahunan.

Pasal 115
Cukup Jelas

Pasal 116
Cukup Jelas

Pasal 117
Cukup Jelas

Pasal 118
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "rancang bangun" adalah perencanaan, perancangan, dan perhitungan teknis material dan komponen, uji simulasi, dan pembuatan prototipe atau model sarana perkeretaapian.
Yang dimaksud dengan "rekayasa" adalah peningkatan kemampuan dan mengubah fungsi sarana perkeretaapian melalui inovasi dan modifikasi sesuai dengan persyaratan teknis, antara lain kereta penumpang menjadi kereta bagasi dan kereta rel listrik (KRL) menjadi kereta rel diesel elektrik (KRDE).
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 119
Cukup Jelas

Pasal 120
Huruf a.
Yang dimaksud dengan "petak blok" adalah jalan rel di antara dua sinyal yang berdekatan.
Huruf b.
Cukup jelas

Pasal 121
Cukup jelas

Pasal 122
Cukup Jelas

Pasal 123
Cukup jelas

Pasal 124
Cukup jelas

Pasal 125
Huruf a
Yang dimaksud dengan "mengambil tindakan untuk kelancaran dan keselamatan lalu lintas" adalah menghentikan semua kereta api di stasiun terdekat atau membatasi kecepatan kereta api yang akan melewati lintas yang bersangkutan.
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Yang dimaksud dengan "penyidikan awal" adalah pemeriksaan dan penelitian untuk mencari dan mengumpulkan barang-barang yang dapat dijadikan sebagai bukti adanya tindak pidana yang mengakibatkan kecelakaan kereta api yang dapat dilaksanakan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) di bidang perkeretaapian dengan secepat-cepatnya dan berkoordinasi dengan penyidik kepolisian setempat.
Huruf g
Cukup jelas

Pasal 126
Cukup jelas

Pasal 127
Cukup jelas

Pasal 128
Cukup Jelas

Pasal 129
Cukup Jelas

Pasal 130
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "keadaan tertentu" adalah:
a. keadaan darurat;
b. bencana alam; atau
c. jumlah orang yang jauh di atas jumlah rata-rata orang yang diangkut dan tidak tersedia kereta pada saat itu.
Ayat (3)
Fasilitas minimal pelayanan penumpang, antara lain tempat duduk, lampu penerangan, kipas angin, dan toilet darurat.

Pasal 131
Ayat (1)
Fasilitas khusus dapat berupa pembuatan jalan khusus di stasiun dan sarana khusus untuk naik kereta api atau penyediaan ruang yang disediakan khusus bagi penempatan kursi roda atau sarana bantu bagi orang sakit yang pengangkutannya mengharuskan dalam posisi tidur.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 132
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "karcis" adalah tanda bukti pembayaran pengguna jasa yang berbentuk lembaran kertas, karton, atau tiket elektronik.

Pasal 133
Ayat (1)
Huruf a
Cukup Jelas.
Huruf b
Cukup Jelas.
Huruf c
Cukup Jelas.
Huruf d
Pengumuman jadwal dan tarif angkutan kepada masyarakat dapat dilakukan di stasiun atau media cetak atau elektronik.
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 134
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Batas waktu melapor adalah 30 (tiga puluh) menit sebelum keberangkatan.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 135
Cukup jelas

Pasal 136
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Penindakan terhadap pengguna jasa yang tidak memiliki karcis dapat didenda atau diturunkan di stasiun terdekat.
Huruf c
Penertiban terhadap pengguna jasa atau masyarakat dapat dilakukan bersama-sama dengan aparat keamanan.
Huruf d
Cukup jelas
Ayat (2)
Hal-hal yang membahayakan keselamatan, ketertiban, dan kepentingan umum, antara lain:
a. bersumber pada sarana perkeretaapian, misalnya kondisi kereta api diragukan kelaikannya untuk dioperasikan; dan
b. bersumber di luar sarana perkeretaapian, misalnya jalur longsor dan ancaman teror.

Pasal 137
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "standar pelayanan minimum" adalah kondisi pelayanan yang harus dipenuhi oleh penyelenggara sarana perkeretaapian sebagaimana ditetapkan oleh Pemerintah.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 138
Cukup jelas

Pasal 139
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "barang khusus" adalah bahan atau benda yang sifat atau bentuknya harus diperlakukan secara khusus, antara lain:
a. muatan barang curah, misalnya semen curah dan batubara;
b. muatan barang cair, misalnya BBM dan bahan dasar gula pasir;
c. muatan yang diletakkan di atas palet;
d. muatan kaca lembaran;
e. pengangkutan barang yang memerlukan fasilitas pendingin;
f. pengangkutan tumbuh-tumbuhan dan hewan hidup; dan
g. pengangkutan kendaraan.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "bahan berbahaya dan beracun" adalah setiap bahan atau benda yang karena sifat dan ciri khasnya dapat membahayakan keselamatan, kesehatan manusia, makhluk hidup lainnya, dan ketertiban umum.
Huruf d
Yang dimaksud dengan "limbah bahan berbahaya dan beracun" adalah sisa suatu usaha dan/atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya, baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia, dan makhluk hidup lain.

Pasal 140
Cukup jelas

Pasal 141
Cukup jelas

Pasal 142
Cukup jelas

Pasal 143
Cukup jelas

Pasal 144
Cukup jelas

Pasal 145
Cukup jelas

Pasal 146
Cukup jelas

Pasal 147
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "angkutan multimoda" adalah angkutan yang menggunakan paling sedikit 2 (dua) moda angkutan yang berbeda atas dasar perjanjian angkutan multimoda dengan menggunakan satu dokumen.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 148
Cukup jelas

Pasal 149
Cukup jelas

Pasal 150
Cukup jelas

Pasal 151
Cukup jelas

Pasal 152
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam hal masyarakat dinilai belum mampu membayar tarif yang ditetapkan oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian, Pemerintah atau Pemerintah Daerah menetapkan tarif angkutan pelayanan kelas ekonomi yang merupakan bentuk pelaksanaan kewajiban pelayanan publik (Public Service Obligation) dan angkutan perintis.
Huruf a
Yang dimaksud dengan "angkutan pelayanan kelas ekonomi" adalah angkutan orang yang dilaksanakan oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian sesuai dengan standar pelayanan minimum.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "angkutan perintis" adalah penyelenggaraan perkeretaapian yang dioperasikan dalam waktu tertentu untuk melayani daerah baru atau daerah yang sudah ada jalur kereta apinya dalam rangka menunjang pemerataan, pertumbuhan, dan stabilitas pembangunan nasional, tetapi secara komersial belum menguntungkan.

Pasal 153
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "tarif yang dihitung oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian" adalah besarnya tarif yang dihitung berdasarkan pedoman penetapan tarif.
Yang dimaksud dengan kewajiban pelayanan publik (Public Service Obligation) adalah kewajiban pemerintah untuk memberikan pelayanan angkutan kereta api kepada masyarakat dengan tarif yang terjangkau.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "biaya yang dikeluarkan oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian" adalah besarnya biaya yang dikeluarkan untuk mengoperasikan sarana perkeretaapian pada lintas perintis yang dihitung berdasarkan asumsi yang disepakati oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dan Pemerintah atau Pemerintah Daerah.

Pasal 154
Ayat (1)
Biaya penggunaan prasarana perkeretaapian atau yang dikenal dengan Track Acces Charge (TAC) adalah biaya yang harus dibayar oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian untuk penggunaan prasarana perkeretaapian yang dioperasikan oleh Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian.
Ayat (2)
Cukup jelas

Pasal 155
Cukup jelas

Pasal 156
Cukup jelas

Pasal 157
Ayat (1)
Bentuk bertanggung jawab adalah pemberian ganti kerugian dan biaya pengobatan bagi pengguna jasa yang luka-luka atau santunan bagi pengguna jasa yang meninggal dunia.
Kerugian pengguna jasa yang ditanggung oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian berupa penggantian kehilangan atau kerusakan barang sebagai akibat pengoperasian angkutan kereta api.
Ayat (2)
Batas waktu tanggung jawab penyelenggara sarana perkeretaapian adalah dipenuhinya kewajiban penyelenggara sarana perkeretaapian memberikan ganti kerugian, biaya pengobatan, dan santunan paling lama 1 (satu) bulan sejak kejadian.
Pengguna jasa yang mengalami kerugian, luka-luka, dan keluarga pengguna jasa yang meninggal dunia harus memberitahukan kepada Penyelenggara Sarana Perkeretaapian paling lama 12 (dua belas) jam terhitung sejak kejadian.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Luka atau meninggalnya pengguna jasa yang tidak disebabkan oleh pengoperasian kereta api, misalnya pengguna jasa luka atau meninggal dunia di dalam kereta api karena sakit bawaan atau karena kejahatan.

Pasal 158
Cukup jelas

Pasal 159
Cukup jelas

Pasal 160
Cukup jelas

Pasal 161
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Tempat penyimpanan yang disediakan oleh Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dapat berupa gerbong, gundang, dan ruang terbuka.
Biaya penyimpanan, antara lain sewa gerbong, biaya pembongkaran, biaya pemindahan, biaya penumpukan, dan biaya sewa gundang.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan "batas waktu" adalah ketentuan yang disebutkan dalam perjanjian angkutan.
Ayat (4)
Cukup Jelas
Ayat (5)
Cukup Jelas
Ayat (6)
Cukup Jelas

Pasal 162
Cukup jelas

Pasal 163
Cukup jelas

Pasal 164
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan "pengajuan keberatan" adalah pengaduan kerusakan barang dengan disertai bukti rusaknya barang serta perincian permintaan ganti kerugian dan keterangan nilai barang.
Ayat (3)
Cukup jelas.

Pasal 165
Cukup jelas

Pasal 166
Cukup jelas

Pasal 167
Cukup jelas

Pasal 168
Cukup jelas

Pasal 169
Cukup jelas

Pasal 170
Yang dimaksud dengan "kerugian" adalah nilai kerusakan pada prasarana perkeretaapian dan sarana perkeretaapian serta luka-luka dan meninggalnya orang yang dipekerjakan oleh Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian dan Penyelenggara Sarana Perkeretaapian.
Tuntutan kerugian kerusakan pada prasarana perkeretaapian dan sarana perkeretaapian serta biaya pengobatan dan santunan harus dipenuhi oleh pihak yang menimbulkan kerugian dan luka-luka serta meninggal.
Yang dimaksud dengan "orang yang dipekerjakan" adalah petugas Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian atau Penyelenggara Sarana Perkeretaapian dalam melaksanakan kegiatan di bidang prasarana dan sarana perkeretaapian.

Pasal 171
Cukup jelas

Pasal 172
Cukup jelas

Pasal 173
Cukup jelas

Pasal 174
Cukup jelas

Pasal 175
Ayat (1)
Penelitian sebab-sebab terjadinya kecelakaan adalah bukan dalam kaitan dengan penyidikan (penegakan hukum), melainkan semata-mata untuk mengetahui sebab-sebab terjadinya kecelakaan dalam rangka perbaikan teknologi dan agar kecelakaan serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari.
Apabila dalam kecelakaan tersebut memang terdapat unsur melawan hukum, pemeriksaannya juga dilakukan oleh penyidik dalam rangka penegakan hukum.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 176
Cukup jelas

Pasal 177
Cukup jelas

Pasal 178
Yang dimaksud dengan "pandangan bebas" adalah tidak terhalangnya pandangan masinis kereta api untuk melihat peralatan persinyalan dan kondisi jalan rel.

Pasal 179
Cukup jelas

Pasal 180
Cukup jelas

Pasal 181
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan "menyeret" adalah menarik atau mendorong barang tanpa roda dan melintasi jalur kereta api.
Huruf c
Yang dimaksud dengan "kepentingan lain" adalah penggunaan jalur kereta api yang tidak sesuai dengan fungsinya, antara lain berjualan, menggembala ternak, dan menjemur barang.
Ayat (2)
Yang termasuk surat tugas adalah kartu atau tanda pengenal.

Pasal 182
Cukup jelas

Pasal 183
Cukup jelas

Pasal 184
Cukup jelas

Pasal 185
Cukup jelas

Pasal 186
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Pelaksanaan penyidikan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku, antara lain Pasal 7 ayat (2) dan Pasal 107 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.

Pasal 187
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini, yang dipidana adalah pengurus dari Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian sebagai korporasi. Pengurus dalam hal ini adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lain dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sediri-sendiri atau bersama-sama.
Ayat (2)
Dalam ketentuan ini, yang dimaksud dengan "luka berat" adalah:
- sakit atau luka yang tidak ada harapan untuk sembuh sama sekali atau yang menimbulkan bahaya maut;
- tidak mampu terus menerus untuk menjalankan tugas, jabatan, atau pekerjaan pencaharian;
- kehilangan salah satu panca indera;
- cacat berat;
- lumpuh;
- daya pikir terganggu selama lebih dari 4 (empat) minggu; dan
- gugur atau matinya kandungan.
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 188
Dalam ketentuan ini, yang dipidana adalah pengurus dari Badan Usaha yang menyelenggarakan prasarana perkeretaapian umum sebagai korporasi. Pengurus dalam hal ini adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lain dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sediri-sendiri atau bersama-sama.

Pasal 189
Dalam ketentuan ini, yang dipidana adalah pengurus dari Penyelenggara Sarana Perkeretaapian sebagai korporasi. Pengurus dalam hal ini adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lain dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sediri-sendiri atau bersama-sama.

Pasal 190
Lihat penjelasan Pasal 187.

Pasal 191
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini, yang dipidana adalah pengurus dari Penyelenggara Perkeretaapian Khusus sebagai korporasi. Pengurus dalam hal ini adalah orang-orang yang mempunyai kedudukan fungsional dalam struktur organisasi korporasi yang bertindak untuk dan atas nama korporasi atau demi kepentingan korporasi, berdasarkan hubungan kerja atau berdasar hubungan lain dalam lingkup usaha korporasi tersebut, baik sediri-sendiri atau bersama-sama.
Ayat (2)
Cukup jelas.

Pasal 192
Cukup jelas

Pasal 193
Cukup jelas

Pasal 194
Cukup jelas

Pasal 195
Yang dimaksud dengan "mengoperasikan" meliputi pengoperasian, perawatan, pengelolaan, pengawasan, dan pemeriksaan.

Pasal 196
Lihat penjelasan Pasal 187 ayat (1).

Pasal 197
Cukup jelas

Pasal 198
Ayat (1)
Lihat penjelasan Pasal 187 ayat (1).
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 187 ayat (2).
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 199
Cukup jelas

Pasal 200
Cukup jelas

Pasal 201
Cukup jelas

Pasal 202
Cukup jelas

Pasal 203
Cukup jelas

Pasal 204
Lihat penjelasan Pasal 189.

Pasal 205
Cukup jelas

Pasal 206
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan "awak kereta api" dalam ketentuan ini adalah masinis dan asisten masinis.
Ayat (2)
Lihat penjelasan Pasal 187 ayat (2).
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 207
Cukup jelas

Pasal 208
Cukup jelas

Pasal 209
Lihat penjelasan Pasal 187 ayat (1).

Pasal 210
Cukup jelas

Pasal 211
Lihat penjelasan Pasal 189.

Pasal 212
Cukup jelas

Pasal 213
Cukup jelas

Pasal 214
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Waktu 3 (tiga) tahun dalam ketentuan ini dimaksudkan untuk menyesuaikan penyelenggaraan Prasarana Perkeretaapian oleh PT. Kereta Api Indonesia (Persero), atas Prasarana Perkeretaapian milik Pemerintah, dalam rangka memberikan kesempatan kepada Pemerintah memperbaiki kondisi PT. Kereta Api Indonesia (Persero) dengan mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
a. melakukan audit secara menyeluruh terhadap PT. Kereta Api Indonesia (Persero);
b. melakukan inventarisasi aset prasarana dan sarana PT. Kereta Api Indonesia (Persero);
c. menegaskan status kewajiban pelayanan publik (Public Service Obligation) dan kewajiban masa lalu penyelenggaraan program pensiun pegawai PT. Kereta Api Indonesia (Persero) eks Pegawai Negeri Sipil PJKA/Departemen Perhubungan (Past Service Liability);
d. membuat neraca awal PT. Kereta Api Indonesia (Persero).

Pasal 215
Cukup jelas

Pasal 216
Cukup jelas

Pasal 217
Cukup jelas

Pasal 218
Cukup jelas

0 komentar: